do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Sabtu, 04 September 2010

Pendamping Rasulullah di Negeri Yang Kekal Abadi


Wanita mulia, putri seorang yang mulia. Kemuliaan yang dicurahkan oleh Rabbnya dengan puasa dan shalat malamnya. Kemuliaan yang membuat dirinya tetap berdampingan dengan orang yang paling mulia, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Putri seorang yang paling mulia setelah Abu Bakr Ash Shiddiq, Hafshah bintu ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza bin Riyah bin ‘Abdillah bin Qarth bin Razzah bin ‘Ady bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib Al Qurasyiyyah Al ‘Adawiyyah radliallahu anhu. Ibunya bernama Zainab bintu Madh’un bin Hubaib bin Wahb bin Hudzafah bin Jumah Al Jumahiyah. Dia dilahirkan lima tahun sebelum masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diangkat sebagai nabi.
Hafshah merangkai kisah hidupnya dalam ikatan pernikahannya dengan Khumais bin Hudzafah As Sahmi, seorang sahabat mulia yang turut terjun dalam pertempuran Badr. Namun ikatan itu harus terurai. Khumais terluka dalam peperangan Uhud hingga akhirnya meninggal dunia di Madinah.
Dilaluinya kesunyian hari-hari tanpa seseorang di sisinya. Kesedihan tak tersembunyi dari wajahnya. Betapa pilu hati ‘Umar bin Al Khaththab radliallahu anhu melihat semua itu. Betapa ingin dia mengusir kesedihan hati putrinya. Terlintas di benaknya sosok seorang yang mulia, Abu Bakr Ash Shiddiq z. Usai masa ‘iddah Hafshah, bergegas ‘Umar berangkat menemui Abu Bakr. Dikisahkannya peristiwa yang menimpa putrinya, kemudian ditawarkannya Abu Bakr untuk menikah dengan putri tercintanya. Akan tetapi, ‘Umar tidak mendapati jawaban sepatah kata pun dari Abu Bakr.
Remuk redamlah hati ‘Umar. Dia bangkit meninggalkan Abu Bakr dengan menyisakan kemarahan. Kemudian ‘Umar menemui ‘Utsman bin ‘Affan yang baru saja kehilangan kekasihnya, Ummu Kultsum, putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Diceritakannya pula tentang putrinya dan ditawarkannya ‘Utsman untuk menikahi putrinya. ‘Utsman pun terdiam, kemudian memberikan jawaban yang membuat hati ‘Umar semakin hancur, “Kurasa, aku tidak ingin menikah dahulu hari-hari ini.” ‘Umar kembali dengan membawa bertumpuk kekecewaan.
Dengan penuh gundah, ‘Umar menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Diungkapkannya segala yang dialaminya. Merekahlah senyuman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu beliau berkata, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada ‘Utsman, dan ‘Utsman akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.”
Siapa yang menyangka, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminang Hafshah, putri sahabatnya, ‘Umar bin Al Khaththab radliallahu anhu. Tak terkira kegembiraan yang memenuhi hati ‘Umar. Seusai menikahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan putrinya, ‘Umar segera mendatangi Abu Bakr untuk mengabarkan peristiwa besar yang dia alami sebagai suatu kemuliaan dari Allah  diiringi dengan permintaaan maaf. Abu Bakr tersenyum mendengar penuturan ‘Umar, “Barangkali waktu itu engkau sangat marah padaku. Sesungguhnya aku tidak memberikan jawaban karena aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebut-nyebut Hafshah. Akan tetapi, aku tidak ingin menyebarkan rahasia beliau. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menikahinya, pasti aku akan menikah dengannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikah dengan Hafshah pada tahun ketiga hijriyah, dalam usia Hafshah yang kedua puluh tahun. Semenjak saat itu, Hafshah hadir dalam rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, setelah ‘Aisyah radliallahu anha Pada tahun itu pula beliau menikahkan ‘Utsman bin ‘Affan radliallahu anhu dengan putri beliau, Ruqayyah radliallahu anha
Dalam rentang perjalanannya menapaki rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tercatat kisah yang mengguratkan sejarah besar. Dari peristiwa itulah turun ayat-ayat dalam Surat At Tahrim sebagai teguran Allah Subhanahuwata ‘ala erawal kisah ini dari singgahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di rumah Zainab bintu Jahsy radliallahu anhumaBeliau tertahan beberapa lama karena menikmati madu yang dihidangkan Zainab. Tatkala mendengar hal itu, meluaplah riak-riak kecemburuan ‘Aisyah. Dia kabarkan hal ini kepada Hafshah. Kemudian ‘Aisyah dan Hafshah pun bersepakat, apabila beliau menemui salah seorang dari mereka berdua, hendaknya dikatakan bahwa beliau telah makan buah Maghafir.
Inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah dan Hafshah, hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan, “Aku tidak makan buah maghafir. Aku hanya minum madu di tempat Zainab, dan aku tidak akan mengulanginya lagi.”
Pun tak hanya itu yang terjadi. Peristiwa lain turut mengiringi, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendatangi budak beliau, Mariyah Al Qibthiyyah, di rumah Hafshah. Kecemburuan Hafshah pun membuncah, “Ya Rasulullah, engkau lakukan hal itu di rumahku, di atas tempat tidurku dan pada hari giliranku.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun segera meredakan kemarahan Hafshah. Beliau menyatakan bahwa sejak saat itu Mariyah haram bagi beliau. Tak lupa beliau berpesan agar Hafshah tidak menceritakan apa yang terjadi pada siapa pun. Namun, Hafshah tidak memegangi pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dia mengungkap peristiwa itu di hadapan ‘Aisyah x.
Siapakah yang dapat bersembunyi dari Allah? Tentang dua peristiwa ini, Allah turunkan wahyu kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam agar tidak mengharamkan segala yang Allah halalkan, semata-mata untuk mencari keridhaan istri-istri beliau. Allah kabarkan kepada beliau tentang apa yang diperbuat ‘Aisyah dan Hafshah , disertai pula teguran kepada mereka berdua untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang mulia ini terus dibaca, terus membuahkan banyak faidah.
Perjalanan rumah tangga dengan segenap pasang surutnya. Suatu ketika, pernah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hendak menceraikannya. Namun Jibril  menahan beliau, “Kembalilah kepada Hafshah! Sesungguhnya dia wanita yang banyak puasa dan shalat malam, dan dia adalah istrimu kelak di dalam surga.” Hafshah bintu ‘Umar radliallahu anhu, wanita mulia yang meraih kemuliaan dengan puasa dan shalat malamnya.
Hafshah menikmati bimbingan dalam liputan cahaya kenabian. Dia meriwayatkan banyak ilmu dari sisi suaminya yang tercinta, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dari ayahnya, ‘Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu. Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dia sebarkan ilmu, hingga tercatatlah deretan nama para sahabat yang meriwayatkan dari Hafshah bintu ‘Umar radliallahu anhu, di antaranya ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu anhu, saudara laki-lakinya.
Masa terus berjalan, khilafah berganti. Pada tahun keempat puluh lima setelah hijrah, pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radliallahu anhu, Hafshah bintu ‘Umar radliallahu anhu kembali kepada Rabb-nya. Kala itu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Hurairah radliallahu anhuma terlihat turut mengusung jenazah Hafshah radliallahu anhu dari kediamannya hingga ke kuburnya. Wanita mulia itu telah tiada, kehidupannya meninggalkan keharuman ilmu dan guratan berharga bagi umat ini. Hafshah bintu ‘Umar, semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber bacaan :
1. Al-Ishabah karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, 7/581-582
2. Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, 8/807-808
3. Nashihati lin Nisaa’ karya Ummu ‘Abdillah Al Wadi’iyyah, hal. 130
4. Siyar A’lamin Nubalaa’ karya Al Imam Adz Dzahabi, 2/227-231
5. Tahdzibul Kamal karya Al Imam Al Mizzi, 35/153-154
Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis : Penulis : Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran , Judul: Pendamping Rasulullah di Negeri Yang Kekal Abadi

Tidak ada komentar: