do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Rabu, 04 Juli 2012

Tips Memilih Mitra Membangun Usaha


Bisa saja seseorang membangun bisnisnya dari awal sendirian. Tapi, bisa juga memilih bermitra saat membangun usaha dengan berbagai alasan rasional, terutama karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (misalnya modal, pengetahuan, jaringan) serta untuk berbagi risiko. Saya juga termasuk yang lebih nyaman membangun usaha bersama orang lain.
Namun memilih mitra tidaklah mudah. Mendapat mitra yang salah akan memperburuk kinerja bisnis, bahkan bisa membangkrutkan usaha. Saya termasuk yang pernah bangkrut di salah satu usaha (antara lain) karena mitra bisnis keluar dengan membawa seluruh modal dan uang kas yang ada. Untungnya, pengalaman itu hanya sekali, selanjutnya bisa mendapatkan mitra yang lebih bagus.
Pengalaman teman juga mirip. Mendapat mitra yang hanya memasukkan uang sebagai modal, lalu diam saja, namun di saat usaha berhasil, tiba-tiba meminta banyak posisi manajerial, termasuk direktur keuangan, dan perlahan-lahan mengambil alih perusahaan yang sudah jadi tersebut.
Namun tak sedikit yang berhasil mendapatkan mitra bisnis bagus, kemudian usahanya berkembang. Dari pengalaman gagal dan berhasil itulah, juga pengalaman pengusaha lain, inilah tips pendek memilih mitra membangun usaha:

1. Pilih mitra bisnis yg punyai value, visi, dan semangat wirausaha yang sejalan dengan kita.
Soal value misalnya, saya tidak ingin mengaliri darah karyawan (termasuk anak istrinya) dengan uang haram, maka saya mencari mitra bisnis yang anti korupsi. Mitra ini yang menarik saya keluar saat saya akan terjebak ke tender-tender yang harus dengan uang sogok.
Soal visi, jika visi kita ingin menjadi pengusaha kelas nasional, mitra terbaik adalah yg visinya lebih tinggi, sekurang-kurangnya selevel dengan kita. Bukan mitra yang ingin jadi pengusaha kelas daerah.
2. Pilih mitra bisnis yang kompetensi yang berbeda dengan kita dan mengisi kekurangan kita.
Audit diri sendiri, apa kekurangan kita untuk membangun usaha. Nah kekurangan itulah yang seharusnya diisi mitra kita. Kalau kita jago di marketing dan lemah di finance, cari mitra bisnis yang jago finance.
Mitra yang kompetensinya sama dengan kita hanyalah akan mempersubur pertengkaran dan perbedaan pendapat yang seringkali kurang produktif.
3. Pilih mitra bisnis yg rekam jejak pribadi dan bisnisnya positif.
Rekam jejak pribadinya yang tidak positif  itu misalnya: suka menindas istri, kurang baik dengan tetangga, sering pinjam uang tak kembali, suka terlambat meetingdengan berbagai alasan, dan lainnya.
Rekam jejak bisnis yang kurang positif itu misalnya: ngemplang uang mitra bisnisnya, mengkhianati mitra bisnisnya.
Rekam jejak positif itu termasuk memiliki pengalaman bisnis yang baik (bukan hanya pengalaman gagal tapi juga pengalaman berhasil di bisnis). Untuk memulai usaha, sebaiknya hindari yang mitra yang hanya punya pengalaman gagal.
4. Pilih mitra yang kondisi keuangannya sudah stabil.
Mitra yang mapan finansial, tidak akan mengganggu keuangan perusahaan. Bisa memisahkan uang perusahaan dan kebutuhan pribadi. Ingat lho, banyak pengusaha pemula yang sulit memisahkan uang pribadi dan bisnis.
Selain itu, jika mitra bisnis kita mapan finansial, mereka  tidak akan terburu-buru meminta deviden. Dengan demikian, laba usaha bisa lebih maksimal digunakan untuk pengembangan usaha.

Pengusaha itu Fokus pada Value, Bukan Kekayaan


Dalam perjalanan bisnis saya, sedikitnya ada dua hal yang harus “diciptakan” oleh pengusaha. Pertama: laba. Ya, tidak ada gunanya berbisnis jika tidak menghasilkan laba. Kedua, value atau nilai tambah. Sederhananya: pengusaha itu harus bisa mengubah sampah menjadi sesuatu yang lebih bernilai, misalnya menjadi pupuk. Syukur bisa menjadi emas.
Banyak cara menciptakan value. Dari yang terukur seperti mengubah kain menjadi pakaian atau memperlancar distribusi barang, hingga yang tak terukur seperti memperpintar, membahagiakan orang lain, itu juga menciptakan value.
Nyaris tidak ada batas menciptakan value. Bisa saja mengubah singkong menjadi gethuk hingga menciptakan peranti lunak atau jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Menciptakan value itu batasnya langit. Maka, ruang gerak pengusaha itu amat luas. Luaaaassss.
Dengan dua hal tadi, menjadi pengusaha bukanlah tujuan jangka pendek. Ini perlu saya sampaikan karena tak sedikit yang ingin menjadi pengusaha karena ingin cepat kaya. Memang betul, menjadi pengusaha bisa saja cepat kaya. Tapi kalau tujuannya hanya cepat kaya, banyak jalannya: korupsi, jual narkoba, berjudi, merampok, atau mencuri. Tapi semua itu tidak menciptakan value. Sebaliknya, malah merusak.
Atau, kalau mau cepat kaya, jadilah rentenir. Ada value yang diciptakan oleh rentenir, yakni memberi kemudahan mendapatan pinjaman. Bahkan tanpa syarat apapun. Tapi, fokus rentenir bukan pada value, melainkan pada laba. Rentenir mematok bunga pinjaman yang sangat mencekik, dan bisa saja mematikan peminjamnya.
Bisa dibilang, ingin cepat kaya itu cara pandang jangka pendek. Sebaliknya, menjadi pengusaha itu memerlukan cara pandang jangka panjang karena menciptakan value. Kalau mau jadi pengusaha, hindari buku-buku dan seminar-seminar yang menjanjikan cepat kaya. Mungkin saja bisa. Tapi itu menjebak kita untuk terbiasa berpikir jangka pendek. Padahal cara pandang pengusaha itu jangka panjang.

Menciptakan value itu butuh proses. Proses butuh waktu, kesabaran, modal, tim, manajemen dan lain sebaiknya. Jangka panjang. Tidak ada yang instan. Bahkan mau makan mie instan saja kita harus merebusnya terlebih dulu.

Fokuslah pada menciptakan value. Ubahlah sampah jadi pupuk. Singkong jadi gethuk. Syukur-syukur, sekali lagi, bisa jadi emas. Syukur-syukur lagi jika bisa menciptakan sesuatu yang sama sekali baru.

Selasa, 03 Juli 2012

Memulai Bisnis Bermodal Gagasan


Modal hampir selalu menjadi kendala utama para calon pengusaha. “Nggak punya modal,” itulah alasan klasik yang sering terdengar. Lalu muncullah pertanyaan yang berulang-ulang ditanyakan dari dulu hingga sekarang: “Bisakah kita memulai bisnis tanpa modal?”
Tentu saja, salah satu syarat berbisnis adalah modal. Namun, sayangnya, selama ini yang dianggap modal oleh awam adalah modal uang sendiri. Tunai. Jika seperti itu memang bisa jadi hambatan untuk memulai usaha. Namun jika modal itu bukan uang sendiri, atau modal itu bukan semata-mata uang tunai, maka memulai bisnis tanpa modal (tunai) itu sangatlah mungkin.
Saya ingat beberapa tahun lalu, Agus Supriyadi dan calon istrinya, yang masih tak punya uang, ke sana kemari menjual idenya ke pengelola hotel di Yogya dengan beberapa carik kertas.  Mereka kemudian bisa membangun portal pariwisata berbahasa Inggris dan Indonesia: Yogyes.com. Kini, Yogyes.com sudah menjadi rujukan bule ketika bertandang ke Yogyakarta. Hotel-hotel di Kota Gudeg itu pun rasanya ada yang kurang jika tidak terdaftar di Yogyes.
Apakah Yogyes dibangun pakai modal? Tentu, ada biaya bensin bolak-balik naik motor, biaya mencetak proposal, biaya makan seadanya selama belum tembus proyeknya.  Tapi itu tidak seberapa, hanya beberapa puluh ribu rupiah. Yang “tak ternilai” adalah gagasannya. Ketika ada beberapa hotel yang akhirnya mau “membeli idenya” untuk beriklan di sana, mereka membangun portal Yogyes.
Banyak contoh pengusaha pemula yang seperti Agus, yang tidak pusing dengan modal uang tunai. Mereka terus “menjual gagasannya”.  Pelangganlah yang kemudian membiayainya kebutuhan awalnya.
Jamil Azzaini, insporator SuksesMulia yang punya banyak bisnis itu pernah bercerita, saat masih mahasiswa ia berbisnis dengan menjadi penjual buku. Dari mana modalnya? “Dari uang muka para pembeli buku,” katanya.
Saya juga punya kisah agak mirip. Ketika memulai bisnis, saya mempersiapkan modal uang tunai cukup banyak. Namun, perusahaan belum berdiri, saya sudah bisa membuat proposal dan memenangkan proyek pembuatan web. Uang muka proyek itulah yang saya pakai sebagai modal awal usaha. Ya, pada dasarnya, bisnis saya pun dimulai dengan dimodali pelanggan.
Untuk contoh skala besar, perhatikan para juragan properti. Mereka hanya menjual gambar, tanah masih kosong melompong, namun bisa mendapatkan pembeli yang membayar uang muka. Para pengusaha properti itu menerapkan strategi Pre-Sales: jualan dulu meski barangnya belum berwujud. Dengan uang muka dan pinjaman bank, mereka kemudian membangun propertinya.
Gagasan pun bisa menjadi modal!

Jadi, sekarang singkirkan jauh-jauh pertanyaan “Bisakah memulai bisnis tanpa modal uang tunai?”. Dalam banyak kasus, gagasan pun bisa menjadi modal. Uang muka dari pembeli bisa jadi modal.
Pertanyaan kini perlu diganti: “Bagaimana bisa mendapatkan uang muka dari pelanggan agar bisa memodali usaha?” Di sinilah otak kreatif pengusaha diuji. Salah satu ujian bagi pengusaha adalah: bisakah mendapatkan uang dari pihak lain untuk memulai usahanya.
Salah satu syarat menjadi pengusaha itu kemampuan mencari modal untuk menjalankan usahanya. Bukan memiliki modal tunai.