do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Sabtu, 31 Maret 2012

Meninggalkan Sunnah Menyebabkan Hilangnya Agama


56. Abdullah bin Ad Dailamy berkata :
Sesungguhnya sebab pertama hilangnya agama ini adalah meninggalkan As Sunnah. Agama ini akan hilang sunnah demi sunnah sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas.” (Al Lalikai 1/93 nomor 127, Ad Darimy 1/58 nomor 97, dan Ibnu Wadldlah dalam Al Bida’ 73)
57. Ia juga berkata, saya mendengar Amru berkata :
Tidaklah dilakukan suatu bid’ah melainkan akan bertambah cepat berkembangnya dan tidaklah ditinggalkan As Sunnah kecuali bertambah cepat hilangnya.” (Al Lalikai 1/93 nomor 128 dan Ibnu Wadldlah 73)
58. Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu ia berkata :
Ketahuilah hendaknya jangan satupun dari kalian bertaqlid kepada siapapun dalam perkara agamamu sehingga (bila) ia beriman ikut beriman bila ia kafir ikut pula menjadi kafir. Maka jika kamu tetap ingin berteladan maka ambillah contoh dari yang telah mati sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah.” (Al Lalikai 1/93 nomor 130 dan Al Haitsamy dalam Al Majma’ 1/180)
59. Al Auza’i menyebutkan dari Hassan bin Athiyyah, ia berkata :
“Tidaklah suatu kaum berbuat satu bid’ah dalam Dien mereka melainkan Allah cabut dari mereka satu Sunnah yang semisalnya dan tidak akan kembali kepada mereka sampai hari kiamat.” (Ad Darimy 1/58 nomor 98)
60. Dari Yunus bin Zaid dari Az Zuhri ia berkata :
Ulama kami yang terdahulu selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As Sunnah itu adalah keselamatan dan ilmu akan tercabut dengan segera maka tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedang dengan hilangnya ilmu hilang pula semuanya.” (Ad Darimy 1/58 nomor 16)
(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed. Diambil dari www.assunnah.cjb.net.)

Jumat, 30 Maret 2012

Keutamaan Menjaga Lisan dan Buah Hasilnya


Banyak orang merasa bangga dengan kemampuan lisannya (lidah) yang begitu fasih berbicara. Bahkan tak sedikit orang yang belajar khusus agar memiliki kemampuan bicara yang bagus. Lisan memang karunia Allah yang demikian besar. Dan ia harus selalu disyukuri dengan sebenar-benarnya. Caranya adalah dengan menggunakan lisan untuk bicara yang baik atau diam. Bukan dengan mengumbar pembicaraan semau sendiri.
Orang yang banyak bicara bila tidak diimbangi dengan ilmu agama yang baik, akan banyak terjerumus ke dalam kesalahan. Karena itu Allah dan Rasul-Nya memerintahkan agar kita lebih banyak diam. Atau kalaupun harus berbicara maka dengan pembicaraan yang baik. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Al-Ahzab: 70)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari hadits no. 6089 dan Al-Imam Muslim hadits no. 46 dari Abu Hurairah)
Lisan (lidah) memang tak bertulang, sekali engkau gerakkan sulit untuk kembali pada posisi semula. Demikian berbahayanya lisan, hingga Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menggunakannya.
Dua orang yang berteman penuh keakraban bisa dipisahkan dengan lisan. Seorang bapak dan anak yang saling menyayangi dan menghormati pun bisa dipisahkan karena lisan. Suami istri yang saling mencintai dan saling menyayangi bisa dipisahkan dengan cepat karena lisan. Bahkan darah seorang muslim dan mukmin yang suci serta bertauhid dapat tertumpah karena lisan. Sungguh betapa besar bahaya lisan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6092)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya seorang hamba apabila berbicara dengan satu kalimat yang tidak benar (baik atau buruk), hal itu menggelincirkan dia ke dalam neraka yang lebih jauh antara timur dan barat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6091 dan Muslim no. 6988 dari Abu Hurairah Rad. )
Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Hadits ini (yakni hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) teramat jelas menerangkan bahwa sepantasnya bagi seseorang untuk tidak berbicara kecuali dengan pembicaraaan yang baik, yaitu pembicaraan yang sudah jelas maslahatnya dan kapan saja dia ragu terhadap maslahatnya, janganlah dia berbicara.” (Al-Adzkar hal. 280, Riyadhus Shalihin no. 1011)
Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Apabila dia ingin berbicara hendaklah berpikir dulu. Bila jelas maslahatnya maka berbicaralah, dan jika dia ragu maka janganlah dia berbicara hingga nampak maslahatnya.” (Al-Adzkar hal. 284)
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Ketahuilah, setiap orang yang telah mendapatkan beban syariat, seharusnya menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang sudah jelas maslahatnya. Bila keadaan berbicara dan diam sama maslahatnya, maka sunnahnya adalah menahan lisan untuk tidak berbicara. Karena pembicaraan yang mubah bisa menarik kepada pembicaraan yang haram atau dibenci, dan hal seperti ini banyak terjadi. Keselamatan itu tidak bisa dibandingkan dengan apapun.”
Keutamaan Menjaga Lisan
Memang lisan tidak bertulang. Apabila keliru menggerakkannya akan mencampakkan kita dalam murka Allah yang berakhir dengan neraka-Nya. Lisan akan memberikan ta’bir (mengungkapkan) tentang baik-buruk pemiliknya. Inilah ucapan beberapa ulama tentang bahaya lisan:
1. Anas bin Malik : “Segala sesuatu akan bermanfaat dengan kadar lebihnya, kecuali perkataan. Sesungguhnya berlebihnya perkataan akan membahayakan.”
2. Abu Ad-Darda’ : “Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang yaitu orang yang diam namun berpikir atau orang yang berbicara dengan ilmu.”
3. Al-Fudhail : “Dua perkara yang akan bisa mengeraskan hati seseorang adalah banyak berbicara dan banyak makan.”
4. Sufyan Ats-Tsauri : “Awal ibadah adalah diam, kemudian menuntut ilmu, kemudian mengamalkannya, kemudian menghafalnya lantas menyebarkannya.”
5. Al-Ahnaf bin Qais : “Diam akan menjaga seseorang dari kesalahan lafadz (ucapan), memelihara dari penyelewangan dalam pembicaraan, dan menyelamatkan dari pembicaraan yang tidak berguna, serta memberikan kewibawaan terhadap dirinya.”
6. Abu Hatim : “Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya. Bila dia ingin berbicara, dia mengembalikan ke hatinya terlebih dulu, jika terdapat (maslahat) baginya maka dia akan berbicara. Dan bila tidak ada (maslahat) dia tidak (berbicara). Adapun orang yang jahil (bodoh), hatinya berada di ujung lisannya sehingga apa saja yang menyentuh lisannya dia akan (cepat) berbicara. Seseorang tidak (dianggap) mengetahui agamanya hingga dia mengetahui lisannya.”
7. Yahya bin ‘Uqbah: “Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata: ‘Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, tidak ada sesuatu yang lebih pantas untuk lama dipenjarakan dari pada lisan.”
8. Mu’arrifh Al-‘Ijli : “Ada satu hal yang aku terus mencarinya semenjak 10 tahun dan aku tidak berhenti untuk mencarinya.” Seseorang bertanya kepadanya: “Apakah itu wahai Abu Al-Mu’tamir?” Mua’arrif menjawab: “Diam dari segala hal yang tidak berfaidah bagiku.”
(Lihat Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala karya Abu Hatim Muhamad bin Hibban Al-Busti, hal. 37-42)
Buah Menjaga Lisan
Menjaga lisan jelas akan memberikan banyak manfaat. Di antaranya:
1. Akan mendapat keutamaan dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Abu Hurairah Rad. meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6090 dan Muslim no. 48)
2. Akan menjadi orang yang memiliki kedudukan dalam agamanya.
Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika ditanya tentang orang yang paling utama dari orang-orang Islam, beliau menjawab:
“(Orang Islam yang paling utama adalah) orang yang orang lain selamat dari kejahatan tangan dan lisannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42)
Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali mengatakan: “Hadits ini menjelaskan larangan mengganggu orang Islam baik dengan perkataan ataupun perbuatan.” (Bahjatun Nazhirin, 3/8)
3. Mendapat jaminan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk masuk ke surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits dari Sahl bin Sa’d :
Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang berada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka aku akan menjamin baginya al-jannah (surga).” (HR. Al-Bukhari no. 6088)
Dalam riwayat Al-Imam At-Tirmidzi no. 2411 dan Ibnu Hibban no. 2546, dari shahabat Abu Hurairah Rad. , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Barangsiapa yang dijaga oleh Allah dari kejahatan apa yang ada di antara dua rahangnya dan kejahatan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka dia akan masuk surga.”
4. Allah akan mengangkat derajat-Nya dan memberikan ridha-Nya kepadanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits dari Abu Hurairah Rad. :
Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat dari apa yang diridhai Allah yang dia tidak menganggapnya (bernilai) ternyata Allah mengangkat derajatnya karenanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6092)
Dalam riwayat Al-Imam Malik, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dalam Bahjatun Nazhirin (3/11), dari shahabat Bilal bin Al-Harits Al-Muzani bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kalimat yang diridhai oleh Allah dan dia tidak menyangka akan sampai kepada apa (yang ditentukan oleh Allah), lalu Allah mencatat keridhaan baginya pada hari dia berjumpa dengan Allah.”
Demikianlah beberapa keutamaan menjaga lisan. Semoga kita diberi kemampuan oleh Allah untuk melaksanakan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya dan diberi kemampuan untuk mengejar keutamaan tersebut. Wallahu a’lam.
Dikutip dari http://asysyariah.com Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi, Judul :Lidah Tak Bertulang

Kamis, 29 Maret 2012

Mengapa Umat Harus Terpecah Pecah


Berpeganglah kalian semuanya dengan tali Allah dan janganlah kalian berpecah belah. ” (Ali ‘Imran: 103)
Ibnu Mas’ud rad. berkata:
خَطَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًا. قَالَ: ثُمَّ خَطَّ عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ السُّبُلُ وَلَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلاَّ عَلَيْهَا شَيْطاَنٌ يَدْعُو إِلَيْهِ. ثُمَّ قَرَأَ: {وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ}
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menggaris satu garis dengan tangannya, kemudian bersabda: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Setelahnya beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya, kemudian beliau bersabda: “Ini adalah jalan-jalan. Tidak ada satu jalan pun dari jalan-jalan ini melainkan di atasnya ada setan yang mengajak kepadanya.” Beliau lalu membaca ayat: “Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” 1)
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/465 dan 1/435) dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya (no. 204). Dihasankan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (2/20-21).
Perpecahan adalah Perkara Kauniyyah
Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu, sehingga tidak ada satu perkara pun di alam semesta ini kecuali ciptaan-Nya.
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Allah adalah Pencipta segala sesuatu.” (Ar-Ra’du: 16)
Demikian pula Allah Subhanahu wa ta’ala penentu segala sesuatu dengan kemahaadilan-Nya dan Dia berbuat dengan penuh hikmah(bijaksana) tanpa ada yang sia-sia dalam perbuatan-Nya. Dengan kemahaadilan-Nya dan hikmah-Nya, Dia menentukan apa yang dikehendaki-Nya. Dia tidak ditanya dan tidak dituntut terhadap apa yang diperbuat-Nya. Sebaliknya hamba-hamba-Nya yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang mereka lakukan.
لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُوْنَ
Allah tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya namun merekalah yang ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang perbuatan mereka.” (Al-Anbiya`: 23)
Di antara perkara yang Allah Subhanahu wa ta’ala tetapkan dan ciptakan adalah apa yang disebutkan dan diisyaratkan dalam hadits di atas, bahwa Allah Subhanahu wa ta’alamenginginkan adanya banyak jalan yang akan ditempuh oleh hamba-hamba-Nya yang di atas jalan-jalan tersebut ada setan yang menyeru kepada kebinasaan perpecahan. Juga dari semua jalan yang ada, tidak ada yang selamat terkecuali hanya satu jalan yaitu jalan Allah Subhanahu wa ta’ala . Banyaknya jalan yang menggambarkan tentang perpecahan umat ini adalah kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala yang dinamakan kehendak kauni-Nya (yang mesti terjadi).
Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan tentang kemestian terjadinya perpecahan ini dalam firman-Nya:
وَلَوْ شآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
Seandainya Rabbmu menginginkan niscaya Dia menjadikan manusia umat yang satu namun mereka terus menerus berselisih kecuali orang yang dirahmahi oleh Rabbmu dan karena itulah Allah menciptakan mereka.” (Hud: 118-119)
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa mereka (manusia) akan terus menerus berselisih selama-lamanya dan bahwa Dia k memang menciptakan mereka untuk berselisih. Demikian pendapat jamaah mufassirin (sejumlah ahli tafsir) tentang ayat ini. Adapun makna ayat:
وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
yakni mereka diciptakan untuk ikhtilaf (berselisih). (Mukhtashar Kitab Al-I’tisham hal. 116)
Masalah perpecahan umat ini juga dinyatakan dan digambarkan dengan hadits-hadits lainnya, di antaranya:
Hadits Al-’Irbadh bin Sariyah , di mana beliau berkata: “Suatu hari setelah shalat Subuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menasehati kami dengan satu nasehat yang begitu mendalam, hingga air mata kami pun mengalir dan hati-hati pun bergetar. Berkatalah seseorang: “Sungguh nasehat ini adalah nasehat orang yang mau berpisah. Lalu apa yang engkau pesankan kepada kami, wahai Rasulullah” Beliau bersabda:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ، يَرَ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّها ضَلاَلَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْه بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala , untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyi (Ethopia). Karena sesungguhnya siapa di antara kalian yang nantinya masih hidup, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen.) karena perkara tersebut sesat. Siapa di antara kalian yang mendapatkan keadaan tersebut maka wajib atasnya berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang terbimbing dan mendapatkan petunjuk. Gigitlah Sunnah itu dengan gigi geraham kalian (pegang erat-erat jangan sampai lepas, pen.).” (HR. At-Tirmidzi no. 2816 dan selainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/2157)
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam :
اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah menjadi 71 atau 72 golongan dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan.” (HR. Abu Dawud no. 3980, At-Tirmidzi no. 2778 dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 203, 204)
Adapun di antara hikmah yang bisa kita petik dari ketetapan Allah Subhanahu wa ta’ala atas perpecahan2 ini, dikatakan oleh Al-Imam Al-Ajurri : “Ketahuilah, semoga Allah merahmati kita semuanya. Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengajarkan kita dalam kitab-Nya bahwa ikhtilaf (perpecahan) itu mesti terjadi di antara makhluk-Nya, agar Dia menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya dan Dia memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan hal itu sebagai nasehat yang bisa dijadikan peringatan oleh kaum mukminin sehingga mereka berhati-hati dan menghindari perpecahan serta berpegang teguh dengan Al-Jamaah, juga supaya mereka meninggalkan debat kusir dan pertikaian dalam agama ini dan semata-mata ittiba’ dan tidak mengada-adakan bid’ah.” (Asy-Syari’ah, hal. 9)
Diriwayatkan dari Al-Imam Malik bin Anas dan Al-Hasan mereka berkata: “Allah menciptakan mereka berselisih agar sebagian mereka di tempatkan di jannah (surga) dan sebagian lain di neraka sa’ir.” (Tafsir Al Qur`anil ‘Azhim 4/252, Mukhtashar Kitab Al-I’tisham hal. 16)
Perselisihan Bukanlah Rahmah
Bila kita membaca dalil-dalil Al Qur`an, As Sunnah dan melihat ucapan para shahabat dan para imam dalam agama ini, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa perselisihan itu syarr (jelek). Di mana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ. إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
Mereka terus menerus berselisih. Kecuali orang yang dirahmahi oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Ibnul ‘Arabi dalam Ahkamul Qur`an (3/33) menukilkan ucapan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, beliau berkata: “Allah menciptakan orang-orang yang dirahmati-Nya agar mereka tidak berselisih.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ. إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
(“Mereka terus menerus berselisih kecuali orang yang dirahmahi oleh Rabbmu.”) (Dalam ayat ini)Allah mengabarkan bahwa ahlur rahmah (orang-orang yang dirahmati-Nya) tidaklah berselisih. Mereka ini adalah pengikut para Nabi, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Mereka adalah Ahlul Qur`an dan Ahlul Hadits dari kalangan umat ini. Maka siapa yang menyelisihi mereka dalam satu perkara, luputlah darinya rahmat sesuai dengan kadar penyelisihannya terhadap perkara tersebut.” (Majmu’ Al-Fatawa, 4/25)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جآءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka bukti yang nyata. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang besar.” (Ali ‘Imran: 105)
Al-Muzani berkata: “Allah mencela perselisihan dan memerintahkan ketika terjadi perselisihan untuk kembali kepada Al Qur`an dan As Sunnah. Seandainya perselisihan itu merupakan bagian dari agama-Nya niscaya Dia tidak akan mencelanya. Seandainya pertikaian itu merupakan bagian dari hukum-Nya, niscaya Dia tidak akan memerintahkan mereka untuk kembali kepada Al Qur`an dan As Sunnah ketika terjadi pertikaian tersebut.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/910)
Abu Ja’far Ath-Thahawi menyatakan: “Kami memandang bahwa jamaah adalah haq dan kebenaran, sementara perpecahan adalah penyimpangan dan azab.” (Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 26-27)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya jamaah itu rahmat sedangkan perpecahan itu azab.” (Majmu’ Al-Fatawa, 3/421)
Adapun hadits yang didengung-dengungkan oleh orang-orang yang menyeru kepada banyak jamaah dan banyak jalan:
اخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perselisihan umatku adalah rahmat.”
Al-’Allamah Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam ashiruddin Al-Albani berkata dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (1/141): “Hadits ini (tidak ada asalnya).”
Ibnu Hazm berkata: “Adapun hadits yang disebutkan ini adalah hadits yang batil, sebuah kedustaan yang dibuat-buat oleh orang fasiq.” (Ihkamul Ahkam, 5/61)
Beliau juga menyatakan bahwa perkataan “Perselisihan umatku itu rahmah” adalah sejelek-jelek perkataan yang ada, karena sebagai konsekuensinya akan dinyatakan bahwa persatuan itu dimurkai dan dibenci. Dan tentunya yang seperti ini tidak ada seorang muslim pun yang mengatakannya, sehingga yang ada yaitu persatuan itu adalah rahmat dan perselisihan itu dimurkai dan dibenci. (Ihkamul Ahkam, 5/64)
Al-’Allamah Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam ashiruddin Al-Albani berkata: “Ikhtilaf (perselisihan) itu dicela dalam syariat, maka wajib berusaha untuk menghindari perselisihan selama memungkinkan. Karena dengan sebab berselisih umat Islam menjadi lemah, sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ
Dan janganlah kalian berselisih yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian.” (Al-Anfal: 46)
Adapun ridha dengan perpecahan dan menamakannya dengan rahmat berarti menyelisihi ayat-ayat mulia yang secara jelas mencela perpecahan tersebut. Dan tidak didapatkan sandaran dalil bagi perpecahan sama sekali, kecuali dengan hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ini.” (Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 1/143).
Akibat mengikuti banyak jalan, terjadilah perselisihan dan perpecahan. Dan karena adanya perpecahan ini terjadilah permusuhan dan kebencian di antara sesama muslim. Perkaranya bahkan sampai pada dihunuskannya pedang, dihalalkannya darah sesama kaum muslimin. Terjadilah perang saudara…!
‘Amir bin Sa’d menceritakan dari ayahnya:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ ذَاتَ يَوْمٍ مِنَ الْعَالِيَةِ. حَتَّى إِذَا مَرَّ بِمَسْجِدِ بَنِي مُعَاوِيَةَ، دَخَلَ فَرَكَعَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ، وَصَلَّيْنَا مَعَهُ. وَدَعَا رَبَّهُ طَوِيْلاً ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَيْنَا، فَقَال صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَأَلْتُ رَبِّي ثَلاَثًا، فَأَعْطَانِي ثِنْتَيْنِ وَمَنَعَنِي وَاحِدَةً. سَأَلْتُ رَبِّي أَنْ لاَّ يُهْلِكَ أُمَّتِي بِالسَّنَةِ فَأَعْطَانِيْهَا، وَسَأَلْتُهُ أَنْ لاَّ يُهْلِكَ أُمَّتِي بِالْغَرَقِ فَأَعْطَانِيْهَا، وَسَأَلْتُهُ أَنْ لاَّ يَجْعَلَ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ فَمَنَعَنِيْهَا
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam suatu hari datang dari Al-’Aliyah. Hingga ketika beliau melewati masjid Bani Mu’awiyah, beliau masuk lalu shalat dua rakaat. Kami pun shalat bersama beliau. Beliau lama berdoa kepada Allah. Kemudian beliau berpaling menghadap kami. “Aku minta kepada Rabbku tiga perkara, maka Dia mengabulkan untukku dua perkara dan menolak mengabulkan satu perkara. Aku minta kepada Rabbku agar Dia tidak membinasakan umatku dengan paceklik (kemarau panjang), maka Dia pun mengabulkannya. Dan aku minta kepada-Nya agar Dia tidak membinasakan umatku dengan ditenggelamkan, maka Dia pun mengabulkannya. Dan aku minta padanya agar tidak menjadikan mereka (umatku) saling membinasakan sesama mereka, namun Dia menolak permintaanku ini.” (HR. Muslim no. 2890)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Hadits ini berisi pengabaran Nabi n bahwa umat beliau sebagiannya akan membinasakan sebagian yang lain, dan sebagiannya akan menawan sebagian yang lain. Pengabaran beliau ini pun sudah terjadi.” (Al-Qaulul Mufid, 1/487). Wallahul musta’an wa ilaihil musytaka.
Tidak Boleh Ridha terhadap Perselisihan dan Perpecahan
Telah kita ketahui bahwa perselisihan dan perpecahan merupakan perkara kauni, yang Allah Subhanahu wa ta’ala ehendaki dengan iradah kauniyyah-Nya. Akan tetapi tidak boleh dipahami di sini bahwa kita harus menerima perselisihan dan membiarkan adanya perpecahan dengan alasan “Perkaranya adalah sunnatullah, bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri menghendakinya?!”
Orang yang beranggapan demikian sungguh tampak kejahilannya. Ia tidak dapat membedakan antara kehendak kauni dan kehendak syar’i yang mesti terjadi3. Di antara ketentuan tersebut, Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan dan menciptakan kejelekan dan perpecahan, namun bukan untuk kita kerjakan dan kita laksanakan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala jelas tidak meridhainya sebagaimana banyak diterangkan dalam nash, apa yang Allah Subhanahu wa ta’alaanjurkan dan perintahkan hamba-Nya untuk mengerjakan, yang masuk di dalam hal ini perintah dan anjuran berbuat kebaikan, juga untuk bersatu dan tidak berpecah sebagaimana yang diinginkan dengan kehendak dan ketetapan Allah Subhanahu wa ta’ala yang syar’i.
Abu Muhammad bin Hazm t menyatakan, Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki perselisihan ini dengan kehendak-Nya yang kauni (iradah kauniyyah) sebagaimana Dia menghendaki adanya kekafiran dan seluruh maksiat. (Ihkamul Ahkam, 5/65)
Allah Subhanahu wa ta’ala tidak ridha dengan perselisihan sehingga Dia jauhkan sifat ini dari Rasul-Nya n sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوا دِيْنَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, engkau sedikitpun tidak termasuk dalam golongan mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah diserahkan kepada Allah, kemudian (di akhirat, pen.) Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka perbuat (ketika di dunia, pen.).” (Al-An’am: 159)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Ayat ini merupakan pernyataan bara`ah (berlepas diri) dari orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan berhimpun di dalam golongan-golongan (yang membinasakan). Sementara yang diinginkan dari mereka agar agama itu satu dan manusia menjadi satu jamaah di atas agama ini. Inilah yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala . Oleh karena itu siapa yang keadaannya demikian (bersatu di atas agama, pen.) maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berloyalitas kepadanya dan dia adalah kekasih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Adapun orang yang memecah-belah agamanya dan dia tetap di atas perselisihan/pertikaian dan tetap berada di atas sifat jahiliyah4 maka Rasulullah berlepas diri darinya. (Syarhu Masa`ilil Jahiliyyah, hal. 41)
Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan adanya perselisihan dengan hikmah-Nya yang agung, hingga terpisahlah ahlul haq dari ahlul bathil, terpisahlah antara muttabi’ (orang yang mengikuti Sunnah Nabi, red.) dengan mubtadi’ (yang mengada-adakan bid’ah, red.). Dan tegaklah muttabi’ ini untuk berjihad menghadapi mubtadi’ dengan hujjah dan ilmu yang haq.
Suka Berselisih Merupakan Sifat Ahlul Bid‘ah
Sebagaimana seorang muslim tidak boleh ridha kepada kekafiran dan kejelekan, maka sepantasnya pula ia pun tidak ridha dengan perselisihan. Apatah lagi ridha dengan perselisihan ini merupakan sifat ahlul bid’ah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوا دِيْنَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah diserahkan kepada Allah, kemudian (di akhirat, pen.) Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka perbuat (ketika di dunia, pen.).” (Al-An’am: 159)
Kata Al-Imam Al-Baghawi : “Mereka adalah ahlul bid’ah dan ahlul ahwa`.” (Syarhus Sunnah, 1/210)
Al-Imam Asy-Syathibi menyatakan bahwa berpecah-belah termasuk ciri khas ahli bid’ah. (Al-I‘tisham, 1/113)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Bid’ah itu bergandengan dengan perpecahan sebagaimana As Sunnah itu bergandengan dengan jamaah, sehingga mereka dikatakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sedangkan ahlul bid’ah digelari pula sebagai ahlul furqah (perpecahan).” (Al-Istiqamah, 1/42)
Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi berkata ketika menyebutkan madzhab Ahlus Sunnah dalam ushuluddin (pokok-pokok agama): “Kita mengikuti As Sunnah dan Al-Jamaah, dan kita menjauhi syudzudz, perselisihan dan perpecahan.” (Ashlus Sunnah wa I’tiqadud Din, hal. 22)
Bersatu dan Berjalan di atas Jalan Allah
Sekalipun banyak jalan selain jalan yang lurus (shirathal mustaqim), juga sekalipun perselisihan dan perpecahan –karena manusia mengikuti selain shirathal mustaqim– merupakan perkara kauni yang mesti terjadi karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah menetapkan demikian, bukan berarti kita diperbolehkan untuk mengikuti jalan-jalan tersebut, dan bukan maknanya kita boleh berselisih dan berpecah dalam perkara yang sebenarnya tidak pantas kita berselisih apalagi berpecah belah.
Banyak sekali kita dapatkan nash yang mencela orang-orang yang mengikuti selain jalan Allah, dan yang mencela perselisihan serta perpecahan. Demikian juga kita dapatkan banyak sekali nash yang menekankan kepada kita untuk selalu berpegang dan mengikuti jalan Allah yang lurus, mengajak kita untuk selalu bersatu dan menghindari perselisihan dan perpecahan. Semua itu menunjukkan kepada kita bahwasanya wajib bagi kita untuk berjalan di atas jalan Allah, jalan yang dijalani oleh Rasul-Nya yang mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dan wajib bagi kita untuk bersatu di atas kebenaran karena tidak ada alasan bagi kita untuk menyelisihinya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمٌا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ
Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya.” (Al-An’am: 153)
Allah Subhanahu wa ta’ala menekankan kepada hamba-hamba-Nya untuk bersatu dan tidak bercerai berai:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
Berpeganglah kalian semuanya dengan tali Allah dan janganlah kalian berpecah belah. Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika kalian dahulu saling bermusuhan maka Allah mempersatukan di antara hati-hati kalian. Lalu dengan nikmat Allah jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya.” (Ali ‘Imran: 103)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيْهِ
Dia telah mensyariatkan bagi kalian agama ini sebagaimana yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah oleh kalian agama ini5 dan janganlah kalian berpecah belah di dalamnya…”6 (Asy-Syura: 13)
وَمَا تَفَرَّقُوا إِلاَّ مِنْ بَعْدِ مَا جآءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَلَوْلاَ كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ
Dan mereka (ahlul kitab) tidak terpecah belah melainkan sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Kalau bukan karena suatu ketetapan yang telah ada dari Rabbmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan.” (Asy-Syura: 14)
Allah Subhanahu wa ta’ala melarang hamba-hamba-Nya dari mengikuti jalan orang yang berpecah belah dan berselisih:
وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جآءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka bukti yang nyata. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang besar.” (Ali ‘Imran: 105)
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ. مُنِيْبِيْنَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوْهُ وَأَقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَلاَ تَكُوْنُوا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوا دِيْنَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. (Tetaplah di atas) fitrah Allah yang Dia menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 30-32)
إِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, engkau sedikitpun tidak termasuk dalam golongan mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah diserahkan kepada Allah, kemudian (di akhirat, pen.) Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka perbuat (ketika di dunia, pen.).” (Al-An’am: 159)
وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ. فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabb kalian maka bertakwalah kalian kepada-Ku. Kemudian mereka (para pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa golongan. Masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (Al-Mukminun: 52-53)
Abul ‘Aliyah memberikan nasehatnya: “Pelajarilah oleh kalian Islam. Bila kalian telah mempelajarinya maka janganlah kalian membencinya. Wajib atas kalian mengikuti jalan yang lurus (Ash-Shirathal Mustaqim) karena jalan yang lurus itu adalah Islam. Janganlah kalian menyimpang dari jalan yang lurus itu ke kanan dan jangan pula ke kiri. Wajib atas kalian berpegang dengan Sunnah Nabi kalian n dan apa yang para shahabat berada di atasnya. Karena sungguh kita telah membaca Al Qur`an selama 15 tahun sebelum mereka melakukan apa yang mereka lakukan7. Berhati-hatilah kalian dari hawa nafsu yang melemparkan permusuhan dan kebencian di antara manusia.”
‘Ashim Al-Ahwal berkata: “Aku sampaikan ucapan Abul ‘Aliyah ini kepada Al-Hasan, beliaupun berkata: “Dia benar dan telah memberikan nasehat.”
Aku (‘Ashim) sampaikan pula ucapan Abul ‘Aliyah ini kepada Hafshah bintu Sirin, ia berkata: “Wahai anakku, apakah engkau telah sampaikan hal ini kepada Muhammad (bin Sirin, pen.)?” “Belum,” kataku. “Kalau begitu sampaikanlah padanya,” kata Hafshah. (Asy-Syari’ah, Al-Imam Al-Ajurri, hal. 16)
Al-Imam Al-Ajurri berkata: “Merupakan tanda seseorang yang Allah Subhanahu wa ta’alamenginginkan kebaikan padanya adalah ia menempuh jalan ini yaitu Kitabullah, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , Sunnah para shahabat g dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan (tabi’in) rahmatullahi ‘alaihim. Dan juga apa yang dipegangi dan dijalani oleh para imam kaum muslimin di setiap negeri sampai ulama yang akhir, seperti Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Al-Qasim bin Salam, serta orang yang berada di atas manhaj mereka serta menjauhi semua manhaj yang tidak dianut oleh para ulama tersebut.” (Asy-Syari’ah, hal. 16)
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memberi hidayah taufik kepada kita untuk selalu berjalan di atas jalan-Nya yang lurus, dan menjaga kita dari penyimpangan, perselisihan dan perpecahan. Allahu al-muwaffiq ilaa sawa`is sabil. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
———————————-
1 Surat Al-An’am ayat 153
2 Dan seandainya Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki umat ini bersatu dan tidak terjadi perpecahan tentunya itu mudah bagi-Nya jalla sya`nuhu, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam firman-Nya:
وَلَوْ شآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
Seandainya Rabbmu menginginkan niscaya Dia menjadikan manusia umat yang satu.” (Hud: 118)
3 Kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala ada dua macam:
1. Kehendak takdir alam dan penciptaan, yaitu kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala yang mencakup seluruh makhluk, termasuk terjadinya perpecahan atau persatuan.
2. Kehendak agama dan perintah syar’i, yaitu kehendak yang mengandung cinta dan ridha-Nya. Seperti persatuan dan ketaatan.
Maka perpecahan itu hanya dengan kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala yang pertama, adapun persatuan itu dengan kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala yang pertama dan kedua. (Lihat Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 114; Fathul Majid hal. 27 cet. Ali Sinan untuk lebih rinci tentang perbedaan dua iradah (kehendak) Allah Subhanahu wa ta’ala . (ed)
4 Karena salah satu sifat orang-orang jahiliyah adalah mereka terpecah-belah dalam peribadatan dan agama mereka, demikian dikatakan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Masa‘ilul Jahiliyyah-nya.
5 Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata tentang tafsir ayat ini: “Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kalian untuk menegakkan seluruh syariat agama, ushul maupun furu’-nya. Untuk kalian tegakkan syariat itu pada diri-diri kalian dan kalian upayakan dengan sungguh-sungguh menegakkannya pada siapa saja selain kalian. Allah juga memerintahkan kalian untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 754)
6 Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata: “Ada dua asas yang telah disepakati oleh syariat-syariat yang ada (syariat yang Allah telah berikan kepada para nabi, pen.) dan Allah perintahkan kepada seluruh rasul untuk menjalankan dua asas ini, mulai rasul yang awal Nuh ‘alaihi salam sampai rasul yang akhir Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. Dua asas yang dimaksud adalah: Pertama, tauhidullah yaitu mengesakan-Nya dalam ibadah dengan tidak mengibadahi selain-Nya. Kedua, bersemangat untuk mempersatukan umat dan tidak berpecah belah dalam agama, dengan menegakkan sebab-sebab persatuan dan meninggalkan sebab-sebab perselisihan. Karena itulah Allah Subhanahu wa ta’ala mencela perpecahan lebih dari satu ayat dalam kitab-Nya seperti firman-Nya:
وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ مَا جآءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ
Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al-Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (Al-Bayyinah: 4) (Al-Mauridul ‘Adzb Az-Zulal, hal. 84)
7 “Mereka melakukan apa yang mereka lakukan,” yang dimaksud di sini adalah fitnah Khawarij dan terbunuhnya ‘Utsman rad.
Dikutip dari http://www.Asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari, Judul: Perpecahan Umat Antara Kemestian dan Adzab

Berbicara Soal Dunia di Dalam Masjid


Bolehkah berbicara masalah duniawi di dalam masjid, di luar waktu shalat?
Jawab:
Tidak diperbolehkan menjadikan masjid sebagai tempat jual beli dan urusan dagang, serta perkara duniawi yang sejenis, yang di dalamnya mengandung mengeraskan suara (ribut). Karena masjid hanyalah dibangun untuk dzikrullahmembaca Al-Qur’an, dan shalat. Namun dibolehkan pembicaraan yang ringan dalam permasalahan duniawi, tanpa mengganggu orang-orang yang sedang membaca Al-Qur’an dan shalat di sekitar mereka berdua.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi washahbihi wasallam.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Wakil: Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghudayyan, (Fatawa Al-Lajnah, 6/283, Pertanyaan kesembilan dari fatwa no. 8898)
1 Diriwayatkan dari hadits Asma` bintu Yazid radhiyallahu ‘anhuma, oleh Ahmad (6/458), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (hal. 360 no. 1047, cet. As-Salafiyah), At-Tirmidzi (5/58 no. 2697), dan Ath-Thabarani (24/177 no. 445).
Dikutip dari http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=752, Berbicara Masalah Duniawi dalam Masjid

Rabu, 28 Maret 2012

Mempererat Ukhuwah dengan Menebar Nasehat


Sebagian kaum muslimin bertanya:
Mengapa kita harus saling menyalahkan satu sama yang lainnya, bukankah kita masih sama-sama kaum muslimin yang bersaudara dan kita berkewajiban mempererat ukhuwah Islamiyah?” 
Benar, kita adalah kaum muslimin yang memiliki ikatan ukhuwah. Untuk itu, maka kita tidak boleh saling mendhalimi antara satu dengan yang lainnya.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ. (رواه مسلم)
Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling mencurangi, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah bersaudara, janganlah mendhaliminya, merendahkannya dan janganlah mengejeknya! Takwa ada di sini -beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukup dikatakan jelek seorang muslim, jika ia menghinakan saudaranya muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, harta dan kehormatannya. (HR. Muslim)
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه البخاري ومسلم)
Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya. Jangan mendhaliminya dan jangan memasrahkannya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar dari kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat. (HR. Bukhari Muslim)
Allah سبحانه وتعالى juga berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ. (الحجرات: 10)
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat. (al-Hujuraat: 10)
Oleh karena itu, untuk mempererat ukhuwah kita harus saling menjaga darah seorang muslim, harta dan kehormatan mereka.Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan 3 sebab, yaitu: murtad, orang yang berzina dalam keadaan sudah pernah menikah dan qishash (pembunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja harus dibunuh).
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ
بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنَ الدِّينِ
التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ. (متفق عليه)
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada illah yang patut diibadahi kecuali Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kecuali dengan tiga perkara: jiwa dengan jiwa, pezina yang sudah pernah menikah dan orang yang memisahkan diri dari agama dan meninggalkan jama’ah (kaum muslimin).
Dengan demikian, darah seorang muslim tidak halal kecuali dengan 3 hal di atas, itupun yang berhak mengeksusinya adalah para penguasa, bukan oleh sembarang orang. Maka kami mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin untuk meninggalkan budaya preman dalam menyelesaikan suatu perselisihan.
Akhir-akhir ini -akibat jelek dari euforia demokrasi- telah menjalar di masyarakat kaum muslimin upaya menyelesaikan pertikaian dan perbedaan (ikhtilaf) dengan pengerahan massa. Memprovokasi kelompoknya untuk menyerang pada kelompok lain yang dianggap berbeda, sehingga terjadilah bakar-membakar, serang-menyerang atau akhlaq barbarian lainnya yang menimbulkan korban harta dan nyawa.
Harta siapakah yang dirugikan dengan terbakarnya berbagai prasana seperti masjid-masjid, gedung-gedung, sekolah-sekolah, pondok-pondok pesantren atau kantor-kantor dakwah? Nyawa siapakah yang menjadi korban dengan sikap arogansi dan barbarian di atas? Tentu saja harta dan nyawa kaum muslimin.
Apa yang mereka pahami dari hadits-hadits di atas? Bukankah hadits tersebut menunjukkan tidak halalnya darah seorang muslim, tidak halalnya harta seorang muslim dan tidak halal mendhalimi seorang muslim?
Mempererat ukhuwah dengan nasehat
Menjaga ukhuwah islamiyah adalah dengan menjaga hal-hal tersebut di atas: saling menjaga harta, darah dan kehormatan mereka. Bukan dengan membuang perintah Allah untuk saling nasehat-nasehati. Tidak seperti yang mereka katakan tadi: “Jangan saling salah-menyalahkan, bukankah kita bersaudara“.
Kita katakan: justru karena kita bersaudara, kita harus saling mengingatkan mana yang benar dan mana yang salah. Karena seluruh kaum muslimin berharap jelasnya kebenaran dan kebatilan, sebagaimana dalam doa mereka di masjid-masjid:
أَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.
Ya Allah perlihatkanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami yang batil adalah batil dan bantulah kami untuk menjauhinya.
Maka tujuan dakwah ini adalah menjelaskan yang haq adalah hak dan yang batil adalah batil. Sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman:
لِيُحِقَّ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ. (الأنفال: 8)
Agar Allah menetapkan yang hak adalah haq dan membatalkan yang batil walaupun orang-orang yang berdosa itu tidak menyukainya. (al-Anfaal: 8)
Oleh karena itu, mengingatkan yang lupa dan memperbaiki yang salah jika diiringi dengan bukti-bukti dan dalil-dalil secara ilmiyah, justru akan mempererat ukhuwah islamiyah. Karena sudah merupakan kodrat manusia untuk berbuat salah dan lupa. Untuk itu harus ada di tengah mereka saling nasehat-menasehati dengan kebenaran dan kesabaran.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. (العصر: 1-3)
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. (al-’Ashr: 1-3)
Nasehat-menasehati tersebut harus dilatarbelakangi oleh rasa kasih sayang dan ukhuwah islamiyah. Kita tidak ingin melihat saudara kita terjatuh ke dalam kesalahan dan penyimpangan (kebid’ahan) yang pelakunya terancam dengan neraka. Maka -dalam rangka ukhuwah islamiyah- kita wajib mengingatkan kesalahan mereka dan menjelaskan penyimpangan dan kebid’ahan-kebid’ahan mereka dengan berharap semoga Allah menyelamatkan seluruh kaum muslimin dari kesesatan dan penyimpangan.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ . (البلد: 17)
Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (al-Balad: 17)
Dalam rangka kasih sayang itulah, diperintahkannya amar ma’ruf nahi mungkar dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. (ال عمران: 104)
Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran: 104)
Betapa banyaknya ayat Allah dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih memerintahkan kita untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, karena tidak ada seorang manusia pun yang selamat dari kesalahan (ma’shum) kecuali Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dan tidak ada satu kelompok pun yang selamat dari ancaman api neraka, kecuali “al-jama’ah” yakni Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para shahabatnya رضي الله عنهم (salafus shalih).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr رضي الله عنهما, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. (رواه الترمذي)
Sungguh akan datang pada umatku apa yang pernah terjadi pada Bani Israil seperti sandal dengan sandal, hingga kalau pun di kalangan mereka terjadi orang yang menzinai ibunya sendiri, maka di kalangan umat ini pun akan terjadi. Dan sesungguhnya bani Israil telah terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya dalam neraka kecuai satu golongan. Para shahabat bertanya: “Siapakah golongan tersebut ya Rasulullah?” beliau menjawab: “Apa yang aku dan para shahabatku telah jalani“. (HR. Tirmidzi; Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Jami’ Tirmidzi, hadits no. 2641)
Dengan demikian, maka tegur-menegur, nasehat-menasehati atau bahkan bantah-membantah antara satu kelompok dengan kelompok lainnya adalah wajar sebagai upaya menelusuri jalan kelompok yang selamat tersebut.
Kalau merasa apa yang dilakukannya adalah benar, sedangkan yang membantah itulah yang salah, maka bantahlah secara ilmiah pula dengan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan contoh-contoh dari salafus-shalih, para ulama dan lain-lain.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ.(النحل: 125)
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(an-Nahl: 125)
Dengan budaya bantah-membantah secara ilmiah, masyarakat muslimin akan terbimbing dengan ilmu sehingga standar keilmuan mereka semakin tinggi. Sebaliknya jika kaum muslimin diajak oleh para tokohnya dan diprovokasi untuk saling menyerang dan merusak (secara fisik) terhadap kelompok lainnya yang masih muslimin dan masih shalat hanya dikarenakan beberapa perbedaan, maka yang terjadi adalah masyarakat terbiasa untuk taklid pada tokoh-tokohnya dan hilang suasana ilmiyah sama sekali.
Sedangkan budaya pengerahan massa yang lahir dari sistem politik demokrasi -yang notabene bukan dari ajaran Islam-, justru akan memecah-belah persatuan kaum muslimin dan merusak ukhuwah Islamiyah. Maka hadapilah kesalahan saudara-saudara kita itu dengan sikap yang baik, hingga ukhuwah akan tetap terjaga.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. (فصلت: 34)
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Fushshilat: 34)
(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 101/Th. III 27 Rabi’ul Awal 1427 H/28 April 2006 M, judul asli Mempererat Ukhuwah dengan Menebar Nasihat, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu Abdirrahman Arief Subekti HP 081564690956. )
Dikutip dari http://www.salafy.or.id, Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As-SewedJudul: Mempererat Ukhuwah, Menebar Nasihat