MAKALAH
KRISIS
PANGAN DAN ENERGI
OLEH
KELOMPOK III
1.
WA ODE AISYA
2.
NANDINI NOVEL SARI
3.
KAHAR
4.
JUMAWAN
SMAN 1 RAHA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa dasawarsa ini, kebutuhan manusia akan energi dan sumber pangan
semakin meningkat karena peningkatan jumlah populasi manusia di dunia ini. Energi banyak
digunakan manusia untuk berbagai keperluan seperti kebutuhan rumah tangga,
untuk proses produksi dalam pabrik, untuk keperluan penerangan dsb. Energi
merupakan kebutuhan manusia yang memegan peranan yang penting. Banyak cara-cara
yang telah dilakukan manusia untuk mencari sumbe-sumber energi yang baru untuk
menggantikan sumber energi yang lama. Dengan kemajuan teknologi manusia,
diciptakanlah sumber-sumber energi alternatif untuk menanggulangi masalah-masalah
kebutuhan energi.
Energi yang diperlukan manusia untuk menjalankan aktifitas sehari-hari
seperti mencuci pakaian, berjalan, berlari, beraktivitas produktif, dll, berasal dari makanan atau sumber pangan.
Jumlah manusia yang selalu meningkat menyebabkan meningkat pula kebutuhan akan
konsumsi pangan.
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan manusia
yang tidak terbatas akan sumber daya energi dan pangan menyebabkan manusia
mengekplor sumber-sumber energi sebanyak-banyaknya untuk kepentingan
pribadinya. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya
ketersediaan sumber energi yang ada. Jika ini berlanjut maka kemungkinan ketersediaan energi tersebut
lama-kelamaan akan habis dan akan terjadi yang disebut krisis energi.
Manusia dengan
penemuan-penemuan teknologinya berusaha memecahkan persoalan krisis energi.
Sebagai contoh, dengan kelangkaan minyak bumi sekarang ini, manusia telah
menemukan sumber energi baru yaitu dengan penggunaan batu bara, penggunaan
minyak bio atau minyak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Masalah krisis energi ini sering menimbulkan
berbagai dampak di bidang lain seperti, bidang pangan. Jumlah populasi manusia
yang semakin meningkat mengikuti deret ukur sedangkan jumlah pangan yang
mengikuti deret hitung menyebabkan sumber pangan menjadi sumber langka atau
disebut krisis pangan. Krisis energi
dan pangan merupakan permasalahan manusia yang paling utama yang harus
dipecahkan bersama.
1.2 Rumusan masalah
Rumusan
masalah yang akan diutarakan dalam penulisan ini yaitu,
1.
keadaan
sumber energi dan pangan pada zaman penjajahan zaman kolonial .
2.
keadaan
sumber energi dan pangan pada zaman kemerdekaan pada era orde lama dan orde
baru.
3.
keadaan
sumber energi dan pangan pada zaman reformasi hingga masa yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Krisis energi adalah kekurangan (atau peningkatan harga) dalam
persediaan sumber daya energi ke ekonomi. Krisis ini biasanya menunjuk ke
kekurangan minyak bumi, listrik, atau sumber daya alam lainnya. Krisis ini
memiliki akibat pada ekonomi, dengan banyak resesi disebabkan oleh krisis
energi dalam beberapa bentuk. Terutama, kenaikan biaya produksi listrik, yang
menyebabkan naiknya biaya produksi. Bagi para konsumen, harga BBM untuk mobil
dan kendaraan lainnya meningkat, menyebabkan pengurangan keyakinan dan
pengeluaran konsumen.
Sedangkan krisis pangan adalah
langkanya barang pangan yang ada di masyarakat dikarenakan harga pangan yang
naik ataupun terganggunya distribusi bahan pangan tersebut. Barang pangan
tersebut berupa bahan makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum dan kedelai.
Krisis pangan ini sangat menyusahkan rakyat, terutama warga miskin. Barang
pangan yang mahal juga tambah dipersulit dengan harganya yang sangat mahal.
2.2 Sejarah Kondisi Energi Indonesia
2.2.1 Perkembangan Industri Pertambangan pada Masa
Kolonial
Kedudukan minyak bumi, dalam
kesetimbangan energi dunia serta ketidakmerataan distribusi sumber-sumbernya,
sebagai suatu jenis komoditi yang strategis secara ekonomi dan politik
(mengalahkan batubara) dimulai pada penghujung abad 19. Melihat sejarahnya,
Indonesia (Hindia Belanda) adalah salah satu pusat produksi minyak yang tertua
di dunia. Pengeboran minyak secara komersial pertama kali di Hindia Belanda
tidak bisa dilepaskan dengan konteks kemenangan sayap liberal di parlemen Belanda.
Pencarian minyak secara komersial di Hindia Belanda dilakukan pertama kali oleh
Jan Reerink pada tahun 1871 di Cibodas Jawa Barat- yang langsung ditinggalkan
setelah diketahui tidak berprospek karena sedikitnya yield. Baru pada tahun
1883 Aelko Zijlker menemukan ladang minyak di Langkat Sumatera Utara yang
setelah diteliti : sangat memungkinkan untuk dikomersilkan. Melalui struktur
kepenguasaan feodal yang disuburkan oleh kaum kolonial, Sultan Langkat,
penguasa daerah tersebut dipaksa secara halus untuk menyerahkan konsesi
pengelolaan lahan tersebut kepada Royal Dutch selaku perwakilan awal kapitalis
minyak Belanda. Melihat bayangan pundi emasâ, maka berbondong-bondonglah
perusahaan-perusahaan minyak asing datang ke Hindia Belanda.
Kedatangan mereka tentu sajalah
bersamaan dengan ahli-ahli geologi dan perminyakan. Akibatnya : tak lama
kemudian ditemukan pula lapangan-lapangan minyak lain di Sumatera Utara,
Balikpapan, Perlak, dan Plaju. Pengelolaannya pun dibagi seadil-adilnya kepada
perusahaan-perusahaan Belanda : Koninklijke, Shell -patungan antara Inggris dan
Belanda, Royal Dutch (yang ketiganya akhirnya membentuk BPM pada tahun 1907).
BPM pun meluaskan aktivitasnya sampai ke Cepu dan sekitarnya pada tahun 1911.
Menguatnya posisi politik dan ekonomi Amerika Serikat di Eropa dan Dunia pada
beberapa dasawarsa awal abad 20 mau tak mau memaksa Pemerintahan Kolonial
mempersilahkan masuknya pula modal dari negeri Paman Sam ke negeri jajahannya.
Dibentuklah NKPM pada tahun 1916, sebuah subsidiary dari "Standard oil
Company of New Jersey", (pada tahun 1948 menjadi STANVAC), dan pada 1931
Standard Oil Company of California membentuk subsidiary yang setelah PD II
bernama CALTEX. Pencarian minyak mulai diintensifkan oleh perusahaan-perusahaan
imperialis ini. Sampai penghujung PD II, perputaran minyak secara internasional
dikuasai oleh tujuh perusahaan raksasa The Seven Sisters yang tiga di antaranya
yaitu Shell, Stanvac, dan Caltex (saat itu dijuluki Tiga Besar) telah kita
ketahui beroperasi di Hindia Belanda.
2.2.2 Zaman Revolusi Fisik
Gegap gempita Revolusi Fisik 1945
tak hanya merupakan gambaran perjuangan rakyat untuk meraih kemerdekaan
politik, tapi juga diwarnai oleh penguasaan ekonomi seperti pengambil alihan
instalasi-instalasi kilang minyak milik asing (Belanda, kemudian Jepang) oleh
rakyat pekerja terorganisir ke tangan Indonesia yang baru merdeka.
Usaha sekutu melalui AFNEI (Allied
Forces Netherland East Indies) untuk menekan Jepang supaya mempertahankan
kekuasaan atas lapangan minyak dan fasilitas lainnya (perkebunan, perbankan,
dll), sampai Belanda, sebagai pemilik semula mengambil alih kekuasaan kembali
tidak digubris rakyat. Bekas pekerja lapangan dan pengilangan di zaman kolonial
mulai mengorganisir dan mempersenjatai diri, menyebut dirinya sebagai laskar
minyak.
Demikianlah laskar-laskar minyak
dengan dukungan pemerintahan Revolusioner kemudian membentuk Perusahaan Tambang
Minyak Negara Republik Indonesia (PTMNRI) di Sumatera Utara, di Sumatera
Selatan dan Jambi berdiri Perusahaan Minyak Republik Indonesia (Permiri), dan
Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) di Cepu.
Tentara Belanda yang datang kembali ke Indonesia dengan membonceng kedatangan tentara Sekutu ke Indonesia (tak lupa dengan membonceng perusahaan minyak asing Stanvax, Caltex, dan Shell), mengincar ladang-ladang minyak milik mereka dahulu. Tentu saja terjadi penolakan-penolakan oleh Laskar Rakyat saat itu. Tapi atas prakarsa Sekutu sejak tanggal 15 Juli 1946 diadakan perundingan tentang status industri minyak. Di Sumatera Selatan misalnya Sekutu berhasil mempertemukan beberapa pihak yang berkepentingan, yaitu pemerintah otoritas Republik Indonesia di Palembang dan Persatuan Pegawai Minyak (PPM) di satu pihak, serta beberapa perusahaan inyak asing seperti Shell/BPM yang menguasai Plaju sebelumnya dan NKPM yang menguasai Sungai Gerong di lain pihak.
Tentara Belanda yang datang kembali ke Indonesia dengan membonceng kedatangan tentara Sekutu ke Indonesia (tak lupa dengan membonceng perusahaan minyak asing Stanvax, Caltex, dan Shell), mengincar ladang-ladang minyak milik mereka dahulu. Tentu saja terjadi penolakan-penolakan oleh Laskar Rakyat saat itu. Tapi atas prakarsa Sekutu sejak tanggal 15 Juli 1946 diadakan perundingan tentang status industri minyak. Di Sumatera Selatan misalnya Sekutu berhasil mempertemukan beberapa pihak yang berkepentingan, yaitu pemerintah otoritas Republik Indonesia di Palembang dan Persatuan Pegawai Minyak (PPM) di satu pihak, serta beberapa perusahaan inyak asing seperti Shell/BPM yang menguasai Plaju sebelumnya dan NKPM yang menguasai Sungai Gerong di lain pihak.
2.2.3 Zaman Orde Lama
Ditanda
tanganinya perjanjian KMB oleh Sukarno-Hatta (dengan pengorbanan puluhan ribu
massa FDR) yang disesalkan oleh golongan nasionalis, dan bahkan ditolak oleh
golongan yang lebih radikal, menjadikan penguasaan modal asing atas industri
(terutama pertambangan) semakin kokoh.
Pemerintahan Indonesia pasca KMB,
yang berwatak komprador, di bawah PM Dr. Sukiman Wirjosandjojo mengemukakan
pendapatnya bahwa belum datang saatnya untuk menasionalisasi TMSU itu dan
sebaliknya segera dikembalikan perusahaan tersebut kepada pemiliknya. Dalam
kabinet berikutnya, yang tak jauh beda wataknya, di bawah PM Mr. Wilopo malahan
keluar anjuran tegas supaya menyerahkan kembali TMSU kepada BPM. Sampai
akhirnya kabinet Ali sastroamidjoyo I sikap pemerintahan sedikit berubah.
Kesimpulan mereka terhadap penyebab kesulitan ekonomi Indonesia pada waktu itu
adalah pada dominannya pengendalian ekonomi Indonesia oleh pihak asing. Munculnya
politik jalan lain yang dijalankan oleh Presiden Soekarno (sebagai konsistensi
program Benteng) telah menunjukkan ketegasan politik ekonomi Indonesia . Poltik
jalan lain adalah usaha-usaha untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan
negara maupun swasta asing khususnya Belanda dengan jalan paksa pada tahun
1957.
2.2.4 Zaman Orde Baru
Fakta
sejarah telah membuktikan hal ini. Oil shocks pertama terjadi pada
tahun 1973 akibat perang Arab-Israel. Protes yang dilakukan oleh negara-negara
Arab anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) atas dukungan
(keberpihakan: red) Amerika Serikat dan Belanda terhadap Israel, membuahkan
aksi embargo kepada kedua negara tersebut. Dipengaruhi oleh kepanikan para
pembeli yang menaikkan cadangan persediaan minyaknya akibat sentimen negatif
embargo, harga minyak mentah kembali naik menjadi sekitar 12 dollar/barrel,
empat kali lipat dari harga sebelum perang.
Pengaruh
negatif terhadap kondisi makroekonomi juga jelas. Adanya kontraksi ekonomi yang
ditandai dengan menurunnya tingkat konsumsi dan investasi -sejalan dengan
tingginya tingkat inflasi- mengakibatkan ekonomi dunia memasuki masa resesi.
Ketika neraca transaksi berjalan, para negara pengimpor minyak jungkir balik
dan mengalami defisit besar-besaran, sementara negara-negara pengekspor
menikmati keuntungan besar karena tingginya harga minyak (oil bonanza).
2.2.5 Zaman Reformasi
Dalam
periode 1986-2003, fluktuasi rata-rata harga minyak mentah dunia berkisar di
level 13-28 dollar/barrel. Harga sempat melucur tajam menjadi sekitar 12
dollar/barrel di akhir tahun 1998, meloncat ke 30 dollar/barrel (2000),
kemudian meningkat menjadi 36 dollar (2004) dan sekitar 50 dollar/barrel
(2005). Tapi fluktuasi harga minyak mentah bulanan di tahun terakhir ini cukup
tinggi, mulai dari level sekitar 40 dollar sampai sekitar 62 dollar/barrel.
Penyebabnya, selain memanasnya kondisi geopolitik dunia yang ditandai dengan
invasi Amerika Serikat ke Irak sebagai salah satu produsen utama minyak dunia,
juga akibat badai Katrina dan Rita di teluk Meksiko yang menggangu penawaran
minyak pada periode Agustus-September di Amerika Serikat (OPEC Annual
Report 2005). Dari sisi aktivitas produksi, pesatnya pembangunan di
beberapa negara berkembang terutama China dan India diyakini juga berpengaruh
terhadap naiknya harga minyak.
Studi
tentang keterkaitan antara harga minyak dan kondisi makroekonomi telah
memberikan pelajaran berharga bahwa krisis geopolitik dunia yang berada di luar
kontrol kebijakan-kebijakan ekonomi dan kondisi luar biasa lainnya seperti
bencana alam merupakan penyebab utama fluktuasi tajam harga minyak dunia
(Hamilton, 1984).
Bagi
perekonomian terbuka skala kecil seperti Indonesia, fluktuasi harga minyak
dunia telah berakibat langsung bagi efektivitas kebijakan makroekonomi,
khususnya kebijakan fiskal yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Kenaikan harga minyak dunia memberikan tekanan khususnya pada
anggaran subsidi BBM. Porsi subsidi ini yang masih sekitar 0,3% terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) di tahun 1996, meningkat gradual menjadi 1,6% (1997), 2,9%
(1998), 3,2% (1999) dan naik tajam menjadi 5,4% di tahun 2000.
2.3 Akar Masalah
2.3.1 Krisis Energi
Energi
merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat karena hampir semua aktivitas
manusia selalu membutuhkan energi. Misalnya untuk penerangan, proses industri
atau untuk menggerakkan peralatan rumah tangga diperlukan energi listrik; untuk
menggerakkan kendaraan baik roda dua maupun empat diperlukan bensin, serta
masih banyak peralatan di sekitar kehidupan manusia yang memerlukan energi.
2.3.1.1 Naiknya harga minyak dunia
Beberapa
tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial di dunia.
Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi
penduduk dan menipisnya sumber cadangan minyak dunia. Selain itu, peningkatan
harga minyak dunia hingga mencapai 150 U$ per barel juga menjadi alasan yang
serius yang menimpa banyak negara di dunia terutama Indonesia. Lonjakan harga
minyak dunia akan memberikan dampak yang besar bagi pembangunan bangsa
Indonesia. Konsumsi BBM yang mencapai 1,3 juta/barel tidak seimbang dengan
produksinya yang nilainya sekitar 1 juta/barel sehingga terdapat defisit yang
harus dipenuhi melalui impor. Menurut data ESDM (2006) cadangan minyak
Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa
ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak ini akan habis
dalam dua dekade mendatang.
2.3.1.2 Ulah para spekulan yang memanipulasi pasar
Banyak
hal yang memicu terjadinya krisis energi. Dunia global berperan sangat besar
dalam memicu naiknya harga minyak dunia. Kondisi ini ditengarai pula akibat
manipulasi komoditi yang dilakukan oleh para spekulan. Badan Pengawas Bursa
Berjangka AS (Commodities Futures Trading Commission/CFTC) melaporkan berulang
kali di hadapan Kongres AS telah menemukan bukti bahwa kenaikan harga minyak
secara sistematis didorong oleh ulah spekulan.
CFTC
menyatakan, investigasi itu meliputi pembelian, transportasi, penyimpanan, perdagangan
minyak mentah, serta hal-hal lain yang terkait dengan transaksi kontrak
berjangka minyak. Dalam penyelidikan itu ditemukan ada tindakan yang meminta
tanker minyak dipendam di laut atau diminta berangkat ke sebuah tujuan agar
memberi kesan pasokan minyak ketat.
2.3.2 Krisis Pangan
2.3.2.1 Kebijakan Pemerintah
Krisis
pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara agraris yang
tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terjadi
dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harganya
naik tak terkendali. Namun harus diperhatikan, bahwa krisis pangan yang terjadi
di Indonesia bukanlah sebab yang akan berdampak pada hal lain (kemiskinan,
pengangguran). Fenomena ini adalah sebuah akibat dari kebijakan dan praktek
privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi—sebagai inti dari Konsensus
Washington.
2.3.2.2 Tak seimbangnya Supply and
Demand
Seorang
pakar, ekonom Universitas Harvard Jeffrey Sachs, mengajukan proposisi, krisis
pangan timbul karena sudah sangat tak seimbangnya kekuatan permintaan dan
suplai. Empat elemen yang membuat suplai melemah, yaitu produktivitas lahan
yang sangat rendah terutama di Afrika sub-Sahara, meningkatnya upaya konversi
produk pertanian menjadi bioenergi di AS dan Eropa, pola cuaca yang
membingungkan, dan menyusutnya irigasi serta lahan-lahan subur untuk pertanian.
Proposisi
ini menggambarkan kondisi umum yang terjadi di Indonesia di mana lahan-lahan
hijau digusur industri, dari manufaktur sampai properti. Di negara maju, lahan
produktif dipaksa untuk menghasilkan etanol, bukan lagi terigu dan produk
pangan yang dibutuhkan manusia kebanyakan. Sejumlah kalangan pun mulai menyesal
telah antusias mendukung proyek konversi produk pertanian menjadi bahan bakar
yang ternyata membuat lebih dari 100 juta orang kelaparan.
2.4 Analisis Hubungan Krisis Energi dengan Energi Pangan
Analisis eskalasi harga pangan
pokok dan produk pertanian di tingkat dunia sepanjang tahun 2007 karena
perubahan karakter suplai dan perdagangan dunia. kenaikan harga minyak mentah
dunia, dan fenomena kelatahan bahan bakar biologis (biofuels). Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)
bahkan harus merevisi Laporan OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016 edisi
Juli 2007 yang cukup menghebohkan itu.
Pada laporan tersebut, suplai dan stok komoditas pangan dan pertanian
dunia diperkirakan mengalami penurunan. Selain diakibatkan perubahan iklim
global, penurunan stok dipicu oleh tingginya permintaan pasar terhadap sejumlah
komoditas pertanian untuk bahan baku energi.
2.5 Solusi Krisis Energi dengan Energi Pangan
2.5.1 Solusi bagi Krisis Energi
Krisis energi ini tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut, karena efek buruknya bagi masyarakat dunia sangatlah besar. Krisis energi menimbulkan efek ke
berbagai bidang yang menyangkut hidup manusia, seperti krisis pangan dan
kelaparan. Solusi yang dapat dilakukan untuk menyiasati krisis energi di
Indonesia, ialah dengan mencari sumber energi alternatif. Berikut contoh energi
alternatif yang dapat dijadikan solusi bagi krisis energi di Indonesia:
1) Etanol Selulosa
Ilmuwan
berlomba mencari solusi mengembangkan etanol tanpa jagung. Tim ilmuwan dari
Dupont misalnya, tengah bergulat dengan DNA serangga yang mampu memproduksi
etanol dari limbah jagung. Idenya sederhana saja, merekayasa genetik serangga
mikrokopis seperti bakteri dan jamur untuk memicu enzim yang mampu menghasilkan
etanol. Selolusa adalah materi kayu pada bagian batang dan stem yang membuat
tanaman mengeras.
2) Energi Panas Bumi
Energi
panas bumi adalah energi yang dihasilkan oleh tekanan panas bumi. Energi ini
dapat digunakan untuk menghasilkan listrik, sebagai salah satu bentuk dari
energi terbaharui, tetapi karena panas di suatu lokasi dapat habis, jadi secara
teknis dia tidak diperbarui secara mutlak.
3) Energi Hidroelektrisitas
Hidroelektrisitas
adalah satu bentuk tenaga hidro digunakan untuk memproduksi listrik. Kebanyakan
tenaga hidroelektrik berasal dari energi potensial dari air yang dibendung dan
menggerakkan turbin air dan generator. Bentuk yang kurang umum adalah
memanfaatkan energi kinetik seperti tenaga ombak. Hidroelektrisitas adalah
sumber energi terbaharui.
Di
banyak bagian Kanada (provinsi British Columbia, Manitoba, Ontario, Quebec, dan
Newfoundland and Labrador) hidroelektrisitas digunakan secara luas. Pusat
tenaga yang dijalani oleh provinsi-provinsi ini disebut BC Hydro, [[[Manitoba
Hydro]], Hydro One (dulunya "Ontario Hydro"), Hydro-Québec, dan
Newfoundland and Labrador Hydro. Hydro-Québec merupakan perusahaan penghasil
listrik hydro terbesar dunia, dengan total listrik terpasang sebesar 31.512 MW
(2005).
4) Energi Tenaga Angin
Tenaga
angin menunjuk kepada pengumpulan energi yang berguna dari angin. Kebanyakan
tenaga angin modern dihasilkan dalam bentuk listrik dengan mengubah rotasi dari
pisau turbin menjadi arus listrik dengan menggunakan generator listrik. Pada
kincir angin energi angin digunakan untuk memutar peralatan mekanik untuk
melakukan kerja fisik, seperti menggiling "grain" atau memompa air.
Tenaga
angin digunakan dalam ladang angin skala besar untuk penghasilan listrik
nasional dan juga dalam turbin individu kecil untuk menyediakan listrik di
lokasi yang terisolir. Tenaga angin banyak jumlahnya, tidak habis-habis,
tersebar luas, bersih, dan merendahkan efek rumah kaca.
5) Biogas
Energi
terbarukan lain yang dapat dihasilkan dengan teknologi tepat guna yang relatif
lebih sederhana dan sesuai untuk daerah pedesaan adalah energi biogas dengan
memproses limbah bio atau bio massa di dalam alat kedap udara yang disebut
digester. Biomassa berupa limbah dapat berupa kotoran ternak bahkan tinja
manusia, sisa-sisa panenan seperti jerami, sekam dan daun-daunan sortiran sayur
dan sebagainya. Namun, sebagian besar terdiri atas kotoran ternak.
Gas
methan terbentuk karena proses fermentasi secara anaerobik (tanpa udara) oleh
bakteri methan atau disebut juga bakteri anaerobik dan bakteri biogas yang
mengurangi sampah-sampah yang banyak mengandung bahan organik (biomassa)
sehingga terbentuk gas methan (CH4) yang apabila dibakar dapat
menghasilkan energi panas. Sebetulnya di tempat-tempat tertentu proses ini
terjadi secara alamiah sebagaimana peristiwa ledakan gas yang terbentuk di
bawah tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Leuwigajah,
Kabupaten Bandung, Jawa Barat, (Kompas, 17 Maret 2005). Gas methan sama dengan
gas elpiji (liquidified petroleum gas/LPG), perbedaannya adalah gas methan
mempunyai satu atom C, sedangkan elpiji lebih banyak.
6) Biomassa
Potensi
biomassa yang besar di Indonesia, hingga mencapai 49.81 GW tidak sebanding
dengan kapasitas terpasang sebesar 302.4 MW. Bila kita maksimalkan potensi yang
ada dengan menambah jumlah kapasitas terpasang, maka akan membantu bahan bakar
fosil yang selama ini menjadi tumpuan dari penggunaan energi. Hal ini akan
membantu perekonomian yang selama ini menjadi boros akibat dari anggaran
subsidi bahan bakar minyak yang jumlahnya melebihi anggaran sektor lainnya.
2.5.2 Solusi bagi Krisis Pangan
Dengan
kata lain, jika Indonesia masih terus berkutat dengan persoalan konversi lahan
sawah, kelangkaan pupuk, ketersediaan air, buruknya jaringan irigasi, dan
lain-lain, berarti kita tidak beranjak dari persoalan pada era 1980-an.
Pembangunan subsektor pangan dan sektor pertanian ke depan wajib bervisi
peningkatan produktivitas lahan dan produktivitas tenaga kerja.
Pencetakan
sawah baru penting, tetapi berbagai upaya yang mengarah kepada peningkatan
produktivitas pangan per satuan luas lahan jauh lebih penting dan bermakna bagi
kesejahteraan rakyat.
Apabila
laju peningkatan produktivitas ini lebih besar dari laju penurunan rasio lahan
terhadap tenaga kerja-karena lahan nyaris tetap, sedangkan tenaga kerja terus
bertambah-krisis pangan akan dapat dihindari. Maknanya, perubahan tekonologi di
bidang pangan dan pertanian menjadi sangat mutlak dan tidak dapat diabaikan
dalam penyusunan strategi dan kebijakan ekonomi pangan ke depan.
Krisis
pangan juga akan dapat dihindari apabila berbagai program peningkatan produksi
pangan tidak dimaksudkan hanya untuk memenuhi target politik semata. Langkah kebijakan
pemerintah wajib bervisi peningkatan kesejahteraan petani sebagai pelaku
sentral dalam pembangunan pertanian.
Untuk
jangka panjang, petani menuntut dilaksanakannya pembaruan agraria dalam rangka
basis kebijakan agraria dan pertanian.
Dalam
jangka pendek dan menengah, masalah krisis pangan sebenarnya terkait dengan 3
hal—yakni (1) produksi pangan; (2) luasan lahan; dan (3) tata niaga pangan.
Dengan memperhatikan ketiga hal tersebut, maka solusi jangka pendek yang dapat
pemerintah lakukan:
1.
Mematok
harga dasar pangan yang menguntungkan pe tani dan konsumen. Harga tidak boleh
tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan
ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan
keuntungan petani dan kemampuan konsumen
2.
Memberikan
insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras, kedelai, jagung,
singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi fluktuasi harga. Hal ini sebagai
jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri.
3.
Mengatur
kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran ini, tapi
harus dengan intervensi yang kuat dari Departemen Pertanian, Departemen
Perdagangan dan Departemen Keuangan.
4.
Menambah
produksi pangan secara terproyeksi dan berkesinambungan, dengan segera
meredistribusikan tanah objek landreform yang bisa segera dipakai untuk
pertanian pangan.
5.
Menyediakan
insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk, teknologi dan
kepastian beli.
6.
Memberikan
dukungan pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni kelompok tani,
koperasi, dan ormas tani.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Krisis energi dan pangan yang sedang melanda dunia mengakibatkan ratusan juta
orang mengalami kesusahan pangan dan bahan bakar. Negara-negara berkembang
mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh mahal dan langkanya harga pangan
serta tidak bisa mencukupi pasokan energi dalam negeri. Indonesia sebagai salah
satu negara berkembang di dunia, ikut mengalami krisis tersebut karena
kebutuhan yang besar akan energi dan pangan.
Berdasarkan uraian kami sebelumnya, kita dapat menarik kesimpulan besar
dari faktor terjadinya krisis energi energi, diantaranya:
1.
Naiknya harga minyak dunia
2.
Ulah para spekulan yang memanipulasi pasar
3.
Menipisnya cadangan minyak dunia
Sedangkan
untuk krisis pangan, faktor utama yang
dapat kita simpulkan ialah:
1.
Kebijakan Pemerintah
· Privatisasi
· Liberalisasi
· Deregulasi
2.
Tak seimbangnya Supply and Demand
· Produktivitas lahan yang rendah
· Konversi bahan pangan menjadi biofuel
· Perubahan iklim yang ekstrim
· Menyusutnya irigasi serta lahan-lahan
subur
·
3.2 Usulan
Untuk
mengantisipasi krisis energi dan pangan ini tidak bertambah parah dan semakin
menyengsarakan masyarakat dunia, maka Indonesia, khususnya pemerintah harus
menciptakan sebuah kebijakan energi dan pangan yang membawa perubahan bagi
rakyat Indonesia. Memberikan perhatian yang serius terhadap perkembangan energi
alternatif dapat dijadikan sebagai langkah untuk menyiasati krisis energi
nasional.
Selain itu, untuk
mengatasi krisis pangan, pemerintah harus fokus mengembangkan pertanian
naisonal. Pemerintah harus mengutamakan suplai pangan nasional. Rakyat
Indonesia juga harus berani untuk melakukan gerakan hemat energi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø www.sinarharapan.co.id
Ø www.cetak.kompas.com
Ø www.spi.or.id
Ø www.antara.co.id
Ø www.sinarharapan.co.id
Ø http://barifin.multiply.com
Ø http://poultryindonesia.com
Ø www.id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar