Untuk
melengkapi pembahasan masalah sujud sahwi pada edisi sebelum ini, kali ini kami
akan menerangkan tentang sujud tilawah dan sujud syukur. Hal ini agar tidak
terkesan dalam benak kita bahwa sujud yang disyariatkan selain sujud yang biasa
dalam shalat hanya sujud sahwi saja.
a. Sujud Tilawah
Sujud
tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana dijelaskan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu :
Artinya
: Dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda
: “Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan menangis lalu
berkata : ‘Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud, maka dia
sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, tetapi aku
mengabaikannya, maka neraka bagiku.’ “
(Dikeluarkan oleh Muslim, lihat Fiqhul Islam halaman 23 karya Syaikh Abdul
Qadir Syaibatul Hamdi)
Dengan
hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang agung
bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat
yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Ta’ala dan sesuai dengan contoh Nabi
kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat
tersebut akan tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu ‘anha :
Artinya
: “Barangsiapa
mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal tersebut
tertolak. (HR. Muslim)
Kemudian
dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala :
Artinya
: “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus … .”(Al
Bayyinah : 5)
Sedangkan
kalau tidak ikhlas, amal itu akan terhapus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
:
Artinya
: “Jika
engkau berlaku syirik kepada Allah, niscaya akan terhapus amalmu. (Az Zumar : 65)
Definisi Sujud Tilawah
Secara
bahasa tilawah berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, sujud tilawah artinya sujud yang dilakukan tatkala membaca
ayat sajdah di dalam atau di luar shalat.
Disyariatkannya Sujud Tilawah Dan
Hukumnya
Sujud
tilawah termasuk amal yang disyariatkan. Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam telah menunjukkan hal tersebut. Dikuatkan lagi dengan
kesepakatan ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Syafi’i dan Imam
Nawawi.
Di
antara dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan disyariatkannya adalah :
1.
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
Artinya : “Kami pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam pada surat (idzas sama’un syaqqat) dan (iqra’ bismi
rabbikalladzi khalaq). (HR. Muslim
dalam Shahih-nya nomor 578, Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 1407, Tirmidzi
dalam Sunan-nya nomor 573, 574, dan Nasa’i dalam Sunan-nya juga 2/161)
2.
Hadits Ibnu Abbas. Beliau radhiallahu ‘anhu bersabda :
Artinya
: “Bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud pada surat An Najm.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya 2/553, Tirmidzi 2/464)
Dari
hadits-hadits di atas, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya sujud
tilawah. Hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya. Jumhur ulama
berpendapat tentang sunnahnya sujud tilawah bagi pembaca dan pendengarnya.
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya
Umar radhiallahu ‘anhu pernah membaca surat An Nahl pada hari Jum’at. Tatkala
sampai kepada ayat sajdah, beliau turun seraya sujud dan sujudlah para manusia.
Pada
hari Jum’at setelahnya, beliau membacanya (lagi) dan tatkala sampai pada ayat
sajdah tersebut, beliau berkata :
Artinya
: “Wahai manusia,
sesungguhnya kita akan melewati ayat sujud. Barangsiapa yang sujud maka dia
mendapatkan pahala dan barangsiapa yang tidak sujud, maka tidak berdosa. [ Pada lafadh lain : “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan sujud
tilawah, melainkan jika kita mau.” ]
(HR. Bukhari)
Perbuatan
Umar radhiallahu ‘anhu di atas dilakukan di hadapan para shahabat dan tidak ada
seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan ijma’ para
shahabat bahwa sujud tilawah disunnahkan. Di antara ulama yang menyatakan
demikian adalah Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam dan Sayid
Sabiq dalam Fiqhus Sunnah.
Syaikh
Abdurrahman As Sa’di menyatakan : “Tidak ada nash yang mewajibkan sujud tilawah, baik dari Al
Qur’an, hadits, ijma’, maupun qiyas … .”
(Taudlihul Ahkam, halaman 167)
Pendapat
lain menyatakan bahwa sujud tilawah hukumnya wajib. Hal ini dinyatakan oleh
Madzhab Hanbali. Mereka berdalil dengan surat Al Insyiqaq :
Artinya
: “Mengapa
mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka
tidak sujud. (Al Insyiqaq : 20-21)
Dengan
adanya ayat di atas, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman ketika
dibacakan ayat Al Qur’an tidak mau bersujud. Dengan demikian mereka
menyimpulkan bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib. Namun pendapat yang rajih
(kuat) bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah sebagaimana telah diterangkan di
depan. Wallahu A’lam.
Di
antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya sujud tilawah adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari :
Artinya
: “Bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud ketika membaca surat An Najm. (HR. Bukhari)
Pada
hadits yang lain, Zaid bin Tsabit berkata :
Artinya
: “Saya
pernah membacakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam surat An Najm,
tetapi beliau tidak bersujud.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan
adanya kedua hadits ini dapat diketahui bahwa sujud tilawah tidak wajib
hukumnya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kadang-kadang
bersujud pada suatu ayat dan disaat lain pada ayat yang sama beliau tidak
sujud. Pada hadits ini juga dimungkinkan bahwa pembaca –dalam hal ini Zaid bin
Tsabit– tidak bersujud sehingga Rasulullah pun tidak bersujud.
Hal
ini didukung pula dengan perbuatan Umar di atas, beliau radhiallahu ‘anhu tidak
bersujud ketika membaca ayat sajdah. Padahal yang ikut shalat bersama beliau
radhiallahu ‘anhu adalah para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya.
Tempat-Tempat Disyariatkannya
Sujud Tilawah
Ada
beberapa pendapat mengenai tempat dalam Al Qur’an yang mengandung ayat-ayat
sajdah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Shan’ani dalam Subulus Salam juz 1,
halaman 402-403 :
1. Pendapat Madzhab Syafi’i
Sujud
tilawah terdapat pada sebelas tempat. Mereka tidak menganggap adanya sujud
tilawah dalam surat-surat mufashal (ada yang berpendapat yaitu surat Qaaf
sampai An Nas, ada juga yang berpendapat surat Al Hujurat sampai An Nas).
2. Pendapat Madzhab Hanafi
Sujud
tilawah terdapat pada empat belas tempat. Mereka tidak menghitung pada surat Al
Hajj, kecuali hanya satu sujud.
3. Pendapat Madzhab Hanbali
Sujud
tilawah terdapat pada lima belas tempat. Mereka menghitung dua sujud pada surat
Al Hajj dan satu sujud pada surat Shad.
Pendapat
pertama berdalil dengan hadits Ibnu Abbas : “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak sujud
pada surat-surat mufashal sejak berpindah ke Madinah.” (HR. Abu Dawud, 1403)
Ibnu
Qayim Al Jauziyah berkata tentang hadits ini : “Hadits ini dlaif, pada sanadnya
terdapat Abu Qudamah Al Harits bin ‘Ubaid. Haditsnya tidak dipakai.” Imam Ahmad
berkata : “Abu Qudamah haditsnya goncang.” Yahya bin Ma’in berkata : “Dia
dlaif.” An Nasa’i berkata : “Dia jujur, tapi mempunyai hadits-hadits mungkar.”
Abu Hatim berkata : “Dia syaikh yang shalih, namun banyak wahm-nya
(keraguannya).”
Ibnul
Qathan beralasan (men-jarh) dengan tulisannya dan berkata : “Muhammad bin Abdurrahman
menyerupainya dalam kejelekan hapalannya dan aib bagi seorang Muslim untuk
mengeluarkan haditsnya.”
Padahal
telah shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau sujud
bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika membaca surat iqra’
bismi rabbikal ladzi khalaq dan idzas samaun syaqqat (keduanya termasuk
surat-surat mufashal).
Beliau
masuk Islam setelah kedatangan Nabi ke Madinah selama enam atau tujuh tahun.
Jika dua hadits di atas bertentangan dari berbagai segi dan sama dalam
keshahihannya, niscaya akan jelas untuk mendahulukan hadits Abu Hurairah.
Karena hadits ini tsabit (tetap) dan ada tambahan ilmu yang tersamarkan bagi
Ibnu Abbas. Apalagi hadits Abu Hurairah sangat shahih, disepakati keshahihannya,
sedangkan hadits Ibnu Abbas dlaif. Wallahu A’lam. (Zadul Ma’ad, juz 1 halaman
273)
Pendapat
pertama juga berdalil dengan hadits Abi Darda : “Aku sujud bersama Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebelas sujud yaitu, Al A’raaf, Ar Ra’d, An Nahl,
Bani Israil, Al Hajj, Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah, Shad, dan Ha Mim
As Sajdah. Tidak ada padanya surat-surat mufashal.”
Abu
Dawud berkata : “Riwayat
Abu Darda dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang sebelas sujud ini
sanadnya dlaif. Hadits ini tidak ada pada riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah,
sedangkan sanadnya tidak dapat dipakai.”
Pendapat
kedua terbantah dengan hadits ‘Amr bin ‘Ash : “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam membacakan kepadanya lima belas (ayat) sajdah. Tiga di
antaranya terdapat dalam surat-surat mufashal dan dua pada surat Al Hajj.” (HR. Abu Dawud 1401 dan Hakim 1/811)
Hadits
ini sekaligus merupakan dalil bagi siapa saja yang menyatakan bahwa sujud
tilawah ada lima belas (seperti pendapat ke-3 di atas). Dalam mengomentari
hadits ini, Syaikh Al Albani berkata : “Kesimpulannya, hadits ini sanadnya dlaif. Umat telah
menyaksikan kesepakatannya.
Namun, meskipun hadits ini dlaif, tapi didukung oleh
kesepakatan umat untuk beramal dengannya. Juga hadits-hadits shahih
mendukungnya, hanya saja, sujud yang kedua pada surat Al Hajj tidak didapat
pada hadits dan tidak didukung oleh kesepakatan. Akan tetapi shahabat bersujud
ketika membaca surat ini. Dan hal ini termasuk hal yang dianggap masyru’,
lebih-lebih tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihinya. Wallahu A’lam.” (Tamamul Minnah, halaman 270)
Adapun
kelima belas ayat sajdah tersebut terdapat pada surat-surat :
1.
Al A’raf ayat 206.
2.
Ar Ra’d ayat 15.
3.
An Nahl ayat 50.
4.
Maryam ayat 58.
5.
Al Isra’ ayat 109.
6.
Al Hajj ayat 18.
7.
Al Hajj ayat 77.
8.
Al Furqan ayat 60.
9.
An Naml ayat 26.
10.
As Sajdah ayat 15.
11.
Shad ayat 24.
12.
An Najm ayat 62.
13.
Fushilat ayat 38.
14.
Al Insyiqaq ayat 21.
15.
Al ‘Alaq ayat 19.
Tata Cara Sujud Tilawah
Tata
cara sujud tilawah dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil contoh dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Di antara hadits
yang diambil faedahnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas.
Juga atsar Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata : “Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma
pernah turun dari kendaraannya, kemudian menumpahkan air, lalu mengendarai
kendaraannya. Ketika membaca ayat sajdah, beliau bersujud tanpa berwudlu.” Demikian penukilan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/644.
Beliau
menambahkan, adapun atsar yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Laits dari Nafi
dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berkata : “Janganlah seseorang sujud kecuali dalam keadaan suci.” Maka
cara menggabungkannya adalah bahwa yang dimaksud dengan ucapannya suci adalah
suci kubra (Muslim, tidak kafir) … . Ucapan ini dikuatkan dengan hadits :
“Seorang musyrik itu najis.”
Ketika mengomentari judul bab (yaitu bab Sujudnya kaum Muslimin
bersama kaum musyrikin padahal seorang musyrik itu najis dan tidak memiliki
wudlu) yang dibuat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Rusyd berkata :
“Pada dasarnya semua kaum Muslimin yang hadir di kala itu (ketika membaca ayat
sajdah) dalam keadaan wudlu, tapi ada pula yang tidak. Maka siapa yang
bersegera untuk sujud karena takut luput, ia sujud walaupun dia tidak berwudlu
ketika ada halangan atau gangguan wudlu.
Hal ini diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas bahwa pernah
sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin,
musyrikin, dari golongan jin dan manusia. Di sini, Ibnu Abbas menyamakan sujud
bagi semuanya, padahal pada waktu itu ada yang tidak sah wudlunya. Dari sini
diketahui bahwa sujud tilawah tetap sah dilakukan, baik oleh orang yang
berwudlu maupun yang tidak. Wallahu A’lam.”
Jadi,
kesimpulannya bahwa sujud tilawah boleh dilakukan bagi yang berwudlu maupun
yang tidak.
Termasuk
dari syarat sujud tilawah adalah takbir. Hanya saja terjadi ikhtilaf mengenai
hukumnya. Demikian dibawakan oleh Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul
Ahkam.
Adapun
yang rajih (lebih kuat) adalah disunnahkan takbir jika dilakukan dalam shalat.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
takbir pada tiap pergantian rakaat. Adapun mengenai sujud tilawah diluar
shalat, Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata dalam Al Mushanaf yang diriwayatkan
oleh Abdur Razaq : “Apabila
seseorang membaca ayat sajdah diluar shalat, hendaklah mengucapkan takbir.”
Beliau
(Abdur Razaq) dan Baihaqi meriwayatkannya dari Muslim bin Yasar yang dikatakan
Syaikh Al Albani bahwa : “Sanadnya
shahih.”
Adapun
ketika bangkit dari sujud, tidak teriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bahwa beliau mengucapkan takbir. Hal ini diungkapkan oleh
Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 272. Wallahu A’lam.
Dari
kedua point di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat hendak melakukan sujud
tilawah :
1.
Tidak diharuskan berwudlu.
2.
Disunnahkan bertakbir, baik pada waktu shalat maupun diluar shalat.
3.
Menghadap kiblat dan menutup aurat, sebagaimana yang dinyatakan oleh para
fuqaha.
Tentang
masalah ini, terdapat riwayat yang dihasankan oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani yang
berbunyi : “Dari
Abu Abdirrahman As Sulami berkata bahwa Ibnu Umar pernah membaca ayat sajdah
kemudian beliau sujud tanpa berwudlu dan tanpa menghadap kiblat dan beliau
dalam keadaan mengisyaratkan suatu isyarat.”
(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, lihat Fathul Bari juz 2 halaman 645)
Namun,
untuk lebih selamat adalah mengikuti apa yang dinyatakan jumhur fuqaha,
sedangkan atsar Ibnu Umar dipahami pada situasi darurat.
4.
Boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.
5.
Disunnahkan bagi yang mendengar bacaan ayat sajdah untuk sujud bila yang
membaca sujud dan tidak bila tidak.
6.
Tidak dibenarkan dilakukan pada shalat sir (shalat dengan bacaan tidak nyaring)
seperti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syaikh Muqbil, serta Syaikh Al
Albani. Sedangkan hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam sujud tilawah pada shalat dhuhur adalah munqathi’ (terputus
sanadnya) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Tamamul Minnah, halaman 272.
7.
Doa yang dibaca pada waktu sujud tilawah :
Artinya
: “Wajahku
sujud kepada Penciptanya dan Yang membukakan pendengaran dan penglihatannya
dengan daya upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. (HR. Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30, An Nasa’i 1128, dan Al
Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi)
Tidak
ada hadits yang shahih tentang doa sujud tilawah kecuali hadits Aisyah (di
atas) menurut Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/188, tanpa komentar dari Syaikh
Al Albani.
b. Sujud Syukur
Sujud
syukur termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para
shahabatnya ketika mendapatkan nikmat yang baru (nikmat yang sangat besar dari
nikmat yang lain) atau ketika tercegah dari musibah/adzab yang besar. Hal ini
dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad 1/270 dan Syaikh Abdurrahman Ali
Bassam dalam Taudlihul Ahkam 2/140 dan lain-lain.
Hukum Sujud Syukur
Jumhur
ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud ini. Hal ini diungkapkan oleh Sayid
Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah 1/179 dan Syaikh Al Albani menyetujuinya. Di
antara hadits-hadits yang digunakan adalah :
a.
Hadits dari Abi Bakrah :
Artinya
: “Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam apabila datang kepadanya berita yang
menggembirakannya, beliau tersungkur sujud kepada Allah. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 7/20477, Abu Dawud 2774,
Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Al Iqamah, Abdul Qadir Irfan menyatakan bahwa
sanadnya shahih. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani).
b.
Hadits :
Artinya
: “Bahwasanya
Ali radhiallahu ‘anhu menulis (mengirim surat) kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam mengabarkan tentang masuk Islamnya Hamdan. Ketika membacanya, beliau
tersungkur sujud kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata : “Keselamatan
atas Hamdan, keselamatan atas Hamdan.”
(HR. Baihaqi dalam Sunan-nya 2/369 dan Bukhari dalam Al Maghazi 4349. Lihat Al
Irwa’ 2/226)
c.
Hadits Anas bin Malik :
Bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika diberi kabar gembira, beliau sujud
syukur. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1392. Pada sanad hadits ini
terdapat Ibnu Lahi’ah, dia jelek hapalannya, namun Syaikh Al Albani berkata : “Sanad ini tidak ada masalah karena
ada syawahidnya.”
d.
Hadits Abdurrahman bin Auf :
Artinya
: “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, Jibril Alaihis Salam datang kepadaku
dan memberi kabar gembira seraya berkata : “Sesungguhnya Rabbmu berkata
kepadamu, ‘barangsiapa membaca shalawat kepadamu, Aku akan memberi shalawat
kepadanya. Dan barangsiapa memberi salam kepadamu, Aku akan memberi salam
kepadanya.’ “ Maka aku sujud kepada-Nya karena rasa syukur. (HR. Ahmad 1/191, Hakim 1/550, dan Baihaqi 2/371)
Hadits-hadits
di atas dikomentari oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim Al Hilali sebagai
berikut : “Kesimpulannya, tidak diragukan lagi bagi seorang yang berakal untuk
menetapkan disyariatkannya sujud syukur setelah dibawakan hadits-hadits ini.
Lebih-lebih lagi hal ini telah diamalkan oleh Salafus Shalih radhiallahu
‘anhum.
Di antara atsar-atsar para
shahabat adalah :
1.
Sujud Ali radhiallahu ‘anhu ketika mendapatkan Dzutsadniyah pada kelompok
khawarij. Atsar ini ada pada riwayat Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah dari
beberapa jalan yang mengangkat atsar ini menjadi hasan.
2.
Sujud Ka’ab bin Malik karena syukur kepada Allah ketika diberi kabar gembira
bahwa Allah menerima taubatnya. Dikeluarkan oleh Bukhari 3/177-182, Muslim
8/106-112, Baihaqi 2/370, 460, dan 9/33-36, dan Ahmad 3/456, 459, 460,
6/378-390.
Menanggapi
atsar-atsar ini Syaikh Salim berkata : “Oleh karena itu, seorang yang bijaksana tidak meragukan lagi
untuk menyatakan disyariatkannya sujud syukur.
Barangsiapa menyangka bahwa sujud syukur merupakan perkara
bid’ah, maka janganlah menengok kepadanya setelah peringatan ini.” (Lihat Bahjatun Nadhirin, jilid 2 halaman 325)
Bagaimana syarat-syarat
dilaksanakannya sujud syukur?
Imam
Shan’ani menyatakan setelah membawakan hadits-hadits masalah sujud syukur di
atas : “Tidak
ada pada hadits-hadits tentang hal ini yang menunjukkan adanya syarat wudlu dan
sucinya pakaian dan tempat.”
Imam
Yahya dan Abu Thayib juga berpendapat demikian. Adapun Abul ‘Abbas, Al Muayyid
Billah, An Nakha’i, dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa syarat
sujud syukur adalah seperti disyaratkannya shalat.
Imam
Yahya mengatakan pula : “Tidak
ada sujud syukur dalam shalat walaupun satu pendapat pun.”
Abu
Thayib tidak mensyaratkan menghadap kiblat ketika sujud ini. (Lihat Nailul
Authar, juz 3 halaman 106)
Imam
Syaukani merajihkan bahwa dalam sujud syukur tidak disyaratkan wudlu, suci
pakaian dan tempat, juga tidak disyaratkan adanya takbir dan menghadap kiblat.
Wallahu A’lam.
Kesimpulan
Dari
keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Disyariatkannya sujud tilawah dalam shalat dan diluar
shalat. Jika diluar shalat, bagi yang mendengar ayat sajdah sujud jika yang
membacanya sujud. Sedangkan sujud syukur hanya dilakukan diluar shalat.
2. Hukum sujud tilawah dan sujud syukur adalah sunnah.
3. Sujud tilawah ada pada 15 tempat. Sedangkan sujud syukur
dilakukan pada waktu mendapatkan kabar gembira yang besar. Bukan hanya pada
setiap mendapatkan kenikmatan saja, karena nikmat Allah itu selalu diberi
kepada kita. Juga dilakukan ketika terlepas dari mara bahaya.
4. Sujud tilawah dan sujud syukur boleh dilakukan pada
waktu-waktu dilarang shalat.
5. Pada sujud tilawah disunnahkan takbir di dalam atau di
luar shalat, sedangkan sujud syukur tidak.
6. Pada sujud tilawah dan sujud syukur tidak disyaratkan
berwudlu terlebih dahulu.
Wallahu
A’lam.
(Dikutip dari
tulisan Al Ustadz Zuhair bin Syarif dalam Majalah SALAFY/Edisi XXIV/1418/AHKAM)
Sumber:http://salafy.or.id offline Penulis : Ust. Zuhair bin Syarif
Sujud Syukur Dan Sujud Tilawah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar