Sudah menjadi suatu yang biasa terjadi di masyarakat ketika mereka mendengar kata “sunnah”maka yang terlintas dalam benak mereka adalah “sesuatu yang baik kalau dikerjakan dan tidak mengapa ditinggalkan serta orang yang meninggalkannya tidak boleh dicela dan diingkari.” Bahkan sebagian mereka lebih parah lagi dengan mengatakan kepada orang yang mengerjakan sunnah: “Kenapa dikerjakan, kan sunnah…, tidak apa-apa ditinggalkan!”, suatu ucapan yang harusnya ditujukan kepada sesuatu yang makruh.
Tidak hanya orang awam yang mengatakan demikian, bahkan orang yang dianggap berilmu pun terpengaruh dan ikut-ikutan dengan ucapan “filsafat” tersebut, sehingga dia lebih suka shalat di rumah daripada di masjid, masih merokok dengan alasan “merokok itu makruh” dan perbuatan lainnya yang jauh dari tuntunan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Benarlah ucapan seorang penyair: “Jika engkau tidak mengetahui (ilmunya) maka itu adalah musibah, dan jika engkau mengetahui maka musibahnya lebih besar lagi.”
Benarkah demikian yang dipahami dan diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya serta ‘ulama yang setelahnya dalam menyikapi “sunnah”? Alangkah baiknya kita baca keterangan para ‘ulama tentang masalah tersebut seperti dalam kitab Dharuuratul Ihtimaam bis Sunanin Nabawiyyah, bab “Fii Hukmi Tarkis Sunan”:
Berkata Al-Bazdawiy dalam Ushul-nya: “Sunnah itu ada dua macam: Sunnatul Huda (Sunnah Petunjuk) dan bagi orang yang meninggalkannya berhak untuk dicela dan dibenci. Dan Az-Zawaa`id (sunnah tambahan), bagi orang yang meninggalkannya tidak harus dicela. Adapun Nafilah, akan diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak diberi sanksi orang yang meninggalkannya…”
Berkata ‘Alaa`uddiin Al-Bukhariy dalam syarahnya terhadap Ushul Al-Bazdawiy, yang berjudul Kasyful Asraar (2/567-568):
“Perkataannya: “Sunnatul Huda”, adalah sunnah yang dilaksanakan untuk menyempurnakan petunjuk -yakni agama- dan ini yang dikomentari dengan meninggalkannya (merupakan): kebencian dan kejelekan… yaitu seperti adzan, iqamah, shalat berjama’ah dan sunnah-sunnah rawatib (dua raka’at sebelum Shubuh, dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah Maghrib dan dua raka’at setelah ‘Isya`, -pent.).
Karena itu Muhammad Ibnul Hasan berkata pada satu bagian: “Sesungguhnya ia berubah menjadi jelek.” Dan di sebagian lainnya: “Sesungguhnya ia berdosa.” Pada bagian yang lain pula dikatakan: “Wajib diqadha` (diganti), yaitu: sunnah Fajar (Shubuh). Akan tetapi tidak mendapatkan sanksi bagi orang yang meninggalkannya, karena itu bukan sesuatu yang wajib atau fardhu.”
Sedangkan Az-Zawaa`id (tambahan): yakni macam yang kedua: Az-Zawaa`id ialah yang meninggalkannya tidak ada kaitannya dengan kebencian dan kejelekan, seperti memanjangkan bacaan dalam shalat, memanjangkan ruku’ dan sujud serta perbuatan-perbuatan di luar shalat, seperti berjalan, berpakaian dan makan.
Sesungguhnya seorang hamba tidaklah dituntut untuk menegakkannya dan tidak berdosa meninggalkannya, serta tidaklah ia menjadi jelek (karena meninggalkan perbuatan tersebut-pent.). Namun yang lebih utama adalah melaksanakannya.
Perkataannya: “Adapun Nafiilah, akan diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak mendapat sanksi orang yang meninggalkannya…”
Berkata Al-Qadhi Al-Imam: Nawaafil ibadah ialah: yang seorang hamba memulai dengannya sebagai tambahan atas amalan fardhu dan sunnah-sunnah yang masyhur.
Sedangkan hukumnya: Bahwa seorang hamba diberi pahala atas perbuatannya dan tidak dicela karena meninggalkannya, karena ia dijadikan sebagai tambahan baginya, bukan tambahan yang wajib atasnya. Lain dengan sunnah (atau sunnatul huda menurut istilah madzhab Hanafiy-pent), sesungguhnya sunnah adalah thariqah (jalannya) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dari arah manapun jalannya yang dapat menghidupkannya adalah kewajiban bagi kita dan kita akan dicela karena meninggalkannya.”
Pembagian Sunnah
Maka dengan demikian jelaslah, bahwa pembagian (sunnah) oleh sebagian ulama ada tiga macam, yaitu:
1. Sunnah Al-Huda, dinamakan juga dengan sunnah mu`akkadah, bahwa bagi pelakunya diberi pahala sedang yang meninggalkannya tanpa ‘udzur -secara terus-menerus- berhak dicela, dinyatakan sesat, sebagai akibat tindakannya yang menganggap remeh perkara-perkara agama, seperti adzan, iqamah, sunnah-sunnah marwiyyah (yang terriwayatkan dengan hadits yang shahih-pent.), berkumur, istinsyaaq (menghirup air ke hidung), dan lainnya;
2. Sunnah Az-Zawaa`id: akan diberi pahala bagi pelakunya dan orang yang meninggalkannya tidak berhak dicela dan dibenci, seperti adzan orang yang shalat sendirian, bersiwak dan semisalnya;
3. Nafiilah, dan darinya: mandub dan mustahab, hukumnya adalah sebagaimana hukum sunnah az-zawaa`id.
Ibnu ‘Abidin berkata dalam Hasyiyah-nya (1/103): “… Aku mengatakan: Tidak ada perbedaan antara nafiilah dan sunnah az-zawaa`id (sunnah tambahan) dari sisi hukum, karena tidak dibenci meninggalkan salah satunya.”
Berdosakah Orang yang Meninggalkan Sunnah?
Sekarang, ada satu permasalahan yaitu: Apakah orang yang meninggalkan Sunnah Al-Huda akan mendapatkan dosa -menurut mereka- atau tidak?
‘Ala`uddin Al-Bukhariy dalam kitab Kasyful Asraar (2/563) dari Abul Yusr, bahwa ia berkata: “Adapun sunnah adalah perkara nafiilah yang terus-menerus dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti tasyahhud dalam shalat dan sunnah rawatib.
Dan tentang hukumnya: bahwa dianjurkan untuk mengerjakannya dan dicela bila meninggalkannya, disertai mendapat dosa yang ringan.”
Ibnu ‘Abidin telah menukilkan di dalam Hasyiyah-nya (1/104) dari kitab Al-Bahr, bahwa ia mengatakan: “Yang nampak dari pembicaraan ahli madzhab: bahwa dosa dibebankan dengan meninggalkan yang wajib atau sunnah mu`akkadah menurut pendapat yang benar. Karena penegasan mereka, bahwa orang yang meninggalkan sunnah dari shalat lima waktu dikatakan tidak berdosa, sedangkan yang benar adalah berdosa.”
Adapun jumhur ‘ulama, mereka menerangkan hukum sunnah yang semakna dengan mandub, nafiilah dan mustahab dalam rangkuman pendefinisian mereka untuk sunnah. Mereka mengatakan: ia adalah apa yang diberi pahala jika dilakukan dan tidak disiksa karena meninggalkannya. (Al-Hukmut Takliif fisy Syarii’atil Islaam hal.171)
Namun, di sana ada sunnah-sunnah, seperti: shalat witir dan dua raka’at Fajar yang mereka mensikapinya dengan keras atas orang yang meninggalkannya secara mutlak.
Sebagaimana mereka mengijinkan: untuk mengingkari orang yang meninggalkan suatu sunnah, walaupun tidak sampai pada derajat witir dan semisalnya.
Maka dari yang pertama: perkataan Al-Imam Malik mengenai witir: “Bukanlah suatu fardhu, akan tetapi barangsiapa yang meninggalkannya perlu dihukum/disikapi dan itu menjadi suatu penilaian jelek/kritikan dalam persaksiannya.” (Ibnu Hazm 2/314)
Berkata Ibnu Muflih dalam Al-Furu’ (Al-Mughniy 2/594): “Beliau hanyalah mengatakan ini bagi orang yang meninggalkan sepanjang hidupnya, atau sering (meninggalkannya), maka ia difasikkan (dianggap fasik) karenanya. Demikian pula jika orang itu melanggengkan dalam meninggalkan untuk seluruh sunnah-sunnah rawatib.
Karena dengan terus-menerus meninggalkan sunnah, nantinya akan muncul kebencian terhadap sunnah itu sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku (yaitu golongan orang yang berada di atas petunjukku).” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu)
Dengan meninggalkan sunnah secara terus-menerus akan berakibat melekat padanya tuduhan/anggapan: tidak meyakini perkara itu sebagai sunnah dan jelas hal ini dilarang.
Dan karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang berada di antara komunitas kaum musyrikin, yang tidak akan saling terlihat api (permusuhan) di antara keduanya.” (HR. Abu Dawud 3/104)
Maksud ucapan beliau (adalah): karena dengan bermukimnya dia (seorang muslim ini) pada komunitas mereka (musyrikin), akan dituduh dengan tuduhan: akan memperbanyak jumlah mereka dan bermaksud menolong mereka serta menyukai agama mereka.
Hukum Meninggalkan Shalat Witir & Sunnah Rawatib
Demikian juga dalam Al-Fushul (disebutkan): “Terus-menerus meninggalkan sunnah rawatib tersebut tidaklah dibolehkan dan berhujjah dengan perkataan Al-Imam Ahmad mengenai witir, karena dia akan dianggap sebagai orang yang membenci sunnah.”
Dan ia mengatakan setelah perkataan Al-Imam Ahmad tentang witir. “Dan ini mengandung konsekuensi, bahwa Al-Imam Ahmad menghukuminya sebagai suatu kefasikan.”
Dan para ‘Ulama menukilkan: “Barangsiapa yang meninggalkan witir, berarti dia tidak adil…”
Berkata An-Nawawiy dalam Raudhatut Thaalibiin (11/233): “Barangsiapa yang membiasakan diri meninggalkan sunnah-sunnah rawatib…-ditolak persaksiannya, karena peremehannya terhadap agama, hal ini dikemukakan, karena rendah/minimnya kepeduliannya terhadap perkara-perkara yang penting.”
Berkata Syaikhul Islam: “Shalat witir adalah sunnah mu`akkadah, berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Dan barangsiapa yang terus-menerus meninggalkannya persaksiannya ditolak.”
Kemudian dia menceritakan perselisihan para ‘ulama tentang wajibnya, ia berkata: “Akan tetapi sesuai dengan kesepakatan muslimin, bahwa sunnatul witr itu sunnah mu`akkadah dan tidak sepantasnya bagi seorang pun untuk meninggalkannya.” (Majmu’ Fatawa 23/88)
Dan ketika ditanya tentang orang yang tidak membiasakan dirinya melaksanakan sunnah-sunnah rawatib, beliau menjawab: “Barangsiapa yang bersikukuh untuk terus-menerus meninggalkannya, hal itu menunjukkan kerendahan pemahaman agamanya dan ditolak persaksiannya menurut madzhab Ahmad, Syafi’i dan selainnya.” (Majmu’ Fatawa 23/127)
Beliau juga mengatakan: “… bahwa orang yang membiasakan dirinya meninggalkan sunnah-sunnah yang selain (shalat) jama’ah, maka gugurlah keadilannya menurut mereka dan tidak diterima persaksiannya. Lalu bagaimana dengan orang yang meninggalkan (shalat) jama’ah itu sendiri? Maka sesungguhnya ia diperintahkan dengannya sesuai kesepakatan kaum muslimin. Dicela orang yang meninggalkannya dan tidak dapat diterima hukum, persaksian atau fatwanya yang disertai dengan terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah rawatib yang selain (shalat) jama’ah. Maka bagaimana dengan (shalat) jama’ah (yang ia tinggalkan-pent)? (Majmu’ Fatawa 23/253)
Maksud perkataan beliau adalah meninggalkan sunnah yang rawatib saja sudah sedemikian kerasnya sikap para imam, apalagi kalau meninggalkan shalat jama’ah di masjid, tentu lebih keras lagi sikap mereka dalam pengingkarannya, dan perlu diketahui bahwasanya kebanyakan para ‘ulama berpendapat wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki, bisa dilihat dalam kitab Ahammiyyatu Shalaatil Jamaa’ah karya Dr. Fadhl Ilahi atau lihat kembali buletin edisi 38/I.
Berkata Asy-Syathibiy di dalam Al-Muwaafaqaat (1/79-80):
“Jika amalan itu merupakan suatu yang mandub (dianjurkan) secara per-bagian, maka itu wajib secara keseluruhan, seperti adzan di masjid-masjid jami’ atau yang selainnya … dan sedekah tathawwu’, menikah dan shalat witir. Dan seluruh sunnah rawatib itu mandub secara per-bagian. Seandainya ditinggalkan secara keseluruhan, pasti akan dicela orang yang meninggalkannya. Tidakkah engkau melihat, bahwa di dalam adzan terdapat penampakkan syi’ar-syi’ar Islam, karena itu penduduk suatu kota pantas diperangi, jika meninggalkannya … dan dalam menikah tidak diragukan lagi, bahwa yang ada di dalamnya adalah yang dimaksudkan oleh syari’at yaitu: memperbanyak keturunan dan pelestarian (makhluq) jenis manusia dan yang seperti itu.
Maka apabila sunnah itu ditinggalkan secara total, akan memberi dampak negatif pada agama, yaitu menyia-nyiakan agama, apabila selalu dilakukan (meninggalkan sunnah tersebut-pent.). Adapun jika dilakukan pada sebagian waktu saja, maka hal ini tidak memberi dampak apa-apa bagi agama dan tidak ada larangan meninggalkannya (sewaktu-waktu).”
Dan dari yang kedua: -yaitu dibolehkannya mengingkari orang yang meninggalkan sunnah -sebagaimana yang telah disebutkan oleh orang-orang Hanabilah, bahwasanya mengingkari kemungkaran itu terkadang wajib dan terkadang mandub.
Maka akan menjadi wajib, jika kewajiban itu ditinggalkan dan keharaman dikerjakan.
Dan akan menjadi mandub, apabila yang mandub itu ditinggalkan dan yang makruh dilakukan.
Pendapat ini juga merupakan pendapat selain ‘ulama Hanabilah, sebagaimana telah disebutklan oleh Ibnu Muflih di dalam Al-Aadaab Asy-Syar’iyyah.” ((1/194)
Berkata An-Nawawiy dalam Syarh Muslim (6/134) mengomentari hadits Abu Hurairah mengenai pengingkaran ‘Umar terhadap ‘Utsman, ketika ia terlambat berangkat di awal waktu shalat Jum’at dan meninggalkan mandi untuk shalat Jum’at: ‘Di dalamnya … terdapat pengingkaran terhadap orang yang menyelisihi sunnah, walaupun tinggi kedudukannya.”
Al-Hafizh berkata di dalam Al-Fath (2/360): “Dan di dalam hadits tersebut ada beberapa faidah…, yaitu pengingkaran seorang imam kepada orang yang meninggalkan keutamaan, walaupun besar kedudukan orang tersebut. Dan menghadapkannya dengan pengingkaran itu, (bertujuan) agar orang lain tercegah dari melakukan perbuatan tersebut.”
Selanjutnya Al-Hafizh mengatakan di tengah pembahasan: “Pengingkaran itu terkadang ditujukan kepada orang yang meninggalkan sunnah.” (Al-Fath 2/210)
Kita akhiri pembahasan ini dengan ucapan Abu Bakr Ash-Shiddiiq rodhiyallahu ‘anhu: “Tidaklah aku meninggalkan sesuatu perbuatan (sunnah) yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, melainkan aku selalu melakukannya. Dan sesungguhnya aku takut jika aku meninggalkan sesuatu dari perintahnya, aku akan menyimpang (sesat).” (Ta’zhiimus Sunnah hal.24).
Kita berdo’a kepada Allah agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Nabi, mempelajarinya, mengamalkannya, mendakwahkannya, menghidupkannya serta membelanya dari para penentangnya, Amin! Wallaahu a’lam bish Shawaab.
Diringkas dari kitab Dharuuratul Ihtimaam bis Sunanin Nabawiyyah, bab “Fii Hukmi Tarkis Sunan” karya Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas dengan sedikit perubahan dan tambahan.
Sumber: adhwaus-salaf.or.id Buletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi ke-14 Tahun ke-2/6 Muharrom 1425 H Judul: Hukum Meninggalkan Sunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar