Bantahan atas pendapat
yang menyatakan kebangkitan Negara/umat adalah bagaimana membangkitkan
akhlaknya dapat diperinci sbb :
Pertama, sebenarnya konteks yang hendak dikaji adalah kebangkitan umat atau
kebangkitan masyarakat, bukan kebangkitan individu. Individu berbeda dengan
masyarakat dari sisi karakter maupun penyusunnya. Atas dasar itu, cara
membangkitkan individu berbeda dengan cara membangkitkan masyarakat. Akhlak
adalah hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, akhlak adalah salah satu variabel penting untuk membangkitkan
individu.
Berbeda dengan konteks kebangkitan masyarakat. Untuk membahas kebangkitan
masyarakat, kita harus memahami unsur-unsur penyusun masyarakat dan cara untuk
mengubahnya. Begitu pula jika kita hendak mengubah individu, kita mesti
memahami terlebih dulu unsur-unsur penyusun individu dan bagaimana cara
membangkitkannya.
Masyarakat sendiri tersusun atas manusia, pemikiran, perasaan,dan aturan yang
diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Benar, manusia merupakan salah satu
faktor penyusun masyarakat. Namun demikian, perubahan manusia tidak secara
otomatis menghasilkan perubahan masyarakat maupun warna masyarakat. Sebab,
masyarakat tidak hanya tersusun dari manusia belaka, tetapi juga tersusun oleh
pemikiran, perasaan, dan aturan. Selain itu, faktor yang menentukan corak dan
warna masyarakat bukanlah manusia sebagai individu, melainkan pemikiran dan
aturan yang diterapkan.
Para penganut agama Budha terkenal sebagai orang-orang yang menjunjung
nilai-nilai akhlak, bahkan memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia. Namun
demikian, warna masyarakat yang tersusun dari orang-orang Budha dan agama Budha
adalah masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam. Ini menunjukkan, bahwa faktor
yang menentukan corak dan warna masyarakat adalah pemikiran dan aturan yang
diterapkan di dalamnya, bukan akhlak individunya.
Masyarakat di negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim yang terkenal
jujur, amanah, dan berbudi pekerti luhur, disebut masyarakat yang tidak islami
jika sistem aturan yang diberlakukan di negeri-negeri Islam tersebut adalah
sistem aturan kufur.
Masyarakat Jahiliah sebelum Islam juga menjunjung nilai-nilai akhlak yang
tinggi—menghargai tamu, perwira, dan sebagainya. Sifat-sifat akhlak ini tidak
berubah ketika mereka berubah menjadi masyarakat Islam. Ini menunjukkan bahwa
akhlak tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.
Walhasil, perubahannya tidak boleh difokuskan hanya pada perubahan individunya
belaka, namun harus difokuskan pada perubahan pemikiran dan aturan yang ada di
tengah-tengah masyarakat.
Di sisi yang lain, nilai-nilai akhlak—sebagai nilai universal—bukanlah nilai
yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia selalu melekat pada perbuatan tertentu.
Jujur adalah nilai akhlak. Namun, Anda tidak bisa mengetahui apakah seseorang
itu jujur atau tidak, kecuali ketika ia melakukan suatu aktivitas tertentu.
Jujur bisa melekat pada perbuatan apapun, halal maupun haram. Jujur bisa
melekat pada seorang pegawai bank yang mengkonsumsi ribawi. Jujur juga bisa
melekat pada anggota parlemen yang suka menelorkan aturan-aturan kufur. Namun
demikian, jujur yang melekat pada perbuatan-perbuatan haram tersebut tidak
memiliki nilai sama sekali. Bahkan, kita tidak boleh menyatakan bahwa orang
tersebut berakhlak. Sebab, kejujurannya telah melekat pada perbuatan haram.
Dedikasi yang tinggi,
disiplin, dan amanah bisa saja melekat pada diri anggota pasukan perang yang
menjadi pembela sistem kufur. Akan tetapi, kita tidak mungkin menyatakan
orang-orang ini menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Bahkan, akhlak yang
menempel pada sistem kufur semacam ini tidak memiliki arti sedikitpun dalam
timbangan Islam. Yang terpenting adalah mengubah pemikiran dan sistem aturan
yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan akhlak hanyalah sekadar
bagian dari aturan-aturan Allah Swt. yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya
sendiri. Perubahan akhlak sama sekali tidak berkaitan dengan perubahan warna
masyarakat.
Kedua, pernyataan di atas tidak berarti bahwa kami meremehkan akhlak, atau
menganggap bahwa akhlak bukanlah perkara penting jika dibandingkan dengan
perkara-perkara yang lain. Al-Quran sendiri tidak menyebut kata khuluq di
banyak tempat, kecuali pada surat al-Qalam ayat 4 dan asy-Syu’ara ayat 137.
Selain itu, para fuqaha hanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan
hukum syariat. Mereka tidak pernah mengkaji akhlak dalam bab fikih tersendiri.
Ini menunjukkan bahwa akhlak adalah bagian dari syariat Islam yang mengatur
hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Ketiga, seandainya kita mencermati bangsa-bangsa yang saat ini mengalami
kemajuan, kita bisa menyimpulkan, bahwa akhlak yang dimiliki oleh kaum Muslim
tetap lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, kaum
Muslim tetap saja dalam posisi mundur. Mereka tertinggal jauh dengan
bangsa-bangsa yang akhlaknya lebih rendah dibandingkan dengan mereka.
Keempat, fakta juga telah menunjukkan bahwa propaganda-propaganda yang
menyerukan akhlak sama sekali tidak memberikan pengaruh bagi kebangkitan kaum
kaum Muslim. Umat Islam tetap mundur dari sisi ekonomi, politik, dan hukum. Ini
juga membuktikan bahwa akhlak bukanlah asas atau dasar dari perubahan
masyarakat. Ia juga bukan masalah utama bagi kaum Muslim.
Penjelasan di atas tidak boleh dipahami, meremehkan akhlak atau tidak
menganggap penting masalah akhlak. Namun, hanya ingin menjelaskan, bahwa akhlak
bukanlah persoalan utama kaum Muslim, dan juga bukan asas dan dasar kebangkitan
umat.
Surat al-Qalam ayat 4 dan Hadis Nabi saw. sebagaimana dinukil di atas dan
nash-nash yang senada pengertiannya tidak bisa dipahami bahwa asas perubahan
adalah akhlak atau bahwa persoalan yang menjadi fokus perhatian utama
Rasulullah saw. adalah perubahan akhlak. Para mufasir terkenal seperti Mujahid,
ad-Dhahak, ath-Thabari, dan al-Qurthubi, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
kata khulq pada surat al-Qalam ayat 4, bukan sekadar “akhlak”, tetapi bermakna
“dîn” (agama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar