do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Kamis, 03 September 2009

Tips membahagiakan diri sendiri


Anda bisa membahagiakan diri sendiri dengan strategi yang disarikan SELF dari buku The Nine Rooms of Happiness: Loving Yourself, Finding Your Purpose and Getting Over Life's Imperfections, karangan Lucy Danziger and Catherine Birndorf, MD.


1. Filter diri
Boleh jadi masa kecil atau masa remaja Anda begitu membahagiakan. Kehangatan keluarga ataupun berbagai hubungan atau peristiwa di masa lalu membuat Anda merindu masa lalu. Jika perlu Anda kembali ke masa-masa itu, karena cenderung tak menyukai keadaan saat ini. Keinginan seperti ini wajar saja muncul. Freud menyebutnya screen memories yakni bahwa kita cenderung melakukan filter atas hidup kita melalui berbagai memori di masa lalu. Berhentilah memikirkan masa lalu. Hiduplah untuk masa sekarang. Hidup Anda adalah saat ini bukan masa lalu, camkan itu agar Anda lebih bahagia.



2. Refleksi diri
Berkacalah, lihat diri Anda lebih dalam. Kenali seperti apa Anda saat ini. Minta juga pendapat orang-orang tepercaya di kehidupan Anda, tentang diri Anda. Apa yang mereka pikirkan dan rasakan, Refleksi diri mengajarkan Anda untuk mengikuti intuisi, dan bahkan mengasahnya. Kenali diri Anda dengan jujur. Kuncinya, ambil pesan positif dari diri Anda dan dari opini orang lain tentang Anda.



3. Berani berubah
Jika Anda tak menemukan bahagia dengan hubungan saat ini, atau berbagai hal seputar kehidupan Anda, pekerjaan atau apapun juga. Buatlah perubahan pada diri sendiri atau isu yang ingin Anda ubah. Jika isu menyangkut hubungan yang tak menyenangkan, cari solusinya dari diri sendiri dan hubungan tersebut. Lakukan penyesuaian, tingkatkan toleransi, perbaiki hubungan atau tinggalkan hubungan jika terasa sudah semakin tak sehat. Yang bisa Anda lakukan adalah tindakan mengubah diri sendiri dan hubungan tersebut. Artinya, Anda tak bisa membuat orang lain (dalam hubungan tersebut) berubah mengikuti cara dan keinginan Anda. Kuncinya, kebahagiaan akan Anda rasakan dengan melakukan perubahan untuk diri sendiri bukan mengubah orang.



4. Membangun hubungan, bukan menyatukan
Anda tentu sering mendengar, keberadaan Anda atau orang lain yang dikasihi, adalah saling melengkapi. Anda sebenarnya sudah lengkap, utuh sebagai seorang individu. Anda tak perlu dilengkapi oleh orang lain. Yang terjadi adalah, Anda dan orang lain yang menjalin hubungan, bisa kekasih, suami, sahabat, bertugas saling membangun hubungan. Tujuannya bukan saling melengkapi atau menyatukan perbedaan. Ibarat lingkaran, Anda dan orang lain adalah lingkaran utuh yang bertemu dan membentuk diagram venn. Anda dan suami misalnya, bukan menyatukan dua individu berbeda, namun saling membangun hubungan yang sifatnya tumpang tindih. Karakter Anda dan pasangan bisa saja saling bertabrakan, namun temukan kebahagiaan dari perbedaan ini dengan saling menghubungkan. Kuncinya, Anda dan orang lain yang membangun hubungan perlu saling menambal sulam, bukan saling melengkapi atau menyatukan. Apapun masalah yang Anda hadapi, dengan menerapkan cara ini, Anda akan merasa lebih bahagia karena mampu menerima kondisi dan mengatasinya dengan energi positif dari dalam diri.



5. Hentikan atau kurangi narsisme
Menjadikan diri sendiri sebagai pusat perhatian bisa diartikan negatif dan positif. Persepsi Anda terhadap diri sendiri tak sepenuhnya selalu benar. Terlalu percaya diri berlebihan dan berbangga dengan diri sendiri tak memudahkan Anda dalam menjalin hubungan, dengan siapa pun. Termasuk juga jika Anda terlalu keras terhadap diri sendiri. Dengan mengasihani diri, mengkritik diri sendiri atau hanya melihat kelemahan dalam diri. Emosi negatif yang berfokus pada diri sendiri ini juga tak lantas memudahkan hubungan dengan orang lain. Segeralah keluar dari perangkap narsisme negatif dan positif yang berlebihan, jika Anda benar-benar ingin merasakan kebahagiaan sebagai individu.


6. Berdamai dengan diri sendiri
Cobalah untuk memahami perbedaan, konflik atau berbagai ketidaknyamanan lain dalam berbagai relasi sosial dan lingkungan. Berdamailah dengan diri sendiri saat menghadapi masalah, konflik atau masa sulit. Toleransi adalah sikap yang bisa dipelajari. Latihlah sikap ini dan jangan pernah membiarkan konflik atau ketidaksepahaman berdampak buruk pada diri Anda. Buatlah diri Anda bahagia dengan mentoleransi masalah, menerimanya sebagai bagian perjalanan hidup yang harus Anda alami. Upayakan agar Anda tak menjadi lemah karena berbagai masalah.


7. Tak perlu bersandiwara
Bersikaplah jujur tanpa perlu bersandiwara. Jika Anda tak bisa menghadiri undangan pernikahan sahabat Anda, katakan alasan sejujurnya. Tak perlu mengarang cerita karena merasa tak enak menyampaikan berita tak menyenangkan tersebut. Atau Anda tak perlu berpura-pura tak ada masalah dengan teman padahal Anda menyimpan amarah. Yang akhirnya membuat Anda kerapkali membatalkan janji atau merancang rencana palsu, untuk menghindar darinya. Sandiwara sangat mungkin terjadi kapan saja dan selalu ada celah untuk melakukannya dalam kehidupan Anda. Terutama ketika Anda dihadapkan pada situasi yang berhubungan dengan atasan, orangtua, kakak atau siapapun yang lebih punya kuasa atas diri Anda.



8. Batasi diri
Apakah Anda termasuk tipikal individu yang senang membantu orang lain tanpa pamrih? Orang terdekat Anda bahkan sudah sangat hafal dengan sifat Anda yang terlalu baik ini. Jika Anda bertemu orang yang tepat, tak jadi soal. Justru orang yang mampu melihat sisi buruk dari imej ini akan mengingatkan Anda untuk membatasinya. Tetapi hal ini tidak akan terjadi pada orang lain yang akan memanfaatkan kebaikan tulus dari dalam diri. Jadi, Anda lah yang harus membatasi diri. Tak ada yang salah dengan sifat penolong dan baik hati, namun cobalah melatih membatasi diri. Anda memiliki batasan. Anda tak selamanya bisa menolong orang lain, meskipun Anda akan mengupayakannya. Tetap saja, jangan pernah biarkan orang lain memanfaatkan sisi baik dari dalam diri ini.



9. Buatlah keputusan
Apapun masalah yang Anda hadapi, buatlah keputusan untuk mengakhiri ketidakpastian dan menciptakan kebahagiaan. Anda berhak menunda keputusan yang juga adalah pilihan keputusan. Atau Anda bisa membuat pilihan untuk menyatakan sikap dan melanjutkan kembali perjalanan Anda. Selalu ada dua pilihan dalam hidup bukan? tentukanlah pilihan, menjalani apa yang ada sekarang ini atau berkembang dengan membuat keputusan yang membuat keadaan menjadi berbeda.


Rabu, 02 September 2009

Memilih pemimpin dengan kreteria sifat rosul


Maraknya pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah di indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan. baik pemilihan bupati,gubenur, maupun president tidak lepas dari unsur politik uang, yang hal ini bisa mempengaruhi pilihan seseorang dalam memilih pemimpin.

  Sungguh ironis memang, di jaman seperti ini kita sebagai warga masyarakat yang mendambakan seorang pemimpin yang adil, tapi disisih lain pilihan kita dipengaruhi oleh berbagai hal yang bisa mempengaruhi pilihan itu sendiri, sehingga kita tidak bisa obyektif dalam memilih pemimpin kita, oleh karena itu ada empat kreteria yang harus kita pengang dalam memilih pemimpin.
 1. Shidiq/jujur: sifat ini sebagai pondasi pertama bagi seorang pemimpin, karena sebagi seorang   pemimpin  harus selalu bersifat,bertindak dan berucap jujur dalam setiap tindak tanduknya, sehingga bisa menjadi tauladan bagi seluruh bawahannya.
 2. Amanah/bisa dipercaya: sifat ini sebagai salah satu sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin, karena dengan sifat ini seorang pemimpin akan melaksanakan apa yang telah diamahkan kepadanya dan akan menjalankan tugas dengan baik.
 3. Tabligh/penyampai: dengan sifat ini seorang pemimpin akan selalu menyanpaikan tanggung jawabnya dengan Transparan dan akuntabel, dengan tidak menutup-nutupi sedikitpun apa yang telah dia kerjakan.
 4. Fatonah/cerdas: seorang pemimpin harus cerdas, sehingga bisa  menyelesaikan semua persoalaan dengan baik tanpa tanpa menyisakan persoalan-persolan lain dibelakang hari.
 Inilah empat acuan kita dalam memilih seorang pemimpin berdasarkan sifat-sifat rosul. semoga kedepan kita dapat realistis dalam memilis pemimpin tanpa dipengauhi oleh berbagai faktor terutama politik uang, sehingga apa yang kita pilih dapat melaksanakan amanah dengan baik sesuai apa yang kita inginkan.





Selasa, 01 September 2009

Benarkah Kebangkitan Negara dari Akhlak?


Bantahan atas pendapat yang menyatakan kebangkitan Negara/umat adalah bagaimana membangkitkan akhlaknya dapat diperinci sbb :
Pertama, sebenarnya konteks yang hendak dikaji adalah kebangkitan umat atau kebangkitan masyarakat, bukan kebangkitan individu. Individu berbeda dengan masyarakat dari sisi karakter maupun penyusunnya. Atas dasar itu, cara membangkitkan individu berbeda dengan cara membangkitkan masyarakat. Akhlak adalah hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, akhlak adalah salah satu variabel penting untuk membangkitkan individu. 
Berbeda dengan konteks kebangkitan masyarakat. Untuk membahas kebangkitan masyarakat, kita harus memahami unsur-unsur penyusun masyarakat dan cara untuk mengubahnya. Begitu pula jika kita hendak mengubah individu, kita mesti memahami terlebih dulu unsur-unsur penyusun individu dan bagaimana cara membangkitkannya. 


Masyarakat sendiri tersusun atas manusia, pemikiran, perasaan,dan aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Benar, manusia merupakan salah satu faktor penyusun masyarakat. Namun demikian, perubahan manusia tidak secara otomatis menghasilkan perubahan masyarakat maupun warna masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun dari manusia belaka, tetapi juga tersusun oleh pemikiran, perasaan, dan aturan. Selain itu, faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat bukanlah manusia sebagai individu, melainkan pemikiran dan aturan yang diterapkan. 
Para penganut agama Budha terkenal sebagai orang-orang yang menjunjung nilai-nilai akhlak, bahkan memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia. Namun demikian, warna masyarakat yang tersusun dari orang-orang Budha dan agama Budha adalah masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam. Ini menunjukkan, bahwa faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat adalah pemikiran dan aturan yang diterapkan di dalamnya, bukan akhlak individunya. 
Masyarakat di negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim yang terkenal jujur, amanah, dan berbudi pekerti luhur, disebut masyarakat yang tidak islami jika sistem aturan yang diberlakukan di negeri-negeri Islam tersebut adalah sistem aturan kufur. 
Masyarakat Jahiliah sebelum Islam juga menjunjung nilai-nilai akhlak yang tinggi—menghargai tamu, perwira, dan sebagainya. Sifat-sifat akhlak ini tidak berubah ketika mereka berubah menjadi masyarakat Islam. Ini menunjukkan bahwa akhlak tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat. 
Walhasil, perubahannya tidak boleh difokuskan hanya pada perubahan individunya belaka, namun harus difokuskan pada perubahan pemikiran dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. 



Di sisi yang lain, nilai-nilai akhlak—sebagai nilai universal—bukanlah nilai yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia selalu melekat pada perbuatan tertentu. Jujur adalah nilai akhlak. Namun, Anda tidak bisa mengetahui apakah seseorang itu jujur atau tidak, kecuali ketika ia melakukan suatu aktivitas tertentu. Jujur bisa melekat pada perbuatan apapun, halal maupun haram. Jujur bisa melekat pada seorang pegawai bank yang mengkonsumsi ribawi. Jujur juga bisa melekat pada anggota parlemen yang suka menelorkan aturan-aturan kufur. Namun demikian, jujur yang melekat pada perbuatan-perbuatan haram tersebut tidak memiliki nilai sama sekali. Bahkan, kita tidak boleh menyatakan bahwa orang tersebut berakhlak. Sebab, kejujurannya telah melekat pada perbuatan haram. 

Dedikasi yang tinggi, disiplin, dan amanah bisa saja melekat pada diri anggota pasukan perang yang menjadi pembela sistem kufur. Akan tetapi, kita tidak mungkin menyatakan orang-orang ini menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Bahkan, akhlak yang menempel pada sistem kufur semacam ini tidak memiliki arti sedikitpun dalam timbangan Islam. Yang terpenting adalah mengubah pemikiran dan sistem aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan akhlak hanyalah sekadar bagian dari aturan-aturan Allah Swt. yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Perubahan akhlak sama sekali tidak berkaitan dengan perubahan warna masyarakat.


Kedua, pernyataan di atas tidak berarti bahwa kami meremehkan akhlak, atau menganggap bahwa akhlak bukanlah perkara penting jika dibandingkan dengan perkara-perkara yang lain. Al-Quran sendiri tidak menyebut kata khuluq di banyak tempat, kecuali pada surat al-Qalam ayat 4 dan asy-Syu’ara ayat 137. Selain itu, para fuqaha hanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syariat. Mereka tidak pernah mengkaji akhlak dalam bab fikih tersendiri. Ini menunjukkan bahwa akhlak adalah bagian dari syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. 



Ketiga, seandainya kita mencermati bangsa-bangsa yang saat ini mengalami kemajuan, kita bisa menyimpulkan, bahwa akhlak yang dimiliki oleh kaum Muslim tetap lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, kaum Muslim tetap saja dalam posisi mundur. Mereka tertinggal jauh dengan bangsa-bangsa yang akhlaknya lebih rendah dibandingkan dengan mereka. 



Keempat, fakta juga telah menunjukkan bahwa propaganda-propaganda yang menyerukan akhlak sama sekali tidak memberikan pengaruh bagi kebangkitan kaum kaum Muslim. Umat Islam tetap mundur dari sisi ekonomi, politik, dan hukum. Ini juga membuktikan bahwa akhlak bukanlah asas atau dasar dari perubahan masyarakat. Ia juga bukan masalah utama bagi kaum Muslim.



Penjelasan di atas tidak boleh dipahami, meremehkan akhlak atau tidak menganggap penting masalah akhlak. Namun, hanya ingin menjelaskan, bahwa akhlak bukanlah persoalan utama kaum Muslim, dan juga bukan asas dan dasar kebangkitan umat. 
Surat al-Qalam ayat 4 dan Hadis Nabi saw. sebagaimana dinukil di atas dan nash-nash yang senada pengertiannya tidak bisa dipahami bahwa asas perubahan adalah akhlak atau bahwa persoalan yang menjadi fokus perhatian utama Rasulullah saw. adalah perubahan akhlak. Para mufasir terkenal seperti Mujahid, ad-Dhahak, ath-Thabari, dan al-Qurthubi, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata khulq pada surat al-Qalam ayat 4, bukan sekadar “akhlak”, tetapi bermakna “dîn” (agama).