do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Jumat, 30 April 2010

Kebahagiaan Bukan Berupa Harta, Pangkat, Jabatan, dan Kedudukan


Keberuntungan dan Kebahagiaan
Siapa gerangan yang tak hendak mendapatkan untung? Siapa pula yang tak ingin meraih bahagia? Semua orang tentu mendambakan keberuntungan sekaligus kebahagiaan. Namun banyak orang menyangka keberuntungan dan kebahagiaan itu dapat diraih bila seseorang berhasil mendapatkan dunia berupa harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan. Karena pandangan seperti itu, mereka pun menghabiskan waktu, umur, dan tenaga mereka guna meraih apa yang menurut mereka sebagai sebab (faktor) keberuntungan dan kebahagiaan. Padahal, sungguh mereka telah salah dan tidaklah mereka di atas petunjuk. Lihatlah Qarun yang hidup di zaman Nabi Musa q, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya saja harus dipikul oleh sekelompok lelaki yang kuat. Namun apa akhirnya kisahnya? Karena kedurhakaannya, ia ditenggelamkan ke dalam bumi bersama hartanya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan dalam Al-Qur’an:
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ
Kami pun membenamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi, maka tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya selain Allah (dari azab-Nya).” (Al-Qashash: 81)
Sampai pula kabar kepada kita tentang Fir‘aun si durjana yang binasa dengan kerajaan dan kekuasaannya. Demikian pula umat-umat terdahulu yang memiliki kekuatan hebat dan kekuasaan yang besar, namun ingkar kepada Rabb semesta alam.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ. الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ. وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ. وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ. الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ. فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ. فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ. إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
Apakah kamu tidak memerhatikan bagaimana Rabbmu telah berbuat terhadap kaum ‘Ad, (yaitu) penduduk Iram yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain. Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah. Dan kaum Fir’aun yang mempunyai tentara yang banyak, yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. Oleh sebab itulah Rabbmu menimpakan kepada mereka cemeti azab. Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.” (Al-Fajr: 6-14)
Lalu, apakah kemajuan teknologi dalam berbagai bidang yang di zaman ini dikuasai oleh orang-orang kafir merupakan sebab keberuntungan dan kebahagiaan mereka? Sekali-kali tidak!
Ketahuilah wahai saudariku, bila iman tidak menjadi pegangan dan akidah yang shahihah tidak menjadi landasan, akan rusak binasalah dunia dan jadilah seluruh amalan tiada berfaedah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengabarkan tentang amalan orang-orang kafir:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
Dan amal-amal orang-orang kafir adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapati apa-apa….” (An-Nur: 39)
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
Permisalan amalan-amalan orang-orang yang kafir kepada Rabb mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan di dunia. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (Ibrahim: 18)
Kehidupan orang kafir di dunia ini –dengan segenap harta yang ada pada mereka berikut kekuasaan, kekuatan, dan teknologi– Allah Subhanahu wa Ta’ala namakan dengan perhiasan sementara, yang akan berakhir dengan kerugian dan api neraka.
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ. مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka adalah Jahannam dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali ‘Imran: 196-197)
Sebagian kaum muslimin yang lemah imannya teperdaya manakala melihat orang-orang kafir diberi keluasan dan kelapangan dalam kehidupan dunia. Akibatnya ia kagum dan mengagungkan mereka di dalam hatinya. Sebaliknya, bila ia melihat kelemahan yang menimpa kaum muslimin dan terbelakangnya kehidupan mereka, ia menyangka semua itu gara-gara Islam. Islam berikut pemeluknya pun jadi hina di dalam jiwanya.
Ketahuilah, kebangkrutan dan kerugian orang kafir di dunia dan di akhirat merupakan suatu kemestian, karena mereka telah kehilangan penegak keberuntungan dan kebahagiaan. Di antara yang paling inti adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir. Keberuntungan hanyalah bagi orang-orang beriman dan bertakwa, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ. الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya, dan orang-orang yang menjaga shalat mereka. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yaitu) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (Al-Mu’minun: 1-11)
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ. أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Al-Qur’an yang telah diturunkan kepadamu dan beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang tetap beroleh petunjuk dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 1-5)
Sebab-sebab keberuntungan yang bisa kita sebutkan di sini di antaranya:
-Bertaubat dari dosa-dosa, beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beramal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسَى أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ
Adapun orang yang bertaubat dan beriman serta mengerjakan amal shalih maka semoga ia termasuk orang-orang yang beruntung.” (Al-Qashash: 67)
-Terus-menerus berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya:
وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Berzikirlah kalian kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (Al-Anfal: 45)
-Menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan menjauh dari sifat-sifat tercela. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Berinfaklah dengan infak yang baik untuk diri kalian. Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (At-Taghabun: 16)
Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya. Dia ingat nama Rabbnya kemudian ia mengerjakan shalat.” (Al-A’la: 14-15)
Demikianlah wahai saudariku… Akan datang suatu hari kelak di mana tampak bagi seluruh manusia siapa yang beruntung dan siapa yang merugi. Hari yang pasti itu adalah hari ditimbangnya seluruh amalan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
Timbangan pada hari itu ialah kebenaran. Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu berlaku zalim terhadap ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 8-9)
Sebelum datang hari itu, masih terbuka kesempatan bagi kita. Selama hayat masih dikandung badan, (masih ada kesempatan) untuk berbenah diri sehingga kita mengatur amalan kita, memperbaiki apa yang rusak dari amalan kita dan memperbanyak amal kebaikan agar berat dalam timbangan pada hari kiamat kelak. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Disarikan dari Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-’Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/183-186)
Dikutip dari www.asysyariah.com Penulis : Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Judul: Keberuntungan dan Kebahagiaan

Kamis, 29 April 2010

KISAH si Pembunuh 100 (Seratus) Jiwa


Kisah ini pernah terjadi di zaman Bani Israil dahulu kala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakannya kepada umatnya agar menjadi pelajaran berharga dan teladan dalam kebaikan. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’id bin Malik bin Sinan radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ، انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ. وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ. قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ
Dahulu, di zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 jiwa. Dia pun bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi ketika itu, lalu ditunjukkan kepadanya tentang seorang rahib (pendeta, ahli ibadah). Maka dia pun mendatangi rahib tersebut lalu mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 99 jiwa, apakah ada taubat baginya?
Ahli ibadah itu berkata: “Tidak.” Seketika laki-laki itu membunuhnya. Maka dia pun menggenapi dengan itu (membunuh rahib) menjadi 100 jiwa. Kemudian dia menanyakan apakah ada orang yang paling alim di muka bumi ketika itu? Lalu ditunjukkanlah kepadanya tentang seorang yang berilmu. Maka dia pun mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 100 jiwa, apakah ada taubat baginya? Orang alim itu berkata: “Ya. Siapa yang menghalangi dia dari taubatnya? Pergilah ke daerah ini dan ini. Karena sesungguhnya di sana ada orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka. Dan jangan kamu kembali ke negerimu, karena negerimu itu adalah negeri yang buruk/jahat.”
Maka dia pun berangkat. Akhirnya, ketika tiba di tengah perjalanan datanglah kematian menjemputnya, (lalu dia pun mati). Maka berselisihlah malaikat rahmat dan malaikat azab tentang dia.
Malaikat rahmat mengatakan: “Dia sudah datang dalam keadaan bertaubat, menghadap kepada Allah dengan sepenuh hatinya.”
Sementara malaikat azab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah mengerjakan satu amalan kebaikan sama sekali.”
Datanglah seorang malaikat dalam wujud seorang manusia, lalu mereka jadikan dia (sebagai hakim pemutus) di antara mereka berdua. Maka kata malaikat itu: “Ukurlah jarak antara (dia dengan) kedua negeri tersebut. Maka ke arah negeri mana yang lebih dekat, maka dialah yang berhak membawanya.”
Lalu keduanya mengukurnya, dan ternyata mereka dapatkan bahwa orang itu lebih dekat kepada negeri yang diinginkannya. Maka malaikat rahmat pun segera membawanya.
Kata rawi: Kata Qatadah: Al-Hasan mengatakan: “Disebutkan kepada kami, bahwa ketika kematian datang menjemputnya, dia busungkan dadanya (ke arah negeri tujuan).”
Hadits ini menceritakan kepada kita tentang orang yang telah membunuh 99 jiwa lalu dia menyesal dan bertaubat serta bertanya tentang ahli ilmu yang ada ketika itu. Kemudian ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah.
Ternyata ahli ibadah itu hanyalah ahli ibadah, tidak mempunyai ilmu. Rahib tersebut menganggap besar urusan itu sehingga mengatakan: “Tidak ada taubat bagimu.” Laki-laki pembunuh itu marah lantas membunuh ahli ibadah tersebut. Lengkaplah korbannya menjadi 100 jiwa.
Kemudian dia tanyakan lagi tentang ahli ilmu yang ada di masa itu. Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang alim. Lalu dia bertanya, apakah ada taubat baginya yang telah membunuh 100 jiwa? Orang alim itu menegaskan: “Ya. Siapa yang bisa menghalangimu untuk bertaubat? Pintu taubat terbuka lebar. Tapi pergilah, tinggalkan negerimu menuju negeri lain yang di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jangan pulang ke kampungmu, karena negerimu adalah negeri yang buruk.
Akhirnya, lelaki itu pun pergi berhijrah. Dia berangkat meninggalkan kampung halamannya yang buruk dalam keadaan sudah bertaubat serta menyesali perbuatan dan dosa-dosanya. Dia pergi dengan satu tekad meninggalkan dosa yang dia lakukan, memperbaiki diri, mengisi hari esok dengan amalan yang shalih sebagai ganti kezaliman dan kemaksiatan yang selama ini digeluti.
Di tengah perjalanan menuju kampung yang baik, dengan membawa segudang asa memperbaiki diri, Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan dia harus mati.
Takdir dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala jua yang berlaku. Itulah rahasia dari sekian rahasia Allah Yang Maha Bijaksana. Tidak mungkin ditanya mengapa Dia berbuat begini atau begitu. Tetapi makhluk-Nya lah yang akan ditanya, mengapa mereka berbuat begini dan begitu. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha melakukan apa saja yang Dia inginkan.
Semua yang ada di alam semesta, baik yang terlihat maupun tidak terlihat adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, ciptaan-Nya dan di bawah pengawasan serta pengaturan-Nya. Dia Yang menentukan setiap perbuatan seorang hamba, 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Dia yang memberikan perangkat kepada seorang hamba untuk melakukan sesuatu. Dia pula yang memberi taufiq kepada hamba tersebut ke arah apa yang telah ditakdirkan-Nya.
Pembunuh 100 jiwa itu, adalah salah satu dari makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia ada di bawah kehendak dan kendali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah pasti berlaku pula atasnya. Perbuatan zalim yang dikerjakannya adalah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taubat dan penyesalan yang dia rasakan dan dia inginkan adalah takdir dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alangkah beruntungnya dia. Tapi kalau begitu, zalimkah Allah Subhanahu wa Ta’ala? Kejamkah Dia kepada hamba-Nya?
Jawabnya sudah pasti, tidak. Sama sekali tidak. Dari sisi manapun, Dia bukanlah Dzat yang zalim.
Apakah kezaliman itu? Kezaliman adalah berbuat sesuatu pada hal-hal yang bukan miliknya. Atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Siapakah Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dan siapakah kita? Milik siapakah kita?
Kita milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia-lah Yang telah menciptakan dan mengatur kita. Dia Maha Tahu yang tepat bagi hamba-Nya. Dia Maha Bijaksana, Dia meletakkan segala sesuatu sesuai pada tempatnya. Dia Maha Tahu apa yang diciptakan-Nya. Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Allahu Akbar.
Lelaki itu meninggal dunia. Dia mati dalam keadaan belum ‘beramal shalih’ sekali pun. Dia hanya punya tekad memperbaiki diri, bertaubat dari semua kesalahan. Hal itu terwujud dari keinginannya bertanya kepada mereka yang dianggap berilmu: Apakah ada taubat baginya? Semua itu tampak dari tekadnya pergi meninggalkan masa lalu yang kelam, menyongsong cahaya hidayah dan kebaikan.
Alangkah besar karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada dirinya. Alangkah besar rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya. Tetapi alangkah banyak manusia yang tidak mengetahui bahkan tidak mensyukuri nikmat tersebut.
Sungguh, andaikata kezaliman-kezaliman yang dikerjakan oleh Bani Adam ini harus diselesaikan dengan azab dan siksa di dunia, niscaya tidak akan ada lagi satu pun makhluk yang melata di atas muka bumi ini. Sungguh, seandainya kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih dahulu daripada rahmat-Nya, niscaya tidak akan pernah ada rasul yang diutus, tidak ada Kitab Suci yang diturunkan. Tidak ada ulama dan orang shalih serta berilmu yang memberi nasihat, peringatan, dan bimbingan. Bahkan tidak akan ada satu pun makhluk yang melata di muka bumi ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)
Kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, di daratan maupun di lautan tidak lain adalah akibat ulah manusia. Sementara kesempatan hidup yang diberikan kepada mereka membuat mereka lupa, bahkan semakin menambah kedurhakaan mereka. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ. وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.” (Al-Qalam: 44-45)
Maka jelas pulalah bagi kita alangkah jahatnya ucapan orang yang mengatakan: “Saya tidak suka tuhan yang kejam.”
Andaikata yang dia maksud adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hanya ada dua kemungkinan pada diri orang seperti ini, kafir (murtad) atau kurang akalnya (idiot). Apabila sudah dia terima bukti dan keterangan tapi masih menolak dan mengingkari, maka dikhawatirkan dia telah keluar dari Islam.
Betapa luas nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Siang malam Dia memerhatikan serta mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Tetapi mereka justru menampakkan kebencian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan senantiasa mengerjakan maksiat sepanjang siang dan malam.
Maka dari itu:
فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكَ تَتَمَارَى
Maka terhadap nikmat Rabbmu yang manakah kamu ragu-ragu?” (An-Najm: 55)
Dan:
فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman: 75)
Di antara rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala juga adalah seperti yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ. أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
Benar-benar Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika dia bertaubat kepada-Nya daripada salah seorang kamu yang berada di atas kendaraannya di sebuah tanah padang yang sunyi, lalu kendaraan itu lepas (lari) meninggalkannya, padahal di atasnya ada makanan dan minumannya. Akhirnya dia putus asa mendapatkannya kembali. Maka dia pun mendatangi sebatang pohon lalu berbaring di bawah naungannya, dalam keadaan putus asa dari kendaraannya. Ketika dia dalam keadaan demikian, ternyata tiba-tiba kendaraan itu berdiri di dekatnya. Lalu dia pun menggenggam tali kekangnya dan berkata saking gembiranya: ‘Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabbmu.’ Dia salah ucap karena saking gembiranya.”
Inilah Hakikat Hijrah
Hijrah adalah salah satu kewajiban ajaran Islam, salah satu amalan shalih paling utama, bahkan merupakan sebab keselamatan agama seseorang serta perlindungan bagi imannya. Hijrah terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya ialah hijrah meninggalkan apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas setiap mukallaf. Maka, orang yang bertaubat dari kemaksiatan yang telah lalu berarti dia telah berhijrah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan seorang muslim, dibebankan kepadanya agar meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُهَاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
Sesungguhnya, muhajir sejati adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ahmad, no. 6912)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sekaligus perintah, meliputi semua perbuatan haram baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Apa yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini meliputi pula hijrah lahir dan hijrah batin. Hijrah lahir adalah lari membawa tubuhnya menyelamatkan diri dari fitnah. Sedangkan hijrah batin adalah meninggalkan apa saja yang menjadi ajakan hawa nafsu yang senantiasa memerintahkan kepada kejelekan dan apa-apa yang dijadikan indah oleh setan. Hijrah kedua ini merupakan dasar bagi hijrah yang pertama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa’: 100)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsirnya tentang ayat ini mengatakan:
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya”, maksudnya yang sengaja menuju Rabbnya, mengharap ridha-Nya, karena cinta kepada Rasul-Nya, dan demi membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta bukan karena tujuan lain,
ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ
Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju)”, karena terbunuh atau sebab lainnya,
فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ
Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” Yakni, pahala muhajir yang mencapai tujuannya dengan jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala telah dia terima. Hal itu karena dia telah berniat dan bertekad; dia telah memulai kemudian segera mulai mengerjakannya. Maka termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya dan orang-orang seperti dia adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya pahala sempurna. Meskipun mereka belum mengerjakan amalan mereka secara tuntas, serta mengampuni mereka dengan kekurangan yang ada pada hijrah atau amalan tersebut.
Sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akhiri ayat ini dengan dua nama-Nya yang mulia dalam firman-Nya:
وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan adalah Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” Dia memberi ampunan bagi kaum mukminin yang mengerjakan dosa terutama mereka yang bertaubat kepada Rabb mereka. Dia Maha penyayang kepada seluruh makhluk-Nya. Penyayang kepada kaum mukminin dengan memberi mereka taufiq agar beriman, mengajari mereka ilmu yang menambah keyakinan mereka, memudahkan mereka sebab-sebab menuju kebahagiaan dan kemenangan.
Beberapa Faedah
1. Seorang pembunuh, bisa diterima taubatnya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa’: 48)
Inilah pendapat jumhur ulama. Adapun pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa tidak ada taubat bagi seorang pembunuh karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa’: 93)
Mungkin bisa dibawa kepada pengertian bahwa tidak ada taubat sehubungan dengan korban yang terbunuh. Karena si pembunuh terkait dengan tiga hak sekaligus: hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, hak korban yang dibunuhnya, dan hak ahli waris korban (walinya).
Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak disangsikan lagi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya dengan adanya taubat dari pelaku maksiat tersebut, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Az-Zumar: 53)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا. يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا. إِلَّا مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا. وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih. Maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 68-71)
Adapun hak korban yang dibunuhnya, maka taubat si pembunuh tidaklah berguna dan jelas belum tertunaikan hak korbannya, karena korban itu sudah mati. Tidak mungkin pula sampai pada tingkat dia minta penghalalan atau lepas dari tuntutan darahnya. Jadi, inilah yang masih tersisa serta menjadi beban tuntutan di pundak si pembunuh, meskipun dia sudah bertaubat. Sedangkan pada hari kiamat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memutuskan perkara di antara mereka.
Sedangkan hak ahli waris (wali) korban, maka taubat si pembunuh juga tidak sah hingga dia menyerahkan dirinya kepada mereka, mengakui perbuatannya, dan menyerahkan kepada mereka, apakah dia harus dihukum mati (qishash), membayar diyat (tebusan), atau mereka memaafkannya.
2. Dalam hadits kisah ini, disyariatkan untuk bertaubat dari semua dosa besar. Mungkin, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat seorang pembunuh, Dia menjamin keridhaan lawan (korban)nya, dan Dia kembalikan kezalimannya. Inilah salah satu rahmat dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Kisah ini melarang kita membuat orang lain putus asa dari dosa besar yang dikerjakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah menerangkan bahwa Dia tidak akan menjadikan kekal di neraka orang yang mati dalam keadaan bertauhid, sebagaimana dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan At-Tirmidzi rahimahullahu:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه ِn يَقُولُ: قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai Bani Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa kepada-Ku, mengharapkan-Ku, niscaya Aku beri ampun kepadamu atas apa yang ada padamu, dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit kemudian kamu minta ampun kepada-Ku niscaya Aku beri ampunan kepadamu, dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, sungguh, seandainya engkau datang kepada-Ku membawa dosa sepenuh bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan Aku dengan apapun, pasti Aku datang kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh itu juga.”
Namun, bisa jadi pula dia diampuni dan tidak masuk neraka sama sekali, atau diazab sebagaimana pelaku maksiat lainnya dari kalangan orang yang bertauhid lalu dikeluarkan menuju ke dalam jannah. Maka janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jangan pula membuat orang lain berputus asa darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khalil-Nya, Ibrahim q:
قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
Ibrahim berkata: ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56)
4. Di dalam kisah ini terdapat pula keutamaan berpindah dari negeri yang di sana seseorang bermaksiat, apakah karena adanya teman dan fasilitas yang mendukung atau hal-hal lainnya.
5. Dari kisah ini pula jelaslah betapa seseorang tidak mungkin selamat dan lolos dari azab kecuali dengan beratnya timbangan kebaikan dirinya meski hanya sebesar biji sawi. Maka dari itu, sudah semestinyalah orang yang bertaubat memperbanyak amal kebaikannya.
6. Termasuk tugas seorang yang bertaubat –kalau dia bukan orang yang berilmu– hendaknya dia pelajari apa saja yang wajib atas dirinya di masa yang akan datang dan apa yang haram dikerjakannya.
7. Perlu pula diingat dalam kisah ini, bahwasanya lingkungan yang baik, bergaul dengan orang shalih akan menambah iman seseorang. Sedangkan segala kerusakan, petaka dan penyimpangan, tumbuhnya tidak lain karena adanya dukungan para setan dan bala tentaranya, termasuk dari kalangan manusia yang senantiasa membuka pintu kelalaian dan syahwat serta tidak mendukungnya kepada kebaikan dan ketaatan.
Sungguh indah peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk adalah seperti pembawa misik dan pandai besi. Adapun si pembawa misik (minyak wangi), mungkin dia akan memberimu, atau kamu membeli darinya, atau kamu dapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau kamu dapatkan bau tidak sedap darinya.”
8. Satu hal yang harus kita ingat dari kisah ini, tekad dan niat ikhlas si pembunuh, itulah yang mengantarnya kepada rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang teramat luas. Meski belum mengisi lembaran hidup barunya dengan kebaikan, tetapi tekad dan niat ikhlas ini sangat bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah salah satu buah dan keutamaan tauhid yang murni.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita membersihkan hati kita dari kekotoran syirik dan maksiat sampai kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan membawa hati yang selamat. Amin.

Rabu, 28 April 2010

Tidur Siang Merupakan Sunnah yang Kian Ditinggalkan


Masa anak-anak masa penuh aktivitas. Anak-anak seolah tak berhenti bergerak, dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain. Lebih-lebih lagi bermain, sebuah aktivitas yang menjadi favorit dalam dunia anak. Kadang karena asyik bermain atau melakukan aktivitas yang lain, anak jadi susah diminta tidur siang. Bahkan tidur siang menjadi sesuatu yang menjengkelkan karena memutuskannya dari kegembiraan aktivitas yang dilakukannya.
Ternyata faktor yang menghalangi anak-anak istirahat di siang hari bukan hanya datang dari diri mereka sendiri. Bahkan terkadang, ada orangtua yang justru menghasung anak-anak untuk menyibukkan waktunya dengan segudang kegiatan, tanpa istirahat siang. Les ini, les itu, kegiatan ini dan itu, bersiap menyongsong ini dan itu, sehingga anak tak berhenti dari satu kesibukan ke kesibukan yang lain.
Kita –orangtua– seyogianya tidak membiarkan anak-anak tanpa tidur siang ataupun sekadar beristirahat di siang hari. Dari sisi kesehatan, tentu hal ini banyak manfaatnya, mengistirahatkan tubuh sejenak dari aktivitas agar bugar kembali untuk menyambut aktivitas berikutnya.
Tak hanya dari sisi kesehatan tinjauannya. Jauh lebih penting lagi, tidur siang adalah sunnah yang diajarkan dan dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memerintahkan kita untuk tidur siang dalam sabda beliau yang dinukilkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
قِيْلُوا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ
Qailulah-lah (istirahat sianglah) kalian, sesungguhnya setan-setan itu tidak pernah istirahat siang.” (HR. Abu Nu’aim dalam Ath-Thibb, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1637: isnadnya shahih)
Yang dimaksud dengan qailulah adalah istirahat di tengah hari, walaupun tidak disertai tidur. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits)
Apa yang dilakukan dan dihasung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga diikuti oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat dari ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu:
رُبَّمَا قَعَدَ عَلَى بَابِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رِجَالٌ مِنْ قُرَيْشٍ، فَإِذَا فَاءَ الْفَيْءُ قَالَ: قُوْمُوا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِلشَّيْطَانِ. ثُمَّ لاَ يَمُرُّ عَلَى أَحَدٍ إِلاَّ أَقَامَهُ
Pernah suatu ketika ada orang-orang Quraisy yang duduk di depan pintu Ibnu Mas’ud. Ketika tengah hari, Ibnu Mas’ud mengatakan, “Bangkitlah kalian (untuk istirahat siang, pent.)! Yang tertinggal hanyalah bagian untuk setan.” Kemudian tidaklah Umar melewati seorang pun kecuali menyuruhnya bangkit.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.1238, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 939: hasanul isnad)
Dalam riwayat yang lainnya disebutkan:
كَانَ عُمَرُ رضي الله عنه يَمُرُّ بِنَا نِصْفَ النَّهَارِ –أَوْ قَرِيْبًا مِنْهُ – فَيَقُوْلُ: قُوْمُوا فَقِيْلُوا، فَمَا بَقِيَ فَلِلشَّيْطَانِ
Biasanya ’Umar radhiyallahu ‘anhu bila melewati kami pada tengah hari atau mendekati tengah hari mengatakan, “Bangkitlah kalian! Istirahat sianglah! Yang tertinggal menjadi bagian untuk setan.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.1239, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 939: hasanul isnad)
Begitulah kebiasaan para sahabat g. Diceritakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika datang pengharaman khamr, para sahabat sedang duduk-duduk minum khamr di rumah Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu. Dengan segera mereka menuangkan isi bejana khamr, lalu mereka istirahat siang di rumah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, istri Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu. Anas radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ شَرَابٌ– حَيْثُ حُرِّمَتِ الْخَمْرُ –أَعْجَبُ إِلَيْهِمْ مِنَ التَّمْرِ وَالْبُسْرِ، فَإِنِّي لَأُسْقِي أَصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُمْ عِنْدَ أَبِي طَلْحَةَ، مَرَّ رَجُلٌ قَالَ: إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ. فَمَا قَالُوا: مَتَى؟ أَوْ حَتَّى نَنْظُرَ. قَالُوا: يَا أَنَسُ، أَهْرِقْهَا، ثُمَّ قَالُوا عِنْدَ أُمِّ سُلَيْمٍ حَتَّى أَبْرَدُوا وَاغْتَسَلُوا، ثُمَّ طَيَّبَتْهُمْ أُمُّ سُلَيْمٍ ثُمَّ رَاحُوا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَإِذَا الْخَبَرُ كَمَا قَالَ الرَّجُلُ. قَالَ أَنَسٌ: فَمَا طَعِمُوهَا بَعْدُ
Tidak ada minuman yang paling disukai penduduk Madinah tatkala diharamkannya khamr, selain (khamr dari) rendaman kurma. Sungguh waktu itu aku sedang menghidangkan minuman itu kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berada di rumah Abu Thalhah. Tiba-tiba lewat seseorang, dia mengatakan, “Sesungguhnya khamr telah diharamkan!” Sama sekali para sahabat tidak menanyakan, “Kapan?” atau “Kami lihat dulu.” Mereka justru langsung mengatakan, “Wahai Anas, tumpahkan khamr itu!” Lalu mereka pun beristirahat siang di rumah Ummu Sulaim sampai hari agak dingin, setelah itu mereka mandi. Kemudian Ummu Sulaim memberi mereka minyak wangi. Setelah itu mereka beranjak menuju ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata beritanya memang seperti yang dikatakan orang tadi. Maka mereka tak pernah lagi meminumnya setelah itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.1241, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 940: shahihul isnad)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan kebiasaan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulunya:
كَانُوا يُجَمِّعُوْنَ ثُمَّ يَقِيْلُوْنَ
Mereka (para sahabat) dulu biasa melaksanakan shalat Jum’at, kemudian istirahat siang.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.1240, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 939: shahihul isnad)
Jika para sahabat saja bersemangat mengikuti perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengajak yang lainnya melakukan kebaikan ini, tentu kita tak pantas meninggalkannya. Kita melakukan dan kita ajak anak-anak kita untuk melakukannya pula.
Manfaat yang besar akan mereka dapatkan; tubuh akan terasa segar untuk melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga menyelisihi kebiasaan setan yang tak pernah istirahat di siang hari. Lebih penting lagi, membiasakan diri mereka untuk meneladani sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lamu bish-shawab.

Selasa, 27 April 2010

Bolehkah Menyembelih Hewan Sakit ?


Jika ada seekor hewan yang sakit di mana jika disembelih mungkin tidak ada yang berselera untuk memakannya, apakah sebaiknya disembelih, dibuang, atau dibiarkan sampai mati?
Jawab:
Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Al-’Allamah bin Baz rahimahullahu berfatwa sebagaimana dalam Fatawa Al-Lajnah (22/484): “Jika faktanya seperti yang diutarakan (dalam pertanyaan), hendaklah anda menyembelihnya dalam rangka menjaga harta agar tidak terbuang percuma dan jangan biarkan sampai mati, karena hal itu berarti membuang harta dengan sia-sia. Kemudian tawarkan dagingnya (disertai keterangan) kepada siapa saja yang berselera memakannya. Jika tidak ada yang mau memakannya, berikanlah kepada anjing, kucing, atau binatang lainnya yang akan memakannya.
Menyembelih Binatang Yang Terancam Mati, Karena Terkena Sesuatu yang Memudaratkannya
Apa hukum menyembelih binatang yang terancam mati karena terkena sesuatu yang memudaratkannya?
Jawab:
Al-Lajnah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berfatwa sebagaimana dalam Fatawa Al-Lajnah (22/384-385): “Tidak mengapa menyembelih binatang yang halal dimakan jika terkena sesuatu yang membahayakannya (mengancam hidupnya) agar bisa dimakan setelah disembelih, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ
Telah diharamkan atas kalian bangkai binatang, darah, daging babi, binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, binatang yang mati dengan sebab tercekik, terkena benturan keras, terjatuh dari ketinggian, ditanduk binatang lain, dimakan binatang buas, kecuali binatang yang kalian sembelih (secara syar’i, maka halal).” (Al-Ma’idah: 3)
Setelah disembelih secara syar’i maka tidak mengapa untuk dimakan jika tidak mengandung mudarat bagi yang memakannya.”
Al-Lajnah juga ditanya tentang seekor kambing yang tertabrak mobil hingga patah punggung dan kakinya, namun masih hidup, lalu ada seseorang yang segera menyembelihnya dengan cepat sebelum mati.
Al-Lajnah menjawab: “Jika perkaranya seperti yang disebutkan, maka sembelihan tersebut halal. Karena disembelih selagi masih bernyawa. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ
Telah diharamkan atas kalian bangkai binatang, darah, daging babi, binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, binatang yang mati dengan sebab tercekik, terkena benturan keras, terjatuh dari ketinggian, ditanduk binatang lain, dimakan binatang buas, kecuali binatang yang kalian sembelih (secara syar’i).” (Al-Ma’idah: 3) [Lihat Fatawa Al-Lajnah (22/383-384)]
Apakah sembelihan orang yang sedang mabuk sah dan halal dimakan?
Jawab:
Penyembelihan binatang memiliki syarat-syarat yang harus terpenuhi agar sah sebagai sembelihan yang sah. Di antaranya adalah yang menyembelih harus ahlinya, artinya orang yang pantas dan dianggap sah sembelihannya, yaitu seorang muslim atau ahli kitab yang berakal. Karena dalam menyembelih harus disertai adanya maksud dan niat untuk menyembelih, sedangkan orang yang tidak berakal tentu saja tidak punya maksud dan niat, berarti orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz bukan ahli penyembelihan. Demikian pula orang yang sedang mabuk, karena orang yang mabuk hilang akalnya.
Oleh karena itu, Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu telah berfatwa dalam masalah ini sebagaimana dalam Fatawa Al-Lajnah (22/420): “Sembelihan orang yang mabuk tidak halal dimakan jika dia menyembelih ketika sedang mabuk, karena dia tidak punya niat. Jadi orang yang sedang mabuk tidak termasuk ahli penyembelihan.”

Senin, 26 April 2010

Dalil-dalil Wajibnya Memanjangkan Jenggot dan Memotong Kumis


Biarkan Jenggot Anda Tumbuh

Dalil-Dalil Wajibnya Memelihara Jenggot Dan Memangkas Kumis

Segala puji bagi Allah saja, shalawat dan salam tetap tercurah pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang tidak ada Nabi lagi setelahnya.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya dan juga selain mereka :

Dari Nafi’ dan Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, yaitu banyakkanlah jenggotmu dan pangkaslah kumismu.”

Diriwayatkan juga oleh keduanya dari Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma : “Pangkaslah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian tumbuh.” Dalam suatu riwayat lain : “Cukurlah kumis kalian dan biarkan tumbuh jenggot kalian.”

﴿ ﺍﻟﻠøöﺤóﻰ ﴾ adalah nama rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu.

Berkata Ibnu Hajar :

﴿ ﻭﻓﺮﻭﺍ ﴾ dengan tasydid di fak-nya : ﴿ ﻭóﻓøöﺮõﻭúﺍ ﴾

Berasal dari ﴿ ﺍﻟﺘøﻮúﻓöﻴúﺮõ ﴾ : Yaitu membiarkan, maksudnya biarkanlah banyak.

Dan ﴿ ﺇöﻋúﻔóﺎﺀõ ﺍﻟﻠøöﺤóﻰ ﴾ : Yaitu biarkanlah sebagaimana adanya.

Adapun perintah untuk menyelisihi orang-orang musyrik sebagaimana dijelaskan oleh hadits dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu :

“Sesungguhnya orang musyrik itu, mereka membiarkan kumis mereka tumbuh dan mencukur jenggot mereka. Maka bedakanlah dengan mereka yaitu biarkanlah jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian.” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang hasan)

Dari Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh Muslim :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bedakanlah kalian dengan orang-orang Majusi, karena sesungguhnya mereka (orang-orang Majusi) memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya.”

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu, dia berkata :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menyebutkan tentang orang-orang Majusi. Beliau bersabda : “Sesungguhnya mereka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot maka bedakanlah kalian dengan mereka.” Lalu beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) menampakkan pemotongan kumisnya kepadaku (Ibnu Umar).

Dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Termasuk fitrah Islam, memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh. Sesungguhnya orang-orang Majusi membiarkan kumisnya dan mencukur jenggotnya. Maka bedakanlah dengan mereka, yaitu pangkaslah kumis kalian dan biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”

Di dalam Shahih Muslim dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sesungguhnya beliau bersabda :

“Kami diperintah untuk memangkas kumis dan membiarkan tumbuh jenggot.”

Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Potonglah kumis kalian dan panjangkanlah/biarkanlah jenggot kalian.”

Makna ﴿ ﺟóﺰøõﻭúﺍ ﴾ dan ﴿ ﻗóﺼøõﻮúﺍ ﴾ adalah potonglah.

Dan makna ﴿ ﺃóﺭúﺧõﻮﺍ ﴾ dan ﴿ ﻃóÜﻴøﻠõﻮúﺍ ﴾ adalah panjangkanlah atau diartikan juga, biarkanlah.

Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lafadh ﴿ pangkaslah = ﻗóﺼøõﻮúﺍ ﴾, maka :

Tidak meniadakan ﴿ mencukur = ﺍúﻹöﺣúﻔóﺎﺀõ ﴾.

Karena sesungguhnya riwayat ﴿ ﺍúﻹöﺣúﻔóﺎﺀõ ﴾ ada di dalam Bukhari-Muslim dan sama maksudnya.

Dalam suatu riwayat : “Biarkanlah/banyakkanlah jenggot kalian.”

Maksudnya : “Biarkanlah jenggot kalian penuh.”

Hukum Memotong, Mencabut, Atau Mencukur Jengot

-Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Diharamkan mencukur jenggot.”

-Berkata Al Qurthubi rahimahullah : “Tidak boleh memotong, mencabut, dan mencukurnya.”

-Abu Muhammad Ibnu Hazm menceritakan bahwa menurut ijma’, menggunting kumis dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardlu dengan dalil hadits Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu :

“Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot kalian tumbuh.”

-Dan dengan hadits Zaid bin Arqam secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) :

“Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya maka bukan termasuk golongan kami.” (Dishahihkan oleh At Tirmidzi)

-Dengan dalil yang lain, Tirmidzi berkata di dalam Al Furu’ : “Bentuk kalimat ini menurut shahabat kami (yang sepakat dengan Tirmidzi) menunjukkan keharaman.” Dan berkata pula dalam Al Iqna’ : “Haram mencukur jenggot.”

-Diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Barangsiapa membikin seperti rambut maka tidak ada baginya di sisi Allah bagian.”

Berkata Zamakhsyari : “Maknanya membikin rambut seperti yang asli (rambut palsu, ed.), yaitu dengan mencabutnya atau mencukurnya dari kedua pipi atau merubahnya dengan menghitamkan.”

Berkata pula Zamakhsyari dalam An Nihayah : Yaitu mencukurnya dari kedua pipi dan dikatakan mencabutnya atau merubahnya dengan hitam.

Larangan Dan Bahaya Menyerupai Orang Kafir

Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu, dia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Biarkanlah jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashara.”

-Al Bazzar telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma secara marfu’ : “Janganlah kalian menyerupai orang-orang Ajam, biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”

-Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu dia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Barangsiapa menyerupai dengan suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”

-Dan riwayat Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukanlah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashara.”

-Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Maka bedakanlah diri dengan mereka (yahudi dan nashara)! Adalah perintah yang dikehendaki oleh pembuat syariat (Allah).”

Penyerupaan pada dhahir akan berpengaruh/menimbulkan kasih, cinta, dan kesetiaan dalam batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan berpengaruh/menimbulkan penyerupaan dalam dhahir dan ini adalah masalah yang nyata, baik secara perasaan atau dalam praktik nyata.

Penyerupaan dengan mereka pada perkara yang tidak disyariatkan bisa jadi sampai pada pengharaman atau termasuk dosa dari dosa-dosa besar (Al Kabair) dan terjadinya kekafiran sesuai dengan dalil syar’iyyah.

Sungguh Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma’ telah menunjukkan perintah untuk menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka secara keseluruhan.

Suatu perkara yang diduga sebagai tempat terjadinya kerusakan yang terselubung (dimana hal tersebut) tidak ditegaskan (oleh syar’i) berarti ketetapan hukumnya dikaitkan pada perkara di atas dan dalil tentang pengharamannya telah mengena (tidak terlepas) dari masalah tersebut. Maka menyerupai mereka dalam bentuk dhahir merupakan penyebab penyerupaan dalam akhlak, perbuatan-perbuatan yang tercela, bahkan sampai pada i’tiqad (keyakinan). Sedang pengaruh dari yang demikian itu tidak ditegaskan (oleh syar’i). Dan kerusakan itu sendiri –yang dihasilkan dari sikap penyerupaan– terkadang hal tersebut tidak nampak dan terkadang sulit (untuk dihindari) atau tidak mudah untuk dihilangkan. Maka segala sesuatu yang menyebabkan pada kerusakan (fasaad), pembuat syariat (Allah ‘Azza wa Jalla) mengharamkannya.

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu :

“Barangsiapa yang menyerupai mereka sampai meninggal (mati) dia akan dibangkitkan bersama mereka.”

Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukanlah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashrani. Sesungguhnya cara salamnya orang-orang yahudi dengan isyarat jari-jemari dan cara salamnya orang-orang nashrani dengan telapak tangan.”

Ada tambahan dari sisi Thabrani :

“Janganlah kalian mencukur jambul (rambut yang tumbuh di kepala bagian depan), pangkaslah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot kalian tumbuh.”

Umar radliyallahu ‘anhu memberi syarat (tanda) atas orang-orang kafir dzimmah supaya mencukur rambut yang tumbuh di kepala bagian depan untuk membedakan mereka dengan orang-orang Muslim. Maka barangsiapa mengerjakan yang demikian itu, sungguh telah menyerupai mereka.

Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan :

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang dari Al Qazu’, yaitu mencukur rambut di kepala sebagian dan meninggalkannya sebagian.”

Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu :

“Tentang (mencukur rambut) kepala, cukurlah keseluruhan atau tinggalkanlah.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)

Mencukur rambut pada bagian belakang dari kepala (tengkuk) tidak boleh bagi orang yang tidak mencukur rambutnya keseluruhan dan tidak ada suatu kepentingan dengan mencukurnya itu. Karena yang demikian itu termasuk perbuatan orang-orang majusi. Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.

Telah meriwayatkan Ibnu ‘Assakir dari Umar radliyallahu ‘anhu :

“Mencukur rambut pada bagian belakang kepala (tengkuk) bukan karena berbekam adalah perbuatan majusi.”

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencegah untuk mengikuti hawa nafsu mereka. Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah : 77)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang dhalim.” (QS. Al Baqarah : 145)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Mengikuti mereka pada perkara yang mereka khususkan dari agama mereka. Dan mengikuti agama mereka berarti mengikuti hawa nasfu mereka.”

-Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan bahwasanya salah seorang dari majusi datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dia sungguh telah mencukur jenggotnya dan memanjangkan kumisnya. Maka bertanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada orang tersebut, apa yang menyebabkan berbuat demikian, dia menjawab : “Ini agama kami.” Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (adalah jenggot beliau penuh dari sini sampai sini dan menunjuk tangannya pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) : “Akan tetapi pada agama kami, yaitu memangkas kumis dan membiarkan jenggot tumbuh.”

-Harits bin Abi Usamah telah mengeluarkan dari Yahya bin Katsir, dia berkata : Telah datang seorang laki-laki ‘ajam ke masjid dan sungguh dia telah memanjangkan kumisnya dan menggunting jenggotnya. Maka bersabda (bertanya) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada orang tersebut : “Apa yang membawa kamu (menyuruh kamu) atas ini?” Maka orang tersebut menjawab : “Sesungguhnya rab (raja) saya yang memerintah saya dengan ini.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan agar memanjangkan jenggot dan memangkas kumis saya.”

-Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zaid bin Habib kisahnya dua utusan kisra (kaisar), berkata Zaid bin Habib : Telah masuk dua utusan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan sungguh keduanya telah mencukur jenggot dan memelihara kumisnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memandang dengan benci kepada keduanya dan bersabda : “Celakalah kalian berdua. Siapakah yang menyuruh kalian dengan ini.” Kedua orang tersebut menjawab : “Yang memerintahkan kami adalah rab kami (yaitu kaisar).” aka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Akan tetapi Rabbku memerintahkan untuk memelihara jenggotku dan memotong kumisku.”

Muslim meriwayatkan dari Jarir radliyallahu ‘anhu, ia berkata :

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam banyak rambut jenggotnya.”

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Umar radliyallahu ‘anhu : “(Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) itu tebal jenggotnya.” Dan dalam suatu riwayat : “Banyak jenggotnya.” Dan dalam riwayat lain : “Lebat jenggotnya.”

Dari Anas radliyallahu ‘anhu : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, jenggotnya penuh dari sini sampai sini –menunjuk dengan tangannya pada lebarnya–.”

Sebagian ahli ilmu membolehkan (memberikan keringanan) dalam masalah mengambil (memotong) jenggot yang lebih dari genggaman dengan dasar yang dilakukan oleh Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu . Namun kebanyakan ulama membencinya (mengambil yang lebih dari genggaman). Dan ini sudah jelas dengan (keterangan) yang terdahulu.

Berkata Imam Nawawi rahimahullah : “Yang terpilih yaitu membiarkan atas keadaannya, yakni tidak memendekkan sesuatu dari jenggot secara asal.”

Al Khatib telah mengeluarkan dari Abi Said radliyallahu ‘anhu bahwa : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Janganlah salah satu di antara kalian memotong dari panjang jenggotnya.”

Dalam kitab Ad Darul Mukhtar disebutkan : “Adapun memotong dari jenggot itu bukan menggenggam sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Maghrib dan para banci dari kaum laki-laki, maka tidak seorang pun yang membolehkannya.”

Pada Diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ada Suri Tauladan Yang Baik

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21)

Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya). Dan janganlah kamu menjadi orang-orang (munafik) yang berkata : “Kami mendengarkan.” Padahal mereka tidak mendengarkan.” (QS. Al Anfal : 20-21)

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An Nur : 63)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)

Allah ‘Azza wa Jalla memperindah para laki-laki dengan jenggot. Dan diriwayatkan termasuk tasbihnya para Malaikat :

“Maha Suci (Allah) yang telah menghiasi orang laki-laki dengan jenggot.”

Dikatakan di dalam At Tamhid :

“Haram mencukur jenggot, tidaklah ada yang berbuat demikian (mencukur jenggot) kecuali banci dari (kalangan) laki-laki.”

Imam Nawawi rahimahullah dan yang lain berkata :

• Jenggot adalah perhiasan laki-laki dan merupakan kesempurnaan ciptaan.

• Dengan jenggot, Allah membedakan antara laki-laki dan perempuan dan termasuk tanda-tanda kesempurnaan, maka mencabut pada awal tumbuhnya adalah menyerupai anak laki-laki yang belum tumbuh jenggotnya dan merupakan kemungkaran yang besar.

• Demikian juga mencukur, menggunting, atau menghilangkan dengan obat penghilang rambut termasuk kemungkaran yang paling jelas dan kemaksiatan yang tampak nyata, menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta terjerumus kepada perkara yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarangnya.

Telah berkata dan bersaksi bahwa seorang laki-laki yang mencabut rambut di bawah bibirnya di sisi Umar bin Abdul Aziz maka beliau menolak persaksiannya. Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu dan Ibnu Abi Layla (seorang qadli di Madinah) menolak persaksian semua orang yang mencabut jenggotnya. Berkata Abu Syamah : “Sungguh telah terjadi pada suatu kaum yang mereka itu mencukur jenggotnya dan kejadian ini lebih parah dari apa-apa yang terdapat pada Majusi (yang mereka itu memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya) disebabkan mereka mencukur jenggotnya.”

Ini pada jaman Abu Syamah rahimahullah, bagaimana seandainya jika beliau melihat masa sekarang (dimana) lebih banyak orang yang melakukannya.

Apa yang menimpa mereka? Dilaknati Allah-lah mereka. Maka bagaimana mereka berpaling?

Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan mereka mencontoh Rasul-Nya sementara mereka menyelisihinya dan mereka bermaksiat kepadanya. Mereka mencontoh orang-orang Majusi dan orang-orang kafir. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan mereka agar taat kepada Rasul-Nya dan sungguh telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Peliharalah jenggot.”

Sementara mereka bermaksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mereka bermaksud dengan sengaja mencukur jenggotnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk mencukur kumis, mereka memanjangkannya, mereka melakukan yang sebaliknya. Mereka bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla secara terang-terangan dengan melakukan apa yang tidak tepat pada tempatnya.

Dan yang Allah ‘Azza wa Jalla memperindah dengannya adalah paling mulia dan indahnya sesuatu dari manusia.

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap pekerjaannya yang buruk itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu syaithan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Faathir : 8)

Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada Engkau dari butanya hati, kotornya dosa-dosa, kehinaan dunia, dan siksa akhirat.

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar niscaya mereka pasti berpaling juga sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS. Al Anfal : 22-23)

Dan dalam hal ini cukuplah bagi orang yang mempunyai hati dan mendengarkan serta dia dalam keadaan menyaksikan.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla :

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al Kahfi : 17)

(Dikutip dari terjemah tulisan Abdurrahman Ibn Muhammad ibn Qoshim Al ‘Ashimi, edisi Indonesia Biarkan Jenggot Anda Tumbuh, penerbit Cahaya Tauhid Press, Malang)

Dikutip dari salafy.or.id offline Penulis : Abdurrahman Ibn Muhammad ibn Qoshim Al ‘Ashimi Judul: Barkan Jenggot Anda Tumbuh