Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap
mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain
kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. At-taubah/9: 18)
Setiap
perkampungan yang dihuni mayoritas umat Islam, pasti ditemukan bangunan
masjid, bahkan dalam tradisi Minangakabau, masjid merupakan salah satu
syarat berdirinya suatu nagari. Beragam bentuk masjid yang dibangun. Mulai
dari bangunan yang sederhana, hingga kepada arsitektur yang bernilai tinggi.
Megah, indah dan mewah.
Namun
yang lebih diutamakan, kemegahan fisiknya atau membangun jamaahnya. Sebandingkah
kemegahan masjid dengan aktivitas jamaah di dalamnya dalam rangka menundukkan
diri kepada Allah? Kemegahan bangunan masjid memang diperlukan untuk syiar
Islam. Namun Alquran menegaskan agar masjid dimakmurkan, bukan justru sibuk
membangun fisiknya tetapi meninggalkan jiwanya tanpa jamaah.
Cara Memakmurkan Masjid
Memakmurkan
masjid atau disebut juga dengan ta’mirul masajid dapat dilakukan dengan
berbagai cara, di antaranya,
pertama, beribadah di dalamnya, seperti
salat berjamaah, berzikir, membaca Alquran, menuntut ilmu pengetahuan dan
sebagainya. Beragam ibadah yang dilakukan di masjid tersebut akan melatih
pribadi seseorang untuk menampilkan perilaku-perilaku positif: jiwa yang
tenang, suka menolong, tidak mudah mencela orang, dan memiliki semangat
kerja yang tinggi.
Kedua, menegakkan jamaah.
Masjid sejatinya dijadikan sebagai basis persatuan dan kesatuan umat Islam.
Di dalamnya tidak dikenal kastanisasi, hanya ada dua yang berperan, imam
atau makmum. Makmum akan taat kepada imam selagi tetap dalam aturan.
Mengenai
pentingnya jamaah ini, Rasulullah SAW berpesan: “Sesungguhnya setan itu
adalah serigala terhadap manusia. Sama halnya dengan serigala menerkam
kambing yang diterkamnya ialah kambing-kambing yang menjauh-jauh
terpisah-pisah. Oleh sebab itu sekali-kali janganlah kamu menempuh jalan
sendiri dan hendaklah kamu berjamaah dan berkumpul dengan orang banyak dan
ke masjid. (HR Imam Ahmad dari Mu’az bin Jabal)
Ketiga, membangun dan
memeliharanya. Membangun dan memelihara masjid dapat dilakukan dengan cara
mendirikan bangunan masjid, memperbaiki jika ada yang rusak, tentu dengan
uang yang halal. Jika ada orang kaya yang menyumbangkan kekayaannya untuk
mendirikan masjid besar-besar. Padahal jiwanya sendiri tidak pernah ikhlas
berinfak atau berwakaf, tidak pernah salat berjamaah, atau hanya ingin dipuji
oleh orang lain. Maka semua yang ia lakukan tidaklah mendatangkan manfaat
baginya kelak di akhirat.
Namun
bagi orang yang berupaya untuk membangun masjid dengan ikhlas karena Allah
semata, maka Allah menjanjikan surga baginya, meskipun upaya itu hanya
sedikit sekali. Dari Ibn Abbas Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa membangun
masjid karena Allah, meskipun seluas tanah galian burung merpati, niscaya
Allah akan membangun rumah baginya di surga. (HR. Ahmad).
Perlu
ditegaskan, pembangunan masjid sesungguhnya menguji persatuan umat, sampai
dimana komitmennya dalam membangun rumah Allah secara bersama. Mana yang
lebih kokoh dan indah bangunan masjid dari pada rumahnya sendiri? Ironis,
rumah laksana istana, tetapi masjid dibangun justru hasil dari meminta-minta
di jalan raya. Jika ini terjadi, maka telah tampak nyata kerapuhan persatuan
umat.
Keempat, membersihkan dan
menjaga kesuciannya. Dalam satu hadis dijelaskan: Ada seorang perempuan yang
senantiasa menyapu masjid, kemudian mati. Nabi SAW lalu menanyakan tentang
perempuan itu. Dijawab bahwa dia telah wafat. Nabi bersabda: “Mengapa kalian
tidak memberitahukannya kepadaku?” Maka beliau mendatangi kuburannya lalu
mensalatkannya. (HR. Asy-Syaikhani, Abu Daud, dan Ibn Majah).
Oleh
karena itu, menghilangkan kotoran dari masjid dan membuatnya selalu bersih
adalah wajib. Jika masjid telah disapu, disiram (atau dipel) disunatkan pula
jika masjid diharum-harumi. Dengan demikian diharapkan jamaah menjadi
nyaman, tentram dan senang di dalam masjid, di samping karena alasan keimanan
yang kuat.
Namun
membersihkan masjid dari sifat-sifat jamaah yang berpenyakit, seperti riya,
iri, dendam, sombong, dan lainnya jauh lebih sulit dari sekadar membersihkan
fisik masjid. Karena itu, orang yang memakmurkan masjid tidak saja menjaga
kebersihan fisik masjid, tetapi juga memelihara kesucian hatinya.
Kelima, memfungsikan masjid
sesuai keridaan Allah. Kita patut mencontoh masa Rasulullah SAW dalam memakmurkan
masjid. Qurasih Shihab menyebutkan, tidak kurang dari sepuluh peran Masjid
Nabawi pada masa tersebut, yaitu: 1) tempat ibadah (salat dan zikir); 2)
tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi, sosial dan budaya); 3)
tempat pendidikan; 4) tempat santunan sosial; 5) tempat latihan militer dan
persiapan alat-alatnya; 6) tempat pengobatan para korban perang; 7) tempat
perdamaian dan pengadilan sengketa; 8) aula dan tempat menerima tamu; 9)
tempat menawan tahanan; dan 10) pusat penerangan atau pembelaan agama.
Kini,
masjid tidak lagi berperan sedemikian besar, sebab berbagai lembaga di luar
masjid telah bermunculan dan tertata sedemikian rupa. Akan tetapi masjid masa
kini mesti terbuka untuk dikembangkan baik dalam beribadah kepada Allah
secara khusus, termasuk menjadikannya sebagai wadah untuk mengembangkan
kehidupan umat, seperti pendidikan, kesehatan, pusat dakwah, tempat
musyawarah, dan sebagainya.
Karakter Pemakmur Masjid
Paling
tidak ada empat karakter orang yang memakmurkan masjid, berdasarkan Qs.
at-taubah/9:18.
Pertama, beriman kepada Allah SWT dan hari yang akhir.
Iman adalah syarat utama yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin
memakmurkan masjid. Iman mesti membuahkan amal. Di antara amal yang harus
dilakukan oleh seorang mukmin adalah memakmurkan masjid. Demikian pula iman
kepada hari akhir, sebab seorang mukmin akan berharap kelak Allah memberikan
balasan surga bagi orang yang memakmurkannya.
Kedua, mendirikan salat.
Ketika adzan berkumandang, mereka akan bersegera menuju masjid untuk
mendirikan salat. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah orang yang melaksanakan
salat di awal waktu, berjamaah, dan bertempat di masjid. Begitu pentingnya
salat berjamaah di masjid, seorang yang buta saja tetap diperintahkan untuk
mendirikan salat di masjid. sabdanya: Wahai Rasulullah, aku adalah seorang
laki-laki yang buta. Rumahku jauh dan aku tidak memiliki orang yang menuntun.
Apakah aku mempunyai keringanan untuk salat di rumah? Rasul bertanya: apakah
kamu mendengar seruan (adzan)? Ia berkata: Ya, Rasul bersabda: Aku tidak
mendapatkan keringanan untukmu”. (HR. Abu Daud)
Ketiga, membayar zakat. Ketika
seseorang mendirikan salat di masjid, mereka akan membentuk shaf yang lurus
dan rapat. Seluruh makmum berada di belakang imam tanpa membedakan antara si
kaya dengan si mikin. Seorang jenderal bisa bersentuhan bahu dengan seorang
prajurit. Semua sama statusnya di antara jamaah, yaitu makmum. Mereka saling
menghormati dengan penuh kasih sayang.
Jika
mereka menyadari arti jamaah tersebut, maka mereka akan menyaksikan adanya si
miskin yang membutuhkan bantuan. Karena itu pula, orang yang mendirikan salat
mesti memiliki kepedulian sosial yang tinggi, salah satu wujudnya adalah
membayar zakat.
Keempat, tidak takut kecuali
kepada Allah. Orang yang memakmurkan masjid adalah orang yang tidak takut
kecuali hanya kepada Allah semata. Ketakutan tersebut akan mendorong
seseorang melaksanakan ibadah, bukan justru jauh dari Allah. Bahkan jika
terjadi dua ketakutan atau lebih yang dihadapi seseorang, yakni takut kepada
Allah dan takuk kepada selain-Nya, maka ketika itu ia tidak takut kecuali
kepada Allah. Inilah yang membedakan antara seorang mukmin dengan musyrik.
Seorang musyrik boleh jadi mengorbankan kepentingan tuhan yang mereka sembah
karena rasa takut mereka kepada pemuka dan tokoh-tokoh masyarakat, sedangkan
seorang muslim bersedia mengorbankan segala sesuatu demi rasa takutnya kepada
Allah SWT.
|
Senin, 15 Februari 2010
Memakmurkan Masjid
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar