Berikut ini kami akan membawakan beberapa permasalahan yang dianggap sebagai pembatal wudhu padahal tidak demikian, diantaranya.
Tidak Membatalkan Wudhu
Maha Suci Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya sebagaimana Allah telah berfirman dalam Al Qur’an (yang artinya), “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian” (QS Al Maidah:3)
Maka dipahami dari ayat tersebut bahwasanya Islam itu agama yang sempurna, tidak ada perkara yang bisa mendekatkan kepada Allah melainkan sudah ada keterangannya. Dan diantara permasalahan-permasalahan yang telah Allah jelaskan adalah permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pembatal-pembatal wudhu, maka tidak boleh seseorang menetapkan sesuatu hal sebagai pembatal wudhu kecuali harus berdasarkan dengan dalil dari Al Qur’an ataupun As Sunnah.
Berikut ini kami akan membawakan beberapa permasalahan yang dianggap sebagai pembatal wudhu padahal tidak demikian, diantaranya:
1. Al Istihadhah
Berkata Al Imam An Nawawi Rahimahullah , “Al Istihadhah adalah keluarnya darah dari kemaluan wanita bukan pada waktunya (bukan pada waktu menstruasi dan bukan pada saat melahirkan) yang darah tersebut keluar dari urat yang bernama adzil, berbeda dengan haidh, karena haid keluar dari dalam rahim” Lihat Syarh Shahih Muslim (4-16)
Dalam kesempatan yang ringkas ini kita akan membawakan 2 hukum yang berkaitan dengan istihadhah.
Masalah pertama adalah tidak diwajibkannya bagi wanita yang terkena istihadhah untuk mandi setiap hendak shalat, kecuali pada saat berhenti haidnya maka diwajibkan untuk mandi sekali saja. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama bahwa seorang wanita yang terkena istihadhah tidak wajib baginya untuk mandi setiap shalat sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (yang artinya), “Telah berkata Fatimah bintu Abi Ubaisy, “Wahai Rasulullah Aku terkena Istihadhah dan tidak suci darinya apakah aku boleh meninggalkan sholat?” Berkata Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, “Tidak, itu adalah darah yang keluar dari urat (bukan darah dari rahim, darah haidh atau nifas) akan tetapi engkau boleh meninggalkan shalat di hari-hari haidmu kemudian mandilah dan shalatlah (setelah haidmu selesai)” “. Lihat Shahih Al Bukhary (325).
Dan kita lihat bahwasanya Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memerintahkan untuk mandi setiap shalat. Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah, “Pendapat kebanyakan ulama adalah pendapat yang benar, bahwasanya tidak wajib untuk mandi (setiap shalat) kecuali ketika haidnya selesai dikarenakan tidak ada dalil yang shahih (yang mewajibkan harus mandi setiap shalat)“. Lihat Nail Al Authar (jilid 1 hal:261).
Demikian juga telah berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, “Adapun riwayat yang disitu Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk mandi setiap shalat maka periwayatan tersebut telah diingkari oleh ulama’ ahlul hadits“.
Adapun riwayat yang shahih adalah Ummu Habibah binti Jahsy Radhiyallahu ‘Anha sendirilah yang mandi setiap hendak shalat.
Maka telah berkata Al Imam Asy Syafi’i Rahimahullah, “Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam hanya memerintahkan untuk mandi dan sholat dan tidaklah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan padanya untuk mandi setiap sholat“. Demikian juga dinukil perkataan yang sama dari Sufyan Bin Uyainah juga Laits Bin Sa’d. Lihat Fath Al Baari (jilid 1 halaman 535) dan Syarh Shahih Muslim (jilid 4 halaman 18)
Pendapat ini pendapat yang benar, yang diriwayatkan dari Ali Bin Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Urwah Bin Zubair, Abi Salamah, Malik, Abi Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad. Pendapat ini juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi, Al Hafidz Ibnu Hajar, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Alu Asy Syaikh. Lihat Jami’ Ahkam Al Qur’an (jilid 2 no 77), Al Ihkam (No 192), Ainul Ma’bud (Jilid 1 No 333), Subul As Salaam (Jilid 1 no 160).
Tidak juga diwajibkan bagi wanita yang terkena istihadhah untuk wudhu setiap kali hendak sholat, maka bila telah berwudhu boleh baginya untuk untuk sholat dengan wudhu tersebut lebih dari satu kali sholat selama tidak berhadats selain darah istihadhah (semisal buang air besar, jima’, atau buang angin). Adapun darah istihadhah tidak membatalkan wudhu.
Ini adalah pendapat yang lebih kuat daripada yang mewajibkan untuk wudhu setiap kali sholat. Karena tidak ada dalil shahih yang mewajibkan untuk berwudhu setiap kali sholat.
Adapun hadits yang memerintahkan untuk berwudhu setiap kali hendak sholat adalah hadits lemah yangtelah diingkari oleh imam-imam ahli hadits, diantaranya Al Imam Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya, tatkala berkata, “Di periwayatan Hammad Bin Zaid ada tambahan (perintah berwudhu setiap kali sholat) sengaja kami tidak sebutkan“. Syarah Shahih Muslim (4/19). Perkataan Imam Muslim Rahimahullah tersebut merupakan isyarat dari beliau bahwa periwayatan tersebut tidak shahih atau lemah. Hal ini perkara-perkara yang dipahami oleh orang-orang yang memperhatikan kebiasaan Imam Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya.
Mengingat kesempatan yang sedikit mungkin ada baiknya kalau kita bawakan bukti-bukti yang menguatkan hal itu di kesempatan yang lain. Dan hal ini juga dipahami oleh Al Hafidz Ibnu Hajar bahwasanya hadits ini dianggap lemah oleh Al Imam Muslim, walaupun Al Hafidz tidak sependapat dengan Al Imam Muslim dalam hal ini. Lihat Al Fathu AL Baari (1/512)
Demikian juga Al Imam An Nasa’i Rahimahullah mengatakan bahwa periwayatan yang memerintahkan untuk berwudhu setiap hendak sholat tidaklah shahih. Demikian juga Abu Daud dalam Sunan-nya, “Hadits ‘Adi Bin Tsabit dan al A’masy dan Habib dan Ayub Abi Al ‘Ala semuanya lemah tidak shahih”. Kemudian Beliau berkata, “Telah meriwayatkan Ibnu Abi Daud dari Al A’masy marfu’ awalnya kemudian ia ingkari hadits yang mewajibkan wudhu setiap sholat“. Lihat Ainul Ma’bud (1/337)
Kesimpulan: Tidak wajib bagi perempuan yang terkena istihadhah untuk berwudhu setiap kali hendak sholat dan darah istihadhahnya bukanlah pembatal wudhu. Pendapat ini adalah pendapat Imam Rabiah, Imam Malik, Dawud, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang tersebut dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal. 27)
2. Menyentuh Wanita
Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini menjadi lima pendapat sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Imam Qurtubi dalam Jami Li Ahkamil Qur’an (3-199). Akan tetapi bisa dikatakan pendapat yang mahsyur ada 3 pendapat. Lihat Majmu’ Al Fatawa (21-230)
Pendapat pertama: Menyentuh perempuan membatalkan wudhu secara mutlak (terangsang ataupun tidak terangsang) dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Mereka berdalil dengan ayat dalam Al Qur’an (yang artinya), “Atau bila kalian menyentuh perempuan dan kalian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah” (QS An Nisaa’:43). Lihat Nailul Authar (1-213). Ayat tersebut sepintas menunjukkan apabila menyentuh perempuan dapat membatalkan wudhu.
Pendapat kedua: Menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu apabila disertai dengan syahwat. Mereka juga berdalil dengan ayat di atas sebagaimana perkataan Ibnu Al Arabi dalam Ahkamul Qur’an (1-223) sebagaimana yang dinukil oleh Al Imam Al Qurtubi dalam Jami’ Ahkam Al Qur’an (3-200) bahwasanya perkataan Allah “Atau bila kalian menyentuh perempuan” bermaknamenyentuh dan mencium.
Pendapat ketiga: Menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu baik dengan syahwat maupun tidak, selama tidak keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi). Pendapat inilah yang diperkuat oleh Ali, Ibnu Abbas, Atha’, Thawus, Abu Hanifah, Sufyan Ats Tsauriy, dan lainnya. Lihat Ainul Ma’bud (1-2)
Berkata Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir, “Pendapat yang paling benar dalam permasalahan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya yang dikehendaki Allah Ta’ala dari perkataan-Nya, “Atau apabila kalian menyentuh perempuan” maksudnya adalah jima’ (hubungan suami istri -red) bukan yang lain dari makna tersebut karena telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mencium istri kemudian sholat dan tidak mengulangi wudhunya“. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1-516).
Berkata Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah, “Pendapat yang benar adalah menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak kecuali jika keluar dari kemaluannya sesuatu. Dalilnya bahwa telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bahwasanya beliau mencium istrinya kemudian Sholat tanpa mengulangi wudhunya. Selain itu tidaklah sesuatu itu bisa dianggap sebagai pembatal wudhu kecuali ada dalil yang shahih yang menunjukkan dengan jelas bahwa hal tersebut pembatal wudhu, dikarenakan seseorang yang yang telah berwudhu dengan mengikuti dalil syar’i maka tidak ada yang membatalkannya kecuali dengan keterangan dalil syar’i yang lain. Adapun firman Allah Ta’ala, “Atau apabila kalian menyentuh perempuan” maksudnya adalah jima’ (melakukan hubungan suami istri) sebagaiman ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, kemudian yang lebih memperkuat pendapat ini adalah ayat tersebut menjelaskan tentang pembagian (yang serasi) dari ayat Al Qur’an yaitu pembagian bersuci dengan thaharah yang asli (wudhu) dan thaharah pengganti (tayammum) kemudian pembagian yang serasi tentang bersuci dari hadats besar dan sebab-sebab untuk bersuci dari hadats kecil“. Lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (59)
Kesimpulan: Pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan “menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu dengan syahwat ataupun tidak dengan syahwat kecuali kalau keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi)“
Hal tersebut dikarenakan tidak adanya dalil yang mengharuskan untuk bersuci setelah menyentuh perempuan. Adapun ayat pada surat An Nisaa’ maknanya adalah “melakukan hubungan suami istri” sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas yang telah didoakan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam agar Allah memberikan kepada Ibnu Abbas pemahaman tentang ilmu tafsir Al Qur’an. Dan diperkuat lagi oleh hadits Shahih Muslim dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya dia berkata, “Aku letakkan tanganku di telapak kaki Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang sedang sholat)“
Berkata Imam Asy Syaukani, “Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu“. Lihat Nail Authar (1-25). Pendapat ini juga diambil oleh Syaikhul Islam pada kesempatannya yang terakhir sebagaimana tertera dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (hal: 28)
3. Mimisan
Adapun dua pendapat dikalangan ulama yang mempermasalahkan ini: Ada yang mengatakan “Mimisan merupakan salah satu pembatal wudhu.” Mereka berdalil dengan hadits Aisyah yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah (bab 137 hadits 1222) dan dikeluarkan oleh Al Imam Ad Daruquthni dan Al Imam Ahmad (yang artinya), “Barangsiapa yang muntah atau mimisan atau keluar sisa makanan dari kerongkongan atau madzi maka hendaklah ia berwudhu.”
Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat “mimisan tidak membatalkan wudhu.” Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Malik As Syarif, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnu Al Musayyab, Makhul dan Rabi’ah. Lihat Nail Authar (1/206).
Pendapat yang kedua (mimisan tidak membatalkan wudhu) adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam sebagaimana dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal 28). Selain itu juga dikuatkan oleh Al Imam Asy Syaukani. Beliau berkata, “Tidaklah pantas untuk mengatakan bahwa darah atau muntah sebagai pembatal wudhu kecuali jika ada dalil yang menunjangnya dan memastikan kewajiban (wajib wudhu dari mimisan atau muntah) sebelum mengetahui kebenaran dalilnya, sama sepertu memastikan keharaman sebelum mengetahui kebenaran dalil yang mengharamkan. Semua itu adalah menyandarkan kepada Allah suatu perkataan padahal Allah tidak mengatakannya“. Lihat Nail Al Authar (1-207)
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di, “Pendapat yang benar adalah darah dan muntah dan yang semisalnya (sesuatu yang keluar dari tubuh manusia yang bukan dari kemaluan dan anus) tidak membatalkan wudhu banyak atau sedikit karena tidak ada dalil yang menunjukkan kalau darah atau muntah membatalkan wudhu, dan hukum asal seseorang yang telah bersuci adalah tetap dalam keadaan suci (sampai ada dalil yang mengeluarkan dari kesuciannya)“. Lihat Tawdhih Al Ahkam (1/301).
Berkata Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, “Sesuatu yang keluar dari sealin 2 jalan (kemaluan dan anus) tidaklah membatalkan wudhu sedikit ataupun banyak kecuali kencing atau tinja (atau madzi atau mani) karena hukum asalnya adalah tidaklah sebagai pembatal wudhu. Barangsiapa yang mengeluarkan dari hukum asal maka wajib baginya untuk mendatangkan dalilnya“. Lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57).
Kesimpulan: Pendapat yang benar dalam hal ini adalah yang mengatakan bahwa mimisan bukanlah sebagai pembatal wudhu dikarenakan hukum asal seseorang yang sudah bersuci tetap dalam keadaan kesuciannya selama tidak ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asal tersebut dan dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang kuat untuk mengeluarkan dari hukum asal. Adapun hadits yang dikeluarkan ‘Aisyah bahwa mimisan dan muntah sebagai pembatal wudhu, maka hadits ini adalah hadits yang lemah dikarenakan perawinya yang bernama Ismail bin Ayyas telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, sementara periwayatannya dari selain orang se-negrinya sering salah, lihat At Taqrib (48), ditambah lagi dalam hal ini ia menyelisihi perawi-perawi yang lebih kuat darinya dan mereka meriwayatkannya secara mursal (terputus jalan haditsnya) dan riwayat yang mursal telah dikuatkan oleh Al Imam Muhammad Bin Yahya Ad Dzuhli, Ad Daruquthni dan Abu Hatim. Adapun jalan yang lain, dikeluarkan Ad Daruquthni darinya dari Atha’ bin Ajlan dan Abbad Bin Katsir dari Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Aisyah.
Berkata Al Imam Baihaqi, “Yang benar irsal dan hadits dirafa’kan (disambungkan jalannya) oleh Sulaiman bin Arqam tetapi periwayatannya ditinggalkan oleh ahlul hadits. Selain itu juga ada periwayatan dari Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Adiy dan Ath Thabrani tetapi di jalannya ada Sulaiman Bin Arqam. Kemudian dari shahabat Abi Said dikeluarkan oleh Ad Daruquthni di sanadnya ada Abu Bakr Adz Dzahiri, dia juga ditinggalkan periwayatannya“. Lihat Nail Al Authar (1-206)
4. Muntah
Demikian juga dalam hal ini bahwa pendapat yang benar adalah muntah tidak membatalkan wudhu. Hal ini dikarenakan tidak ada dalil yang kuat yang mengharuskan wudhu dari muntah. Sebagaimana kaidah berulang-ulang kali disebutkan, yaitu “hukum asal seseorang yang telah bersuci maka tidak membatalkan sucinya kecuali perkara-perkara yang datang dengan dalil yang kuat.” Pendapat ini adalah pendapat Al Imam Malik, Imam Asy Syafii, dan lain-lain dan diperkuat oleh Syaikhul Islam, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh As Sa’di, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lain. Lihat Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (28), Nail Al Authar (1-207), Taudhih Ahkam (1/301), Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57).
Adapun hadits Aisyah yang mewajibkan wudhu dari muntah telah dijelaskan kelemahannya.
Sedangkan hadits Abi Darda’, “Bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam muntah kemudian berwudhu” Hadits riwayat Al Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnul Jarud, Ibnu Hibban, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Ath Thabrani, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Berkata Ibnu Mandah, “Isnadnya shahih bersambung akan tetapi ditinggalkan oleh Al Bukhari dan Muslim karena ada perselisihan di jalan haditsnya“.
Berkata At Tirmidzi, “Husein Al Mu’allim telah membaikkan sanadnya dan ini yang paling shahih dalam permasalahan ini. Demikian juga berkata Ahmad dan di situ ada perselisihan yang banyak sebagaimana disebutkan oleh Ath Thabrani dan juga yang lainnya. Berkata Al Baihaqi: Jalan haditsnya mudhthradib (banyak perselisihan) tidak dapat dipakai sebagai hujjah” Talkhis Al Habir (2-190)
Kesimpulannya: Hadits ini tidak bisa dipakai hujjah, kalaupun hadits ini dianggap shahih sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah (hal 111) hadits ini tidak tidak menunjukkan wajibnya wudhu dari muntah akan tetapi hanya mustahab saja (disunnahkan saja), afdhal untuk dilakukan dan tidaklah mengapa jika ditinggalkan karena hanya berupa fiil saja (perbuatan saja). Sebagimana dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah (112) dari Syaikhul Islam di Majmu’al Ar Rasail 1 dan sebagaimana disebutkan oleh Al Imam Asy Syaukani dalam Nail Al Authar (1-205) dan ditekankan juga oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57)
Sumber: Majalah As Salam No IV /1427 H hal 20-24, Dikutip dari: salafy.or.id offline Penulis: Al Ustadz Abdul Bar Kaisinda, Judul Asli: Istihadhah, Menyentuh Wanita, Muntah, dan Mimisan Tidak Membatalkan Wudhu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar