Tentang Ruju’
وَ
اْلمُطَلَّقتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلثَةَ قُرُوْءٍ، وَ لاَ يَحِلُّ
لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيْ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ
يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلاخِرِ، وَ بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدّهِنَّ
فِيْ ذلِكَ اِنْ اَرَادُوْا اِصْلاَحًا. البقرة:228
Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. [QS. Al-Baqarah : 228]
الطَّلاَقُ
مَرَّتنِ فَاِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ. البقرة:229
Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. [QS. Al-Baqarah 229]
وَ اِذَا
طَلَّقْتُمُ النّسَآءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ
اَوْ سَرّحُوْهُنَّ بِمَعْرُْوفٍ، وَ لاَ تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لّتَعْتَدُوْا. البقرة:231
Apabila kamu menthalaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. [QS. Al-Baqarah 231]
عَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رض اَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلّقُ ثُمَّ
يُرَاجِعُ وَ لاَ يُشْهِدُ. فَقَالَ: اَشْهِدْ عَلَى طَلاَقِهَا وَ عَلَى
رَجْعَتِهَا. ابو داود هكذا موقوفا، و سنده صحيح
Dari ‘Imran bin Hushain RA, bahwasanya ia ditanya tentang laki-laki yang menthalaq istrinya, kemudian merujukinya dengan tanpa saksi, ia berkata, “Hendaklah kamu saksikan pada thalaqnya dan pada rujuknya”. [Demikian diriwayatkan oleh Abu Dawud, mauquf dan sanadnya shahih]
و اخرجه
البيهقى بلفظ: اَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رض سُئِلَ عَمَّنْ
رَاجَعَ امْرَأَتَهُ، وَ لَمْ يُشْهِدْ، فَقَالَ: فِى غَيْرِ سُنَّةٍ فَلْيُشْهِدِ
اْلآنَ. و زاد الطبرانى فى رواية: وَ
يَسْتَغْفِرِ اللهَ.
Dan Baihaqi meriwayatkan dengan lafadh : Bahwasanya ‘Imran bin Hushain RA ditanya tentang laki-laki yang merujuki istrinya dengan tanpa saksi, ia berkata, “Ia tidak menurut sunnah, maka sekarang ia harus bersaksi”. Dan dalam sebuah riwayat, Thabrani menambahkan, “Dan hendaklah ia minta ampun kepada Allah”.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّهُ لَمَّا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ قَالَ النَّبِيُّ ص لِعُرَ:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا. البخارى و مسلم
Dari Ibnu ‘Umar RA bahwasanya ketika ia mencerai istrinya (dalam keadaan haidl), Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar, “Suruhlah ia agar merujuki istrinya”. [HR. Bukhari dan Muslim]
عَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ اَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلّقُ امْرَأَتَهُ
ثُمَّ يَقَعُ بِهَا وَ لَمْ يُشْهِدْ عَلَى طَلاَقِهَا وَ لاَ عَلَى رَجْعَتِهَا،
فَقَالَ: طَلَّقْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ وَ رَاجَعْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ، اِشْهَدْ
عَلَى طَلاَقِهَا وَ عَلَى رَجْعَتِهَا وَ لاَ تَعُدْ. ابو
داود و ابن حبان و لم يقل و لا تعد
Dari ‘Imran bin Hushain bahwa ia pernah ditanya tentang laki-laki yang menthalaq istrinya kemudian ia tetap mencampurinya, sedang ia ketika menthalaq itu tidak ada saksinya, demikian pula rujuknya. Kemudian ia menjawab, “Kamu menthalaq tidak menurut sunnah (Nabi) dan merujuk (juga) tidak menurut sunnah. Adakanlah saksi ketika menthalaq dan merujuk dan janganlah kamu ulangi (perbuatan seperti itu). [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, sedang Ibnu Majah tidak berakata, “Jangan kamu ulangi”.]
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ اْلقُرَظِيّ اِلَى النَّبِيّ ص
فَقَالَتْ: كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ، فَطَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى،
فَتَزَوَّجْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَ اِنَّمَا مَعَهُ
مِثْلُ هَدْبَةِ الثَّوْبِ، فَقَالَ: اَتُرِيْدِيْنَ اَنْ تَرْجِعِى اِلَى
رِفَاعَةَ؟ لاَ حَتَّى تَذُوْقِى عُسَيْلَتَهُ وَ يَذُوْقَ عُسَيْلَتَكِ. الجماعة
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Istri Rifa’ah Al-Quradhiy pernah datang kepada Nabi SAW, lalu berkata, “Aku fulu menjadi istri Rifa’ah, kemudian ia menthalaqku thalaq tiga, kemudian sesudah itu aku kawin dengan ‘Abdurrahman
bin Zubair, sedang apa yang ada padanya seperti ujung pakaian”. Kemudian Nabi SAW bertanya, “Apakah kamu ingin kembali kepada Rifa’ah ? Tidak boleh, sehingga kamu merasakan madunya dan dia merasakan madumu”. [HR. Jama’ah]
عَنْ
عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَلْعُسَيْلَةُ هِيَ اْلجِمَاعُ. احمد و النسائى
Dari ‘Aisyah bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Yang dimaksud madu itu ialah jima’ “. [HR. Ahmad dan Nasai]
Keterangan :
1. Bekas istri yang boleh dirujuki adalah yang baru dithalaq dua kali.
2. Bekas istri yang sudah dithalaq tiga kali tidak boleh dirujuki, kecuali apabila bekas istri tadi sudah kawin dengan laki-laki lain dan sudah dikumpuli, kemudian dithalaq oleh suami yang kedua tersebut dan sesudah habis masa ‘iddahnya.
3. Adapun cara rujuk adalah dengan nikah lagi, dengan alasan karena ikatan nikah yang dulu sudah putus karena thalaq. Namun demikian ada pula ulama yang berpendapat apabila rujuknya itu masih di dalam masa ‘iddah, tidak perlu dengan nikah lagi, dengan alasan “Dan suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah”. [Al-Baqarah : 228], Walloohu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar