Oleh: Ayu Dewi Mustika, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Arab, Universitas Gadjah Mada.
Seorang teman pernah bercerita, tentang kenekatan dirinya kabur dari rumah karena kedua orang tua menginginkannya bekerja di Malaysia selepas lulus SMK. Ia berpikir, mau jadi apa disana? Tanpa ketrampilan khusus yang dimilikinya? Bukan berarti ia tidak ingin bekerja, tapi kalau hanya jadi seorang “babu”, mengapa harus jauh-jauh ke negeri orang? Betapa miskinkah negara Indonesia, sampai-sampai tak mampu memberi upah yang cukup untuk seorang babu sekalipun? Maka teman saya ini memilih bekerja keras selama setahun untuk menabung pundi-pundi uang di negeri sendiri, agar bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri. Alhamdulillah, sampai ia diterima di kampus ternama UGM, walaupun dengan fasilitas hidup seadanya karena harus berpeluh keringat bekerja membiayai sendiri.
Pengalaman teman saya tersebut salah satu fakta dari banyak fakta yang terjadi di negeri tercinta ini. Yang patut disoroti dalam hal ini, bukanlah ‘kenekatan’ teman saya memilih mandiri untuk menggapai cita-citanya, tentu jika kemandirian itu positif, maka sangat pantas diteladani oleh para pemuda-pemudi Indonesia yang masih terkukung dengan rendahnya tingkat pendidikan mereka. Namun, di sisi lain sejenak saya ingin mengajak anda semua merenungkan, mengapa kedua orang tua teman saya memiliki pola pemikiran seperti itu? Seakan-akan luar negeri merupakan harapan kebahagiaan dalam menggapai materi dengan mudahnya, padahal berita-berita mengenaskan tentang nasib TKI di luar negeri pun tak kalah santer merebak. Akan tetapi, hal tersebut tak mengurungkan peminat para calon-calon TKI untuk mendapat kesejahteraan hidup lebih baik di negeri orang. Jika diteruskan pertanyaan lebih spesifik kepada mereka, tak pelak kenyataannya adalah karena alasan kemiskinan, pokoknya susah dapat uang banyak di Indonesia bagi mereka yang sekolah pas-pas an.
Pemikiran para TKI tersebut bukan berarti sebuah kesalahan, dalam hal ini khusus bagi mereka yang menjadi pekerja kelas bawah di luar negeri, seperti PRT, tukang kebun, dan sejenisnya yang lain. Wajar saja, setiap orang ingin hidup lebih baik dalam hal finansial. Namun, fakta ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum mendapatkan hak-hak kesejahteraan mereka sesuai kebijakan pemerintah dalam menerapkan sistem perpajakan. Pajak yang diterapkan di negeri ini merupakan iuran rakyat kepada kas negara yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan salah satu fungsinya digunakan untuk pembangunan negara demi kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya. Jika memang kebijakan pajak ini yang menjadi asas di negara ini, maka pelaksanaannya haruslah konsisten dengan tujuannya, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat yang tidak pandang bulu. Bukan saja anak-anak kota yang mendapat fasilitas pendidikan memadai, anak-anak daerah pedalaman pun berhak mendapatkannya. Dan bukan saja para anggota DPR yang mendapatkan fasilitas rumah mewah, orang-orang pinggiran yang hanya tidur di tempat-tempat kumuh Ibukota pun membutuhkan bantuan tempat tinggal yang layak huni!
Penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN tidak bernilai kecil, patut diketahui jumlah penerimaan pajak yang diperoleh adalah jumlah yang berskala besar. Target penerimaaan pajak yang diperoleh dari berbagai jenis pajak, diantaranya: Pajak Penghasilan (PPh) sekitar Rp.198,22 triliun, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) sekitar Rp.126,76 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sekitar Rp.15,67 triliun, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sekitar Rp.5,06 triliun, dan penerimaan pajak lainnya sekitar Rp.2,76 triliun. Jika secara logika, dengan jumlah pajak sebesar itu sepatutnya mampu memberikan lapangan pekerjaan layak bagi para TKI, yang mereka lebih memilih bekerja di luar negeri. Apalagi bangunan-bangunan industri dan bisnis di kota-kota besar semakin bertaburan dan pesat, lalu lari kemana pajak yang disedot dari bangunan-bangunan besar dan tinggi itu? Miris sekali para TKI tidak mendapat jatah bekerja di negerinya sendiri. Kalau pun, yang menjadi kendala adalah kurangnya tingkat pendidikan, ketrampilan, atau syarat kualifikasi lainnya yang para TKI itu tak mampu penuhi, maka perlu menjadi tanda tanya besar sudah cukupkah anggaran untuk pendidikan? Jika kenyataannya pemasukan besar negara dari perpajakan, lantas lari kemana aliran dana untuk pendidikan, peningkatan SDM, pengembangan usaha-usaha kecil, dan lain sebagainya. Tidak dapat dipungkiri, pemasukan besar negara dari pajak, belum terkelola dengan tepat dan akurat karena adanya penyelewengan terselubung yang menyedot aliran pajak tersebut. Hal ini begitu tampak pada kehidupan rakyat Indonesia yang terkungkung hidup di bawah garis kemiskinan. Kini pun mulai terkuak aksi mafia pajak bergeliat dengan uang rakyat, aktor yang melejit degan kepiawaannya menipu aparat penegak hukum, Gayus Tambunan sang pembunuh rakyat. Seorang PNS golongan III yang dengan mudahnya menjadi seorang milyuner ‘dadakan’, bukankah seharusnya rakyat yang menikmatinya? Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan ada gayus-gayus lain yang belum terkuak dan tanpa sadar ikut menikmati uang rakyat, sungguh sebuah tindakan kezhaliman bagi rakyat Indonesia.
Pada perkembangannya hingga kini, sistem perpajakan yang diterapkan di Indonesia belum menunjukkan hasil yang efisien dalam menjalankan fungsi dari kebijakan pajak itu sendiri. Dan salah satu fungsi utama pajak adalah untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan tetapi, pada kenyataannya mayoritas aliran pajak lebih banyak diarahkan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, yaitu untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan. Memang benar, jika dikatakan hal tersebut merupakan salah satu fungsi pajak lainnya. Namun alangkah bijak, kepentingan rakyat yang lebih didahulukan daripada kepentingan negara, setidaknya minimal ‘dihemat’. Bukankah dana pajak adalah uang rakyat? Syariat Islam menegaskan dengan dalil-dalil yang jelas, dalam surat An-Nisaa, ayat 29 Allah Ta’aala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah Ta’aala melarang manusia saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan jika pajak tidak digunakan sesuai fungsinya, apalagi bukan untuk kemaslahatan umum, maka sudah pasti adalah salah satu jalan yang batil bagi manusia untuk memakan harta sesamanya.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, sudah seharusnya memiliki komitmen kuat menjalankan pembangunan bangsa dengan amanah, dimana keimanan dan ketaqwaan diletakkan sebagai prinsip yang tak mampu tergadaikan. Memang pengelolaan pajak yang tidak adil dan tepat sasaran termasuk kezhaliman yang nyata dan tidak dapat disangkal lagi, walaupun demikian, kezhaliman yang dilakukan pemerintah tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan mengarah kepada kemaksiatan atau keburukan. Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullaah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selama dia muslim). Tentang masalah pungutan uang terhadap rakyat oleh pemerintah, yang dalam hal ini Indonesia menerapkan sistem perpajakan, sudah menjadi perhatian pula oleh tokoh-tokoh Islam terdahulu sebagai pemimpin pada zaman masa pemerintahannya. Mereka berusaha berdiri tegak dengan pondisi keimanan kepada Allah azza wa jalla dan tegar berjalan di atas sunnah Nabiyullaah Muhammad Shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Kesejahteraan rakyat tanpa pilih kasih menjadi sebuah kewajiban yang tertanam dalam hati mereka, maka kekuasaan bukan menjadi ‘aji mumpung’ di mata mereka, melainkan bagaikan sebuah gunung besar yang dipikul, yang kapan saja akan bisa meletus menggelegar.
Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhumaa- pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab -radhiyallahu ‘anhu- pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya” [Syarh Ma’anil Atsar 2/31]. Pada suatu hari pula, Umar bin Abdul Aziz -rahimahullaah- pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata: “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat Hud, ayat 85 :
“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”.
Salah satu Kibaarul-‘Ulamaa terkemuka Arab Saudi, Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- menjelaskan dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah : “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.
Kenyataan bahwa pajak belum mampu memberikan kontribusi maksimal bagi kehidupan rakyat Indonesia, disebabkan adanya pengelolaan aliran dana pajak tersebut tak tersalurkan memenuhi hak-hak rakyat. Dana tersebut bisa saja saja ‘tertahan’ di kantong-kantong pihak tertentu atau terfoya-foya untuk memenuhi fasilitas urusan kenegaraan, hanya sekian persen saja rakyat dapat menikmati aliran pajak. Buktikanlah. Maka sepatutnya kebijakan ini dikaji ulang demi mewujudkan kemaslahatan umum, kalau hanya untuk memanjakan para pejabat ‘aji mumpung’, mengapa pula kewajiban pajak terus dipertahankan? Dalam prakteknya, bantuan yang selama ini didapatkan dan tersalurkan untuk bidang pendidikan, pengembangan usaha, kesehatan, pemberantasan kebodohan, bencana alam, dan lain sebagainya. Terbukti mayoritas diperoleh dari uluran tangan para dermawan, yang diantara mereka berkedudukan strategis di berbagai bidang usaha mandiri, organisasi kemanusiaan, perusahaan swasta yang mengembangkan berbagai produk terkenal, pengusaha-pengusaha luar negeri, dan berbagai latar belakang profesi lainnya, baik secara person maupun komunitas. Pada intinya, masyarakat lebih menikmati dan terbantu dengan adanya program-program bantuan tersebut, dibandingkan aliran bantuan dari kucuran dana pajak. Syariat Islam pun lebih menganjurkan untuk meninggalkan praktek pemungutan pajak terhadap rakyat, dan menggantinya dengan menyuburkan zakat, shadaqah jariyyah, wakaf, dan bantuan kebaikan lainnya yang sesuai kemampuan manusia untuk menolong sesamanya. Tanpa pemaksaan dan bentuk kezhaliman, kecuali kepada ada orang-orang kaya yang bakhil dan enggan mengeluarkan hartanya. Maka patut dicermati pendapat salah seorang tokoh muslimah Indonesia, Bunda Neno Warisman ketika menjadi juri dalam program PILDACIL di ANTV, bunda mengatakan bahwa kalau ingin membayar pajak, sesuai kadarnya saja. Tidak perlu dilebihkan, karena pada kenyataannya zakat lebih menyentuh dan bermanfaat membantu bagi orang-orang yang membutuhkan.
Perlu kiranya kita mengingat kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, kebodohan, musibah yang silih berganti dan lainnya, di antara sebab yang terbesar tidak lain adalah dari tangan-tangan manusia itu sendiri (surat Ar-Rum : 41). Apalagi Indonesia yang memiliki potensial sumber daya alam berlimpah, maka miris sekali bila rakyatnya masih terkungkung hidup di bawah garis kemiskinan. Kini, pertanyaan besar yang akan menjadi PR kita bersama, masih perlukah pemungutan pajak diterapkan di negeri ini? Sedangkan yang menikmati hanya orang-orang yang ‘berkuasa’ tanpa mau mendengar jeritan penderitaan rakyat. Lihatlah siapa yang akan cepat memberi memberi perhatian terhadap pendidikan anak-anak jalanan, kalau bukan orang-orang yang tergabung dalam lembaga kemanusiaan? Mereka lah yang akan pertama kali dengan gigih tanpa pikir panjang, mengumpulkan segenap tenaga memikirkan masa depan anak-anak itu. Di sisi lain, diantara manusia ada yang terheran-heran dan mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa pajak. Maka dapat dijawab, tidakkah terpikirkan bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa, yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-A’raf, ayat 96 : “Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya Kami limpahkan kepada mereka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. Demikian bila kita mau berpikir sesuai tuntunan syariat Islam, adapun secara logika, tanyakanlah, masih adakah yang mau pajak diterapkan kalau hanya untuk memberi fasilitas ‘mewah-mewah’ para pejabat yang tidak amanah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar