do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Kamis, 30 September 2010

Permasalahan Tentang Sholat Ghaib, Sholat yang Jenazahnya Tidak Hadir di Hadapan Kita


Tanya: Assalamu ‘alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh. Beberapa hari yang lalu, selepas sholat Jum’at di masjid dekat rumah saya, tiba-tiba diumumkan bahwasanya ada salah seorang yang meninggal dunia.
Kemudian dilakukan sholat Ghoib. Pertanyaannya, apa dan bagaimana sholat Ghoib itu? Apa syarat-syaratnya? Bagaimana pula hukumnya? Jazakallahu khoiron katsiron.
Jawab:
Wa ‘alaikum salam wa rohmatullahi wa barokatuh. Sebenarnya tidak ada definisi khusus tentangsholat Ghoib, namun agar sudara lebih memahami, maka gambaran sederhananya ialah: kita mensholatkan seseorang yang telah diketahui meninggal dunia di suatu daerah, sedang jenazahnya tidak hadir di hadapan kita / tidak hadir di tempat kita. Kemudian, sholat Ghoib dilakukan sama seperti halnya sholat jenazah biasa.
Asal munculnya istilah sholat Ghoib adalah berdasarkan satu hadits, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mengumumkan kematian raja Najasyi pada harinya kemudian keluar bersama para sahabatnya menuju lapangan lalu membuat shaf dan bertakbir empat kali. (HR Bukhori Muslim dari sahabat Abu Hurairoh).
Adapun mengenai hukumnya, para ahli ilmu berselisih hingga tiga pendapat yang masyhur.
Pertama: bahwa sholat ghoib disyariatkan dan ia adalah sunnah, ini pendapatnya Syafi’i dan Ahmad, berdalil dengan hadits di atas.
Kedua: hukum ini berlaku khusus bagi jenazahnya raja Najasyi, tidak untuk yang lainnya, ini pendapatnya Malik dan Abu Hanifah dengan dalil bahwa peristiwa sholat Ghoib ini tidak pernah ada kecuali pada kejadian meninggalnya raja Najasyi.
Ketiga: mengkompromikan / menjamak antara dalil-dalil, yakni apabila seseorang meninggal dunia di suatu daerah ( negeri dan belum ) tidak ada yang mensholatkannya, maka dilakukan sholat Ghoib, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam atas raja Najasyi karena ia meninggal di lingkungan / tempat orang-orang kafir dan belum disholatkan. Adapun jika telah disholatkan di tempat dia meninggal atau tempat lainnya, maka tidak dilaksanakan sholat Ghoib karena kewajiban untuk mensholatkannya telah gugur dengan sholatnya kaum muslimin atasnya. Ini pendapatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dirajihkan oleh Al Khattabi, serta Abu Dawudmembuat bab tentangnya dalam Sunannya, dikuatkan pula oleh Al Albany dan Muqbil bin Hadi Al Wadi’i semoga Allah merahmati semuanya.
Di antara pendapat-pendapat ini yang kami lihat lebih kuat dan menurut kami lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat yang ketiga. Wal ‘ilmu indallah.
Dikutip dari Salafy.or.id offline Penulis : Ustadz Abu Hamzah Yusuf Judul: Permasalahan tentang Sholat Ghaib (Sholat Jenazah)

Selasa, 28 September 2010

Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu ?


Berikut ini kami akan membawakan beberapa permasalahan yang dianggap sebagai pembatal wudhu padahal tidak demikian, diantaranya.
Tidak Membatalkan Wudhu
Maha Suci Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya sebagaimana Allah telah berfirman dalam Al Qur’an (yang artinya), “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian” (QS Al Maidah:3)
Maka dipahami dari ayat tersebut bahwasanya Islam itu agama yang sempurna, tidak ada perkara yang bisa mendekatkan kepada Allah melainkan sudah ada keterangannya. Dan diantara permasalahan-permasalahan yang telah Allah jelaskan adalah permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pembatal-pembatal wudhu, maka tidak boleh seseorang menetapkan sesuatu hal sebagai pembatal wudhu kecuali harus berdasarkan dengan dalil dari Al Qur’an ataupun As Sunnah.
Berikut ini kami akan membawakan beberapa permasalahan yang dianggap sebagai pembatal wudhu padahal tidak demikian, diantaranya:
1. Al Istihadhah
Berkata Al Imam An Nawawi Rahimahullah , “Al Istihadhah adalah keluarnya darah dari kemaluan wanita bukan pada waktunya (bukan pada waktu menstruasi dan bukan pada saat melahirkan) yang darah tersebut keluar dari urat yang bernama adzil, berbeda dengan haidh, karena haid keluar dari dalam rahim” Lihat Syarh Shahih Muslim (4-16)
Dalam kesempatan yang ringkas ini kita akan membawakan 2 hukum yang berkaitan dengan istihadhah.
Masalah pertama adalah tidak diwajibkannya bagi wanita yang terkena istihadhah untuk mandi setiap hendak shalat, kecuali pada saat berhenti haidnya maka diwajibkan untuk mandi sekali saja. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama bahwa seorang wanita yang terkena istihadhah tidak wajib baginya untuk mandi setiap shalat sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (yang artinya), “Telah berkata Fatimah bintu Abi Ubaisy, “Wahai Rasulullah Aku terkena Istihadhah dan tidak suci darinya apakah aku boleh meninggalkan sholat?” Berkata Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, “Tidak, itu adalah darah yang keluar dari urat (bukan darah dari rahim, darah haidh atau nifas) akan tetapi engkau boleh meninggalkan shalat di hari-hari haidmu kemudian mandilah dan shalatlah (setelah haidmu selesai)” “. Lihat Shahih Al Bukhary (325).
Dan kita lihat bahwasanya Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memerintahkan untuk mandi setiap shalat. Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah, “Pendapat kebanyakan ulama adalah pendapat yang benar, bahwasanya tidak wajib untuk mandi (setiap shalat) kecuali ketika haidnya selesai dikarenakan tidak ada dalil yang shahih (yang mewajibkan harus mandi setiap shalat)“. Lihat Nail Al Authar (jilid 1 hal:261).
Demikian juga telah berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, “Adapun riwayat yang disitu Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk mandi setiap shalat maka periwayatan tersebut telah diingkari oleh ulama’ ahlul hadits“.
Adapun riwayat yang shahih adalah Ummu Habibah binti Jahsy Radhiyallahu ‘Anha sendirilah yang mandi setiap hendak shalat.
Maka telah berkata Al Imam Asy Syafi’i Rahimahullah, “Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam hanya memerintahkan untuk mandi dan sholat dan tidaklah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan padanya untuk mandi setiap sholat“. Demikian juga dinukil perkataan yang sama dari Sufyan Bin Uyainah juga Laits Bin Sa’d. Lihat Fath Al Baari (jilid 1 halaman 535) dan Syarh Shahih Muslim (jilid 4 halaman 18)
Pendapat ini pendapat yang benar, yang diriwayatkan dari Ali Bin Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Urwah Bin Zubair, Abi Salamah, Malik, Abi Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad. Pendapat ini juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi, Al Hafidz Ibnu Hajar, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Alu Asy Syaikh. Lihat Jami’ Ahkam Al Qur’an (jilid 2 no 77), Al Ihkam (No 192), Ainul Ma’bud (Jilid 1 No 333), Subul As Salaam (Jilid 1 no 160).
Tidak juga diwajibkan bagi wanita yang terkena istihadhah untuk wudhu setiap kali hendak sholat, maka bila telah berwudhu boleh baginya untuk untuk sholat dengan wudhu tersebut lebih dari satu kali sholat selama tidak berhadats selain darah istihadhah (semisal buang air besar, jima’, atau buang angin). Adapun darah istihadhah tidak membatalkan wudhu.
Ini adalah pendapat yang lebih kuat daripada yang mewajibkan untuk wudhu setiap kali sholat. Karena tidak ada dalil shahih yang mewajibkan untuk berwudhu setiap kali sholat.
Adapun hadits yang memerintahkan untuk berwudhu setiap kali hendak sholat adalah hadits lemah yangtelah diingkari oleh imam-imam ahli hadits, diantaranya Al Imam Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya, tatkala berkata, “Di periwayatan Hammad Bin Zaid ada tambahan (perintah berwudhu setiap kali sholat) sengaja kami tidak sebutkan“. Syarah Shahih Muslim (4/19). Perkataan Imam Muslim Rahimahullah tersebut merupakan isyarat dari beliau bahwa periwayatan tersebut tidak shahih atau lemah. Hal ini perkara-perkara yang dipahami oleh orang-orang yang memperhatikan kebiasaan Imam Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya.
Mengingat kesempatan yang sedikit mungkin ada baiknya kalau kita bawakan bukti-bukti yang menguatkan hal itu di kesempatan yang lain. Dan hal ini juga dipahami oleh Al Hafidz Ibnu Hajar bahwasanya hadits ini dianggap lemah oleh Al Imam Muslim, walaupun Al Hafidz tidak sependapat dengan Al Imam Muslim dalam hal ini. Lihat Al Fathu AL Baari (1/512)
Demikian juga Al Imam An Nasa’i Rahimahullah mengatakan bahwa periwayatan yang memerintahkan untuk berwudhu setiap hendak sholat tidaklah shahih. Demikian juga Abu Daud dalam Sunan-nya, “Hadits ‘Adi Bin Tsabit dan al A’masy dan Habib dan Ayub Abi Al ‘Ala semuanya lemah tidak shahih”. Kemudian Beliau berkata, “Telah meriwayatkan Ibnu Abi Daud dari Al A’masy marfu’ awalnya kemudian ia ingkari hadits yang mewajibkan wudhu setiap sholat“. Lihat Ainul Ma’bud (1/337)
Kesimpulan: Tidak wajib bagi perempuan yang terkena istihadhah untuk berwudhu setiap kali hendak sholat dan darah istihadhahnya bukanlah pembatal wudhu. Pendapat ini adalah pendapat Imam Rabiah, Imam Malik, Dawud, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang tersebut dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal. 27)
2. Menyentuh Wanita
Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini menjadi lima pendapat sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Imam Qurtubi dalam Jami Li Ahkamil Qur’an (3-199). Akan tetapi bisa dikatakan pendapat yang mahsyur ada 3 pendapat. Lihat Majmu’ Al Fatawa (21-230)
Pendapat pertama: Menyentuh perempuan membatalkan wudhu secara mutlak (terangsang ataupun tidak terangsang) dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Mereka berdalil dengan ayat dalam Al Qur’an (yang artinya), “Atau bila kalian menyentuh perempuan dan kalian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah” (QS An Nisaa’:43). Lihat Nailul Authar (1-213). Ayat tersebut sepintas menunjukkan apabila menyentuh perempuan dapat membatalkan wudhu.
Pendapat kedua: Menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu apabila disertai dengan syahwat. Mereka juga berdalil dengan ayat di atas sebagaimana perkataan Ibnu Al Arabi dalam Ahkamul Qur’an (1-223) sebagaimana yang dinukil oleh Al Imam Al Qurtubi dalam Jami’ Ahkam Al Qur’an (3-200) bahwasanya perkataan Allah “Atau bila kalian menyentuh perempuan” bermaknamenyentuh dan mencium.
Pendapat ketiga: Menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu baik dengan syahwat maupun tidak, selama tidak keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi). Pendapat inilah yang diperkuat oleh Ali, Ibnu Abbas, Atha’, Thawus, Abu Hanifah, Sufyan Ats Tsauriy, dan lainnya. Lihat Ainul Ma’bud (1-2)
Berkata Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir, “Pendapat yang paling benar dalam permasalahan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya yang dikehendaki Allah Ta’ala dari perkataan-Nya, “Atau apabila kalian menyentuh perempuan” maksudnya adalah jima’ (hubungan suami istri -red) bukan yang lain dari makna tersebut karena telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mencium istri kemudian sholat dan tidak mengulangi wudhunya“. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1-516).
Berkata Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah, “Pendapat yang benar adalah menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak kecuali jika keluar dari kemaluannya sesuatu. Dalilnya bahwa telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bahwasanya beliau mencium istrinya kemudian Sholat tanpa mengulangi wudhunya. Selain itu tidaklah sesuatu itu bisa dianggap sebagai pembatal wudhu kecuali ada dalil yang shahih yang menunjukkan dengan jelas bahwa hal tersebut pembatal wudhu, dikarenakan seseorang yang yang telah berwudhu dengan mengikuti dalil syar’i maka tidak ada yang membatalkannya kecuali dengan keterangan dalil syar’i yang lain. Adapun firman Allah Ta’ala, “Atau apabila kalian menyentuh perempuan” maksudnya adalah jima’ (melakukan hubungan suami istri) sebagaiman ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, kemudian yang lebih memperkuat pendapat ini adalah ayat tersebut menjelaskan tentang pembagian (yang serasi) dari ayat Al Qur’an yaitu pembagian bersuci dengan thaharah yang asli (wudhu) dan thaharah pengganti (tayammum) kemudian pembagian yang serasi tentang bersuci dari hadats besar dan sebab-sebab untuk bersuci dari hadats kecil“. Lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (59)
Kesimpulan: Pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan “menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu dengan syahwat ataupun tidak dengan syahwat kecuali kalau keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi)
Hal tersebut dikarenakan tidak adanya dalil yang mengharuskan untuk bersuci setelah menyentuh perempuan. Adapun ayat pada surat An Nisaa’ maknanya adalah “melakukan hubungan suami istri” sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas yang telah didoakan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam agar Allah memberikan kepada Ibnu Abbas pemahaman tentang ilmu tafsir Al Qur’an. Dan diperkuat lagi oleh hadits Shahih Muslim dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya dia berkata, “Aku letakkan tanganku di telapak kaki Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang sedang sholat)
Berkata Imam Asy Syaukani, “Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu“. Lihat Nail Authar (1-25). Pendapat ini juga diambil oleh Syaikhul Islam pada kesempatannya yang terakhir sebagaimana tertera dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (hal: 28)
3. Mimisan
Adapun dua pendapat dikalangan ulama yang mempermasalahkan ini: Ada yang mengatakan “Mimisan merupakan salah satu pembatal wudhu.” Mereka berdalil dengan hadits Aisyah yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah (bab 137 hadits 1222) dan dikeluarkan oleh Al Imam Ad Daruquthni dan Al Imam Ahmad (yang artinya), “Barangsiapa yang muntah atau mimisan atau keluar sisa makanan dari kerongkongan atau madzi maka hendaklah ia berwudhu.”
Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat “mimisan tidak membatalkan wudhu.” Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Malik As Syarif, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnu Al Musayyab, Makhul dan Rabi’ah. Lihat Nail Authar (1/206).
Pendapat yang kedua (mimisan tidak membatalkan wudhu) adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam sebagaimana dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal 28). Selain itu juga dikuatkan oleh Al Imam Asy Syaukani. Beliau berkata, “Tidaklah pantas untuk mengatakan bahwa darah atau muntah sebagai pembatal wudhu kecuali jika ada dalil yang menunjangnya dan memastikan kewajiban (wajib wudhu dari mimisan atau muntah) sebelum mengetahui kebenaran dalilnya, sama sepertu memastikan keharaman sebelum mengetahui kebenaran dalil yang mengharamkan. Semua itu adalah menyandarkan kepada Allah suatu perkataan padahal Allah tidak mengatakannya“. Lihat Nail Al Authar (1-207)
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di, “Pendapat yang benar adalah darah dan muntah dan yang semisalnya (sesuatu yang keluar dari tubuh manusia yang bukan dari kemaluan dan anus) tidak membatalkan wudhu banyak atau sedikit karena tidak ada dalil yang menunjukkan kalau darah atau muntah membatalkan wudhu, dan hukum asal seseorang yang telah bersuci adalah tetap dalam keadaan suci (sampai ada dalil yang mengeluarkan dari kesuciannya)“. Lihat Tawdhih Al Ahkam (1/301).
Berkata Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, “Sesuatu yang keluar dari sealin 2 jalan (kemaluan dan anus) tidaklah membatalkan wudhu sedikit ataupun banyak kecuali kencing atau tinja (atau madzi atau mani) karena hukum asalnya adalah tidaklah sebagai pembatal wudhu. Barangsiapa yang mengeluarkan dari hukum asal maka wajib baginya untuk mendatangkan dalilnya“. Lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57).
Kesimpulan: Pendapat yang benar dalam hal ini adalah yang mengatakan bahwa mimisan bukanlah sebagai pembatal wudhu dikarenakan hukum asal seseorang yang sudah bersuci tetap dalam keadaan kesuciannya selama tidak ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asal tersebut dan dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang kuat untuk mengeluarkan dari hukum asal. Adapun hadits yang dikeluarkan ‘Aisyah bahwa mimisan dan muntah sebagai pembatal wudhu, maka hadits ini adalah hadits yang lemah dikarenakan perawinya yang bernama Ismail bin Ayyas telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, sementara periwayatannya dari selain orang se-negrinya sering salah, lihat At Taqrib (48), ditambah lagi dalam hal ini ia menyelisihi perawi-perawi yang lebih kuat darinya dan mereka meriwayatkannya secara mursal (terputus jalan haditsnya) dan riwayat yang mursal telah dikuatkan oleh Al Imam Muhammad Bin Yahya Ad Dzuhli, Ad Daruquthni dan Abu Hatim. Adapun jalan yang lain, dikeluarkan Ad Daruquthni darinya dari Atha’ bin Ajlan dan Abbad Bin Katsir dari Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Aisyah.
Berkata Al Imam Baihaqi, “Yang benar irsal dan hadits dirafa’kan (disambungkan jalannya) oleh Sulaiman bin Arqam tetapi periwayatannya ditinggalkan oleh ahlul hadits. Selain itu juga ada periwayatan dari Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Adiy dan Ath Thabrani tetapi di jalannya ada Sulaiman Bin Arqam. Kemudian dari shahabat Abi Said dikeluarkan oleh Ad Daruquthni di sanadnya ada Abu Bakr Adz Dzahiri, dia juga ditinggalkan periwayatannya“. Lihat Nail Al Authar (1-206)
4. Muntah
Demikian juga dalam hal ini bahwa pendapat yang benar adalah muntah tidak membatalkan wudhu. Hal ini dikarenakan tidak ada dalil yang kuat yang mengharuskan wudhu dari muntah. Sebagaimana kaidah berulang-ulang kali disebutkan, yaitu “hukum asal seseorang yang telah bersuci maka tidak membatalkan sucinya kecuali perkara-perkara yang datang dengan dalil yang kuat.” Pendapat ini adalah pendapat Al Imam Malik, Imam Asy Syafii, dan lain-lain dan diperkuat oleh Syaikhul Islam, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh As Sa’di, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lain. Lihat Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (28), Nail Al Authar (1-207), Taudhih Ahkam (1/301), Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57).
Adapun hadits Aisyah yang mewajibkan wudhu dari muntah telah dijelaskan kelemahannya.
Sedangkan hadits Abi Darda’, “Bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam muntah kemudian berwudhu” Hadits riwayat Al Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnul Jarud, Ibnu Hibban, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Ath Thabrani, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Berkata Ibnu Mandah, “Isnadnya shahih bersambung akan tetapi ditinggalkan oleh Al Bukhari dan Muslim karena ada perselisihan di jalan haditsnya“.
Berkata At Tirmidzi, “Husein Al Mu’allim telah membaikkan sanadnya dan ini yang paling shahih dalam permasalahan ini. Demikian juga berkata Ahmad dan di situ ada perselisihan yang banyak sebagaimana disebutkan oleh Ath Thabrani dan juga yang lainnya. Berkata Al Baihaqi: Jalan haditsnya mudhthradib (banyak perselisihan) tidak dapat dipakai sebagai hujjah” Talkhis Al Habir (2-190)
Kesimpulannya: Hadits ini tidak bisa dipakai hujjah, kalaupun hadits ini dianggap shahih sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah (hal 111) hadits ini tidak tidak menunjukkan wajibnya wudhu dari muntah akan tetapi hanya mustahab saja (disunnahkan saja), afdhal untuk dilakukan dan tidaklah mengapa jika ditinggalkan karena hanya berupa fiil saja (perbuatan saja). Sebagimana dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah (112) dari Syaikhul Islam di Majmu’al Ar Rasail 1 dan sebagaimana disebutkan oleh Al Imam Asy Syaukani dalam Nail Al Authar (1-205) dan ditekankan juga oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57)
Sumber: Majalah As Salam No IV /1427 H hal 20-24, Dikutip dari: salafy.or.id offline Penulis: Al Ustadz Abdul Bar Kaisinda, Judul Asli: Istihadhah, Menyentuh Wanita, Muntah, dan Mimisan Tidak Membatalkan Wudhu

Senin, 27 September 2010

Hukum Makan Kepiting dan yang Hidup di Dua Alam


Assalamu’alaykum. Ana ingin bertanya apa hukum makan kepiting?
(Abu Harits – taufik.harisxx@gmail.com)
Jawab :
Karena seringnya masalah ini dipertanyakan, maka mungkin ada baiknya jika kami menjawab dengan jawaban yang lebih umum, maka kami katakan:
Hewan air terbagi menjadi 2 :
a. Hewan yang murni hidup di air, yang jika dia keluar darinya, maka dia akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya.
b. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting .
Lihat pembagian ini dalam Tafsir Al-Qurthuby (6/318 ) dan Al-Majmu’ (9/31-32)
Hukum hewan air bentuk yang pertama, menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut”. (Al-Qur’an Surat Al-Ma`idah: 96)
Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:
a. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/195)
b. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9)
[Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu’ (9/32,33), Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195]
Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai seluruhnya adalah halalkecuali kodok. Mereka berdalilkan dengan keumumam ayat dan hadits di atas. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya. Yaitu:
Hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod(1), kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Sisi pendalilannya, bahwa semua hewan yang haram dibunuh maka memakannya pun haram. Karena tidak mungkin seekor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. Lihat Al-Majmu’ (9/32-33)
Wallahu A’lam bis Showab.
1. Shurod adalah sejenis burung yang hidup di jazirah arab
Diambil dari http://almakassari.com/?p=75. Oleh : Al-Ustadz Hammad Abu Mu’awiyyah, Judul Asli : Hukum Makan Kepiting dan yang Hidup di Dua Alam

Minggu, 26 September 2010

Hal Pertama yang Dilakukan Saat Kelahiran Bayi


Sunnahnya Tahnik
Pengertian tahnik secara bahasa dan syr’i adalah mengunyah sesuatu dan meletakkanya di mulut bayi. Maka dikatakan engkau mentahnik bayi, jika engkau mengunyah kurma kemudian menggosokkannya di langit-langit mulut bayi..
Dianjurkan agar yang melakukan tahnik adalah orang yang memiliki keutamaan, dikenal sebagai orang yang baik dan berilmu. Dan hendaklah ia mendo’akan kebaikan (barakah) bagi bayi tersebut.
Dalil tentang tahnik ini disebutkan dalam beberapa hadits di antaranya:
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Lahir seorang anakku maka aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau memberinya nama Ibrahim. Beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo’akan barakah untuknya. Kemudian beliau menyerahkan bayi itu kepadaku.” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5467 Fathul Bari) Muslim (2145 Nawawi), Ahmad (4/399), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/305) dan Asy-Syu’ab karya beliau (8621, 8622)]
Dari Asma binti Abi Bakar Ash-Shiddiq ketika ia sedang mengandung Abdullah bin Az-Zubair di Makkah, ia berkata, “Aku keluar dalam keadaan hamil menuju kota Madinah. Dalam perjalanan aku singggah di Quba dan di sana aku melahirkan. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan anakku di pangkuan beliau. Beliau meminta kurma lalu mengunyahnya dan meludahkannya ke mulut bayi itu, maka yang pertama kali masuk ke kerongkongannya adalah ludah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo’akan barakah baginya. Lalu Allah memberikan barakah kepadanya (bayi tersebut).” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5469 Fathul Bari), Muslim (2146, 2148 Nawawi), Ahmad (6247) dan At-Tirmidzi (3826)]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Aku pergi membawa Abdullah bin Abi Thalhah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia baru dilahirkan. Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang mencat seekor untanya dengan ter. Beliau bersabda kepadaku “Adakah kurma bersamamu?”. Aku jawab, “Ya (ada)”. Beliau lalu mengambil bebeberapa kurma dan memasukkannya ke dalam mulut beliau, lalu mengunyahnya sampai lumat. Kemudian beliau mentahniknya, maka bayi itu membuka mulutnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memasukkan kurma yang masih tersisa di mulut beliau ke maulut bayi tersebut, maka mulailah bayi itu menggerak-gerakan ujung lidahnya (merasakan kurma tersebut). Melihat hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kesukaan orang Anshar adalah kurma”. Lalu beliau menamakannya Abdullah.” [Dikeluarkan oleh Al-bukhari (5470 Fathul Bari), Muslim (2144 Nawawi), Abu Daud (4951), Ahmad (3/105-106) dan lafadh ini menurut riwayat Ahmad dan diriwayatkan juga oleh Al-baihaqi dalam Asy-Syu’ab (8631)]
Hadits-hadits di atas kiranya cukup untuk menerangkan sunnahnya tahnik ini dan kiranya cukup untuk menghasung kita bersegera melaksanakannya.
Berkata Imam Nawawi dalam Syarhu Muslim (14/372): “Dalam hadits-hadits ini ada faidah, di antaranya: Dianjurkan mentahnik anak yang baru lahir, dan ini merupakan sunnah dengan ijma’. Hendaknya yang mentahnik adalah orang yang shalih dari kalangan laki-laki atau wanita. Tahnik dilakukan dengan kurma dan ini mustahab, namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma maka telah terjadi perbuatan tahnik, akan tetapi tahnik dengan kurma lebih utama. Faidah lain diantaranya menyerahkan pemberian nama untuk anak kepada orang yang shalih, maka ia memilihkan untuk si anak nama yang ia senangi.” [Dinukil dengan sedikit perubahan]
Akan tetapi tidak ada diriwayatkan dari sunnah kecuali tahnik denan kurma sebagaimana telah lewat penyebutannya tentang tahnik Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Az-Zubair dan Abdullah bin Abu Thalhah, maka tidak pantas mengambil yang lain.
Hikmah Tahnik
Ulama telah berbicara tantang hikmah yang terkandung dalam tahnik dan ada beberapa pendapat yang mereka sebutkan dan mereka berselisih (berbeda pendapat tentang hikmahnya). Namun tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki sandaran dalil syar’i.
Berkata Imam Al-Aini dalam Umdatul Qari: “Bila engkau bertanya apa hikmah tahnik? Aku jawab: Berkata sebagian mereka: Tahnik dilakukan sebagai latihan makan bagi bayi hingga ia kuat. Sungguh aneh ucapan ini dan betapa lemahnya … dimana letaknya waktu makan bagi bayi dibanding waktu tahnik yang dilakukan ketika anak baru dilahirkan, sedangkan secara umum anak baru dapat makan- makanan setelah berusia kurang lebih dua tahun.
Sebenarnya hikmah tahnik adalah untuk pengharapan kebaikan bagi si anak dengan keimanan, karena kurma adalah buah dari pohon yang disamakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seorang mukmin dan juga karena manisnya. Lebih-lebih bila yang mentahnik itu seorang yang memiliki keutamaan, ulama dan orang shalih, karena ia memasukkan air ludahnya ke dalam kerongkongan bayi.
Tidaklah engkau lihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mentahnik Abdullah bin Az-Zubair, dengan barakah air ludah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abdullah telah menghimpun keutamaan dan kesempurnaan yang tidak dapat digambarkan. Dia seorang pembaca Al-Qur’an, orang yang menjaga kemuliaan diri dalam Islam dan terdepan dalam kebaikan. [Umdatul Qari bi Syarhi Shahih Al- Bukhari (21/84) oleh Al-Aini]
Kami katakan: Ini adalah ludahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adapun selain beliau maka tidak boleh bertabarruk dengan air ludahnya.
Ilmu kedokteran telah menetapkan faedah yang besar dari tahnik ini, yaitu memindahkan sebagian mikroba dalam usus untuk membantu pencernaan makanan. Namun sama saja, apakah yang disebutkan oleh ilmu kedokteran ini benar atau tidak benar, yang jelas tahnik adalah sunnah mustahab yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah pegangan kita bukan yang lainnya dan tidak ada nash yang menerangkan hikmahnya. Maka Allah lah yang lebih tahu hikmahnya.
Sumber: chm sunniy dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin Rasyid Asy- Syubli Abu Zur’ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain, Penerbit Pustaka Al-Haura.Judul: Hari Pertama dari Kelahiran Bayi.

Sabtu, 25 September 2010

Potret Ummat di Akhir Zaman


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُُرُ الْهَرْجُ
Zaman akan saling mendekat, diangkatnya ilmu, munculnya berbagai fitnah, diletakkan kerakusan, dan banyaknya peperangan”. (HR. Al-Bukhoriy no.989 dan Muslim no.157)
Di akhir zaman, seperti zaman kita ini, sebelum datangnya hari kiamat akan ada hari-hari yang di dalamnya turun dan tersebar kejahilan yang disebabkan oleh malasnya manusia dan enggannya mereka dari menuntut ilmu agama, yaitu ilmu tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لَأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيْهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ الْعِلْمُ
Sesungguhnya di depan hari kiamat ada hari-hari yang kejahilan diturunkan di dalamnya, dan ilmu diangkat”. [HR. Al-Bukhoriy (6654)]
Banyak diantara agama, dan sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang dilalaikan orang pada hari ini sehingga terkadang menjadi sesuatu yang mahjur (ditinggalkan).
Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau bersabda dalam sebuah hadits,
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang asing“. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Iman (232)]
Semua ini disebabkan karena kurangnya perhatian kaum muslimin terhadap agamanya dan sunnah Rasul-Nya-shollallahu alaihi wasallam-. Kurangnya perhatian mereka menuntut ilmu syar’i karena kesibukan duniawi yang memalingkan mereka. Sementara mereka tak ada perhatian lagi dengan majelis ilmu dan majelis ta’lim. Akibatnya, agama dan Sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- terasa asing dan aneh di sisi mereka.
Memang mereka terkadang mendatangi majelis ta’lim. Namun jika mereka hadir, nampak pada wajah mereka lelah dan keterpaksaan ikut majelis ta’lim. Yah, hanya sekedar hadir agar orang tidak mencelanya. Maka anda akan lihat orang semacam ini jika hadir di majelis ta’lim, ada yang ngantuk , bahkan tidur. Ada yang bersandar di tembok, jauh dari ustadz. Ada yang sengaja duduk di belakang untuk sembunyi; jika ngantuk dan tertidur, ia bisa sembunyikan wajahnya di balik punggung kawannya. Ada yang cerita dengan temannya sehingga mengganggu ceramah ustadz. Ada yang melayang pikirannya sampai Amerika. Inilah kondisi mereka sehingga tak heran jika mereka tetap jahil terhadap agamanya.
Jika mendengar cerita yang menguntungkan dunianya, maka matanya terbelalak. Betul dunia adalah nikmat yang Allah berikan. Namun jangan dijadikan tujuan hidup dan pusat perhatian. Dunia diambil sekedar bekal menuju Allah Ta’ala. Allah tidak memberikan nikmat kepada seorang hamba-Nya, kecuali nikmat itu hanya sekedar alat dan sarana yang dipakai untuk beribadah dan beramal sholeh. Dunia dengan segala nikmatnya bukanlah merupakan tujuan dan terminal terakhir bagi seorang muslim. Akan tetapi merupakan tempat persinggahan mengambil bekal menuju perjalanan akhir, yaitu akhirat.
Fenomena berlombanya kaum muslimin memperbanyak harta benda dan fasilitas duniawi sehingga membuat mereka lupa terhadap agamanya merupakan sebab tersebarnya kejahilan. Jika semakin hari, semakin tersebar kejahilan, maka ketahuilah bahwa ini adalah salah satu diantara ciri dan tanda dekatnya hari kiamat.
Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ : أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَ يُثْبَتَ الْجَهْلُ
Diantara tanda-tanda kiamat: Diangkatnya ilmu, dan kokohnya (banyaknya) kejahilan”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (80), dan Muslim dalam Shohih-nya (2671)]
Di akhir zaman, seperti zaman kita ini, sebelum datangnya hari kiamat akan ada hari-hari yang di dalamnya turun dan tersebar kejahilan yang disebabkan oleh malasnya manusia dan enggannya mereka dari menuntut ilmu agama, yaitu ilmu tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لَأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيْهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ الْعِلْمُ
Sesungguhnya di depan hari kiamat ada hari-hari yang kejahilan diturunkan di dalamnya, dan ilmu diangkat”. [HR. Al-Bukhoriy (6654)]
Di tengah kabut kejahilan menyelimuti manusia, tersebarlah berbagai macam maksiat berupa pembunuhan, pencurian, perzinaan, dan kerakusan terhadap harta. Ini semua diakibatkan oleh hilangnya ilmu agama yang bermanfaat di tengah manusia. Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda dalam riwayat lain ketika menyebutkan tanda dekatnya hari kiamat,
يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُُرُ الْهَرْجُ
Zaman akan saling mendekat, diangkatnya ilmu, munculnya berbagai fitnah (masalah), diletakkan kerakusan, dan banyaknya peperangan”. [HR. Al-Bukhoriy (989) dan Muslim (157)]
Al-Imam Ibnu Baththol –rahimahullah- berkata , “Semua yang dikandung oleh hadits ini berupa tanda-tanda kiamat sungguh kami telah melihatnya dengan mata kepala. Ilmu sungguh telah diangkat, kejahilan muncul, diletak kannya penyakit rakus dalam hati, fitnah (musibah) merata, dan pembunuhan banyak”. [Lihat Fath Al-Bari (13/16)]
Ini di zamannya Ibnu Baththol rahimahullah-, maka bagaimana lagi di zaman kita ini kejahilan merata dimana-mana, baik di kota maupun di pedalaman. Kejahilan di negeri kita bukan hanya mengenai rakyat jelata yang tak berpendidikan agama, bahkan juga mengenai kaum terpelajar. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi-shollallahu alaihi wasallam-,
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُسًا جُهَّالًا فُسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan sekali mencabutnya dari manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’ sehingga apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama’pun, maka manusiapun mengangkat pemimpin-pemimpin yang jahil. Mereka (para pemimpin tsb) ditanyai, lalu merekapun memberikan fatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (manusia)” .[HR.Al-Bukhory dalam Kitab Al-Ilm (100), dan Muslim dalam Kitab Al-Ilm (2673)]
Al-Imam Abu Zakariya An-Nawawiy-rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadits di atas, “Hadits ini menjelaskan maksud tercabutnya ilmu dalam hadits-hadits lalu yang muthlak (umum), bukan menghapusnya dari dada para penghafal (pemilik) ilmu itu. Akan tetapi maknanya, para pembawa ilmu itu (yakni para ulama) akan mati. Lalu manusia mengangkat orang-orang jahil (sebagai pemimpin dalam agama). Orang-orang jahil itu memutuskan perkara berdasarkan kejahilan-kejahilannya. Lantaran itu ia sesat, dan menyesatkan orang“. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim ibn Al-Hajjaj (16/224), cet. Dar Ihya’ At-Turots Al-Arabiy]
Alangkah banyaknya pemimpin dan ustadz-ustadz seperti ini. Mereka diangkat oleh manusia sebagai seorang ulama’ dan ustadz. Padahal ia tidaklah pantas dijadikan panutan, karena ia jahil. Kalaupun ia berilmu, namun ilmu itu di buang di belakang punggungnya. Manusia jenis ini banyak bermunculan bagaikan jamur di musim hujan.
Coba lihat disana, manusia mengangkat seorang pelawak sebagai “da’i sejuta ummat”. Padahal bisanya cuma tertawa dan menggelitik para pendengar.
Dari arah lain, muncul para normal yang dulunya dijauhi oleh manusia, karena dikenal memiliki sihir. Sesaat kemudian berubah menjadi “da’i sejuta ummat”, karena sekedar pernah memimpin dzikir jama’ah yang dihadiri oleh sebagian kiyai jahil dan orang-orang yang memiliki kedudukan. Dulunya tukang sihir dan dukun (para normal), kini menjadi ustadz, bahkan terakhir bergelar “KH”.
Artis pun tak ketinggalan ambil job dalam kancah dakwah dengan bermodalkan semangat kemampuan tampil di depan publik dan wajah ganteng sebagai modal dengkul untuk menarik ummat menuju ke neraka. Bagaimana tidak, sebab seorang yang berdakwah tanpa ilmu akan mengantarkan dirinya berbicara tanpa batas, sehingga terkadang ia telah merusak dan menghancurkan agama pendengarnya, namun ia tak sadar karena memandang dirinya lebih pandai dari pendengar. Padahal ia jahil atau mungkin lebih jahil dari pendengar. Nas’alullahal afiyah wassalamah minal fitan.
Lebih para lagi, jika dakwah yang ditangani oleh orang-orang jahil dihiasi dengan perkara-perkara yang melanggar syari’at, seperti dakwah dihiasi dengan musik dengan istilah “Nada dan Dakwah“. Ini adalah cara dakwah yang keliru, karena menyalahi tuntunan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Dengarkan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam mengharamkan musik,
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنِ الْحِرَّ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Sesungguhnya akan ada beberapa kaum dari ummatku akan menghalalkan zina, kain sutra, minuman keras (khomer), dan musik“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Asyribah (5590)]
Muhaddits Negeri Syam Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy –rahimahullah- berkata dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Thorb (hal 105), “Sesungguhnya para ulama dan fuqoha –diantaranya empat imam madzhab- sepakat mengharamkan alat-alat musik karena berteladan dengan hadits-hadits Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam dan atsar-atsar Salaf ”.
Jadi, berdakwah dengan musik merupakan perkara kejahilan dan kebatilan yang menyalahi tuntunan Allah -Ta’ala-, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para ulama’ kaum msulimin dari dulu sampai hari ini. Oleh karena itu, kita sesalkan adanya sebagian orang-orang jahil atau pura-pura jahil yang menyemarakkan program “Nada dan Dakwah” yang jelas dan nyata menyelihi agama !! Ini lebih diperparah lagi dengan bantuan “Guru Besar” alias televisi dalam menyemarakkannya demi meraih keuntungan duniawi yang semu, dan memperturutkan hawa nafsu.
Realita ummat yang demikian ini membuat dahi berkerut dan kepala sakit karena banyaknya dan bertambahnya “PR” yang perlu diselesaikan oleh para dai kebenaran. Dengan realita kejahilan ummat seperti ini, tak pelak jika banyak menimbulkan masalah. Tak heran jika terkadang ada sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang ingin diamalkan di zaman ini, mereka serta merta merasakannya sebagai suatu yang asing, menolaknya, menganggapnya bukan dari Islam!! Bahkan memusihi dan menyakiti sebagian hamba-hamba Allah -Ta’ala- yang mengamalkannya.
Jika kejahilan tentang agama merata di tubuh ummat, maka akan tersebar berbagai macam pelanggaran, syirik, kekafiran, bid’ah, dan maksiat, baik yang nampak, maupun yang tersemunyi. Inilah awal kehinaan yang akan menimpa ummat Islam yang dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam.
Jika ummat Islam sibuk dengan dunia, sibuk dengan peternakan, pertanian, perdagangan apalagi riba sehingga lupa mempelajari agamanya dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka Allah akan timpakan kehinaan atas mereka. Inilah kehinaan yang tak mungkin akan tercabut dari tubuh ummat kecuali mereka mau kembali kepada agamanya dengan ilmu agama yang benar, dan berguna.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
Jika kalian berjual-beli dengan cara ‘inah (salah satu bentuk riba), kalian memegang ekor-ekor sapi, ridho dengan bercocok tanam, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang tak akan dicabut oleh Allah sampai kalian kembali kepada agama kalian“. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (3462). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Muhaddits Al-Atsariy Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (11)]
Kesibukan dengan dunia menyebabkan kita akan semakin cinta kepadanya, dan takut mati untuk menghadap Allah Ta’ala- .Seakan-akan kita mengharapkan diri dan harta benda yang melalaikan kita agar kekal di dunia, tanpa menghadapi hisab.
Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
يُوْشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ ؟ قَالَ : بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدَوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ الْوَهْنَ ” فَقَالَ قَائِلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْوَهْنُ ؟ قَالَ : حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Hampir saja ummat-ummat saling memanggil (menyerang) menuju kalian sebagaimana orang-orang yang mau makan saling memanggil kepada nampannya”. Ada yang bertanya, “Apakah karena kita sedikit saat itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian saat itu banyak, tapi kalian buih laksana buih ombak. Allah benar-benar akan mencabut perasaan segan terhadap kalian dari dada musuh kalian; Allah akan mencampakkan kelemahan dalam hati kalian”. Ada yang bertanya, “Apa kelemahan itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia, dan takut mati“.[HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Malahim (4297). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (958)]
Dikutip dari http://almakassari.com/?p=261 Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah, Judul: Potret Ummat di Akhir Zaman

Jumat, 24 September 2010

Janganlah Mencela Makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala


Ucapan terkadang ringan dimulut, seakan-akan angin yang berhembus tanpa ada yang menghalanginya, sehingga ada sebagian orang yang membuat hamba Allah tersakiti, dan murka, bahkan “menyakiti” Allah ketika mencela makhluk-Nya. Sebab, mencela makhluk sama dengan mencela Allah. Karenanya, Allah Ta’ala- mengajarkan kepada kita melalui lisan Nabi-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam- cara menjaga lisan dari “hobi mencela“, karena ini akan mendatangkan dosa .
1. Jangan Mencela Masa (Waktu)
Masa adalah salahsatu makhluk ciptaan Allah -Ta’ala-. Seorang ketika mencela makhluk ibaratnya mencela Pembuat, dan Penciptanya. Si pencela ini seakan tak menghormati, dan menghargai si Pencipta; seakan makhluk yang dicelanya, tak ada gunanya. Padahal Allah menciptakannya berdasarkan hikmah yang amat tinggi.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang kita mencela masa dalam sabdanya,
لَا تَسُبُّوْا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ
Janganlah kamu mencela masa, karena Allah adalah masa!” [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2246), dan Ahmad dalam Al-Musnad (9126)]
Mencela masa dan mengembalikan kesialan kepada masa berarti menyakiti Allah -Ta’ala- . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ يَقُوْلُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ فَلَا يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ فَإِنِّيْ أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ
Allah Azza wa Jalla berfirman: ” Anak adam manyakiti-Ku; anak Adam berkata, “Wah, Celaka karena masa”. Janganlah seorang diantara kalian berkata, “Wah, Celaka karena masa“, karena Aku dalah masa, Aku membolak-balikkan malam dan siang“. [HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (4826), Muslim dalam Shohih-nya (2246)].
Imam Al-Baghowiy-rahimahullah- berkata, “Sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, ” janganlah seseorang mangatakan : “Wah, celaka karena masa!”, maknanya bahwa diantara kebiasaan orang Arab adalah mencela masa, yaitu pada waktu kejadian-kejadian (musibah), karena menisbatkan musibah-musibah dan perkara-perkara yang tidak disukai kepada masa. Mereka biasa mengatakan (tentang orang yang tertimpa musibah), “Masa-masa sial telah menimpa mereka; mereka telah dibinasakan oleh masa“. Allah -Subhanahu wa -Ta’ala-’ telah menyebutkan tentang mereka di dalam kitab-Nya seraya berfirman,
وَقَالُوْا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدَّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ
Mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja; kita mati dan kita hidup. Tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa“. ((QS.Al-Jatsiyah :24 ).
Jika mereka menisbatkan kesusahan yang menimpa mereka kepada masa, berarti mereka mencela pelaku yang membuat kesusahan-kesusahan itu, sehingga celaan mereka tertuju kepada Allah -Ta’ala, karena Dia adalah Pelaku sebenarnya terhadap perkara-perkara yang mereka nisbatkan kepada masa. Oleh karena inilah, mereka dilarang mencela masa”. [Lihat Syarhus Sunnah 12/357, cet. Al-Maktab Al-Islamiy, dengan tahqiq Syu’aib Al-Arna’uth1398 H]
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata, “Pencela masa akan berkisar dalam dua perkara; ia harus terkena oleh salahsatunya: entah ia mencela Allah, ataukah ia musyrik (memperserikatkan Allah), karena jika ia meyakini bahwa masa adalah pelaku bersama Allah, maka ia adalah musyrik. Jika ia meyakini bahwa Allah saja yang melakukan hal itu, sedang ia mencela yang melakukannya, maka sungguh ia telah mencela Allah“. [Lihat Zaadul Ma’ad (2/323), dengan tahqiq Al-Arna’uth, cet. Mu’assasah Ar-Risalah, 1407 H]
Faedah:
Jangan dipahami dari hadits ini bahwa Allah adalah masa, sebab masa adalah makhluk. Abu Sulaiman Al-Khoththobiy-rahimahullah- berkata ketika me-syarah hadits di atas, “Maknanya: Aku adalah pemilik masa, dan pengatur segala urusan yang kalian nisbahkan kepada masa. Barangsiapa yang mencela masa, karena dia adalah pelaku bagi urusan-urusan ini, maka celaannya kembali kepada-Ku, karena Aku adalah Pelakunya. Masa itu hanyalah waktu dan zaman yang aku jadikan sebagai wadah waktu terjadinya urusan-urusan“. [Lihat Al-Qowa’id Al-Mutsla (hal.27), dengan Ta’liq Asyrof bin Abdil Maqshud, cet. Adhwa’ As-Salaf ]
2.Jangan Mencela Demam
Jika orang diuji dengan penyakit, seringkali dia tidak bersabar, bahkan berkeluh kesah atau mencela penyakit yang dia derita. Padahal semua yang dialami seorang mukmin itu baik baginya. Jika dia menyikapinya seperti yang dituntunkan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, ini akan membersihkan seorang mukmin dari dosa-dosanya.
Jabir bin abdullah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أُمِّ السَّائِبِ أَوْ أُمِّ الْمُسَيَّبِ فَقَالَ مَالَكِ ؟ يَا أُمَّ السَّائِبِ أَوْ يَا أُمَّ الْمُسَيَّبِ تُزَفْزِفِيْنَ ؟ قَالَتْ الْحُمَّى لَا بَارَكَ اللهُ فِيْهَا فَقَالَ لَا تَسُبِّيْ الْحُمَّى فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِيْ آدَمَ كَمَا يُذْهِبُ الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menemui Ummu Saib atau Ummu Musayyab, lalu beliau bersabda: “kenapa engkau wahai ummu saib”, atau ” Wahai Ummul Musayyab engkau gemetar”. Dia menjawab: “Demam, semoga Allah tidak memberkahinya”. Maka beliau bersabda: “janganlah engkau mencela demam, sesungguhnya demam itu akan menghilangkan dosa-dosa anak Adam sebagaiman tungku api pandai besi membersihkan kotoran besi“. [HR.Muslim (2575)]
Beginilah terapi Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam mengobati hati dan lisan seseorang sehingga seorang mukmin bersih dari segala perkara yang merusak citra dirinya di hadapan Allah dan para hamba-hamba-Nya. Inilah keistimewaan Islam; ia mengajarkan akhlaq yang mulia dalam segala perkara.
3.Jangan Mencela Binatang
Binatang –walaupun rendah dalam pandangan kita- juga tak boleh dicela, karena ia adalah nikmat ciptaan Allah yang membantu, dan memudahkan urusan dunia, dan akhirat kita.
Abu Barzah Al-Aslamiy -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
بَيْنَمَا جَارِيَةٌ عَلَى نَاقَةٍ عَلَيْهَا بَعْضُ مَتَاعِ الْقَوْمِ إِذْ بَصُرَتْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَضَايَقَ بِهِمْ الْجَبَلُ فَقَالَتْ حَلْ اللَّهُمَّ الْعَنْهَا قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُصَاحِبُنَا نَاقَةٌ عَلَيْهَا لَعْنَةٌ
ketika seorang budak wanita berada diatas seekor onta tunggangan, dan di atas onta itu terdapat barang milik orang-orang lain. Ketika onta itu melihat nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sedangkan (jalan) gunung menjadi sempit dengan mereka. Maka budak wanita itu berkata: “yak cepatlah hai onta, wahai Allah laknatlah onta ini! ” maka Nabi bersabda: “onta yang dilakanat itu tidak boleh menemani kami. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2596)].
Syaikh Husain Al-Awayisyah-hafizhahullah- berkata, “Alangkah agung dan indahnya agama ini, yang melarang celaan terhadap binatang. Sebuah agama yang berusaha membersihkan hati; agama yang berusaha membersihkan lidah. Sesungguhnya manusia yang terbiasa mencela binatang, akan mudah baginya mencela manusia. Sesungguhnya manusia yang terbiasa menjaga lidahnya dari mencela binatang, akan mudah baginya menjaga lidahnya di dalam segala yang diridhoi oleh Allah -Ta’ala-, InsyaAllah“. [Lihat Hasho’id Al-Alsun (hal.157), cet. Darul Hijrah].
4.Jangan Mencela Ayam Jantan
Mungkin ada diantara kita tak pernah berpikir kalau ayam yang kita lihat sehari-hari, ternyata ia memiliki keutamaan membantu manusia dalam beribadah, karenanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memuji ayam jantan, dan melarang kita mencelanya. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda melarang kita mencela ayam jantan, karena ayam jantan itu berkokok untuk membangunkan manusia agar beribadah kepada penciptanya,
لَا تَسُبُّوْا الدِّيْكَ فّإِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلَاةِ
Janganlah kamu mencela ayam, karena ayam jantan itu membangunkan (orang) untuk shalat“. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya(5101). Di-shohih-kan oleh syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Misykah Al-Mashobih (4136)].
Husain bin Al-Hasan Al-Hulaimiy-rahimahullah- berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diambil suatu faedah darinya, tak pantas untuk dicela, dan direndahkan, bahkan haknya untuk dimuliakan, dan disyukuri; dihadapai (dipergauli) dengan baik“. [Lihat Faidhul Qodir Syarh Al-Jami’ Ash-Shoghir (1/1327/no.9786) karya Abdur Ra’uf Al-Munawiy]
Adapun kebiasaan sebagian orang yang suka menghina ayam jantan, bahwa itu hanyalah binatang, maka ini merupakan perbuatan sia-sia, dan tolol. Justru perbuatannya tersebut yang pantas dicela. Lebih konyol lagi, jika ayam jantan ini tidak sekedar dihina, tapi disakiti tubuhnya ketika atraksi judi “Sabung Ayam” !!
6.Jangan Mencela Angin
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- juga melarang mencela angin, karena sesungguhnya angin itu berhembus dengan perintah Penciptanya, bukan atas kemauannya sendiri, maka mencela angin berarti mencela Allah -Ta’ala- . Tapi hendaknya seseorang jika melihat hembusan angin yang menakutkannya hendaklah dia berdo’a dengan do’a yang dituntunkan oleh nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana hadits berikut ini:
لَا ت َ سُبُّوْا الرِّيْحَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مَا تَكْرَهُوْنَ فَقُوْلُوْا اللَهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيْحِ وَخَيْرِ مَا فِيْهَا وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ بِهِ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيْحِ وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ
” Janganlah kamu mencela angin! Jika kamu melihat apa yang kamu tidak suka dari angin itu maka berkatalah: wahai Allah, kami mohon kepadamu kebaikan angin ini, dan berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, dan dari keburukan yang ada pada angin ini, dan dari keburukan yang angin ini dikirim“. [HR. At-Tirmidzy dalam Sunan-nya(2252), Ahmad dalam Al-Musnad (5/123/no.21176)Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2756)].
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alusy Syaikh-rahimahullah- berkata, “Angin itu berhembus dengan penciptaan Allah -Ta’ala-’ dan perintah-Nya, karena Allah yang menciptakannya dan memerintahkannya. Maka mencelanya berarti mencela Pelakunya, yaitu Allah -Ta’ala-, sebagaimana telah berlalu tentang larangan mencela masa, dan ini menyerupainya. Tak ada yang melakukannya, kecuali orang yang bodoh terhadap Allah dan agama-Nya,dan terhadap perkara yang Dia syariatkan kepada hamba-hamba-Nya. Jadi, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang orang-orang yang beriman dari perkara yang dikatakan oleh orang-orang yang bodoh dan kasar. Beliau membimbing mereka kepada perkara yang disukai untuk dikatakan pada saat angin berhembus, yaitu beliau bersabda, ” Jika kamu melihat apa yang kamu tidak sukai dari angin itu maka katakanlah, “Ya Allah, kami mohon kepada-Mu dari kebaikan angin ini, dan dari kebaikan yang ada pada angin ini, dan dari kebaikan yang angin ini dikirim. Kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, dan dari keburukan yang ada pada angin ini, dan dari keburukan yang angin ini dikirim”. Di dalam do’a ini terdapat peribadahan kepada Allah, ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan menolak keburukan-keburukan; menyebut karunia dan nikmat Allah. Inilah keadaan orang-orang yang bertauhid dan beriman. Berbeda dengan keadaan orang-orang yang fasik dan penuh dengan maksiat, orang-orang yang dihalangi dari mencicipi rasa tauhid yang merupakan hakikat iman“. (Lihat Fathul Majid Syarh Kitab Tauhid (hal. 559), cet. Dar Alam Al-Kutub, 1417 H)
Dikutip dari : http://www.almakasari.com, Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah, Judul:Mencela Makhluk, Mencela Allah