Sebagaimana
telah kita ketahui bersama dari pembahasan yang lalu, bahwa sunnah memiliki
makna luas, tidak hanya sempit pada pengertian fiqih saja, namun merupakan
ajaran dan keteladanan (uswah) yang dituangkan ke dalam segenap perilaku
kehidupan nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Dengan
demikian Sunnah merupakan agama itu sendiri yang Allah Ta’ala jadikan sebagai
penerjemah dalam menafsirkan segenap ayat-ayatNya.
Saudaraku
-barakallahu fiikum-, memperolok-olokan sesuatu yang berasal dari agama adalah
merupakan kekufuran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama menurut
kesepakatan para ulama’. sebagai yang dinukilkan oleh Ibnul Arabiy dalam
tafsirnya (2/976) dan Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh di dalam Taisir
Al Aziizil Hamiid. Maka memperolok-olok dari sunnah-sunnah nabi Shalallahu
‘alaihi wassalam tidak berbeda apakah yang melakukannya dengan sungguh-sungguh,
bermain-main atau senda gurau. (Malzamah Syarh Nawaqidul Islam, Abi Ubaidah Az
Zawi).
Jenis-jenis Istihza’ (Ejekan)
Manakala
kita membicarakan permasalahan ini maka kita tidak akan terlepas dari beberapa
permasalahan yang terkait dengannya.
Permasalahan
yang berkenaan dengan memperolok-olok agama atau yang kita kenal dengan istilah
istihzaa, di antaranya ialah kita dapati pada kenyataannya dalam
memperolok-olokkan agama terbagi menjadi dua macam;
1. Istihzaa’ sharih, yaitu memperolok-olok agama dengan ucapan secara jelas dan
terang-terangan. Sebagai contoh ucapan mereka para munafiqin kepada Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam di suatu majlis pada perang tabuk ‘Tidaklah kami
melihat orang yang lebih mementingkan perutnya, lebih berdusta ucapannya, dan
lebih penakut ketika berjumpa dengan musuh daripada mereka para pembaca-pembaca
Qur’an (yakni Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya)’.
atau seperti ucapan mereka lainnya yang menyatakan: ‘Agama tidaklah diukur dengan jenggot
kita’, yakni karena permasalahan cukur jenggot, dan masih banyak lagi yang
semisal dengan itu.
2. Istihzaa’ ghairu sharih yaitu memperolok-olok agama dengan perbuatan yang
menunjukkan isyarat maupun sindiran (tidak jelas atau tidak terang-terangan),
seperti dengan memicingkan mata, menjulurkan lidah dan membentangkan bibir dan
lain-lainnya yang bertujuan untuk merendahkan sesuatu dari agama. (lihat
Kitabut Tauhid DR. Shalih Fauzan hal 43, dan Malzamah Syarh Nawaqidul Islam,
Abi Ubaidah).
Dalil kafirnya memperolok-olok
sunnah
Saudaraku
kaum muslimin -barakallahu fiikum-, dalil-dalil tentang kafirnya
memperolok-olok sunnah banyak sekali.
Namun
semua berporos pada satu ayat yang menerangkan bagaimana hukum tersebut dapat
menimpa seseorang dan apa penyebabnya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلََئِنْ
سَأَلْتَهمْ لَيَقُوْلُنَّ ِإنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ
وَآيَاتِهِ وَرُسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْكَفَرْتُمْ
بَعْدَ إِيماَنِكُمْ (التوبة : 65-66)
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesung-guhnya kami
hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: ’Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’. Tidak usah kamu
meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (At Taubah:65-66)
Ayat
ini menunjukkan bahwa memperolok-olok Allah adalah kekufuran, memperolok-olok
Rasul adalah kekufuran, dan memperolok ayat-ayatNya adalah kekufuran, demikian
pula memperolok-olok sunnah adalah kekufuran. Maka barangsiapa yang
memperolok-olok salah satu dari perkara-perkara tersebut berarti dia telah
memperolok-olok keseluruhannya.
Memperolok-olok Allah dan Rasul-Nya dianggap kekufuran yang
mengeluarkan pelakunya dari agama karena pokok agama dibangun di atas
pengagungan terhadap Allah dan pengagungan terhadap Rasul-Nya, sedangkan
memperolok-olok sesuatu darinya dapat menghilangkan pokok tersebut dan
meruntuhkannya dengan dahsyat.
(Taisir Karimir Rahman, Abdurrahman As Sa’diy, hal. 342-343)
Larangan untuk bermajlis dengan
orang yang memperolok-olok agama
Saudaraku
rahimakumullah terkadang kita sadar maupun tidak telah terpedaya oleh berbagai
makar dan perangkap syaithan yang selalu berupaya menjerumuskan kita ke dalam
kesesatan, na’udzubilah. Dimana kita dijadikannya seperti sebuah patung yang
bisu atau manusia yang terlelap pulas dalam tidurnya. Bagaimana tidak,
terkadang – kalau tidak mau dinilai keumumannya – kita menganggap suatu hal
yang wajar atau lumrah di saat kita menyaksikan atau mendengar atau paling
tidak mengetahui ada orang yang memperolok-olok agama dengan gurauannya atau
candanya atau bahkan menebarkannya bagaikan menebarkan benih di sawah lantas
kita terdiam melihatnya, terkesima bahkan ikut tertawa mengaminkan pelecehan
agama tersebut (Seperti terjadi dalam lawakan, film, sinetron, obrolan, red).
Karenanya
Allah di dalam ayat tadi atau ayat-ayat lainnya menegur dan mengancam dengan
ancaman yang keras. Allah Ta’ala berfirman:
لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْكَفَرْتُمْ
بَعْدَ إِيماَنِكُمْ
Tidak usah kamu cari alasan karena kamu kafir sesudah
beriman (At Taubah: 66)
وَإِذَا رَأَوْكَ إِنْ
يَتَّخِذُوْنَكَ إِلَّا هُزُوًا أَهَذَا الَّذِيْ بَعَثَ اللهُ رَسُوْلًا إِنْ
كَادَ لَيُضِلُّنَا عَنْ ءَالِهَتِنَا لَوْ لَا أَنْ صَبَرْنَا عَلَيْهَا وَسَوْفَ
يَعْلَمُوْنَ حِيْنَ يَرَوْنَ اْلعَذَابَ مَنْ أَضَلُّ سَبِيْلاً (الفرقان:41-42)
Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah
menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): ”Inikah orang yang diutus
Allah sebagai Rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sesembahan
kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya’. Dan mereka kelak akan
mengetahui di saat mereka melihat adzab, siapa yang paling sesat jalannya. (Al Furqan:41-42).
Maka
menjadi jelaslah dengan ini, bahwa orang yang memperolok-olok Rasul dengan
menyatakannya sebagai orang yang sesat adalah lebih berhak dan lebih pantas
untuk disifati dengan sifat ini dan bahwa binatang ternak lebih baik dari orang
tersebut. (Tafsir As Sa’diy hal.584).
Oleh
karena itu Allah Ta’ala melarang mukminin untuk berkumpul, bermajlis bersama
orang-orang yang memperolok-olok agama ini termasuk di dalamnya memperolok-olok
Rasul dan sunnah Rasul.
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي
الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ
بِهَا فَلاَ نَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوا فِي حَدِيْثٍ غَيْرِهِ
إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ (النساء:140)
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al
Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (An Nisa’:140)
Berkata
Syaikh Abdurrahman As Sa’diy di dalam tafsirnya (hal 210): “Dan demikian pula halnya para ahlul
bid’ah dengan keanekaragaman mereka, maka hujjah-hujjah mereka yang mendukung
kebatilan mereka mengandung penghinaan terhadap ayat-ayat Allah. Karena
ayat-ayat Allah tidaklah menunjukkan kecuali kebenaran, dan tidaklah mengakibatkan
kecuali kebenaran, bahkan termasuk juga di dalamnya menghadiri majlis-majlis
kemaksiatan dan kefasikan, yang akan menghinakan di dalamnya perintah-perintah
dan larangan-larangan Allah, dan akan menenggelamkan hukum-hukumNya yang telah
Allah tetapkan bagi para hambaNya dan penghujung dari larangan ini ialah
larangan untuk duduk bersama mereka.”
Disegerakannya balasan bagi yang
memperolok-olok sunnah
Sebagai
penutup dari pembahasan kita kali ini tidak lupa kita utarakan juga di sini
bagaimana Allah menyegerakan balasan bagi mereka-mereka yang memperolok-olok
sunnah atau yang melecehkannya yang telah diriwayatkan kepada kita.
Dari
Salamah bin Al Akwa’ “Bahwa
seseorang makan di samping Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan tangan
kirinya, maka beliau pun menegur: “Makanlah dengan tangan kananmu’, orang itu
menjawab,’aku tidak bisa’. Beliau bersabda : ‘Engkau benar-benar tidak akan
bisa’. Padahal tidak ada yang menghalanginya (makan dengan tangan kanan)
kecuali kesombongannya. Salamah mengatakan: Maka ia pun tidak bisa (lumpuh)
mengangkat tangan (kanan)nya ke mulutnya.
(Dikeluarkan Muslim no. 2021).
Dari
Abu Hurairah dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda:
بَيْنَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي
بَرْدَيْنِ خَسَفَ اللهُ بِهِ اْلأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيْهَا إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
Manakala seseorang berjalan dengan sombongnya di pagi dan
petang maka Allah tenggelamkan orang tersebut ke dalam bumi, dan ia akan
terbolak-balik di dalamnya sampai hari kiamat”.
Maka
seorang pemuda bertanya kepada Abu Hurairah –yang telah disebutkan namanya–
dalam keadaan bercanda: ’Apakah seperti ini jalannya orang yang ditenggelamkan
ke bumi?’ Lalu Abu Hurairah pun memukul dengan tangannya dan orang itupun
merasakan sakit yang hampir mematahkan tulangnya. Kemudian Abu Hurairah berkata
dengan membawakan ayat:
إِنَّا كَفَّيْنَكَ
الْمُسْتَهْزِئِيْنَ.
Sungguh Kami akan balas untuk (membela)mu (wahai nabi) dari
orang yang memperolok-olok. (Sunan Ad
Darimi no.437)
Dari
Abdurrahman bin Harmalah, dia berkata: “Datang seseorang kepada Said Ibnul
Musayyab untuk pamit menunaikan haji dan umrah. Maka beliaupun berkata kepada
orang tersebut: “Janganlah engkau pergi hingga engkau shalat terlebih dahulu,
karena sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda:
لاَ يَخْرُجُ بَعْدَ النِّدَاِ مِنَ
الْمَسْجِدِ إِلاَّ مُنَافِقٌ إِلاَّ رَجُلٌ أَخْرَجتْهُ حَاجَةٌ وَهُوَ يُرِيْدُ
الرَّجْعَةَ إِلَى الْمَسْجِدِ.
Tidaklah keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan
kecuali munafik, kecuali seseorang yang dipaksa keluar oleh kebutuhannya dan
dia berkeinginan kembali ke masjid. Maka orang itu pun berkata: “Sesungguhnya
teman-temanku berada di al Hurrah”. Maka orang itu pun keluar. Dan belum
selesai Said menyayangkan kepergiannya dengan menyebut-nyebut tentangnya,
tiba-tiba dikabarkan bahwa orang tersebut terjatuh dari kendaraannya, hingga
patah pahanya. (Sunan Ad-Darimi, no. 447)
Dari
Abi Yahya as-Saaji berkata: “Kami berjalan di lorong-lorong kota Bashrah menuju rumah
salah seorang ahlul hadits. Maka aku percepat jalanku dan (ketika itu) ada di
antara kami yang jelek agamanya, kemudian berkata: “Angkatlah kaki-kaki kalian
dari sayap-sayap para malaikat, janganlah kalian mematahkannya (seperti orang
yang istihza’). Maka orang itu pun tidak dapat beranjak dari tempatnya hingga
kering kedua kakinya dan kemudian terjatuh”.
(Bustanul Arifin, Imam Nawawi, hal. 92.) (Semua kisah di atas dinukil dari
kitab Ta’zhimus Sunnah, Abdul Qayyum as-Suhaibani, hal. 30-32). (Kitabut
Tauhid, DR. Shalih Fauzan hal.43)
Maraji’:
1. Ta’dhimus Sunnah, Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir.
2. Kitabut Tauhid, DR. Shalih Fauzan.
3. Malzamah Syarh Nawaqidul Islam, Abi Ubaidah az-Zawi.
4.Taisir Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’diy.
Dikutip dari
http: Salafy.or.id Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 13/Th. I tanggal 17
Dulqo’dah 1424 H, penulis Muhammad Sholehuddin, judul asli “Larangan Memperolok-olok Sunnah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar