Dalam
praktik shalat, ketika berdiri, ada sebagian orang yang meletakkan
kedua tangannya di atas dada, pusar, dan lain-lain. Bagaimanakah
tuntunan yang sebenarnya dalam masalah ini?
Jawaban
Telah
tetap tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dalam
hadits-hadits yang sangat banyak, bahwa pada saat berdiri dalam shalat,
tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri, dan ini merupakan pendapat
jumhur tabi’in dan kebanyakan ahli fiqih, bahkan Imam At-Tirmidzy
berkata, “Dan amalan di atas ini adalah amalan di kalangan ulama dari para shahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka ….” Lihat Sunan -nya 2/32.
Akan
tetapi, ada perbedaan pendapat tentang tempat meletakkan kedua tangan
(posisi ketika tangan kanan di atas tangan kiri) ini di kalangan ulama,
dan inilah yang menjadi pembahasan untuk menjawab pertanyaan di atas.
Berikut
ini pendapat para ulama dalam masalah ini, diringkas dari buku La
Jadida Fi Ahkam Ash-Shalah karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid
Pendapat Pertama
, kedua tangan diletakkan pada an-nahr. An-nahr adalah anggota badan
antara di atas dada dan di bawah leher. Seekor onta yang akan
disembelih, maka disembelih pada nahr-nya dengan cara ditusuk dengan
ujung pisau. Itulah sebabnya hari ke-10 Dzulhijjah, yaitu hari raya
‘Idul Adha (Qurban), disebut juga yaumun nahr -hari An-Nahr (hari
penyembelihan)-.
Pendapat Kedua
, kedua tangan diletakkan di atas dada. Ini adalah pendapat Al-Imam
Asy-Syafi’iy pada salah satu riwayat darinya, pendapat yang dipilih oleh
Ibnul Qayyim Al-Jauzy dan Asy-Syaukany, serta merupakan amalan Ishaq
bin Rahawaih. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albany dalam kitab
Ahkamul Jana` iz dan Sifat Shalat Nabi .
Pendapat Ketiga
,kedua tangan diletakkan di antara dada dan pusar (lambung/perut).
Pendapat ini adalah sebuah riwayat pada madzhab Malik, Asy-Syafi’i dan
Ahmad, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syaukany dalam Nailul
Authar . Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Imam Nawawy dalam Madzhab
Asy-Syafi’i, dan merupakan pendapat Sa’id bin Jubair dan Daud
Azh-Zhahiry sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawy dalam
Al-Majmu’ (3/313).
Pendapat Keempat ,
kedua tangan diletakkan di atas pusar. Pendapat ini merupakan salah
satu riwayat dari Imam Ahmad dan dinukil dari Ali bin Abi Thalib dan
Sa’id bin Jubair.
Pendapat Kelima
,kedua tangan diletakkan di bawah pusar. Ini adalah pendapat madzhab
Al-Hanafiyah bagi laki-laki, Asy-Syafi’iy dalam sebuah riwayat, Ahmad,
Ats-Tsaury dan Ishaq
Pendapat Keenam ,kedua tangan bebas diletakkan dimana saja: di atas pusar, di bawahnya, atau di atas dada.
Imam Ahmad ditanya, “Dimana seseorang meletakkan tangannya apabila ia shalat?” Beliau menjawab,
“Di atas atau di bawah pusar.” Semua itu ada keluasan menurut Imam
Ahmad diletakkan di atas pusar, sebelumnya atau di bawahnya. Lihat
Bada`i’ul Fawa`id 3/91 karya Ibnul Qayyim.
Berkata Imam Ibnul Mundzir sebagaimana dalam NailulAuthar , “Tidak ada sesuatu pun yang tsabit (baca: shahih) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka ia diberi pilihan.” Perkataan ini serupa dengan perkataan Ibnul Qayyim sebagaimana yang dinukil dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21).
Pendapat ini merupakan pendapat para ulama di kalangan shahabat, tabi’in dan setelahnya. Demikian dinukil oleh Imam At-Tirmidzy.
Ibnu Qasim, dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21), menisbahkan pendapat ini kepada Imam Malik.
Pendapat
ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hady
Al-Wadi’iy rahimahullah karena tidak ada hadits yang shahih tentang
penempatan kedua tangan saat berdiri melaksanakan shalat.
Dalil-Dalil Setiap Pendapat dan Pembahasannya
Dalil Pendapat Pertama
Dalil
yang dipakai oleh pendapat ini adalah atsar yang diriwayatkan dari Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala,
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” [ Al-Kautsar: 2 ]
Beliau(?) berkata (menafsirkan ayat di atas -pent.),
وَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ عِنْدَ النَّحْرِ
“Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat pada an-nahr.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/31)
Pembahasan
Riwayat
ini lemah karena pada sanadnya terdapat Ruh bin Al-Musayyab Al-Kalby
Al-Bashry yang dikatakan oleh Ibnu Hibban bahwa ia meriwayatkan
hadits-hadits palsu dan tidak halal meriwayatkan hadits darinya. Lihat
Al-Jauhar An-Naqy .
Dalil Pendapat Kedua
Dalil pertama , hadits Qabishah bin Hulb Ath-Tha’iy dari bapaknya, Hulb radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
رَأَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ هَذِهِ
عَلَى هَذِهِ عَلَى صَدْرِهِ وَوَصَفَ يَحْيَى الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
فَوْقَ الْمِفْصَلِ
“Saya
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meletakkan
ini di atas ini, di atas dadanya -dan yahya (salah seorang perawi
-pent.) mencontohkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri-.”
Pembahasan
Hadits
ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad -nya (5/226) dan Ibnul
Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434 (dan lafazh hadits baginya) dari jalan
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, dari Sufyan Ats-Tsaury, dari Simak bin
Harb, dari Qabishah bin Hulb.
Hadits
ini diriwayatkan dari Hulb Ath-Tha’iy oleh anaknya, Qabishah, dan dari
Qabishah hanya diriwayatkan oleh Simak bin Harb. Selanjutnya, dari Simak
bin Harb diriwayatkan oleh 6 orang, yaitu:
1. Sufyan Ats-Tsaury, akan disebutkan takhrijnya.
2.
Abul Ahwash, diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 252, Ibnu Majah no. 809,
Ahmad 5/227, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawa`id Al-Musnad 5/227,
Ath-Thabarany 22/165/424, Al-Baghawy 3/31, dan Ibnul Jauzy dalam
At-Tahqiq no. 435.
3. Syu’bah bin Al-Hajjaj, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsany no. 2495 dan Ath-Thabarany 22/163/416.
4.
Syarik bin ‘Abdillah, diriwayatkan oleh Ahmad 5/226, Ibnu Abi ‘Ashim
dalam Al-Ahad Wal Matsany no. 2493, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah
3/198, Ath-Thabarany 22/16/426, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid
20/73.
5. Asbath bin Nashr, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/422.
6. Hafsh bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/423.
7. Za`idah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 3/198.
Dari
ketujuh orang ini, tidak ada yang meriwayatkan lafazh “Meletakkan ini
atas yang ini, di atas dadanya”, kecuali riwayat Yahya bin Sa’id
Al-Qaththan dari Sufyan Ats-Tsaury, yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad
5/226 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434.
Kemudian,
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan bersendirian dalam meriwayatkan lafazh
tersebut dan menyelisihi 5 rawi tsiqah lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury,
yang kelima orang tersebut meriwayatkan hadits ini tanpa tambahan lafazh
“Meletakkannya di atas dada”. Kelima rawi tersebut adalah:
*
Waki’ bin Jarrah, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/342/3934, Ahmad
5/226, 227, Ibnu Abi ‘Ashim no. 2494, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Baihaqy
2/29, Al-Baghawy 3/32, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/74.
* ‘Abdurrahman bin Mahdy, diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny 1/285.
* ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 2/240/3207 dan dari jalannya Ath-Thabarany 22/163/415
* Muhammad bin Katsir, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/421.
* Al-Husain bin Hafsh, diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/295.
Hadits
Qabishah adalah hadits yang hasan dari seluruh jalan-jalannya.
Dihasankan oleh At-Tirmidzy 2/32 dan diakui kehasanannya oleh An-Nawawy
dalam Al-Majmu’ 2/312.
Penyebab
hasannya adalah Qabishah bin Hulb, meskipun mendapatkan tautsiq dari
sebagian ulama, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Simak bin
Harb. Berkata Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib, “Maqbul,” yang artinya
riwayatnya bisa diterima kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada maka
riwayatnya lemah.
Riwayat yang hasan tersebut adalah tanpa tambahan lafazh “Meletakkan tangannya di atas dada”.
Jadi
jelaslah, bahwa Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh
“meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6 orang
lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dan menyelisihi Ashab (baca:
murid-murid) Simak bin Harb yang lain, seperti Za`idah bin Qudamah,
Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah, dan Hafsh
bin Jami’. Maka jelaslah bahwa terdapat kesalahan pada riwayat tersebut,
sehingga dihukumi sebagai riwayat yang syadz ‘ganjil’ atau mudraj,
tetapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal dan kepada siapa
ditumpukan kesalahan ini. Wallahu a’lam.
Dalil kedua , Hadits Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
صَلَّيْتُ
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَوَضَعَ
يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ
“Saya
shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau
meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.”
Pembahasan
Hadits
ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahih -nya 1/243 no.
479 dari jalan Abu Musa (Al-‘Anazy), dari Mu`ammal (bin Isma’il), dari
Sufyan Ats-Tsaury, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wa`il bin
Hujr radhiyallahu ‘anhu.
Riwayat ini adalah riwayat yang syadz atau mungkar karena Mu`ammal bin Isma’il meriwayatkannya dengan tambahan lafazh “di atas dada”, dan dia menyelisihi 2 orang selainnya yang meriwayatkan dari Sufyan, yaitu:
1. ‘Abdullah bin Al-Walid (diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/318).
2. Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby ( Al-Mu’jamul Kabir /Ath-Thabarany no. 78).
Juga meyelisihi 10 orang yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib. Kesepuluh orang tersebut adalah:
1.
Bisyr bin Al-Mufadhdhal, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud 1/456 no. 726,
1/578 no. 957 dari jalan Musaddad, darinya (Bisyr bin Al-Mufadhdhal),
dan An-Nasa`i 3/35 hadits no. 1265 dari jalan Isma’il bin Mas’ud,
darinya.
2.
‘Abdullah bin Idris, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih -nya (
Al-Ihsan 3/308/hadits no. 1936) dari jalan Muhammad bin ‘Umar bin Yusuf,
dari Sallam bin Junadah, darinya (‘Abdullah bin Idris).
3.
‘Abdul Wahid bin Ziyad, diriwayatkan oleh Ahmad 4/316 dari jalan Yunus
bin Muhammad, darinya, Al-Baihaqy 2/72 dari jalan Abul Hasan ‘Ali bin
Ahmad bin ‘Abdan, dari Ahmad bin ‘Ubeid Ash-Shaffar, dari ‘Utsman bin
‘Umar Adh-Dhabby, dari Musaddad, darinya.
4.
Zuhair bin Mu’awiyah, diriwayatkan oleh Ahmad 4/318 dari jalan Aswad
bin ‘Amir, darinya, dan Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir 22/26/84
dari jalan ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz, dari Abu Ghassan Malik bin Isma’il,
darinya.
5.
Khalid bin Abdullah Ath-Thahhan, diriwayatkan oleh Al Baihaqy 2/131
dari 2 jalan, yaitu dari jalan Abu Sa’id Muhammad bin Ya’qub
Ats-Tsaqafy, dari Muhammad bin Ayyub, dari Musaddad, darinya, dan dari
jalan Abu ‘Abdillah Al-Hafizh, dari ‘Ali bin Himsyadz, dari Muhammad bin
Ayyub, dan seterusnya seperti jalan di atas.
6.
Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisy
di dalam Musnad -nya hal 137/hadits 1060 darinya, dan Ath-Thabarany (
Al-Mu’jamul Kabir 22/34/80) dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin
Musa, darinya.
7.
Abu ‘Awanah, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir
22/34/90 dari 2 jalan: dari jalan ‘Ali bin ‘Abdil ‘Aziz, dari Hajjaj bin
Minhal, darinya, dan dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa,
darinya.
8.
Qais Ar-Rabi’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir
22/34/79 dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa, darinya.
9.
Ghailan bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/34/88 dari jalan
Al-Hasan bin ‘Alil Al-‘Anazy dan Muhammad bin Yahya bin Mandah
Al-Ashbahany dari Abu Kuraib, dari Yahya bin Ya’la, dari ayahnya,
darinya.
10. Zaidah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ahmad 4/318 dari jalan ‘Abdushshamad, darinya.
Mu`ammal
bin Isma’il sendiri adalah rawi yang dicela hafalannya. Berkata
Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Taqribut Tahdzib ,memberikan kesimpulan, “Shaduqun
Sayyi`ul Hifzh,” sementara dia(?) sendiri telah menyelisihi ‘Abdul
Wahid dan Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby pada periwayatannya dari Sufyan
Ats-Tsaury, serta menyelisihi 10 orang rawi dari ‘Ashim bin Kulaib
lainnya yang sebagian besarnya adalah tsiqah dan semuanya tidak ada yang
meriwayatkan lafazh “pada dadanya”.
Ada
jalan lain bagi hadits Wa`il bin Hujr ini, yaitu diriwayatkan oleh
Al-Baihaqy 2/30 dari jalan Muhammad bin Hujr Al-Hadhramy, dari Sa’id bin
‘Abdil Jabbar bin Wa`il, dari ayahnya, dari ibunya, dari Wa`il bin
Hujr, tetapi terdapat beberapa kelemahan di dalamnya:
*
Muhammad bin Hujr lemah haditsnya, bahkan Imam Adz-Dzahaby, dalam
Mizanul I’tidal ,mengatakan, “Lahu manakir ‘meriwayatkan hadits-hadits
mungkar’.” Lihat juga Lisanul Mizan .
* Sa’id bin ‘Abdul Jabbar, dalam At-Taqrib ,disebutkan bahwa ia adalah rawi dha’if.
* Ibu ‘Abdul Jabbar. Berkata Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy , “Saya tidak tahu keadaan dan namanya.”
Dalil ketiga , hadits Thawus bin Kaisan secara mursal, dia berkata,
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ
الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى
صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ
“Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam beliau meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengeratkannya di atas
dadanya,dan beliau dalam keadaan shalat.”
Pembahasan
Hadits
ini dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam kitabnya, As-Sunan , no. 759 dan
dalam Al-Marasil hal. 85 dari jalan Abu Taubah, dari Al-Haitsam bin
Humaid, dari Tsaur bin Zaid, dari Sulaiman bin Musa, dari Thawus.
Sanadnya shahih kepada Thawus, tetapi haditsnya mursal, dan mursal
adalah jenis hadits yang lemah.
Dalil keempat , Hadits ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah Ta’ala ,
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” [ Al-Kautsar: 2 ]
Beliau berkata,
وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى وَسَطِ سَاعِدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ وَضَعَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ فِي الصَّلاَةِ
“Beliau
meletakkan tangan kanannya di atas sa’id ‘ setengah jarak pertama dari
pergelangan ke siku ’ tangan kirinya, kemudian meletakkan kedua
tangannya di atas dadanya di dalam shalat.”
Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 30/326, Al-Bukhary dalam Tarikh -nya 3/2/437, dan Al-Baihaqy 2/30.
Pembahasan
Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsir -nya, “(Atsar) ini, (yang) diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, tidak shahih (lemah-pent.).”
Berkata Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy , “Di dalam sanad dan matannya ada kegoncangan.”
Berikut rincian kelemahan dan kegoncangan atsar ini.
1.
Atsar ini telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushannaf 1/343, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Hakim 2/586, Al-Baihaqy
2/29, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 673, dan Al-Khatib dalam Mudhih
Auham Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/340. Semuanya tidak ada yang menyebutkan
kalimat “di atas dada”, bahkan dalam riwayat Ibnu ‘Abdil Barr, dalam
At-Tamhid ,disebutkandengan lafazh “di bawah pusar”. Lihat pula Al-Jarh
Wat Ta’dil 6/313.
2.
Perputaran atsar ini ada pada seorang rawi yang bernama ‘Ashim bin
Al-‘Ujaj Al-Jahdary, yang dari biografinya bisa disimpulkan bahwa ia
adalah seorang rawi yang maqbul. Baca Mizanul I’tidal dan Lisanul Mizan .
3.
‘Ashim ini telah goncang dalam meriwayatkan hadits ini. Kadang dia
meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Zhahir, kadang dari ‘Uqbah bin Zhabyan,
kadang dari ‘Uqbah bin Shahban, dan kadang dari ayahnya, dari ‘Uqbah bin
Zhabyan. Baca ‘ Ilal Ad-Daraquthny 4/98-99.
Maka
atsar ini adalah lemah. Ibnu Katsir juga menyebutkan dalam Tafsir -nya
bahwa atsar ini menyelisihi jumhur mufassirin. Wallahu a’lam.
Kesimpulan
Seluruh
hadits yang menunjukkan bahwa kedua tangan diletakkan pada dada ketika
berdiri dalam shalat adalah lemah dari seluruh jalan-jalannya dan tidak
bisa saling menguatkan. Wallahu a’lam.
Dalil-Dalil Pendapat Ketiga, Keempat dan Kelima
Dalil-dalil
ketiga pendapat ini mungkin bisa kembali kepada dalil-dalil yang akan
disebutkan, namun perbedaan dalam memetik hukum, memandang dalil, dan
mengkompromikannya dengan dalil yang lain menyebabkan terlihatnya
persilangan dari ketiga pendapat tersebut.
Berikut ini uraian dalil-dalilnya.
Dalil pertama , dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
إِنَّ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ الْأَكُفِّ عَلَى الْأَكُفِّ تَحْتَ السُّرَّةِ
“Sesungguhnya termasuk Sunnah dalam shalat adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar.”
Diriwayatkan
oleh Ahmad 1/110, Abu Daud no. 756, Ibnu Abi Syaibah 1/343/3945,
Ad-Daraquthny 1/286, Al-Maqdasy no. 771,772, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam
At-Tamhid 20/77. Dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdurrahman bin
Ishak Al-Wasity yang para ulama telah sepakat untuk melemahkannya
sebagaimana dalam Nashbur Rayah 1/314.
Dalil kedua ,dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ مِنَ السُّنَّةِ
“Meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar di dalam shalat termasuk sunnah.”
Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 758. Dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity.
Dalil ketiga , dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ وَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ
“Termasuk akhlak-akhlak kenabian, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar.”
Ibnu Hazm menyebutkannya secara mu’allaq ‘tanpa sanad’ dalam Al-Muhalla 4/157.
Kesimpulan Pembahasan
Dari
uraian di atas, nampak jelas bahwa seluruh hadits-hadits yang
menerangkan tentang penempatan (posisi) kedua tangan pada anggota badan
dalam shalat adalah hadits-hadits yang lemah. Dengan ini, bisa
disimpulkan bahwa pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah
pendapat keenam, yaitu bisa diletakkan dimana saja: di dada, di pusar,
di bawah pusar, atau antara dada dan pusar. Wallahu a’lam.
Sumber: http://an-nashihah.com/?p=89 Oleh Mustamin Musaruddin, Lc. Judul: Tempat Meletakkan Kedua Tangan Saat Berdiri Shalat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar