Kamis, 31 Oktober 2013
Menaklukkan Ketakutan Mendirikan Usaha
Usahawan Indonesia, Elijah Frangkle W, lagi di kawasan The Bund Shanghai, China. Di area elite di tepian Sungai Huangpu itu, Elijah hendak membangun hotel dan beberapa apartemen. Saudara-saudaranya tidak ada yang mendukung karena saat itu, tahun 1998, mereka sendiri kerepotan menghadapi krisis ekonomi yang menikam Indonesia.
Akan tetapi, pengusaha lulusan Universitas Berkeley, Amerika Serikat, ini yakin, justru pada saat krisis, di situlah ada peluang. Elijah pun membujuk ayahnya, salah seorang usahawan besar, untuk menambah modal. Sang ayah pada awalnya ragu. Apakah si anak sudah melakukan perhitungan matang. Namun, sebagai ayah, ia akhirnya tersentuh juga oleh tekad putranya. Ia mengucurkan uang pribadinya kepada Elijah.
Proyek pun dimulai. Ia sudah menggali lubang dalam untuk proyek prestisius itu. namun, apa hendak dikata, semua harga bahan baku melonjak. Anggaran proyek membengkak. Butuh dana segar, tetapi tidak menemukan kreditor. Ia mendapat dana dari sebuah bank lokal Shanghai, tetapi tidak cukup besar karena hanya bisa membuat pilar-pilar beton. Proyek itu macet.
Elijah yang hendak mencatat sejarah sukses berbisnis di negeri lain dicekam ketakutan. Modal yang ada bakal menguap. Sementara ayahnya selalu berpesan, apa pun utang harus dibayar. Utang kepada keluarga dan utang pada bank atau teman sama saja kedudukannya. Namanya utang, ya, harus dibayar. Sekali gagal bayar utang atau sekali menghindari bayar utang, karier sebagai usahawan selesai, ujar ayahnya kepada Elijah. Saya sulit tidur dan makan, tuturnya di Jakarta baru-baru ini.
Ketika jatuh tempo, Elijah dan istrinya menjual semua aset milikinya untuk bayar utang kepada ayah dan bank. Ayahnya tersenyum dan menepuk pundaknya. Begitulah kalau ingin jadi pengusaha. Jaga martabat, jangan menghindar utang, Apa pun alasannya. Elijah dan istri hanya tersenyum kecut.
Di luar dugaan, ayahnya kembali meminjamkan uang untuk modal membangun apartemen dan hotel yang sedang dalam pembangunan. Elijah pun spontan bereaksi cepat. Ia ke Shanghai untuk memulai proyeknya. Ia mengenyahkan semua kesedihan selama empat tahun ini, selama periode 1998-2002, saat proyeknya terbengkalai.
Ia pun habis-habisan. Proyek dikebut tanpa jeda. Akhirnya hotel dan apartemen selesai dalam kurun waktu satu setengah tahun. Apartemen habis terjual. Tingkat hunian hotelnya selalu di atas 97 persen. Anak muda itu kini leluasa merintis proyek-proyek properti lainnya. Kini ia menjadi salah seorang pemain properti terpandang di Tiongkok. Syukur pun dilakukan, tidak hanya saat proyeknya rampung, tetapi juga ketika proyeknya terbengkalai. Ia merasa cobaan itu bagian dari rahmat Yang Maha Pencipta sebab dengan begitu, ia menjadi lebih kuat, lebih sabar, dan lebih matang.
Pengalaman yang lebih kurang sama dialami pemain properti lainnya, Budiarsa Sastrawinata. Usahawan dengan sejumlah proyek besar di Vietnam, Kamboja, dan India ini bertutur bahwa saat memulai proyek di Hanoi, ia mengalami kesulitan. Krisis ekonomi 1998-2002 membuat ia tertatih-tatih. Namun, dengan tekad, ia menyingkirkan semua rintangan sehingga semua proyek awalnya tuntas.
Budiarsa baru bisa tersenyum ketika proyek apartemen, perumahan, dan hotelnya laris. Ia kemudian bergegas mengembangkan proyek lain sehingga bendera Grup Ciputra berkibar di Hanoi, Saigon, Phnom Penh, dan Kolkata.
Sebetulnya, tutur Budiarsa, tidak ada rencana ekspansi ke luar negeri. Namun, dalam percakapan dalam keluarga, tercetus gagasan ini. Soalnya, Grup Ciputra sudah disegani di dalam negeri. Namun, dalam era globalisasi, apa asyiknya menjadi jago kandang? Mengapa tidak melebarkan sayap usaha ke luar negeri? Pilihan pertama jatuh kepada Vietnam. Negeri itu tengah membangun dan persentase masyarakat kelas menengah naik.
Cuma, kata Budiarsa, perlu nyali luar biasa, kreativitas, serta mental baja untuk berbisnis di luar negeri. Maklum, tidak mudah menguasai medan yang masih baru. (*kompas.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar