do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Kamis, 20 Februari 2014

SISTEM SAPAAN BAHASA MUNA



SISTEM SAPAAN BAHASA MUNA
Oleh MULIATI A1D3 09 177
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESI DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVRSITAS HALUOLEO
KENDARI 2012


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bangsa Indonesia memiliki bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Sebagai negara kepulauan, bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang mempunyai keanekaragaman budaya serta latar belakang sosiokultur yang berbeda-beda. Salah satu dari keanekaragaman budaya yang dimaksud adalah bahasa, dalam hal ini bahasa-bahasa daerah. Bahasa-bahasa daerah tersebut berbeda-beda sistem pembentukannya satu dengan yang lain. Dalam perkembangannya dan pertumbuhannya, bahasa Indonesia saling berinteraksi dengan bahasa-bahasa daerah. Bahasa daerah bermanfaat sebagai alat komunikasi bagi pemiliknya. Setiap suku bangsa memiliki bahasa daerah yang berbeda dengan suku bangsa yang lain. Sebagai alat komunikasi, bahasa daerah ini dapat memungkinkan terciptanya rasa saling pengertian, saling menghargai, saling sepakat, saling menghormati, dan saling membutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat bagi kelompok masyarakat yang sama. Sehingga suatu bahasa tertentu hanya dapat digunkan dan dipahami oleh anggota masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa Muna merupakan salah satu dari sekian banyak bahasa daerah yang ada di Indonesia yang masih tetap hidup dan digunakan oleh masyarakat penuturnya. Bahasa ini terdapat di wilayah Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. Bahasa Muna pada umumnya di pergunakan oleh masyarakat yang berdomilisi di seluruh Pulau Muna, sebagian Pulau Buton yang masuk wilayah pemerintahan Muna, sebagian kabupaten Buton, dan sebagian Kota Kendari. Bahasa Muna dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah sejajar dengan bahasa-bahasa lainnya yang tersebar luas di Indonesia dan mempunyai fungsi dan peranan yang cukup besar di kalangan masyarakat pendukungnya. Selain digunakan sebagai alat komunikasi utama dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Muna juga digunakan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan lainnya seperti upacara adat, kegiatan kebudayaan, keagamaan, bahkan digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar dan SLTP sebagai muatan lokal. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perlu pembinaan dan pengkajian bahasa daerah guna meningkatkan mutu pemakaian dan memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia serta kebudayaan nasional. Mengingat begitu pentingnya kedudukan dan fungsi bahasa daerah sebagai salah satu unsur dalam pendukung kebudayaan nasional, maka bahasa-bahasa daerah perlu mendapatkan perhatian agar dapat diselamatkan, dipelihara, dan dikembangkan. Tindakan ini perlu dilakukan dalam rangka pelestarian budaya bangsa terutama bahasa-bahasa daerah yang tersebar luas di seluruh nusantara yang mana nantinya dapat menambah kekayaan kebudayaan nasional. Penuturan bahasa daerah oleh generasi sekarang kurang memperhatikan sapaan dalam berbahasa. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang variasi sapaan dalam berbahasa. Variasi sapaan tersebut menyangkkut pronominal persona, nomina nama diri, dan istilah kekerabatan yang berkaitan dengan kesopanan dan solidaritas. Memang tidak ada yang berhak melarang, menyalahkan, dan mengatur seseorang mengungkapkan sebuah tuturan dalam berbahasa, tetapi perlu dicatat bahwa bangsa Indonesia kental dengan budaya sopan santun, budaya tutur, dan yang demikian merupakan sifat alamiah setiap suku bangsa di Indonesia termasuk bahasa Muna. Permasalahannya adalah bagaimana mengajak kembali penutur-penutur tersebut mau memperhatikan penggunaan sapaan dalam berbahasa Muna, karena bukan tidak mungkin kurangnya perhatian oleh ketidaktahuan tentang variasi sapaan yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk itu, peneliti sebagai penutur bahasa Muna merasa terpanggil untuk mengadakan penelitian tentang variasi sapaan bahasa Muna. Untuk menginformasikan tentang bentuk-bentuk sapaan dalam bahasa Muna dan memberikan pemahaman kepada penutur bahasa Muna tentang hal tersebut, maka pengkajian tentang sapaan harus dilaksanakan. Hal inilah yang mendorong penelitian untuk mengkaji variasi sapaan bahasa Muna. Penelitian variasi sistema sapaan bahasa Muna pernah di teliti oleh bapak La Ino, S.Pd.,M.Hum (2009). Untuk itu peneliti hanya akan melakukan penelitian variasi sistem sapaan bahasa Muna yang menyagkut pronominal persona dan nomina nama diri. Alas an mendasar peneliti melakukan penelitian ini karena peneliti merasa prihatin terhadap kenyataan yang terjadi di masyarakat kabupaten Muna sekarang ini, dimana banyak para generasi muda sekarang ini yang tidak lagi meperhatikan sapaan demi kesopanan dalam berkomunikasi, baik pada orang yang lebih muda, teman sebaya dan orang yang lebih tua. Yang menarik dalam pembahsan ini bahwa pada dasarnya kegiatan berbahasa (penutur bahasa) tidak sekedar menuturkan kata-kata menjadi kalimat sebagai lambing bunyi saja, kemudian orang lain (penyimak) mendengarkan, memahami maknanya, tetapi selain itu variasi sapaan dalam mengungkapkan sapaanpun menjadi hal yang penting,agar tidak menimbulkan sikap antipasti dan menimbulkan rasa tidak senang terhadap lawan bicara. Tentunya hal ini dapat berdampak terpeliharanya hubungan bermasyarakat yang baik.

1.2  Masalah
Mengacu pada latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna?”

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitia ini membahas tentag variasi bentuk dan fungsi sistem sapaan dalam bahasa Muna. Peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat member gambaran yang rinci dan mendalam tentang variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna, sehingga dapat memberi sumbangan pengkajian khususnya bahasa Muna. Selain itu, manfaat lain yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini adalah :
1. Sebagai informasi dan masukan kepada masyarakat tentang variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna.
2. Sebagai bahan rujukan atau perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini.












BAB II
KAJIAN PUSTAKA

 Sebagai landasan teori dalam penelitian ini, teori-teori yang digunakan adalah teori sosiolinguistik, dengan alas an bahwa analisis bentuk sapaan termasuk dalam aanalisis sosiolinguistik. Teori-teori yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

2.1 Sosiolinguistik
Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsure, yaitu sosio dan linguistik. Sosio adalah seakar denga sosial, yaitu berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat dan fungsi kemasyarakatan. Sedangkan linguistik adalah ilmu yang mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsure-unsur bahasa (fonem,morfem, kata, dan kalimat) dan hubungan antar unsure-unsur itu (struktur) termasuk hakikat dan pembentukan unsur-unsur itu. Dengam memahami ke dua unsur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Dapat pula dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari atau mambahas aspek-aspek kemasyarakatan, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan factor-faktor kemasyarakatan sosial (Nababan, dalam Yusriandi, 2010:6)). Selain itu, Kridalaksana (dalam Pateda, 1992: 2 (dalam Yusriandi, 2010:7) mengetakan bahwa sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dengan ciri sosial. Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Fishman (dalam Supriyanto, 1991:9 (dalam Yusriandi, 2010:7)) bahwa dalam sosiolinguistik lazim dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari cirri-ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa. Booji (dalam Pateda, 1992:3 (dalam Yusriandi, 2010:7)) mengatakan bahwa sosiolinguistik yang mempelajari factor-faktor sosial yang berperan dalam pemakaian bahasa dan berperan dalam pergaulan. Kemudian menurut Appel (dalam Pateda, 1992:2 (dalam Yusriandi. 2010:7))mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks soaial dan budaya. Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli sosiolinguistik tersebut di atas maka dapat di simpulkan bahwa osiolinguistik adalah salah satu cabang ilmu linguistik yang memepelajari bahasa dan pemakaiannya dalam masyarakat tertentu berdasarkan konteks sosial dan budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut.


2.1.1 Aspek-Aspek Sosiolinguistik
Penggunaan bahasa terbagi atas dua yaitu kegiatan yang bersifat aktif dan yang bersifat psif. Kegiatan bahasa bersifat aktif meliputi berbicara dan menulis, sedangkan kegiatan yang bersifat pasif meliputi mendengarkan dan membaca. Sehingga beragam-ragam tingkah laku manusia sehubungan dengan bahasa. Bagaiman interaksi antara ke dua aspek tingkah laku manusia ini (berbicara dan membaca), inilah yang menjadi urusan sosiolingistik. Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, sosiolinguistik dapat dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Mikro sosiolinguistik yang berhubungan dengan kelompok kecil misalnya tegur sapa.
2. Makro sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah perilaku bahasa dan struktur sosial. Dalam makna sosiolinguistik ada yang dapat digolongkan ke dalam persoalan pokok, yaitu:
1. Tentang profil sosiolinguistik, yakni bagaimaba keanekaragaman bahasa mencerminkan keanekaragaman sosial yang bersiafat statistic.
2. Dianamika sosiolinguistik yang diusahakan dengan mencari cirri-cirinya terhadap berbagai jenis sosiolinguistik.

2.1.2 Kajian Sosiolinguistik Sosiolinguistik lazim dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai varias bahasa serta hubungannya diantara bahasawan dengan cirri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa. Fishman (dalam Supriyanto, 1990:9 (dalam Yusriandi,2010:8)) mengatakan bahwa sosiolinguistik tidak memusatkan perhatian pada sosial tingkah laku sikap bahasa, tingkah laku nyata terhadap terhadap bahasa dan pemakaian bahasa. Di dalam tindakan bahasa pada hakikatnya seorang penutur telah mengambil keputusan untuk memilih suatu variasi tertentu berupa bentuk-bentuk linguistic. Pengambilan keputusan ditentukan oleh berbagai factor yakni: jarak sosial, situasi dan topik pembicaraan, Tanner (dalam Supriyanto,1990:9 (dalam Yusriandi,2010:8)). Jarak sosial dapat dilihat dari sudut vertical dan horizontal. Dimensi vertical akan menunjukkan seseorang itu berada di atas atau di bawah (berkedudukan tinggi atau rendah). Dimensi sosial ini misalanya kelompok, umur, kelas, dan status perkawinan. Sedangkan dimensi horizontal menunjukkan kontinum akrab. Misalnya derajat persahabatan, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, dan jarak tempat tinggal. Tinjauan sosiolinguistik lainnya adalah bahwa bahasa memungkinkan penuturnya fleksibel dalam memainkan berbagai hubungan peran sewaktu berkomunikasi. Penutur senantiasa membatasi diri pada norma-norma hubungan peran denagan memilih ragam bahasa tertentu. Inilah yang menjadi objek sosiolinguistik yakni siapa yang bertutur kata, bahasa apa, kepada siapam dan tentang apa. Sebagai kesimpulan dapat disebutkan bahwa masyarakat itu diikat oleh bahasa, sebab dengan bahasa seseorang bias bersosialisasi. Cooer (dalam Alwasilah, 1992:2 (dalam Yusriandi, 2010:9)) menjelaskan: Kita dapat berkomunikasi dengan seseorang hanya karena bersama kita memiliki sepengakat cara bertingkah laku yang tersepakati. Bahasa ialah merupakan milik satu kelompok sosial, seperangkap aturan yang mutlak diperlukan yang memungkinkan anggotanya berhubungan satu sama lain: bahasa daerah adalah satu lembaga soaial.

2.2 Sapaan Sapaan berasal dari kata “sapa” yang berarti perkataan untuk menegur (menegur, bercakap-cakap, dan sebagainya), kemudian mendapat akhiran-an menjadi “sapaan” yang berarti ajakan untuk bercakap; terugar; ucapan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Yusriandi, 2010:10). Jadi pengertian sapaan adalah seperangkat kata-kata atau ungkapan yang dipakai untuk menegur dan memanggil para pelaku dalam peristiwa bahasa. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan definisi kata sapaan antara lain Kridalaksana (dalam Alisa, 1998:13) mengatakan bahwa semua bahasa mempunyai alat yang disebut sistem tutur sapa, yakni yang mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam sistem tutur sapa disebut kata sapaan. Kridalaksana (dalam La Indonesia, 2009:153) mengemukakan bahwa sistem sapaan adalah seperangkat kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memenggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa yang sangat ditentukan oleh aspek-aspek sosial, seperti dialek (regional/sosial) variasi sistuasi, sifat hubungan diantara pelaku seperti akrab,biasa formal, dan resiprokal. Braun (dalam La ino, 2009:153) mengungkapkan sistem sapaan sebagai perangkat kata dan frasa yang digunakan untuk penyapa yang mengacu pada kalektor dan mengandung deiksis yang kuat. Sistem sapaan tersebut dapat terdiri atas tiga kelas, pronominal nama diri, nomina istilah kekerabatan, nomina istilah kasih saying, honorifik dan sufiks-sufiks. Infektif dalam verba yang memiliki sejumlah varian dalam setiap bahasa dan secara detail menandai perbedaan da;\lam usia, jenis kelamin, status soaial refleksi norma dan nilai budaya. Sistem sapaan dalam memusatkan perhatian pada pantingnya usia tiap-tiap budaya suatu bahasa. Menurut Nababan (dalam Niluh, 2010: 23-24)), bahasa sapaan adalah alat seorang pembicara untuk mengatakan sesuatu kepada orang lain. Sapaan itu akan mrujuk kepada orang yang diajak bicara pada perhatiannya kepada pembicara. Di samping itu, Nababan mengemukakan pula perbedaan kelas dalam suatu masyarakat menimbulkan pronominal yang asimetris yang menunjukkan bahwa salah satu pembicaranya memiliki lebih banyak kekuasaan daripada yang diajak bicara sehingga mereka berhak menggunakan itu untuk lawan bicaranya. Kridalaksana (dalam Darjon, 2003:11) sapaan adalah morfem, kata atau frasa yang digunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antar pembicara itu. Pada buku lain Kridalaksana mengatakan bahasa bentuk sapaan adalah seperangkat kata-kata atau ungakapan yang dipakai untuk menyebutkan dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Para pelaku tersebut adalah pembicara (pelaku pertama) yang selanjutnya disebut penyapa, yang di ajak bicara (pelaku ke dua) selanjutnya disebut dalam pembicaraan (pelaku ke tiga). Bertolak dari pendapat ahli tersebut, maka dapat disimpulkan batasan tentang pengertian sapaan, bahwa sapaan adalah seperangkat kata-kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam peristiwa bahasa, sistem sapaan yang dipakai ditentukan oleh umur, jenis kelamin, kedudukan, hubungan keluarga, situasi, keakraban, dan topic pembicaraan antara penyapa dengan yang disapa.

2.3 Dimensi Kata Sapaan Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan kata sapaan, harus dilihat bebera factor yang berhubungan dengan kata pesapa itu sendiri. Pesapa itu muncul dari situasi pembicara dan pendengar. Dalam uraian selanjutnya pembicara disebut penyapa, sedangkan lawan bicara (pendengar) disebut pesapa. Beberapa para ahli bahasa menggolongkan kata sapaan ke dalam kata ganti. Kata itu sendiri merupakan salah satu fenomena sosiolinguistik yang merupakan salah satu dari bidang linguistik. Pada waktu sedang bernbicara kepada pesapa, akan dilihat siapa mereka itu. Hubungan yang bagaimana antara pesapa dan penyapa. Hubungan kekerabatan, mislanya anak dan orang tuanya atau hubungan atasan dan bawahan, dan hubungan teman biasa. Hubungan itu pula dapat ditentukan dari segi usia, pesapa yang muda kepada pesapa tua atau sebaliknya, baik pesapa maupun yang disapa sebayam atau hubungan antara pesapa dan yang disapa ditentukan oleh jenis kelamin yang berbeda. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan dimensi kata sapaan atara lain,kridalaksana (dalam Nasution, 1988;7(daam Yusriandi, 2010)) mengatakan bahwa semua bahasa mepunyai apa yang disebutsistem tutur sapa, yakni siste yang mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan – ungkapan yang dipakaiuntuk menyebiut dan memanggil para pelaku dalam sistem tutur sapa disebut kata sapaan. Kridalaksana juga meneliti sapaan dalam berbahasa Indonesia. Dalam urainnya, kridalaksana mengemukakan beberapa kata sapaan,yakni kata ganti (engkau, kamu, kita, dan sebagainya), nama diri (nama yang terlihat dalam suatu percakapan), gelar dan pangkat( dokter, suster, jendral, dan lain-lain),bentuk ferbal ( pembaca, pendengar, penonton, dan sebagainya),bentuk nominal lain + ku( tuhanku, kekasihku, dan lain-lain), kata deiksis ( situ, sini), nominal lain (tuan, nyonya, nona, dan sebagainya), dan tampa kata sapaan disebut zero. Sudtono (dalam M.Nasution, 1988: 7 (dalam Yusriandi, 2010:12)) memberikan gambaran itu dalam bentuk pronominal yang dipakai dalam suatu pembicaraan dari penyapa kepada pesapa dalam hubungan kondisi atau situasi tertentu. Dalam uraian itu, Sudtono meberikan beberapa contoh dari beberapa bahasa daerah. Berdasarkan contoh yang diberikan terlihat bahwa perbedaan kelas kata dalam suatu masyarakat akan terdapat siatem pronominal yang sistematik antara pembicara yang satu dengan yang lain. Selain itu, jika dari sudut hubungan teman dan situasi tertentu, pada situasi dan kondisi tertentu kata sapaan yang lain muncul. Kata sapaan dapat di ukur dari jarak hubungan penyapa dan pesapa, ada yang hubungan vertical dan ada yang hubungan horizontal. Hubungan vertical menunjukkan berapa jauh hubungan penyapa dan pesapa sebagai lawan bicara, hubungan horizontal menunjukkan tingkat kekerabatan penyapa dan pesapa. Kedua dimensi tersebut mengakibatka banyaknya variasi sapaan yang dijumpai dalam pemakaiannya pada suatu masyarakat tertentu.

2.4 Sistem Sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas, teori asas dan sebagainya metode (Depdikbud (dalam Yusriandi, 2010:13)). Sistem yang dimaksud adalah seperangkat unsur sapaan bahasa yang secara teratur saling berkaitan, yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

2.4.1 Sapaan dalam Keluarga Sapaan dalam keluarga adalah kata sapaa yag digunakan untuk menyapa orang-orang atau anak-anak yang masih mempunyai hubungan persaudaraan langsung maupan persaudaraan tidak langsung. Persaudaraan langsung adalah persaudaraan yang disebabkan oleh sislsilah keturunan, misalnya kakek, nenek, ayah, ibu, anak, dan cucu. Bagaimana cara menyapa orang-orang tersebut. Tentunya disesuaikan fungsi dan peran antara pembicara dan lawan bicara (Suherman, www.mycityblogging.com).
2.4.2 Sapaan di Luar Keluarga Sapaan di luar keluarga biasa disebut pula sapaan dalam masyarakat. Sapaan dalam masyarakat adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa orang-orang yang tidak empunyai hubungan keturunan atau sapaan terhadap sesama warga dalam masyarakat (Kundharu Saddhon, Kundharu.staff.uns.ac.id).

2.5 Sapaan Bahasa adalah alat penghubung atau komunikasi anggota masyarakat yaitu individu-individu sebagai manusia yang berpikir merasa dan berkeinginan pikiran, perasaan dan keinginan baru terwujud bila dinyatakan, adan alat untuk menyatakan itu adalah bahasa, Badudu (dalam Yusriandi, 2010:14). Di sisi lain Fiochiato (dalam Alwasila, 1992:2 ( dalam Yusriandi, 2010:14))erpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem symbol vocal yang arbitrer memungkinkan semua orang dalam suatu kebudayaan tersebut untuk berkomunikasi atau berinteraksi.
2.5.1 Penggunaan Bahasa Bahasa adalah suatu sistem tanda yang berhubungan dengan lambing bunyi-bunyi suara dan digunakan oleh suatu kelompok masyarakat untuk berkomunikasi dan bekerja sama, Berber (dalam Sibarani,1992:2 (dalam Yusriandi, 2010:14). Bahasa dalah sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenag-wenang dan konvensionl yang dipakai sebagai alat komuikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Depdikbud (dalam Yusriandi, 2010:14)). Ahli lain mengemukakan bahwa dapat pula didefinisikan sebagai sistem simbol-simbol ujaran yang arbitrer yag digunakan oleh anggota masyarakat sebagai alat untuk berinteraksi sesuai dengan keseluruhan pola budaya (Trager dalam Yusriandi, 2010:14-15). Dalam kamus linguistic dikemukakan bahwa bahasa adalah sistem lambing yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.
2.5.2 Tingkat Bahasa Perbedaan dalam tingkatan kedudukan dan usia dinyatakan dengan pemakaian kata yang lebih atau kurang “tinggi” (hormat) dan pengucapan kalimat dan nada yang dipergunakan (Kats,dkk dalam Yusriandi, 2010:15). Senada denga pendapat di atas Kats, dkk juga mengemukakan du hal yang harus dibedakan yaitu:
1.Ucapan atau tulisan terhadap seseorang yang lebih, sama atau kurang dalam tingkat kedudukan atau usia.
2.Ucapan atau tulisan tentang seseorang yang lebih, sam atau kurang. Dalam hal yang pertama harus diingat adanya perbedaan dalam kedudukan, tingkat, dan usia antara pembicara dan lawan bicara. Dlam hali yang ke dua, masih harus diperhatikan hubungan yang baik dari pembicara maupun lawan bicara terhadap orang yang dibicarakan. Pembicara dan lawan bicara harus menyadari atau harus tah benar akan kedudukannya pada waktu berinteraksi. Ragam bahasa yang akan dipilih oleh oseseorang dalam suatu pembicaraan ditentukan oleh topik pembicaraan, tempat berbicara, bagaiman penilaian seorang pembicara terhadap dirinya dalam hubungan dengan lawan bicaranya tersebut. Mengenai topik pembicaraan, tentu banyak pula ragamnya, ada seorang pembicara yang mempunyai topik terbatas ada juga yang menguasai macam-macam topik. Orang terbatas pembicaraannya tentulah terbatas pula penggunaanragam bahasa dan sebaliknya. Tempat pembicaraan terjadi mempengaruhi ragam bahasa yang dipakai biasanya merupakan suatu lembaga. Rumah tangga sebagai suatu lembaga membawa orang memilih ragam bahasa tertentu dalam berbicara. Lembaga-lembaga yang lain dapatlah disebut sekolah, rumah ibadah, kantor-kantor, dan pasar. Stuasi pembicaraan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu situasi resmi dan situasi tidak resmi. Resmi atau tidak resminya pembicaraan ditentukan oleh situasi dan tepmat dimana berlangsungnya pembicaraan itu. Dalam pembicaraan yang bersifat resmi seperti di kantor lurah di depan orang banyak, digunakan sapaan yang tidak berlaku di lingkungan keluarga.




























BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN


 3.1 Metode dan Jenis Penelitian
3.1.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode preskriftif. Penggunaan metode ini bertujuan untuk melihat (benar-salah) hasil penelitian secara rinci dan mendalam sesuai dengan penentuan bahasa yang diteliti. Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini terutama dalam hubungan langsung dengan pengumpulan data, pengkajian data, dan penjyajian data dalam laporan penelitian.
 3.1.2 Jenis Penelitiaan Penelitian ini termasuk penelitian lapangan, karena data yang diperoleh adalah data lisan yang diperoleh di lokasi penelitian.
3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1 Data Penelitian ini menggunakan data lisan. Data lisan berupa tuturan yang dituturkan oleh penutur asli bahasa Muna yang bermukib di Desa Wakorambu Kecamatan Bata Laiworu. Desa Wakorambu dipilih menjadi tempat penelitian, karena beberapa alas an sebagai berikut ini. 1.Penuturan bahasa Muna di Desa Wakorambu masih tergolong murni dalam arti belum terkontaminasi oleh bahasa daerah lain yang ada di Sulawesi Tenggara. 2.Meskipun dekat dengan kota tetapi Desa Wakorambu masih merupakan salah satu daerah kampong yang mayoritas penduduknya adalah petani. Yang memiliki sistem pemerintahan seperti desa-desa lain, hal ini mengindikasikan bahwa ada kebudayaan tentang sapaan dalam berbahasa dan budaya tersebut sampai sekarang masih dipertahankan Dari lokasi penelitian inilah peneliti akan memperoleh data untuk bahan penkajian variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna. Data yang akan digunakan dalam pengkajian variasai bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna ini adalah data lisan (rekaman) dan data verifikasi. Data verifiksi maksudnya adalah berupa data tuturan-tuturan bahasa Muna yang dibuat oleh peneliti sesuai dengan kriteria variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna atau tidak, kemudian diverifikasikan kepada informan (penutur asli) untuk menentukan keabsahannya. Hal ini akan dilaksanakan karena peneliti termasuk penutur asli bahasa Muna. 3.2.2 Sumber Data Data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu data yang diperoleh dari sejumlah masyarakat Muna yang termasuk penutur asli bahasa Muna yang bermukin di Desa Wakorambu, mereka adalah petani, tokoh masyarakat di bidang agama dan adat istiadat, orang-orang yang berpendidikan, anak-anak dan orang tua serta dalam lingkungan keluarga. Penelitian ini akan berlangsung selama tiga bulan dari tanggal 10 Agustus sampai tanggal 10 Oktober 2012. Penentuan informasi berdasarkan criteria berikut ini:
 1)Penutur asli bahasa Muna yang bermukim di lokasi penelitian.
2)Menetap dilokasi penelitian.
3)Sadar dan memahami permasalahan peneliti.
4)Komunikatif.
5)Memiliki artikulasi yang baik.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan metode cakap dan simak. Tekniknya adalah teknik rekam dan teknik catat. Dalam pengumpulan data peneliti akan melakukan percakapanlangsung dengan informan. Selama percakapan berlangsung peneliti akan merekam tuturan-tuturan berupa variasi bentuk sapaan dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna dengan menggunakan recorder dan akan mencatat tuturan-tuturan tersebut yang dianggap berhubungan dengan masalah peneliti. Teknik rekaman akan digunakan dengan pertimbangan bahwa data yang diteliti adalah data lisan. Selain itu dalam pengumpulan data, peneliti akan melakukan pengamatan (metode simak) pada penutur-penutur bahasa Muna dalam berkomunikasi. Selama pengamatan peneliti tidak perperan langsung dalam diaolog-dialog yang terjadi. Kehadiran peneliti hanyalah sebagai pengamat (pasif), kemudian akan merekam atau mencatat tuturan-tuturan berupa variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan yang berhubungan dengan variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan. Setelah data terkumpul, peneliti juga akan menggunakan teknik introspeksi melalui teknik elisitas (Djajasudarman (dalam Konisi, 2001:37). Teknik ini akan digunakan dengan alas an bahwa peneliti juga termasuk penutur asli bahasa Muna. 3.4 Metode dan Teknik Analisis Data Metode yang akan digunakan adalam menganalisis data adalah metode preskriftif yakni menguraikan dan menginterpretasikan data berdasarkan apa yang ditemukan dalam penelitian. Analisis data akan dilakukan menggunakan pendekatan sosiopragmatik, sebuah pendekatan yang menelaah tuturan yang dikaitkan dengan kondisi tertentu, kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat yang memakai bahasa yang berbeda yang dikaitkan dengan variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna. Analisis data akan dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut ini.
1.Identifikasi data, maksudnya data yang sudah ada diberi kode sesuai permasalahan peneliti. 2.Klasifikasi data adalah mengklasifikasikan data berdasarkan permasalahan peneliti. 3.Interprestasi, maksudnya adalah suatu proses data yang telah diklasifikasikan.
4.Deskripsi data, maksudnya data yang sudah diklasifikasikan kemudian di interpretasikan, dirumuskan menjadi sebuah kesimpulan setiap pokok permasalahan.

KESINONIMAN KATA DALAM BAHASA MUNA DIALEK GULAMAS



KESINONIMAN KATA DALAM BAHASA MUNA DIALEK GULAMAS #


NAMA                           : ARIFIN BAGEA
NOMOR STAMBUK    :A1D1 07 018
PROGRAM STUDI       :PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN  DAERAH
JUDUL PENELITIAN   :KESINONIMAN KATA DALAM BAHASA MUNA DIALEK GULAMAS
DOSEN PEMBIMBING:Drs. La Yani Konisi, M.Hum.
                                         Dr. H. Hilaluddin Hanafi, M.Pd.
Tahun skripsi                   :2011
ABSTRAK
    Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk kesinoniman kata dalam bahasa Muna dialek Gulamas. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk kesinoniman kata dalam bahasa Muna dialek Gulamas. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan penguasaan bahasa Muna dialek Gulamas, sehingga pengguna bahsa Mawasangka lebih terampil dalam berbahasa seperti diksi yang tepat diantara kata-kata yang bersinonim. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat Muna khususnya yang berbahasa ibu bahasa Muna dialek Gulamas, sebagai sumbangan pemikiran dalam pembinaan dan pengembangan bahsa Muna dialek gulamas. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah kesinoniman antara kata yang berkategori verba, kesinoniman kata yang berkategori nomina, dan kesinoniman yang berkategorikanadjektiva.
    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriktif kualitatif. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan yang berupa tuturan kata atau frasa yang bersumber dari informan yang berkaitan dengan masalah peneltian. Sumber data dalam penelitian ini adalah informan penutur asli bahasa Muna dialek gulamas yang berdomidili di Kecamatan Mawasangka Tengah Kabupaten Buton. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik rekam dan teknik catat. Setelah data terkumpul melalui pengumpulan data, maka data tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan semantik.
    Hasil penel;itian menujjukan hal-hal sebagai berikut. Kesinoniman Verba yang menyatakan makna ‘tanam’ adalah ladu, tano,hoo ‘kencing’ totolea, ooha, ‘makan’ fomaa, febaku, poantoki, kantolo ‘pergi’ lao, kala ‘naik’ ende, foni, kamponea ‘tarik’ hinta, tonda ‘belah’ kela, weta, solo ‘pukul’ bebe, hambi, wandu, wangku ‘cuci’ fewaniu, tofa ‘beli’ oli, balanda, ‘memasak’ metoofi, mefounda, medada, ‘bicara’ pogau, bisaha, ‘pikul’ suu, tongku, ‘tutup’ onto, songko, dapo, ‘potong’ keba, tumpo, dodo, ‘ikat’ boke, tapu, ‘buka’ lengka, wula, ‘tiup’ buso, utu, punto. Kesinoniman nomina yang menyatakan makna ‘wanita/perempuan’ hobine, kalambe, kabua-bua, ‘korek api’ colo, katikia, ‘rumah’ lambu, mbohu, ‘kalung’ kalo, hante, ‘ dayung’ bose, dao, ‘buah labu’ labu, wule. Kesinoniman adjektiva yang menyatakan makna ‘malu’ noambano, kailili, ‘panas’ nosodo, nopana ‘lambat’ noluntu, nemau, ‘pendek’ nepanda, neubu, ‘pandai’ nopande, nomakida, ‘longgar’ luo, loba, ‘cepat’ magala, nehimba, ‘marah’ amaha, pamuhu.















