BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Budaya politik merupakan sistem nilai
dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur
masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum
dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. OG
Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok
elite dengankelompok massa.
Negara Indonesia sebagai negara
demokratis membutuhkan warga negara yang berbudaya politik partisipan dan
berorientasi setia atau mendukung sistem politik nasional. Warga negara yang
berciri demikian inilah yang memang didutuhkan bagi sistem politik demokrasi di
Indonesia.
Kehidupan manusia
di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu
negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan
berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum,
biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan
akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk
pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu
partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga
negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek
politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya
dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik
politik.
B. Rumusan
Masalah
Ø Jelaskan
pengertian budaya politik partisipan!
Ø Jelaskan
bentuk-bentuk budaya politik partisipan!
Ø Jelaskan
budaya politik yang bertentangan dengan semangat pembangunan politik bangsa!
Ø Jelaskan
contoh budaya politik partisipan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara!
Ø Jelaskan
contoh perilaku yang berperan aktif dalam politik yang berkembang di
masyarakat!
C. Tujuan
Ø Untuk
mengetahui pengertian budaya politik partisipan
Ø Untuk
mengetahui bentuk-bentuk budaya politik partisipan
Ø Untuk
mengetahui budaya politik yang bertentangan dengan semangat pembangunan politik
bangsa
Ø Untuk
mengetahui contoh budaya politik partisipan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara
Ø Untuk
mengetahui contoh perilaku yang berperan aktif dalam politik yang berkembang di
masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Budaya Politik Partisipan
Budaya politik yang partisipasif
adalah budaya politik yang demokratik, dalam hal ini, akan mendukung
terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil. Budaya politik
yang demokratik ini menyangkut “suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap,
norma, persepsi, dan sejenisnya, yang menopang terwujudnya partisipasi,” kata Almond dan Verba.
Masayarakat dalam
budaya politik ini mamahami bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan
perhatian terhadap sistem politik. Masyarakat memiliki kebangsaan dan kemaua
untuk berperam dalam sistem politik. Selain itu, masyarakat dalam budaya
politik imi memiliki keyakinan dapat memengaruhi pengambilan kebijakan publik
dan membentuk kelompok untuk melakukan protes jika pelaksamaa pemerintah tidak
transparan.
Dalam budaya
politik partisipan ini, demokrasi dapat berkembang dengan baik. Hal ini
dikarenakan terjadinya hubungan yang harmonis antara warga negara dan
pemerintah yang ditunjuk oleh tingkat kompetensi politik (penyelesaian sesuatu
secara politik), dan tingkat efficacy (keberdayaan). Dapat
dikatakan bahwa tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi secara politik.
Dalam budaya
politik partisipan, orientasi politik warga terhadap kesulurahan objek, baik
umum, input, maupun output secara pribadinya mendekati satu atau dapat
dikatakan tinggi.
Menurut Bronson dan
kawan-kawan dalam bukunya Belajar Civic Education dari Amerika,beberapa
karakter publik dan privat sebagai perwujudan budaya partisipan sebagai
berikut:
a. Menjadi
anggota masyarakat yang independen. Karakter ini meliputi,
1. Kesadaran
pribadi untuk bertanggung jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan
atau pengawasan dariluar;
2. Bertanggung
jawab atas tindakan yang di perbuat;
3. Memenuhi
kewajiban moral dan hukum sebagai anggota masyarakat demokrtis.
b. Memenuhi
tanggung jawab personal kewargaan dibidang ekonomi dan politik. Tanggung jawab
ini antara lain meliputi:
1. Memelihara
atau menjaga diri;
2. Memberi
nafkah dan merawat keluarga;
3. Mengasuh
dan mendidik anak.
Didalamnya termasuk pula mengikuti
informasi tentang isu-isu publik, seperti:
1. Menentukan
pilihan (voting);
2. Membayar
pajak;
3. Menjadi
juri di pengadilan;
4. Melayani
masyarakat;
5. Melakukan
tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.
c. Menghormati
harkat dan marabat kemanusiaan setiap invidu.
1. Menghormati
orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka.
2. Bersifat
sopan.
3. Menghargai
hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warga negara.
4.
Meengikuti aturan “prinsip mayoritas” namun tetap menghargai
hak-hak minoritas untuk berbeda pendapat.
d. Berpartisipasi
dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana. Karakterini
merupakan sadar informasi sebelum :
1. Menentukan
pilihan (voting) atau berpartisipasi dalam debat publik:
2. Terlibat
dalam diskusi yang santun dan serius;
3. Memegang
kendali dalam kepemimpinan bila di perlukan;
4. Membuat
evaluasi tentang kapan saatnya kepentingan pribadi seseorang sebagai warga
negara harus di kesampingkan demi memenuhi kepentingan publik;
5. Mengavaluasi
kapan seseorang karena kewajiban atau prinsip-prinsip konstitusional di
haruskan menolak tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu.
e. Mengembangkan
fungsi demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini meliputi:
1. Sadar
informasi dan kepekaan terhadap unsur-unsur publik;
2. Melakukan
penalahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional;
3. Memonitor
keputusan para pemimpin politik dan lembaga-lembaga publik agar sesuai dengan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi;
4. Mengambil
langkah-langkah yang di perlukan bila ada kekurangannya.
Karakter ini mengarahkan warga negara agar bekerja dengan
cara-cara yang damai dan legal dalam rangka mengubah undang-undang yang
dianggap tidak adil dan tidak bijaksana.
Budaya politik partisipan adalah salah satu
jenis budaya politik bangsa. Dalam
budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadapkesluruhan objek
politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya mendekati satu atau
dapat dikatakan tinggi. Berdasar hal ini maka ciri-ciri budaya politik
partisipan adalah sebagai berikut:
a. Anggota
masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima
maupun menolak suatu objek politik
b. Kesadaran bahwa ia
adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis
c. Warga menyadari
akan hak dan tanggung jawabnya (kewajibannya) dan mampu mempergunakan hak itu
serta menanggung kewajibannya
d. Tidak menerima
begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin, tetapi dapat menilai
dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output
ataupun posisi dirinya sendiri
e. Kehidupan politik
dianggap sebagai sarana trnsaksi seperti halnya penjual
dan pembeli. Warga dapat menerima berdasar kesadaran, tetapi juga mampu menolak
berdasarkan penilaiannya sendiri
B. Bentuk-Bentuk
Budaya Politik
Partisipan
Sebagai komunitas warga negara yang
terdidik dan terpelajar,hendaknya kita memiliki peran besar (partisipasi
aktif)untuk melakukan perubahan politik yang lebih baik dan berbudaya. Melalui
sarana pemilihan umum, kita dapat menjadikannya sebagai momentum untuk
mendorong perubahan sosial politik, politik ekonomi, budaya, dan lain-lain ke
arah yang lebih baik dan demokratif melalui pemerintahanyang dipilah melalui
pemilu, secara damai dan beradab (berbudaya). Semua itu dimaksudkan sebagai
upaya melakukan pendidikan budaya politik partisipan (rakyat) yang lebih luas
karena dengan demikian akan dapat digunakan sebagai salah satu rujukan untuk
menentukan pilihan dalam pemilu secara arif, bijaksana, kritis, dan rasional.
Dalam setiap tahapan pemilu, kita
sebagai simpatisan (kader) partai politik, ataupu kaum terpelajar tidak ada
larangan untuk mengikutinya. Namun demikian, hal yang perlu dikedepankan dalam
kampanye adalah situasi damai karena dalam kampanyenya sering kali terjadi
persinggungan antar massa pendukung dari partai politik (simpatisan dan kader)
partai politik. Bermula dari saling mengejek dan saling hina di antara mereka
ketika berpapasan di jalan raya dalam situasi kampanye, perkelahian antar massa
pendukung partai politik seringkali terjadi.
Untuk mewujudkan situasi seperti itu
dibutuhhkan toleransi yang besar terhadap kelompok yang berbeda pandangan
politik dan juga sikap anti kekerasan. Pelajar yang ingin aktif dalam kampanye
harus sadar bahwa tindakan brutal, kekerasan, dan keseluruhan hanya akan
merusak situasi pemilu yang demokratis dan beradab. Untuk itu, kita harus sadar
bahwa brutalisme, kekerasan, dan kerusuhan yang mengiringi proses pemilu sebenarnya
adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokratis dan
budaya politik bangsa Indonesia. Albert Camuspernah mengatakan
bahwa I’ anarchie est I’abus de la democratie, anarkisme adalah
penyelewengan dari demokrasi.
C. Budaya
Politik Yang Bertentangan dengan Semangat Pembangunan Politik Bangsa
Suatu pemerintahan dengan budaya
politik yang bertentangan dengan semangat pembangunan politik bangsa yang
transparan (terbuka) apabila dalam penyelenggaraan sistem politik
pemerintahannya tidak terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses
kelembagaan sehigga tidak mudah di akses oleh masyarakat sebagai warga bangsa
yang membutuhkan.
Budaya politik feodalisme yang terjadi
adalah merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana seorang pemimpin bangsawan
memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan,tetapi lebih
rendah mereka biasa disebut vazal. Dalam penggunaan bahasa sekalipun,
sering kalli digunakan untuk menunjuk para perilaku-perilaku negatif yang mirip
dengan perilaku para penguasa yang zalim,seperti kolot,selalu ingin di hormati
atau bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak di tinggalkan,artinya
sudah banyak tidak sesuai lagi dengan pengertian politik yang
sesungguhnya.
Realitas budaya politik masih menjadi
kendala bagi proses pendidikan politik karena masih di warnai oleh kuatnya
pengaruh nilai-nilai feodalisme,primordialisme,dan paternalisme berlebihan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kondisi itu di perparah dengan makin
sulitnya mencari figur-figur yang dapat diteladani dalam kepemimpinan nasional.
Keadaan ini di rasakan mempersuli mahasiswa dan kaum yang terpelajar dalam
mengoperasionalkan konsep dan nilai-nilai yang terkandung dalam khasanah budaya
bangsa.
Banyak kalangan berpendapat, di era
Orde Reformasi ini,korupsi,kolusi,dan nepotisme(KKN) tetap hidup dan bahkan
makin berkembang(wajah baru KKN). Pemilihan pejabat publik, baik di
pemerintahan maupun BUMN, masih menggunakan cara lama; siapa dekat dia dapat.
Pertimbangan profesional buakn acuan utama. Akibat KKN,harta republik telah
menjadi “barang jarahan” yang hanya menguntungkan sedikit orang.
Tindakan KKN memiliki kecendrungan
“terstruktur” dalam kehidupan masyarakat politik. Tentang perubahan struktur
ini, para ilmuan sosial memasuki perdebatan yang melelahkan,bahkan hampir tidak
dapat diselesaikan. Dari kacamata strukturalisme,perilaku individu akan
ditentukan oleh kondisi strukturalnya (structure conduct performance). Sebaliknya
dari kacamata individualisme, struktur adalah hasil perilaku para aktor
politik. Titik tengahnya adalah menganggap bahwa aksi para individu dan
struktur adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan (dualitas). Aksi individu
hanya bisa dipahami dari dan sebaliknya struktur hanya biasa dijelaskan dari
aksi para individunya (Giddens, 1984). Dalam kacamata strukturasi ini, tiap
individu memiliki kebebasan untuk melakukan aksi, tetapi dalam kerangka “aturan
main” tertentu yang memengaruhinya. Dalam pengertian neoinstitusionalisme, ada
“roh” yang memengaruhi cara pandang (sense making) para individu
yang akan menghalangi (contraining) atau mendorong (enabling) tindakan
tertentu. Weick (1979) menyebut lingkungan sosial sebagai sesuatu yang
mendorong (enactment) aksi individu.
Suatu hal yang patut kita sayangkan
adalah hingga saat ini “belum pernah” atau “belum ada” contoh yang baik tentang
penegakan perilaku KKN. Masih banyak birokrat dan pejabat tinggi negara yang
terang-terangan melakukan praktik ini. Dengan demikian, tidak mengherankan
apabila semua orang berlomba-lomba untuk melakukan hal yang tampaknya bersifat
profesional.
Ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi orang berperilaku tidak mau melibatkan diri dalam politik
(partisipan). Robert dahl menyebutkan alasan sebagai berikut.
1. Orang
mungkin kurang tertarik dalam politik jika mereka memandang rendah terhadap
segala manfaat yang diharapkan dari keterlibatan politik, dibandingkan dengan
manfaat yang akan diperleh dari berbagai aktivitas lainnya.
2. Orang
merasa tidak melihat adanya perbedaan yang tegas dengan keadaan sebelumnya,
sehingga apa yang dilakukan seorang tersebut tidaklah menjadi persoalan.
3.
Seseorang cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa
tidak ada masalah terhadap hal yang dilakukan, karena ia tidak dapat
mengubah dengan jelas hasilnya.
4. Seseorang
cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa hasil-hasilnya
relatif akan memuaskan orang tersebut sekalipun ia tidak berperan di dalamnya.
5. Jika
pengetahuan seseorang tentang politik tersebut terlalu terbatas untuk dapat
menjadi efektif.
6.
Semakin besar kendala yang dihadapi dalam perjalanan hidup, semakin kecil
kemungkinan bagi seseorang untuk terlibat dalam politik.
D. Contoh
Budaya Politik Partisipan dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
1.
Kritis Memilih Partai Politik, Anggota
Parlemen(DPR/DPRD dan DPD)
Sikap kritis dalam pemilu juga harus diarahkan pada partai politik, calon
anggoya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan anggoya legislatif, mulai dari
tingkat pusat sampai dengan kabupaten/kota. Sikap kritis ini sangat penting
karena merekalah yang akan mewakili rakyat Indonesia untuk memperjuangkan
aspirasi politik rakyat. Kritisme pada partai politik siarahkan pada platform
partai politik untuk memperjuagkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam sistem proporsional terbuka, rakyatlah yang berkuasa menentukan
kelayakan calin anggota legislatif. Untuk itu, masyarakat pemilih harus
melakukan seleksi dan penyaringan secara ketat terhadap para calin tersebut,
baik dari segi moral maupun kapasitasnya. Jika terdapat calon anggota
legislatif tidak memenuhi persyaratan moral, kewibawaan dan kejujuran
(integritas), dapat dipercaya (kredibilitas), dan memiliki kemampuan/keahlian
pada umumnya (akuntabilitas publik) maka sikap terbaik masyarakat pemilih
tentunya adalah tidak memilih calon tersebut.
Di alam keterbukaan dan informasi ini, rakyat tentunya dapat mengakses
informasi seluas-luasnya tentang perilaku politik seorang calin anggota
legislatif ataupun partai politik. Dengan demikian, rakyat sebenarnya dapat
menentukan secara objektif siapa dan partai apa yang benar-benar memperjuangkan
kepentingan rakyat ataukah hanya sekadar menjual janji-janji muluk belaka.
1.
2. Kritis Memilih Presiden dan
Wakil Presiden
Kritisme pada pemilihan presiden dan wakil presiden lebih ditekankan pada
kualitas diri calon yang akan dipilih tersebut, baik dari segi visi kenegaraan,
kredibilitas moral, amanah, kapabilitas, maupun kebersihan dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Okeh karena itu, masyarakat pemilih perlu
mengetahui terlebih dahulu track record cali presiden dan
wakil presiden. Masyarakat pemilih perlu mengikuti perkembangan informasi
melalui media massa dan berbagai sumber informasi lain uang akurat untuk
melakukan pemeriksaam kembali (cross check) tentang kredibilitas moral
dan kapabilitas calon presiden maupun wakil presiden.
1.
3. Kritisme dalam
Mewujudka Pemilu Luber dan Jurdil
Pemilu yang Luber dan Jurdil merupakan harapan dari segenap rakyat
Indonesia, sekaligus merupakan perwujudan dari pemilu yang demokratis. Oleh
karena itu, sikapa kritis dari pemilih dan warga Idonesia sengat diperlukan
untuk mewujudkan pemilu yang Luber dan Jurdil. Untuk itu diperlukan persyaratan
minimal, di antaranya sebagai berikut.
a) Peraturan perundangan yang mengatur pemilu harus tidak tidak
membuka peluang bagi terjadinya tindak kecurangan ataupun menguntungkan satu
atau beberapa pihak tertentu.
b) Peraturan pelaksanaan pemilu yang memuat petunjuk
teknis dan petunjuk pelaksanaan pemilu harus tidak membuka peluang bagi
terjadinya kecurangan ataupun menguntungkan satu atau beberapa pihak
tertentu.
c) Badan/lembaga penyelenggara maupun panitia
pemilu baik di tingkat pusat maupun daerah harus bersifat mandiri dan
independen.
d) Partai politik peserta pemilu memiliki kesiapan yang memadai untuk
terlibat dalam penyelenggaraan pemili, khususnya yang berkaitan dengan
kepanitiaan pemilu serta kemampuan mempersiapkan saksi-saksi di tempat
pemungutah suara,
e) Lembaga/organisasi/jaringan pemamtauan pemilu
harus terlibat aktif dalam suatu proses dan tahapan pemilu di semua
tingkatan di seluruh wilayah pemilihan untuk memantau perkembangan
penyelenggaraan pemilu.
f) Anggota masyarakat luas, baik secara
perorangan dan kelompok maupun yang terhimpun dalam organisasi-organisasi
kemasyarakatan harus aktif dalam memantau setiap perkembangan penyelenggaraan
pemilu daerah masing-masing.
g) Insan pers dan media massa harus memberikan perhatian secara khusus
pada setiap penyelenggaraan pemilu.
h) Memupuk kesadaran politik setiap warga negara supaya
semakin sadar akan hak politiknya dalam pemilu.
E. Contoh Perilaku yang
Berperan Aktif dalam Politik yang Berkembang di Masyarakat
Komunitas pelajar
seharusnya memilliki peran besar untuk melakukan perubahan sosial politik yang
lebih baik. Melalui pemilu, pelajar bisa menjadikannya sebagai momentun untuk
mendorong perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain kearah yang
lebih baik dengan melalui pemerintahan yang dipilih melalui pemilu. Selain itu,
pemilu harus juga menjadikan momentum yang damai dan beradap. Semua ini
dimaksudkan sebagai upaya melakukan pendidikan politik rakyat yang lebih luas,
karena dengan demikian pelajar sebagai komunitas terpelajar dan terdidik bisa
menjadi salah satu rujukan untuk menentukan pilihan pemilu secara arif,
bijaksan, krisis, dan rasional.
Berkaitan dengan
kenyataan tersebut, maka keberadaan pelajar sebagai pemilih pemilu perlu
mengambil sikap dan langkah-langkah yang positif dan konstruktif dalam penyelenggaraan
pemilihan umum, antara lain sebagai berikut.
1. Aktif tanpa kekerasan dalam pemilihan
umum
Pelajar hendaknya
berpartisipasi secara aktif dalam pemilihan umum, tetapi hindarkan diri dari
kekerasan dan anarkisme massa, ciptakan pemilu yang demokratis, damai, dan
beradap.
2. Pemilhan umum sebagai gerakan anti
korupsi
Pelajar sebagai
pemilih pemula aktif dan selektif dalam memilih calon pemimpin nasional dan
wakil-wakil yang bersih, agar kelak dalam melaksanakan pemerintahan tidak melakukan
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3. Anti terhadap Money PoliticsI
Money Politics merupakan salah satu bentuk kecurangan
dalam pemilu. Pelajar sebagai pemilih pemula hendaknya menggunakan hati nurani
dan akal pikiran yang sehat ketika menggunakan hak pilihnya di dalam memilih
pemilu.
4. Tidak
mudah dieksploitasi
Pemilu merupakan
salah satu media pembelajaran politik bagi terbentuknya komunikasi politik yang
demokratis dimasa mendatang. Oleh karena itu, pelajar sebagai pemilih pemula
jangan mudah dieksploitasi dalam pemilu untuk kepentingan sesaat kelompok
tertentu.
5. Tidak Apatis
Komunitas pelajar
yang memiliki jumlah signifikan jangan bersikapa apatis dalam pemilu. Gunakan
hak pilih dengan menggunakan hati nurani dan akal pikiran yang sehat ketika
memilh wakil-wakil raktyat yang duduk di perlement, presiden dan wakil
presiden, partai politik sebagai kontestan dalam pemilu, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas kami dapat menarik kesimpulan bahwa:
Budaya politik yang partisipasif
adalah budaya politik yang demokratik, dalam hal ini, akan mendukung
terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil.
Budaya politik partisipan adalah salah satu
jenis budaya politik bangsa. Dalam
budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadap kesluruhan objek
politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya mendekati satu atau
dapat dikatakan tinggi.
B. Saran
Setiap warga negara,
dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik
praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat
terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Maka diharapkan kepada warga
negara yang berbudaya politik partisipan dan berorientasi setia atau mendukung
sistem politik nasional.
Bambang S. dan
Sugiyarto. 2007. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Untuk SMA/MA Kelas XI
Jutmini sri dan Winarno.2006. PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN Untuk SMA/MA Kelas XI
Tim Edukatif HTS.
2006. Modul Kewarganegaraan Untuk SMA/MA Semester Gasal.
Surakarta: Penerbit Hayati Tumbuh Subur
Tim SIMPATI.
2006. LKS SIMPATI Untuk SMA/MA Semester Ganjil. Surakarta: Penerbit
Grahadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar