Allah
 Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya telah menciptakan manusia 
berbeda-beda status sosialnya. Ada yang menjadi pemimpin dan ada yang 
dipimpin.
Ada
 yang ditakdirkan kaya, ada pula yang miskin. Bahkan ada yang menjadi 
budak sahaya dan ada yang merdeka. Semuanya dijadikan sebagai ujian bagi
 hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabb kalian Maha Melihat.” (Al-Furqan: 20)
Juga firman-Nya:
نَحْنُ
 قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا 
وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ 
بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Kami
 telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan 
dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang 
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
 yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Manusia
 sebagai makhluk sosial tentunya tidak bisa lepas dari ketergantungan 
dengan orang lain. Orang kaya tidak akan terpenuhi kebutuhannya dengan 
baik tanpa bantuan orang miskin. Pemerintah tidak akan bisa mewujudkan 
berbagai program secara sempurna bila tidak mendapat dukungan dari 
rakyat. Oleh karenanya, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, 
antara pemerintah dengan rakyatnya, sudah semestinya dikubur. Dengan ini
 akan terwujud kehidupan yang dinamis, di mana masing-masing tahu 
peranannya agar tercapai kemaslahatan bersama.
Kemuliaan dengan Ketakwaan
Bila
 kita mau melihat masyarakat yang dipimpin oleh Nabi Muhammad 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para sahabat, maka kita dapatkan 
mereka berasal dari negeri yang berbeda-beda dan status sosial yang 
tidak sama. Ada yang dari Persia, Romawi, Habasyah, dan orang-orang 
Arab. Ada yang dari keluarga terpandang seperti dari kabilah Quraisy, 
ada pula yang dari budak sahaya. Ada yang kaya-raya seperti ‘Utsman bin 
‘Affan radhiyallahu ‘anhu, ada pula yang miskin seperti Abu Hurairah 
radhiyallahu ‘anhu. Keanekaragaman tidak menjadi soal manakala prinsip 
dalam beragama itu sama. Mereka berbaur satu sama lain untuk 
bersama-sama memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kecintaan 
mereka terhadap saudara-saudaranya yang seiman melebihi kecintaan mereka
 terhadap karib kerabatnya yang tidak beriman. Bahkan mereka berlepas 
diri dan menyatakan kebencian kepada keluarganya yang kafir. Allah 
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian.” (Al-Hujurat: 13)
Timbangan
 kemuliaan di sisi Allah, Dzat Yang Mencipta, Mengatur alam semesta dan 
Yang berhak diibadahi adalah ketakwaan. Maka, barangsiapa yang bertakwa 
dengan mengerjakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan 
menjauhi larangan-larangan-Nya, dialah yang mulia meskipun menurut 
pandangan sebagian manusia dia adalah orang yang rendah.
Tatkala
 sahabat Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu mencela seseorang karena
 ibunya bukan berasal dari bangsa Arab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam marah kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dengan mengatakan:
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
“Sesungguhnya engkau adalah seorang yang pada dirimu masih tersisa perangai jahiliah.” (HR. Al-Bukhari no. 6050)
Abu
 Dzar radhiyallahu ‘anhu sadar akan kesalahannya, sehingga setelah itu 
dia sangat menjaga sampai-sampai dia dan budaknya memakai pakaian yang 
sama. Orang yang tidak tahu tidak akan bisa membedakan mana tuannya dan 
mana budaknya.
Ketakwaan
 telah mengangkat sahabat Bilal radhiyallahu ‘anhu yang dahulunya budak 
sahaya sehingga menjadi salah satu muadzin Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam. Bahkan tatkala kota Makkah ditaklukkan pada tahun 
ke-8 hijriyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal 
untuk naik ke atas Ka’bah mengumandangkan adzan. Suatu hal yang 
mencengangkan para pembesar Quraisy kala itu. (Zadul Ma’ad, 3/361)
Jangan Menzalimi Orang yang Lemah
Kezaliman
 dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun adalah kejahatan yang 
pelakunya berhak mendapat hukuman di dunia ini sebelum di akhirat kelak.
 Sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam bersabda:
مَا
 مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ 
الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُهُ لَهُ فِي الْأَخِرَةِ 
مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tiada
 suatu dosa yang lebih pantas Allah Subhanahu wa Ta’ala segerakan 
hukuman bagi pelakunya di dunia, di samping azab yang Allah sediakan 
untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan memutuskan hubungan 
silaturahim.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 5704)
Berbuat
 zalim kepada siapapun akan membawa petaka yang tiada hentinya. Terlebih
 bila yang dizalimi adalah orang-orang lemah, seperti wanita, anak-anak,
 budak sahaya, orang-orang miskin, rakyat jelata, dan semisalnya. 
Ketidakberdayaan mereka tidak bisa dianggap remeh, karena Islam telah 
menjamin hak mereka. Jangan sampai ada orang yang berpikir ingin 
menzalimi mereka. Karena Allah Dzat yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan tak 
terkalahkan, akan membalaskan bagi mereka dan membinasakan orang-orang 
yang berbuat aniaya. Kalau begitu, siapa gerangan yang mampu melawan 
Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Tiada seorang pun, meskipun dia orang yang 
kuat dan banyak tentaranya.
Lihatlah
 kesudahan Fir’aun dan bala tentaranya yang menzalimi Bani Israil dengan
 membunuh anak-anak yang tidak berdosa, memberlakukan kerja paksa dan 
setumpuk kezaliman lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tenggelamkan 
Fir’aun dan tentaranya di lautan. Mana kerajaan yang penuh kemewahan?! 
Mana bala tentara yang banyak dan berlapis-lapis?! Semuanya sirna dan 
binasa. Semuanya kecil di hadapan Allah Dzat yang Maha Adil dan Maha 
Kaya lagi Maha Perkasa. Adakah kiranya orang yang mau mengambil 
pelajaran darinya?!
Beberapa Sifat Orang Lemah
1.
 Orang-orang lemah pada umumnya lebih mau menerima kebenaran yang datang
 dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ketimbang orang yang kaya, kuat, dan 
berkuasa. Coba perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
“Dan
 Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun,
 melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: 
‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk 
menyampaikannya’.” (Saba’:34)
2.
 Orang yang lemah, karena keikhlasan dan doa mereka, maka pertolongan 
Allah Subhanahu wa Ta’ala datang. Demikian pula rezeki dari-Nya, 
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونِ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ
“Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezeki kecuali dengan sebab orang yang lemah di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari)
Oleh
 karena itu, orang-orang lemah dari kaum mukminin adalah sumber kebaikan
 bagi umat. Meski lemah fisik dan hartanya, namun mereka adalah orang 
yang kuat keimanan dan kepercayaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. 
Oleh sebab itu, bila mereka berdoa dengan tulus kepada Allah Subhanahu 
wa Ta’ala, maka akan dikabulkan permintaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
 pun memberi rezeki kepada umat dengan sebab mereka. (lihat Bahjatun 
Nazhirin, 1/355)
3. Orang lemah dari kaum muslimin adalah mayoritas penghuni surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينَ
“Aku berdiri di pintu surga, ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin.” (Muttafaqun ‘alaih)
Orang Lemah yang harus Diperhatikan Haknya
Di antara orang-orang lemah yang harus diperhatikan haknya adalah sebagai berikut:
1. Anak yatim
Yaitu anak yang ditinggal mati oleh ayahnya dan dia belum baligh.
 Di saat seorang anak sangat membutuhkan belaian kasih sayang 
orangtuanya, ternyata ia harus mengalami kenyataan yang pahit, bapaknya 
meninggalkannya untuk selamanya. Maka siapa saja yang siap menggantikan 
orangtuanya dengan memberikan belaian kasih sayang dan nafkah yang 
dibutuhkan, maka dia akan masuk surga, dekat dengan Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ
“Saya
 dengan orang yang mengurusi anak yatim di surga seperti keduanya ini.” 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan jari 
telunjuknya dan jari tengahnya dengan merenggangkan di antara keduanya. (HR. Al-Bukhari)
Demikian
 balasan mulia bagi orang yang menyantuni anak yatim. Namun sebaliknya, 
orang yang tidak menyayangi anak yatim dan menelantarkannya, atau bahkan
 memakan harta anak yatim, dia diancam dengan azab yang pedih.
2 & 3. Janda dan orang miskin
Wanita
 yang ditinggal mati suaminya pada umumnya sangat membutuhkan uluran 
tangan. Bagaimana tidak? Kini orang yang biasa mencarikan nafkah 
untuknya telah tiada. Beban kehidupan semakin bertambah. Hal seperti ini
 tentunya mengetuk hati orang yang mempunyai kelebihan rezeki untuk 
menyisihkan sebagian harta untuknya. Demikian pula orang miskin yang 
tidak mempunyai sesuatu untuk mencukupi kebutuhan dirinya beserta anak 
dan istrinya. Orang miskin terkadang mempunyai pekerjaan dan 
penghasilan, namun hasilnya belum bisa mencukupi kebutuhan pokoknya. 
Suatu kondisi yang juga memprihatinkan, yang membutuhkan pemecahan 
sesegera mungkin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْـمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Orang yang bekerja untuk (mencukupi) para janda dan orang miskin seperti seseorang yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Untuk
 meraih predikat “mujahid” (pejuang) di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
 tidak selalu dengan berperang di medan laga. Bahkan celah yang ada di 
tengah umat ini manakala seorang berusaha untuk menutupnya, tentunya itu
 merupakan sebuah perjuangan yang tidak ringan. Bila kita membiarkan 
para janda merana dan orang miskin terlunta, bukan tidak mungkin mereka 
akan dimurtadkan dari agama ini.
4. Anak
Anak
 merupakan buah hati seorang dan penerus generasi di masa mendatang. 
Kiranya suatu kezaliman besar manakala seseorang tidak memenuhi hak 
mereka. Hak anak tidak hanya pada pemberian nafkah berupa makanan, 
pakaian, dan semisalnya. Bahkan ada hak yang seringkali diabaikan, yaitu
 hak pendidikan agama yang memadai. Tunaikanlah hak-hak anak. Berilah 
mereka kasih sayang yang cukup dan berlaku adillah kepada mereka. Ketika
 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ada seorang sahabat memberikan 
suatu pemberian kepada seorang anaknya namun anak yang lain tidak 
diberi, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah dan mengatakan:
اتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anak kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
5. Kaum wanita
Ketika
 haji wada’ yang dihadiri oleh puluhan ribu manusia dari berbagai 
daerah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pesan 
terakhir sebelum wafatnya. Di antara pesan-pesan tersebut adalah 
keharusan untuk berbuat baik kepada kaum wanita. Para wanita dalam Islam
 memiliki posisi penting yang tidak bisa diabaikan. Mereka membantu 
laki-laki dalam tercapainya kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Maka, 
sudah barang tentu kita harus memberikan hak mereka tanpa menguranginya.
 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ
“Ya Allah, aku menimpakan dosa terhadap orang yang menyia-nyiakan hak dua orang yang lemah, yaitu anak yatim dan wanita.” (An-Nawawi dalam kitabnya Riyadush Shalihin no. 275: “Diriwayatkan oleh An-Nasa’i t dengan isnad yang bagus.”)
Orang yang terbaik adalah yang terbaik terhadap istrinya dan orang yang jelek adalah yang berbuat jelek terhadap para wanita.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mempergauli wanita dengan baik sebagaimana firman-Nya:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka dengan baik.” (An-Nisa’: 19)
6. Rakyat jelata
Merupakan
 kewajiban pemerintah untuk memberikan hak-hak rakyat, dengan menebarkan
 perasaan aman dan nyaman, menjunjung tinggi keadilan, serta menindak 
orang-orang yang jahat. Kekuasaan merupakan amanah untuk mewujudkan 
kemaslahatan dalam perkara agama dan dunia. Sehingga manakala pemerintah
 menyia-nyiakan hak rakyatnya dan tidak peduli terhadap tugasnya, maka 
kesengsaraan dan azab telah menunggu mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
 sallam telah bersabda:
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tiada
 seorang hamba yang diserahkan kepadanya kepemimpinan terhadap rakyat 
lalu dia mati di hari kematiannya dalam keadaan berkhianat kepada 
rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Keadilan
 akan terwujud dengan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan 
petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam, serta meneladani kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam dan para sahabatnya g. Dengan keadilan akan tegak urusan manusia 
dan akan tersebar di tengah-tengah mereka ruh kecintaan terhadap sesama.
 secara penuh tanpa terzalimi sedikitpun. Tinta sejarah telah mencatat 
keberhasilan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para 
sahabatnya g dalam memimpin manusia.
Salah
 satu contoh kepemimpinan ideal adalah apa yang disebutkan oleh Abu Bakr
 radhiyallahu ‘anhu pada pidato politiknya yang singkat saat dibai’at 
sebagai khalifah:
“Wahai
 manusia, aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian padahal aku bukan 
orang yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, bila kebijakanku nanti 
baik maka dukunglah aku. Namun jika melenceng maka tegur dan luruskan 
aku.
Kejujuran
 adalah amanah dan kedustaan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah 
(terzalimi) dari kalian di sisiku (yakni di mata pemerintah) adalah 
orang yang kuat sampai aku berikan haknya, insya Allah. Orang yang kuat 
(tapi zalim) di sisiku adalah orang yang lemah sehingga aku mengambil 
darinya hak orang yang terzalimi, insya Allah. Tiada suatu kaum yang 
meninggalkan jihad fi sabilillah melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala 
akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Tidaklah kekejian menyebar pada 
suatu kaum kecuali Allah k akan meratakan azab atas mereka. Taatilah aku
 selagi aku (kebijakanku) menaati Allah k dan Rasul-Nya. Namun bila aku 
menyelisihi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya maka kalian tidak 
wajib taat kepadaku (dalam kemaksiatan itu).” (Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun wad Daulah Al-Umawiyyah, hal. 13)
Demikianlah
 prinsip keadilan yang dijunjung tinggi oleh Abu Bakr radhiyallahu 
‘anhu. Tentunya hal itu bukan sekadar retorika namun benar-benar 
diwujudkan dengan usaha nyata.
Demikian
 di antara hak-hak yang harus dijalankan. Semoga Allah Subhanahu wa 
Ta’ala menunjuki masing-masing kita untuk mampu menjalankan hak-hak 
tersebut. Sehingga perasaan aman dan nyaman serta ruh kecintaan 
benar-benar menebar dalam kehidupan ini. Wallahu a’lam.