1.    PENDAHULUAN
1.1    latar belakang
Dalam kedudukanya sebagai bahasa daerah,bahasa Muna dialek gulamas merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapatdi Sulawesi Tenggara yang tetap hidup dan dipelihara secara turun temurun oleh masyarakat pendukungnya.
Bahasa Muna dialek Gulamas adalah salah satu bahasa daerah yang terdapat di Kecamatan Mawasangka Tengah Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara.Jumlah penuturnya tersebar di 9desa.
Dalam penelitian ini, dititik beratkan pada bahsa Muna dialek Gulamas oleh penuturnya masih sangat kuat dan berperan dalam berbagai perwujudan berbagai bentuk kebudayaan daerah, seperti upacara adat maupun kesenian. Dukungan terhadap bahasa Muna dialek Gulamas oleh penuturnya sampai sekarang masih sangat kuat dan tetap berperan dalam komunikasi social kemasyarakatan. Pada pengajaran tingkat SD, khususnya pada kelas pemula dialek gulamas bahasa Muna dialek Gulamas bahasa Muna digunakan sebagai bahasa pengantar agar murid-murid yang memiliki bahasa Muna dialek gulamas memahami kegiatan yang harus dilakukan.
Penelittian keseninoniman kata dalam bahasa Muna dialek Gulamas perlu dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan untuk meninggkatkan pengetahuan dan penguasaan kosa kata bahasa Muna, sehingga mereka lebih terampil berbahasa Muna, dengan diksi yang tepatdiantara kata-kata yang bersinonim.
Masalah sinonim termasuk didalam bidang kajian semantic yang yang sendirinya juga merupakan lapangan yang juga merupakan lapangan yang masih terbuka bagi penelitian kebahasaan. Disamping itu, khusus untuk bahasa muna dialek Gulamas sepanjang pengetahuan penulis,penelitian dibidang semantik khususnya kesinoniman dalam bahasa Muna dialek Gulamas belum banyak dilakukan. Penelitian tentang kesisnoniman kata yang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yakni harus dilakukan oleh peneliti sebelumnya yakni dilakukan oleh Nertin (1996) yang membahas “Kesinoniman Kata dalam Bahasa Tolaki dialek Konawe”, Seham (1999) yang membahas “Kesinoniman Kata dalam Bahasa Kepulauan Tukang Besi dialek Wanci”, dan Haryawati (2002) yang membahas “Kesinoniman Kata dalam Bahasa Kulisusu”.
Penelitian terhadap bahasa Muna dialek Gulamas pernah dilakukan antara lain ”Struktur Bahasa Gu Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara” oleh lagoasi,etal (1983), “Sistem Morfologi dan Sintaksis Bahasa Muna dialek Gu, oleh Sailan (1990) dengan judul “Morfologi dan Sintaksis Bahasa Mawasangka”, serta Mursalin, et al. (1992) dengan judul “Struktur Bahasa Mawasangka”.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik ingin mengkaji kesinoniman kata dalam bahasa Muna dialek Gulamas, karena setiap bahasa khususnya bahasa daerah yang ada di Sulawesi Tenggara memilioki kesinoniman yang berbeda-beda. Demikian halnya dengan bahasa Muna dialek Gulamas dapat digunakan dengan pilihan kata yang sesuai dengan konteks kalimat.


2.    KAJIAN PUSTAKA
semantik adalah ilmu makna, membicarakan makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu (misalnya, sejarah kata, dalam arti bagaimana arti kata itu muncul), bagaimana perkembanganya dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa.
Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambing lambang atau tanda tanda yang menyatakan makna hubungan makna yang satu dengan makna yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantic mencakup makna-makna kata, perkembangan dan perubahanya.
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau realsi semantik antara sebuah kata atau suatu bahasa lainya dengan kata atau satuan bahasa lainya. Hubungan atau relasi makna ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelebihan makna (redudansi), dan sebagainya. Namun dalam penelitian ini hanya akan membahas tentang kesamaan makna atau sinonim.
Pateda (2001) menyatakan bahwa untuk mendefinisikan sinonim, ada tiga batasan yang dapat dikemukakan yaitu: (1) kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama, misalnya kata mati dan mampus ; (2) kata yang mengandung makna yang sama misalnya kata memberitahukan dan kata menyampaikan; dan (3) kata-kata yang disubtitusikan dalam konteks yang sama, misalnya “kami berusaha agar pembagunan jalan terus”, “kami berupaya agar pembagunan berjalan terus”. Kata berupaya bersinonim dengan berusaha.
Berdasarkan contoh-contoh kata tersebut, apabila direalisasikan dalam bahasa Muna dialek Gulamas yaitu (1) kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama, misalnya kata mate ‘mati’ dan tatasi ‘mampus’; (2) kata yang mengandung makna yang sama, misalnya kata  fomaa ‘makan’dan kata febaku ‘makan’; dan (3) kata-kata yang dapat di distribusikan dalam konteks yang sama, misalnya lao ‘pergi’ dan kata kala ‘pergi’.
Secara semantik, Verhar (1986 :32) mengatakan bahwa sinonim adalah ungkapan (biasanya berupa sebuah kata tetapi dapat pula frasa atau malah kalimat) yang kurang lebih sama maknaya dengan suatu ungkapan lain. Contoh: (1) dapat dan bisa, (2) ibu bapak dan orang tua (3) Ege melihat Ego dan Ego dilihat Ege.
Dari beberapa teori diatas, peneliti lebih terpengaruh pada teorinya Verhar yang menyatakan bahwa kesinoniman merupakan sebuah ungkapan (biasa berupa kata, frase, atau kalimat) yang kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Berhubungan dengan pernyataaan di atas, adanya penekanan tentang sinonim dikatakan “kurang lebih” sama maknaya. Pengertian ini sangat beralasan karena kesamaan makna tidak beerlaku secara sempurna. Artinya meskipun maknaya sama, tetapi memperlihatkan perbedaan-perbedaan, apalagi jika berhubungan dengan pemakaian-pemakaian kata-kata tersebut.
Hal yang perlu dijelaskan dari defenisi diatas ialah pernyataan bahwa kesinoniman dapat terjadi pada kata, frasa , klausa, atau bahkan pada kalimat. Penelitian ini mengkaji kesinoniman kata secara leksikal menurut makna leksikalnya, dan tidak membicarakan kesinoniman  pada frasa, klausa atau kalimat secara gramatikal.
Dengan pengertian tersebut, pasangan-pasangan sinonim dalam bahasa Muna dialek Gulamas dikumpulkan seebagai data penelitian. Misalnya pada kata “fuma” dan “kantolo” artinya ‘makan’ tidak bisa menggantikan. Ini merupakan bukti yang jelas bahwa kata-kata bersinonim itu sebagian besar tidak memiliki makna yang persis sama.
Namun perlu diingat bahwa menurut Pateda (2001 : 84)menyatakan bahwa memang sulit memerikan batasan tentang makna. Tiap linguis memberikan batasan makna sesuai dengan bidang ilmu yang merupakan keahlianya. Itu tidak mengherankan jika kata dan kalimat yang mengandung makna ialah milik pemakai bahasa. Oleh karena itu, dikatakan selanjutnya bahwa pemakai bahasa bersifat dinamis yang kadang-kadang memperluas makna suatu kata ketika ia berkomunikasi sehingga makna kata dapat saja berubah.
Kesulitan memberi batasan seperti yang dinyatakan diatas, tidak menutup kemungkinan bahwa suatu analisis yang diharapkan dalam sustu data dengan hasil yang memuaskan tetap dilaksanakan. Masalah peneliti yang menjadi garapan dalam penelitian adalah masalah makna kata. Komponen makna dalam setiap pasangansinonim dikembangkan secara terbuka. Artinya komponen makna itu dapat diperluas menurut kebutuhan analisis sehingga relasi kesinoniman antara tiap anggota pasangan sinonim semakin jelas. Penjelasan dalam bentuk lainya misalnya penjelasan dalam pemakaian kata tersebut dapat ditambah apabila diperlukan.

3.    METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Jenis Penelitian
3.1.1 Metode penelitian
Merujuk pada tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka metode yang akan digunakan dalam metode ini adalah metode deskriktif kualitatif. Metode ini merupakan penggambaran atau penyajian data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara obyektif, sistematis dan akurat mengenai data sifat-sifat serta hubunganya dengan masalah penelitian.
3.1.2 Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian lapangan, yakni menyajikan data dan fenomena-fenomena berdasarkan fakta yang ditemukan oleh peneliti di lapangan sesuai dengan masalah penelitian.
3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1 Data Penelitian
Data penelitian ini adalah data lisan yang berupa tuturan kata atau frasa yang bersumber dari informan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data diperoleh berupa tuturan-tuturan kata-kata para penutur asli bahasa Muna dialek Gulamas.
3.2.2 Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini berasal dari informan asli bahasa Muna dialek Gulamas di Kecamatan Mawasangka Tengah, Kabupaten Buton.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini tergolong penelitian lapangan, sehingga dalam mengumpulkan data peneliti langsung ke lokasi penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode cakap dan metode simak.
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik libat, cakap, teknik rekam, serta teknik catat.
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan referensi. Metode padan referensi adalah metode padan dengan alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjukan bahasa atau referensi bahasa.
Setelah data terkumpul,selanjutnya data tersebut akan dianalisis. Dalam menganalisis data penelitian ini,peneliti menggunakan pendekatan semantik. Pendekatan ini sesuai dengan objek penelitian yaitu kesinoniman kata dalam bahasa Muna dialek Gulamas yang dapat dikaji berdasarkan aspek makna.

4.    HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
4.1    Kesinoniman Verba
4.1.1    Verba yang Menyatakan Makna Makan
Verba tersebut dalam bahasa Muna dialek Gulamas ada 4 macam, yaitu kata fuma, febaku, poantoki, dan  kantolo ‘makan’ meskipun pada kata-kata tersebut mempunyaibeberapa perbedaan pada komponen tingkat tutur, nilai rasa, dan pelaku, tetapi keempat kata tersebut bersinonim.
4.1.2    Verba yang Menyatakan Makna Tarik
Kesinoniman verba yang menyatakan makna tarik dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata tonda dan hinta ‘tarik’, tetapi kedu kata tersebut cara melakukanya yang berbeda. Verba hinta ‘tarik’ digunakan untuk menarik sesuatu yang arahnya bisa dari depan, samping, atas, bawah, dan juga saling beerlawanan. Verba tonda ‘tarik’ digunakan untuk menarik benda yang ada di bagian belakang dan searah.
4.1.3    Verba yang Menyatakan Makna Beli
Kesinoniman verba yang menyatakan makna beli dalam bahasa Muna dialek Gulamas adalah oli dan balanda ‘beli’. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu melakukan suatu kegiatan menukarkan barang dengan menggunakan nilai uang atau yang disebut dengan beli, baik dalam jumlah yang banyak maupun dalam jumlahh yang sedikit.
4.1.4    Verba yang Menyatakan Makna Cuci
Kesinoniman verba yang menyatakan makna cuci dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata fewainu dan tofa ‘cuci’. Kedua kata tersebutmemiliki arti yang sama yaitu membersihkan suatu benda dengan menggunakan air, tetapi memiliki kolokasi yang berbeda.
4.1.5    Verba yang Menyatakan Makna Memasak
Kesinoniman verba yang menyatakan makna memasak dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata dada, founda, dan toofi, ‘memasak’. Kata-kata tersebut bersinonim namun memiliki komponen makna yang berbeda-beda.
4.1.6    Verba yang Menyatakan Makna Pikul
Verba yang menyatakan makna pikul dalam bahsa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata suu dan tongku ‘pikul’ serta mempunyai komponen makna dasar yang sama yaitu meletakkan suatu beban di bahu.
4.1.7    Verba yang Menyatakan Makna Tanam
Verba yang menyatakan makna tanam dalam bahsa Muna dialek Gulamas adalah hoo, ladu, dan tano ‘tanam’. Ketiga kata tersebut mempunyai makna dasar yang sama, yaitu menyimpan atau menanam suatu didalam tanah, tetapi lokasinya berbeda.
4.1.8    Verba yang Menyatakan Makna Kencing
Kesinoniman verba yang menyatakan makna kencing dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata totolea dan ooha ‘kencing’. Kedua kata tersebut memiliki makna dasar yang sama yaitu kencing tetapi lokasinya berbeda.
4.1.9    Verba yang Menyatakan Makna Pulang
Kesinoniman verba yang menyatakan makna pulang dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata suli dan awo ‘pulang’. Tetapi kedua kata tersebut memiliki makna yang sama dan bisa saling menggantikan dalam satu kalimat tanpa mengubah makna kalimat tersebut.
4.1.10    Verba yang Menyatakan Makna Tutup
Kesinoniman verba yang menyatakan makna tutup dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata onto, songko, dan dapo ‘tutup’. Ketiga kata tersebut memiliki makna yang sama, tetapi tidak bisa saling menggantikan dalam penggunaan sebuah kalimat.
4.1.11    Verba yang Menyatakan Makna Potong
Verba yang menyatakan memisahkan suatu benda dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata keba, tumpo, dan dodo ‘potong’. Kata-kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu memisahkan atau membagi suatu benda menjadi dua bagian.
4.1.12    Verba yang Menyatakan Makna Ikat
Kesinoniman verba yang menyatakan makna ikat dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata boke dan tapu ‘ikat’. Kedua kata tersebut bersinonim, tetapi memiliki komponen makna yang berbeda-beda.
4.1.13    Verba yang Menyatakan Makna Tiup
Verba yang menyatakan makna tiup dalam bahasa Muna dialek Gulamas dapat dinyatakan dengan menggunakan kata-kata antara lain buso, utu, dan punto ‘tiup’. Ketiga kata tersebut bersinonim namun memiliki komponen makna yang berbeda-beda.
4.1.14    Verba yang Menyatakan Makna Buka
Verba yang menyatakan makna buka dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata lengka dan wula ‘buka’. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu membuka sesuatu dari tertutup menjadi Nampak terbuka.
4.1.15    Verba yang Menyatakan Makna Pergi
Verba yang menyatakan makna pergi dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata lao dan kala ‘pergi’. Kata lao dan kala bisa saling bersubtitusi dalam penggunaanya.
4.1.16    Verba yang Menyatakan Makna Naik
Kesinoniman verba yang menyatakan makna naik dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata ende, foni, dan kamponea ‘naik’. Kata-kata tersebut memiliki makna dasar naik atau dari bagian bawah menuju keatas dan dari bagian lebih rendah menjadi lebih tinggi.
4.1.17    Verba yang Menyatakan Makna Belah
Kesinoniman verba yang menyatakan makna belah dalam bahasa Muna dialek Gulamas adalah kelah, wengka, dan solo ‘belah’. Ketiga kata tersebut mempunyai makna dasar yaitu membelah sesuatu menurut panjangnya benda yang dibagi menjadi dua bagian.
4.1.18    Verba yang Menyatakan Makna Pukul
Verba yang menyatakan makna pukul dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata bebe, hambi, wandu, dan wangku ‘pukul’. Kata-kata tersebut dapat memilki makna yang sama dan dapat bersubtitusi dalam penggunaanya.
4.1.19    Verba yang Menyatakan Makna Bicara
Kesinoniman verba yang menyatakan makna bicara dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata pogau dan bisaha ‘bicara’. Namun kedua kata tersebut bisa saling bersubtitusi dalam sebuah kalimat.

4.2    Kesinoniman Nomina
4.2.1 Nomina yang Menyatakan Makna korek Api
Kesinoniman nomina yang menyatakan makna korek api dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim mengunakan kata colo dan katikia ‘korek api’. Kedua kata tersebut bersinonim namun rujukan bendanya berbeda. Nomina colo ‘korek api’ bentuk bendanya adalah berupa kayu yang diperoduksi sedemikian rupa, seperti potongan lidi atau terbuat dari potongan-potongan kayu yang diperkecil serta ujungnya mengandung bahan bakar. Cara menyalakan apinya yaitu dengan cara mengorek. Kata ini memiliki nilai rasa yang netral. Nomina katikia ‘korek api’ bendanya berbentuk utuh atau permanen, dan biasanya memiliki roda atau istilah yang digunakan sekarang adalah korek gas.
4.2.2 Nomina yang Menyatakan Makna Wanita/Perempuan
Nomina yang mengandung makna orang yang berjenis kelamin perempuan dalam bahasa Muna dialek Gulamas ada beberapa macam, antara lain hobine, kalambe dan kabua-bua.
4.2.3 Nomina yang Menyatakan Makna Rumah
Nomina yang menyatakan makna rumah dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata lambu dan kambohu-mbohu ‘rumah’. Kedua kata tersebut memiliki makna dasar yang sama yaitu tempat tinggal manusia yang berbentuk rumah baik di dalamnya memiliki fasilitas yang lengkap maupun tidak lengkap.
4.2.4 Nomina yang Menyatakan Makna Dayung
Nomina yang menyatakan makna dayung dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata bose dan dao ‘dayung’. Kedua kata dasar tersebut memiliki makna dasar yang sama yaitu alat untuk menggerakkan perahu dengan cara mendayung.
4.2.5 Nomina yang Menyatakan Makna Kalung
Nomina yang menyatakan makna kalung dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata hante dan kalo ‘kalung’. Kedua kata tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menghiasi leher, tetapi memiliki jenis benda yang berbeda.
4.2.6 Nomina yang Menyatakan Makna  Buah Labu
Nomina yang menyatakan makna buah labu dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata labu dan wule ‘labu’. Kedua kata tersebut bersinonim, tetapi memiliki komponen makna yang berbeda.

4.3    Kesinoniman Adjektiva
4.3.1    kesinoniman Adjektiva yang Menyatakan Makna Pendek
Adjektiva yang menyatakan makna pendek dalam bahasa Muna dialek Gulamas adalah panda dan ubu ‘pendek’.kedua kata tersebut bersinonim, tetapi memiliki lokasi yang berbeda.
4.3.2    kesinoniman Adjektiva yang Menyatakan Makna lambat
Kesinoniman adjektiva yang menyatakan makna lambat dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan luntu dan mau ‘lambat’. Kedua kata tersebut bersinonim, tetapi memiliki kolokasi yang berbeda sehingga tidak dapat saling menggantikan dalam konteks kalimat.
4.3.3    kesinoniman Adjektiva yang Menyatakan Makna Panas
Kesinoniman adjektiva yang menyatakan makna Panas  dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata sodo dan pana ‘panas’. Kedua kata tersebut bersinonim tetapi memilkii kolokasi yang berbeda.
4.3.4    kesinoniman Adjektiva yang Menyatakan Makna Malu
Kesinoniman adjektiva yang menyatakan makna malu dalam bahasa Muna dialek Gulamas menggunakan kata kaili dan noambano ‘malu’. Kedua kata tersebut memiliki kesamaan makna, tetapi memiliki kolokasi yang berbeda-beda.
4.3.5    kesinoniman Adjektiva yang Menyatakan Makna Longgar
Kesinoniman adjektiva yang menyatakan makna longgar dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata luo dan luba ‘longgar’. Kedua kata tersebut memiliki persamaan makna, tetapi tidak saling menggantikan dalam satu konteks kalimat.
4.3.6    kesinoniman Adjektiva yang Menyatakan Makna Pandai
Adjektiva yang menyatakan makna pandai atau mampu melaksanakan sesuatu dengan menggunakan akal atau pikiran dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata pande dan makida ‘pintar’. Kedua kata tersebut memiliki kesamaan makna, tetapi memilki kolokasi y7ang berbeda-beda.
4.3.7    kesinoniman Adjektiva yang Menyatakan Makna Cepat
Kesinoniman adjektiva yang menyatakan makna cepatt dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata magala dan himba ‘cepat’. Kedua kata tersebut memiliki makna dasar yang sama yaitu dapat menempuh suatu jarak dengan waktu yang singkat tetapi kolokasinya berbeda.
4.3.8    kesinoniman Adjektiva yang Menyatakan Makna Marah
Adjektiva yang menyatakan makna marah dalam bahasa Muna dialek Gulamas lazim menggunakan kata amaha dan pamuhu ‘marah’. Kata amaha memiliki nilai rasa yang netral sedangkan kata pamuhu memilki nilai rasa yang kasar.




DAFTAR PUSTAKA


Aminuddin. 1998. Semantik : Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung : CV Sinar Baru.
Berg, Rene Van Den. 1989. A Grammar of Muna Languange. Dordechi Holland : Foris Publication.
Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik I (Pengantar ke Arah Ilmu Makna). Bandung : PT. Refika Aditama.