Industri merupakan aktivitas manusia untuk mengelola sumber
daya-sumber daya (resources) baik Sumber Daya Manusia (SDM), maupun Sumber Daya
Alam (SDA) di bidang produksi dan jasa. Di bidang produksi pengelolaan itu
berupa bahan mentah—dan atau penyiapannya—menjadi bahan setengah jadi dan atau
bahan setengah jadi menjadi bahan jadi. Sedangkan di bidang jasa merupakan
segala aktivitas yang terkait dengan pengelolaan sumber daya itu baik langsung
maupun melalui perantara. Aktivitas pengelolaan tersebut dimaksudkan untuk
dipertukarkan (exchanged), memperoleh nilai tambah (added value), dan untuk
meningkatkan keberlanjutan (sustainable) dari aktivitas itu.
Sejumlah penelitian tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh
pelaku usaha dalam mengembangkan kegiatan industri, umumnya bergerak hanya
melihatnya dari perspektif ekonomi seperti modal, manajemen, tenaga kerja,
pengembangan desain, pengembangan promosi pemasaran dan intervesnsi pemerintah,
sedang hal-hal yang bersifat non-ekonomi belum banyak dilihat. Padahal
keberhasilan industri kecil tidak semata-mata ditentukan oleh faktor ekonomi.
Bagaimanapun, faktor non-ekonomi perlu diperhatikan.
Penelitian Maspiyati (1991) dan Thamrin (1992) pada industri
sepatu Cibaduyut menemukan berbagai strategi yang dilakukan oleh pengusaha
dalam hal permodalan, perolehan keuntungan, kontinuitas produksi, dan
pengendalian tenaga kerja. Untuk menjaga kelangsungan usaha, maka para
pengusaha mempertahankan hubungan baik dengan pihak-pihak yang terkait dalam
produksi dan para pedagang perantara. Jalinan kerjasama dengan pedagang
perantara terwujud dalam praktek pinjam meminjam uang. Di antara mereka terjadi
saling menolong. Pengusaha mendapat pinjaman modal dan pedagang perantara
memperoleh keuntungan dari pemasaran barang. Sayangnya, Maspiyati dan Thamrin,
tidak menjelaskan dengan cukup terperinci upaya-upaya yang dilakukan pengusaha
dalam menjalin hubungan baik dan bagaimana wujud hubungan baik tersebut.
Strategi pengusaha dalam menjalin hubungan dengan pedagang perantara juga belum
diuraikan dengan jelas. Juga peneliti tidak melihat bahwa strategi yang
dilakukan oleh para pengusaha tesebut merupakan suatu bentuk gerakan sosial.
Peneliti yang lain, Syahrir (1986) dan Ju Lan (1989),
menganalisis keberhasilan sebuah usaha dari perspektif jaringan. Dalam
kajiannya tentang tukang-tukang bangunan di Jakarta, Syahrir (1986) menunjukkan
bahwa jaringan kerja (dalam hal ini antar tukang bangunan di Jakarta) ternyata
cukup erat. Bahkan hubungan tukang dengan mandor berlangsung hingga di luar
pekerjaan. Ketidakpastian serta kemiskinan telah membuat tukang-tukang tersebut
mencari perlindungan pada jaringan keja yang mereka miliki. Keeratan jaringan
ini juga ditemukan Ju Lan (1989), dalam jaringan sosial pengusaha konstruksi
etnis Cina. Penelitian Ju Lan ini menyimpulkan bahwa secara garis besar
hubungan setiap kontraktor dengan pihak terkait di Jakarta, baik yang besar
maupun yang kecil, mempunyai pola yang sama. Seorang kontraktor mempunyai
hubungan tetap, baik secara perorangan maupun melalui asosiasi, dengan: (1)
pembantu modal (penyewa peralatan, penyedia barang, serta pemberi pinjaman
uang); (2) pekerja (staf hali, staf administrasi, mandor dan kuli bangunan);
(3) pemberi kerja (dari sektor swasta dan pemerintah); serta (4) sesama
kontraktor. Hubungan satu dengan yang lain bersifat saling tergantung, terutama
kontraktor dengan pemberi kerja.
Kedua penelitian di atas yakni Syahrir (1986) dan Ju Lan
(1989) menyimpulkan bahwa jaringan bukan saja menjembatani hubungan dua orang
atau lebih, tetapi juga menetapkan bagaimana seharusnya hubungan tersebut dapat
berlangsung dan pada tingkat apa intensitas hubungan dapat membawa seseorang pada
sumber-sumber ekonomi yang strategis. Meskipun demikian kedua penelitian ini,
belum memaparkan strategi yang digunakan pengusaha dalam mempertahankan
jaringannya, serta tidak melihat strategi-strategi itu merupakan bagian dari
gerakan sosial.
Dalam sistem kredit dan penyediaan barang, tidak hanya
jaringan yang dibangun dan modal yang dimiliki, namun juga kemampuan pengusaha
dalam merekrut tenaga kerja, turut menentukan kelancaran proses produksi.
Penelitian tentang penyeleksian atau recruitment tenaga kerja dilakukan
Sjaifudian (1994). Ia menyatakan bahwa terdapat perbedaan pola seleksi tenaga
kerja pada tingkat perorangan dan perusahaan, dan antara penduduk lokal dengan
transmigran.
Seleksi di tingkat perorangan tampak pada kebijakan dari
pengusaha batik Danarhadi. Menurut Sjaifudian (1994), untuk membuat pekerja
tidak pindah ke tempat kerja lainnya, langkah pengusaha pada masa sepi produksi
adalah menciptakan produk baru seperti dompet, tempat tissu atau menerima
pesanan dari pihak lain. Dengan cara ini dimaksksudkan agar hubungan kerja
antara pengusaha dengan tenaga kerja tidak terputus. Ini penting karena masa
kosong biasanya dimanfaatkan oleh pengusaha lain untuk merektut tenaga kerja
baru, dengan cara di antaranya dengan ‘merebut’ tenaga kerja di perusahaan
sejenis. Penelitian ini cukup menarik, namun sayang hanya mencermati strategi
yang dilakukan pengusaha semata-mata dari sisi ekonomi, strategi-strategi yang
bersifat non-ekonomi, seperti faktor apa yang membuat tenaga kerja tertarik dan
pindah di tempat industri lainnya, lepas dari perhatian peneliti. Hal tersebut
sesungguhnya juga menarik untuk dikaji dalam perspektif gerakan sosial.
Hubungan antara pengusaha dan pekerja, pada dasarnya
bersifat timbal balik. Hal tersebut tampak dalam kajian Marshus (1995) mengenai
munculnya perusahaan genteng yang mempengaruhi perkembangan ekonomi penduduk
Desa Senawar Jaya, Kecamatan Buyung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera
Selatan. Dalam menentukan kebijakan, penusaha genteng tidak melakukannya untuk
mencari keuntungan semata-mata, tetapi juga karena pertimbangan sosial.
Pengusaha sadar bahwa dengan menjalin kerjasama dengan penduduk, akan semakin
terbuka kesempatan baginya untuk mengembangkan ekonominya. Kerjasama ini tampak
jelas dalam pengadukan tanah untuk proses produksi genteng. Pengusaha menyadari
bahwa dalam hitungan ekonomi akan lebih menguntungkan jika pengadukan tanah
dilakukan dengan menggunakan mesin. Namun kerjasama dengan pengaduk tanah ini
dipandang penting bagi hubungan mereka dengan masyarakat sekitar, oleh karena
itu mereka mempertahankannya. Upaya-upaya untuk mempertahankan hubungan kerja
sama antara pengusaha dan pengaduk tanah sebenarnya juga menarik dilihat dari
perspektif gerakan sosial, yang dalam penelitian ini belum dimunculkan.
Sumber:http://id.shvoong.com/business-management/entrepreneurship/2283261-pengembangan-industri-kecil/#ixzz1vX9ifkbG