I. Latar
Belakang
Sampai dengan
akhir tahun 2006 Badan Pusat Statistik menginformasikan bahwa jumlah Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UKM) telah mencapai 48,634 juta unit, atau 99,99%
dari jumlah dunia usaha ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut lebih kurang
68,9%-nya bergerak di setor tanaman pangan khususnya padi, baik sebagai pemilik
lahan, penyewa atau penyakap. Dengan perkataan lain sub sektor ini menjadi
tumpuan hidup dari 33,508 juta kepala keluarga, atau lebih kurang 134,035 juta
jiwa rakyat Indonesia. Oleh karena besarnya jumlah rakyat yang hidup pada sub
sektor tersebut, maka fluktuasi harga bahan pangan khususnya beras secara
langsung mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka.
Rendahnya harga
beras pada dua tahun terakhir diduga menjadi salah satu penyebab berkurangnya
minat petani untuk bertanam padi, yang berakibat menurunnya produksi beras
dalam negeri. Kekurangan beras di dalam negeri
memang dapat
diselesaikan dengan mengimpor beras yang pada tahun 2005
mencapai
350.000 ton dan tahun 2006 mencapai 460.000 ton. Jumlah impor
yang dilakukan
pemerintah ini diduga lebih kecil dari jumlah beras impor yang
masuk melalui
jalur lainnya. Guna mengurangi beban impor maka pemerintah
bertekat
meningkatkan produksi beras dalam negeri, untuk itu pemerintah mendorong petani
agar pada tahun 2007 terjadi tambahan produksi beras sebanyak 2 juta ton. Usaha
tersebut dilakukan melaui sistem terpadu yaitu penyediaan sarana produksi
dengan harga bersubsidi. Dorongan peningkatan
produksi padi
juga dilakukan dengan cara menaikkan harga dasar pembelian
beras oleh
pemerintah (HPP) melalui Intruksi Presiden (Inpres) nomor 3 tahun
2007.
Berdasarkan Inpres tersebut HPP Gabah kering panen (GKP) naik dari
Rp. 1.723,-
menjadi Rp. 2.000,- per Kg, Gabah kering giling (GKG) naik dari
Rp. 2.280,-
menjadi Rp. 2.575,- per Kg, dan beras naik dari Rp. 3.550,- menjadi
Rp. 4.000,- per
Kg. Kenaikan HPP juga didukung dengan kesiapan Perum Bulog untuk membeli
gabah/beras dari petani, dengan dana sebanyak Rp. 6 Triliun, yang diproyeksikan
dapat membeli beras dari petani sebanyak 1,5 juta ton. Perum Bulog juga telah
mempersiapkan sebanyak 4.500 orang personil yang tersebar diseluruh Indonesia
dan Kapasitas Gudang yang mencapai 3 juta ton. Kesiapan Perum Bulog ini telah
memberikan optimisme yang cukup besar bahwa pendapatan petani akan dapat
ditingkatkan dan petani akan terdorong untuk meningkatkan produksi
gabah/berasnya, sehingga target kenaikan produksi sebanyak 2 juta ton beras
dapat dicapai.
Perhitungan-perhitungan
tersebut memang sangat menarik untuk dikaji secara lebih mendalam karena apa
yang dikemukakan sesungguhnya masih sangat sederhana dan cenderung
mengesampingkan banyak faktor yang lainnya, yang secara langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi pendapatan petani. Faktor-faktor tersebut antara
lain:
1) Sebagian
besar petani adalah mereka yang tergolong dalam kelompok pengusaha mikro dan
pengusaha kecil, dengan kesiapan permodalan yang sangat sedikit sehingga akan
sangat mudah dipengaruhi oleh flutuasi harga gabah/beras yang akan dijualnya;
2) Pola
produksi dan konsumsi beras yang sudah beralih dari menyimpan gabah ke menjual
gabah pada waktu panen (menurut Supriadi 1991 sebagian lebih dari
90% gabah
petani di Propinsi Jawa Timur di jual pada saat panen di sawah). Dalam hal ini
bahkan menurut Soemardjan (1989) 64% petani menjual gabah
dengan sistem
tebasan (semasih belum di panen);
3)
Kecenderungan Perum Bulog untuk membeli beras dan bukan gabah sehingga petani
harus mempunyai modal tambahan untuk melakukan proses gabahnya menjadi beras;
4) Keterbatasan
kemampuan Perum Bulog untuk berhubungan langsung dengan
petani dan
hanya berhubungan dengan mitra usahnya yaitu para pedagang besar
di tingkat
kabupaten;
5) Perubahan
Status Bulog dari Badan menjadi Perum yang berorientasi pada profit, sehingga
tidak memungkinkan bagi Perum Bulog menjual beras di bawah harga beli. Sedangkan
diketahui bahwa pada musim musim panen harga beli Perum Bulog sering berada di
atas harga pasar;
6)Pemilikan
sarana, ketersediaan personil dan mekanisme kerja Bulog dalam pembelian gabah
beras petani belum menjamin dapat dilaksanakannya pembelian gabah/beras
langsung dari petani; 7) Dari ke tujuh masalah di atas, maka bentuk dan pola
pemasaran beras di dalam negeri cenderung bersifat oligopoli, di mana kelompok
pedagang menjadi penentu harga (price maker), sedangkan petani hanya berperan
sebagai penerima harga (price taker). Dari
berbagai
masalah tersebut, fungsi Perum Bulog sebagai lembaga penyangga harga (Price
buffer) dengan segala keterbatasannya, bisa diragukan efektifitasnya.
Departemen Pertanian lebih lanjut menginformasikan bahwa pada Bulan Maret,
April dan Mei dilakukan panen masing masing pada lahan seluas 1,45 juta Ha, 1,9
juta Ha dan 1,55 juta Ha (Harian Republika tanggal 22 April 2007).
Dengan
perkataan lain selama tiga bulan ini saja, dengan asumsi produksi per
Ha sebesar 4
ton, akan dihasilkan gabah kering giling sebanyak 19,6 juta Ton. Jika produksi
gabah tersebut dikonversi dalam bentuk beras maka setiap bulannya akan ada
produksi beras sebanyak 60% x 19,6 juta ton, atau sebesar
11,76 juta ton.
Jika dari jumlah tersebut 90% dijual ke pasar bebas, maka pasar
akan menampung
produksi sebanyak 10,584 juta ton. Dari data yang dikeluarkan BPS tahun 2006
diketahui bahwa konsumsi beras per orang perbulan pada 2005 rata-rata sebanyak
10 Kg Dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta, maka selama 3 bulan
tersebut akan dikonsumsi
sebanyak 6,6
juta ton. Dengan demikian kelebihan produksi adalah sebesar 3,984 juta ton,
sedangkan Perum Bulog hanya mampu menampung sebanyak 1,5 juta ton (27,61%).
Akibatnya akan ada surplus pasar sebanyak 2,484 juta ton. Yang menjadi
pertanyaan adalah:
1) Apakah
jumlah surplus yang lebih besar dari daya tampung Bulog (suplai di pasar
meningkat, sedangkan demand tetap), tidak mempengaruhi keseimbangan pasar, yang
secara langsung akan menurunkan harga beras ditingkat petani?;
2) Apakah Perum
Bulog dapat menjual langsung produk yang sudah dibelinya ke pasar bebas, agar
cashflownya tidak terganggu ?;
3) Apakah Perum
Bulog sudah mempersiapkan, sarana, personil dan mekanisme pembelian gabah/beras
langsung dari petani ?
Setelah satu
bulan HPP baru ditetapkan dan panen mulai terjadi dibeberapa daerah terlihat
adanya kecenderungan bahwa nasib petani tidak banyak berubah. Pada awal musim
panen ada kecenderungan harga meningkat dan berada di atas HPP yang ditetapkan
seperti yang terlihat di Indramayu Jawa Barat, dimana harga GKG pernah
menyentuh Rp. 2.700,- per kilogram, tetapi setelah panen berjalan satu minggu
harga turun sampai dengan Rp. 1.800,- per Kg. Demikian juga yang terlihat di
Jawa Timur. Sampai dengan akhir April tahun 2007, setelah panen diperkirakan
mencapai 1 juta ton GKG dan Perum bulog Regional Jawa Timur mentargetkan dapat
menyerap Gabah Beras sebanyak 650.400 ton ternyata baru teralisir sebanyak
12.200 ton atau 1,876% dari yang ditargetkan.
Fenome di atas
menimbulkan banyak pertanyaan yang bisa membuat orang pesimis. Demikian juga
dengan kesiapan personil Bulog yang jumlahnya hanya 4.500 orang, sedangkan
jumlah desa di Indonesia sekarang ini sudah lebih dari 90.000 unit. Dengan
perkataan lain akan menimbulkan pertanyaan apakah satu orang personil Perum
Bulog dapat melayani 20 desa atau lebih. Data di atas
sudah menjawab
pertanyaan ini, tetapi semua pertanyaan tersebut di atas akhirnya mungkin akan
bermuara pada pertanyaan dasar yaitu :”Apakah
peningkatan
produksi beras nasional hanya ditujukan untuk mencukupi kebutuhan beras dalam
negeri, dengan mengesampingkan tujuan pemberdayaan petani sebagai UMKM yang
perlu dilindungi kepentingan ekonominya dan Apakah kebijaksanaan ini sudah
dilengkapi dengan kesiapan sistem kelembagaannya”.
Dalam upaya
mendukung program pengadaan beras nasional ini memang Perum Bulog sudah
merangkul banyak pihak terutama para pedagang beras ditingkat Kabupaten dan
juga koperasi Pertanian (Koptan). Dalam hal ini Perum bulog juga sudah menjalin
kerjasama dengan Induk Koperasi Pertanian (Inkoptan). Yang menjadi pertanyaan
adalah sejauh mana kapasitas Inkoptan
dan Koptan
tersebut dapat mendukung mekanisme pengadaan gabah beras oleh
Perum Bulog ? Diketahui
bahwa Koptan belumlah memiliki pengalaman karena baru mulai dibentuk pada tahun
1999. Koptan juga tidak memiliki sarana yang memadai untuk melaksanakan
kegiatan yang cukup besar dan cukup rumit
tersebut. Dalam
hal ini timbul pertanyaan lagi mengapa Perum Bulog tidak merangkul Koperasi
Unit Desa (KUD), yang notabene sudah memiliki pengalaman dan sarana pendukung
yang cukup banyak baik berupa Gudang
Lantai Jemur
dan Kios (GLK) maupun Huler dan berbagai sana pendukung lainnya.
II. Potensi Dan
Kendala Koperasi
Keikutsertaan
Koperasi dalam Program Swasembada Pangan sudah dimulai sejak tahun 1974 dengan
didirikannya Badan Usaha Unit Desa yang kemudian berubah nama menjadi Koperasi
Unit Desa. Selama lebih dari 30 tahun tahun KUD secara aktif telah dilibatkan
dalam kegiatan tersebut, tidak saja dalam pengadaan gabah/beras untuk
menudukung stok beras nasional, tetapi juga dilibatkan dalam penyediaan sarana
produksi padi (saprodi), pengolahan hasil dan pemasarannya kepasaran umum
(pasar bebas). Potensi Koperasi yang dalam hal ini KUD dalam kegiatan pengadaan
Gabah dan beras dalam beberapa Dasawarsa yang lalu memang cukup besar, baik
dilihat dari ketersedian sarana, maupun ketersedian personil. Demikian juga
sesungguhnya KUD mempunyai keterikatan usaha yang sangat kuat dengan petani,
walaupun keberhasilan KUD pada waktu itu belum lagi optimal.
Disamping
potensi yang dimiliki KUD juga menghadapi banyak kendala dan permasalahan baik
yang bersifat internal seperti kejujuran pengelola KUD dalam menggunakan dana
pengadaan gabah/beras yang bersumber dari pinjaman pemerintah (dengan subsidi
bunga), maupun masalah eksternal antara
lain hubungan
dengan komponen sistem lainnya seperti dengan petani dan Perum Bulog, yang
tidak selalu kondusif. Pola hubungan dengan petani seharusnya dapat
ditingkatkan seandainya KUD dapat membeli langsung gabah
beras dari petani,
tetapi pola pembelian seperti ini yang kemudian dikenal dengan Pola I, hampir
tidak pernah dilakukan oleh KUD, karena adanya banyak
kendala antara
lain;
a) petani sudah
menjual dengan sistem tebasan;
b) petani tidak
memiliki lagi lumbung-lumbung untuk menyimpan gabah sehingga harus menjual
gabahnya langsung di sawah sedangkan KUD dihadapkan padamasalah keterbatasan
sarana angkutan dan personil agar dapat langsung membeli gabah petani di sawah,
serta kebiasaan KUD untuk bekerjasama dengan para pedagang pengumpul (yang
umumnya juga UMK yang anggota KUD).
Kebiasaan
sebagian besar KUD untuk membeli gabah/beras dari pedagang pengumpul atau
memberikan pinjaman modal kepada para pedagang pengumpul nampaknya tidak dapat
dijadikan justifikasi bahwa KUD belum
memberikan
dampak positif bagi para anggotanya. Hal ini dapat dibuktikan
dengan besarnya
fluktuasi harga di tingkat petani dari tahun 1983 samapai dengan tahun 1998
yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Koperasi Departemen
Koperasi dan
UKM pada tahun 1999. Fluktuasi rata-rata selama 15 tahun tersebut hanya sebesar
8,91% dengan yang tertinggi 11,29% tahun 1991 dan
terendah 6,64%
tahun 1996. Angka fluktuasi ini akan sangat berbeda juka dibandingkan dengan
keadaan tahun 2004 samapi dengan tahun 2006 yang ratarata mencapai 17,89%. Dari
data diatas mungkin dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa keikutsertaan KUD
dalam pengadaan gabah beras stok nasional dapat menekan fluktuasi harga yang
secara langsung mengurangi kerugian petani. Dari sini selanjutnya dapat dikemukakan
bahwa sesungguhnya KUD mempunyai potensi untuk menjadi stabilisator harga
ditingkat petani, dan apa yang dilakukan KUD dalam pelaksanaan program ini
seperti kerjasama sama dengan para pedagang pengumpul masih bisa ditolerir,
karena para pedagang itu sendiri adalah kelompok UMKM yang notabene juga adalah
anggota KUD. Yang tidak dapat ditolerir adalah kerjasama KUD dengan para
pedagang besar yang dikenal dengan istilah Sleeping patner. Tetapi kasus ini
relatif kecil dan dari hasil penelitian Badan litbang koperasi tahun 1995
diketahui kasus tersebut hanyamelibatkan 12,8% KUD yang ikut dalam Program
Pengadaaan Pangan, terutama di daerah-daerah sentra produksi seperti di Pulau
Jawa dan Sulawesi Selatan. Hal inipun terjadi karena adanya pembatasan dan aturan
yang dikeluarkan oleh Bulog yang sangat ketat dalam hal pemenuhan kualitas
gabah beras yang disetorkan oleh KUD.
Berbeda dengan
kondisi sebelum tahun 2000-an, sekarang Perum Bulog secara terang-terangan
menyatakan telah mampu memenuhi 16% dari target pengadaan/Beras produksi dalam
negeri melalui usaha kemitraan dengan para
pedagang beras
ditingkat kabupaten (biasa disebut pemilik tempat penampungan gabah/beras atau
TP) yang merupakan patner usahanya. Kerjasama dengan para pedagang ini jelas
legal apalagi menghadapi era keterbukaan yang memungkinkan Perum Bulog dapat
bekerjasama dengan siapa saja yang bisa mendukung tujuan pemenuhan stok beras
nasional. Yang menjadi pertanyaan apakah dengan pola ini harga gabah ditingkat
petani sudah membaik, sehingga dapat mendorong petani untuk lebih meningkatkan
lagi produksi gabahnya. Untuk mendapatkan jawaban kongkrit atas pertanyaan ini
mungkin masih memerlukan waktu satu atau dua tahun kedepan, tetapi yang pasti
fluktuasi harga yang cukup besar ditingkat petani merupakan indikasi awal bahwa
petani masih menjadi komponen sistem yang terlemah (hanya sebagai price taker)
dalam sistem perberasan. Dalam hal ini mungkin dapat disitir pernyataan Sweezi
(1978) yang mengatakan bahwa dalam suatu sistem, in-efisiensi yang terjadi
dalam sistem tersebut akan ditanggung oleh komponen sistem yang terlemah. Hal
inilah yang patut diwaspadai, karena bila terjadi maka petani tidak akan dapat
banyak menerima manfaat dari kebijakan perberasan yang sekarang berlaku dan
berakibat pada tidak adanya rangsanga bagi petani untuk meningkatkan produksi
beras.
Permasalahan
diatas nampaknya merupakan derivasi dari masalah pokok dalam sistem perberasan
di Indonesia selama lebih dari enam puluh tahun, yaitu belum adanya kelembagaan
yang berfungsi optimal dalam mengatur pendistribusian sumberdaya dan margin
dari sistem perberasan diantara semua komponen sistem dalam sistem tersebut
yaitu petani produsen, konsumen dan pedagang. Di era orde baru koperasi
ditetapkan sebagai kelembagaan dalam sistem perberasan, tetapi peran koperasi
belum juga dinilai optimal karena masih adanya berbagai kendala yang seharusnya
dapat diselesaikan melalui kebijakan yang bersandar pada konsep optimalitas dan
bukan maksimalitas peran dari lembaga tersebut. Koperasi dalam hal ini memang
merupakan kumpulan orang yang memiliki kepentingan yang sama (homogen).
Orangorang tersebut bersatu dalam wadah koperasi untuk meningkatkan
kesejahteraannya, dalam arti bila petani, maka yang diinginkan adalah
mendapatkan harga jual yang lebih baik, sehingga margin yang diterima akan
lebih besar. Sedangkan bagi konsumen yang diinginkan adalah harga beli yang
rendah. Dengan demikian menyatukan kedua keinginan tersebut dalam satu wadah
kelembagaan nampaknya akan mendapatkan kesulitan, oleh sebab itu diperlukan dua
bentuk kelembagaan koperasi yaitu koperasi produsen atau koperasi petani dan
koperasi konsumen.
Konsepsi yang
demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang memiliki peran strategis
bagi anggotanya baik petani maupun konsumen. Dalam era orde baru selama lebih
dari duapuluh tahun, koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai
lembaga yang diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Peran KUD
juga mau atau tidak mau harus diakui secara langsung telah mendukung keberhasilan
pencapaian swasembada beras pada tahun 1985. Demikian juga jumlah produksi
petani harus diakui secara signifikan dipengaruhi oleh ketersediaan prasarana
dan sarana produksi mulai dari pupuk, bibit, obat-obatan, RMU yang juga
dilakukan oleh KUD. Demikian juga keterlibatan KUD dalam pemasaran gabah atau
beras telah membantu stabilitas harga gabah di tingkat petani. Peran koperasi
dari sisi konsumen, menyangkut ketersediaan bahan pangan bagi konsumen terutama
diperkotaan memang belum sebesar peran KUD di pedesaan dan hal ini berkaitan
langsung dengan sistem pemasaran beras di perkotaan yang merupakan pasar bebas
dan lebih berorientasi pada kualitas dan bukan kuantitasnya ,Memperhatikan
keberhasilan koperasi dalam mendukung sistem perberasan di Indonesia dan
perubahan kebijakan yang secara tidak langsung telah menghapus peran tersebut
memang seharusnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam menyelesaikan
masalah perberasan yang dihadapi sekarang ini. Sebelum krisis di tahun 1997
terdapat lebih dari delapan ribu koperasi yang turut berperan dalam mendukung
program pengadaan pangan nasional. Dalam era reformasi jumlah dengan perubahan
kebijakan terutama setelah tahun 2003 terjadi penurunan menjadi kurang dari
2000 koperasi. Peran koperasi tersebut juga tidaklah sebesar sebelumnya karena
tidak adanya dukungan kredit dari pemerintah, baik untuk tujuaan penyediaan
sarana produksi maupun untuk
pengadaan gabah
beras dari petani. Perubahan kebijakan ini juga telah mendorong koperasi untuk
melakukan inovasi anatara lain dengan membangun
model-model
pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung pangan, dan
sentra-sentra pengolahan padi.
Perubahan
kebijakan pemerintah dalam distribusi pupuk dan pengadaan beras memberikan
dampak serius dalam mendukung produksi padi nasional. Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 yang membebaskan
penyaluran pupuk dilakukan baik
oleh swasta
maupun koperasi/KUD Indikasi yang terlihat dari ketidak populeran
dari kebijakan
ini adalah timbulnya masalah kelangkaan persediaan pupuk, harga pupuk yang
sering jauh lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Demikian juga
terjadi kecenderungan monopoli penyaluran pupuk oleh swasta.
Peran
koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk menurun drastis karena koperasi tidak
didukung lagi oleh ketersediaan dana dari kredit pemerintah untuk pembelian
pupuk. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40% atau 930
unit dari 2.335
KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat
dalam tataniaga
pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
Dalam hal
penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah koperasi dari 8.427 koperasi
sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi setelah krisis (tahun 2000)
juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi dalam
menunjang
ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003). Padahal
koperasi selama
ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai
jemur, RMU, dan
lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras,
dan koperasi
mewadahi sejumlah besar petani padi. Akumulasi kelangkaan dan
kenaikan harga
pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi
peningkatan
produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa kemampuan ketahanan
pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah. Kekurangan produksi
gabah/beras di dalam negeri memaksa dilakukannya impor beras yang berarti
kerugian ganda. Di satu sisi merupakan pengeluaran
devisa untuk
tujuan konsumtif, sedangkan disisi yang lain potensi sumberdaya
nasional berupa
lahan, dan tenaga manusia (SDM) tidak termanfaatkan dengan
optimal.
Kondisi ini tidak terlepas dari konsepsi pembangunan nasional yang
cenderung masih
berorientasi pada sektor industri untuk mengejar pertumbuhan
dalam waktu
cepat. Dalam kondisi mekanisme pasar yang belum menjamin posisi petani, dan
bahkan belum tentu juga menjamin ketersediaan pangan nasional, koperasi hadir
mengangkat posisi petani dan dapat menjamin ketersediaan pangan nasional.
Koperasi yang selama ini sudah eksis sebenarnya memiliki peran mendasar dalam
penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan ketersediaan pupuk dan harga
terjangkau bagi petani, penanganan dan pengolahan gabah petani di saat surplus
maupun defisit produksi, penjaminan nilai tukar dan income petani, membuka
berbagai akses teknologi, informasi, pasar, dan bisnis kepada petani. Dalam
tujuan ketahanan pangan, koperasi telah mengembangkan beberapa model pengamanan
persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan
sentra-sentra pengolahan padi. Model model ini berperan menjamin persediaan
gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan
sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya secara
substansial mengancam ketahanan nasional. Karena itu bagaimana memerankan
koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan penguatan agribisnis di dalam
perekonomian
pasar sangatlah diperlukan.
III.
KEIKUTSERTAAN KOPERASI DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN UMKM
Ketahanan
pangan dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan
nasional untuk membentuk manusia Indonesia berkualitas, mandiri, dan sejahtera.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diwujudkan ketersediaan pangan yang cukup,
aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah
Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan,
2002).
Ketahanan
pangan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996, diartikan sebagai kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pangan
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan
lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman.
Beras hingga
kini masih merupakan salah satu komoditi pangan pokok bagi masyarakat Indonesia
dan merupakan komoditi strategis bagi pembangunan nasional. Pengalaman pada
periode-periode awal pembangunan di tanah air menunjukkan bahwa kekurangan
beras sangat mempengaruhi kestabilan pembangunan nasional. Bahkan hingga kini,
bukan saja pada tingkat nasional,
daerah, dan
rumahtangga tetapi juga tingkat internasional dimana terlihat besarnya dampak
yang ditimbulkan akibat kekurangan persediaan pangan beras.
Dalam rangka
menghindari dan sekaligus mengatasi akibat kekurangan pangan pokok ini,
tidaklah mengherankan jika pemerintah telah mengambil langkah-langkah kebijakan
dengan melibatkan sejumlah besar departemen dan instansi pemerintah untuk
mengatur dan mendorong ketahanan pangan di Dalam Negeri. Departemen Koperasi
adalah salah satu departemen yang sejak lama telah ditugaskan untuk menangani
dan menyeleggarakan persediaan pangan khususnya beras bagi masyarakat. Dengan
tanggung jawab ini dan disertai dukungan pemeritah, Departemen Koperasi telah
menumbuhkembangkan kegiatan usaha dan bisnis koperasi di tengah masyarakat.
Usaha koperasi yang
sudah berjalan,
telah menjangkau berbagai kegiatan usaha golongan ekonomi
lemah dan telah
berkembang luas ke berbagai pelosok Tanah Air. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa
keberadaan organisasi koperasi disektor pertanian diakui atau tidak sangat
membantu petani dalam proses produksi pangan baik padi maupun palawija.
Keberhasilan program Bimas dan Inmas di masa lalu tidak terlepas dari
peranserta koperasi/KUD sejak dari penyediaan prasarana dan sarana produksi
sampai dengan pengolahan hingga pemasaran produk.
Meskipun
demikian kini terjadi perubahan seiring berlangsungnya era globalisasi dan
liberalisasi ekonomi. Untuk lebih mendorong dan mempercepat
pencapaian
ketahanan pangan, pemerintah kini telah mengeluarkan sejumlah
kebijakan untuk
penyaluran pupuk dan pengadaan beras. Pengambilan kebijakan ini dianggap perlu
untuk mempermudah ketersediaan pupuk di lokasi petani dan penggunaannya dengan
harga terjangkau, serta pengadaan gabah/beras yang menjamin persediaan Dalam
Negeri. Diharapkan dengan kebijakan ini petani dapat meningkatkan produksi
gabah mereka yang berarti pada satu sisi menjamin persediaan gabah/beras di
dalam Negeri dan pada sisi lain meningkatkan income mereka. Sementara di sisi
pengadaan, dengan kewenangan luas yang diberikan kepada berbagai lembaga untuk
terlibat dalam
pengadaan
pangan akan menjamin stabilitas persediaan Dalam Negeri. Secara umum, tujuan
kebijakan yang diambil adalah baik, tetapibeberapa konsekuensi kini mulai
muncul. Sebagai contoh, kebijakan penyaluran pupuk (Kepmen Perindag Nomor :
356/MPP/KEP/5/2004) memberikan kewenangan pada pihak-pihak swasta dan
koperasi/KUD sebagai penyalur/pengecer pupuk ke konsumen. Berbeda dengan
kebijakan sebelumnya (Kepmen Perindag Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998), kebijakan
baru ini tidak lagi memberikan kewenangan penuh kepada koperasi/KUD untuk
menyalurkan pupuk, yang berarti peran koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk kini
menurun.
Perubahan
kebijakan ini memiliki konsekuensi dalam jangka pendek mengganggu sistem
distribusi pupuk yang selanjutnya mengganggu ketersediaan pupuk bagi para
petani. Kekurangan ketersediaan pupuk akan mengganggu produksi gabah petani.
Kekurangan ketersediaan pupuk dan penurunan produksi gabah merupakan dua aspek
yang saling mengikat. Karena
itu kekurangan
pupuk sudah tentu mengancam produksi petani, dan selanjutnya
kekurangan
beras mengancam ketahanan pangan yang akan berlanjut pada akibat kerawanan
sosial. Penurunan kuantitas produksi petani berarti juga penurunan pendapatan
mereka dan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan
petani menurun.
Secara nasional, penurunan produksi beras di satu sisi dan
peningkatan
permintaan beras di sisi lain akan membuka kran impor. Dalam
jangka pendek
impor beras berguna mengatasi kekurangan persediaan dalam
negeri, tetapi
dalam jangka panjang menguras sumberdaya domestik (menguras
devisa) dan
melemahkan stabilitas nasional. Konsekuensi perubahan kebijakan yang mengganggu
sistem distribusi pupuk akan terlihat pada ketidaklancaran distribusi pupuk itu
sendiri. Pemberian kebebasan kepada berbagai pihak untuk menyalurkan pupuk di
satu sisi sementara di sisi lain pupuk sendiri merupakan “input/barang publik”,
akan merugikan individu masyarakat (petani) yang menggunakannya secara enam
tepat. Hal ini muncul disebabkan karena terjadi monopoli dan tindakan-tindakan
lainnya untuk mengambil keuntungan sendiri dan merugikan para pelaku lain.
Hal ini nyata
dan telah dirasakan oleh petani yang kesulitan mendapat pupuk
dengan harga di
atas HET. Di sisi lain koperasi/KUD yang terkena dampak kebijakan tersebut
telah menghadapi kondisi “idle capacity.” Indikasi idle capacity koperasi
juga terlihat pada penurunan jumlah koperasi yang berfungsi
melayani
kegiatan pengadaan pangan.
Keseluruhan
konsekuensi ini menunjukkan bahwa perubahan suatu kebijakan dapat menguntungkan
sebagian pelaku tetapi juga merugikan pelaku lain. Just et al (1982)
mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui suatu kebijakan yang
bertujuan membantu salah satu pelaku (produsen atau konsumen) tidak selamanya
membuat pasar menjadi seimbang (menguntungkan kedua pihak). Ketidakseimbangan
pasar ini muncul sebagai akibat perubahan perilaku setiap pelaku dalam merespon
perubahan yang terjadi di pasar. Perubahan perilaku para pelaku pasar terlihat
dari berubahnya keputusankeputusan mereka dan teridentifikasi dalam aspek-aspek
seperti terjadi excessdemand dan shortage supply atau
sebaliknya, harga pasar yang meningkat atau menurun, serta peningkatan atau
penurunan fungsi kedua pelaku beserta lembaga yang membawahinya. Selalu
terdapat konsekuensi dari intervensi pemerintah ke pasar melalui kebijakan yang
diambil, tetapi yang terpenting adalah tujuan yang hendakdicapai. Jika
tujuannya adalah peningkatan produksi untuk menjaga stabilitas ketersediaan
pangan dalam negeri, maka pemerintah harus menyediakan anggaran/biaya untuk
mengkompensasi konsekuensi yang timbul akibat perubahan kebijakan yang diambil
itu. Anggaran/biaya dimaksud disebut
sebagai biaya
pengadaan produksi pangan. Kompensasi ini memiliki arti ada
resiko yang
harus dibayar sebagai akibat kesalahan pengambilan kebijakan. Dengan demikian,
jika kebijakan distribusi pupuk yang diambil teridentifikasi
sangat kuat
mengancam produksi petani (karena petani sebagai pelaku utama
supply side) maka secara substansial kebijakan tersebut tidak layak.
Mempelajari
perilaku para pelaku pasar yakni koperasi/KUD dan nonkoperasi
(swasta) dalam
distribusi pupuk, akan diketahui keputusan-keputusan yang mereka ambil. Dapat
juga diketahui seberapa besar penawaran dan permintaan pupuk pada masing-masing
pihak, apakah terjadiexcess demand dan excess supply pupuk,
dan seberapa besar harga pupuk di pasar berada di atas HET. Apakah penyaluran
pupuk oleh masing-masing pelaku sampai ke tanganpetani sesuai prinsip enam
tepat? Juga dapat dibandingkan pelaku mana yangmenyalurkan pupuk sesuai tujuan
kebijakan distribusi pupuk. Ketimpangan peran koperasi akibat idle
capacity yang dialami berpeluang mengganggu pencapaian ketahanan
pangan. Hal ini disebabkan karena :
(1) koperasi
berperan dalam pembinaan produksi gabah petani (secara tidak langsung melalui
penyaluran pupuk),
(2) koperasi
melakukan pengadaan dan pengolahan gabah/beras petani, dan
(3) koperasi
menyalurkan beras kepada konsumen. Mengenai pembinaan produksi, koperasi
membawahi sekian banyak petani sehingga penyaluran pupuk yang tepat akan
memberikan jaminan bagi produksi petani. Dalam pengadaan dan pengolahan
gabah/beras, sering terjadi surplus produksi disaat panen raya yang menyebabkan
harga gabah jatuh, dan kualitas gabah rendah seiring musim penghujan di saat
panen. Untuk menjamin nilai tukar petani, mengatasi penurunan kualitas
gabah/beras, dan menjamin bahwa surplus gabah tersebut aman untuk tersedia
dengan kualitas dan kuantitas yang dikehendaki bagi ketahanan pangan, koperasi
hadir dengan perannya. Koperasi telah mengembangkan model bank padi, lumbung
pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi yang berfungsi mengatasi
kesulitan-kesulitan petani memasuki mekanisme pasar dan menjamin pengadaan
gabah/beras bagi ketahanan pangan.
IV. PENUTUP
Perubahan
kebijakan dibidang perberasaan yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2001
ternyata telah membangun mekanisme pasar gabah/beras menjamin posisi petani,
yang sekaligus juga tidak menjamin ketersediaan beras untuk stok nasional.
Sumbangan koperasi baik dalam mendukung pendapatan petani dan ketersedian stok
beras nasional juga semakin terbatas. Kondisi kekurangan stok telah terasa
selama dua tahun belakangan ini juga ternyata belum mampu merubah persepsi
terhadap kepentingan peran koperasi untuk kembali menjadi salah satu komponen
penting dalam sistem perberasan nasional. Dalam kondisi seperti itu ternyata
koperasi masih berusaha untuk eksis antara lain dengan mengembangkan beberapa
model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan,
dan sentrasentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan
gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan
sekaligus
mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya
secara
substansial mengancam ketahanan nasional. Eksistensi koperasi ini walaupun
relatif kecil tetapi menjadi indikator bahwa koperasi masih memiliki
potensi untuk
kembali diikutsertakan dalam mendukung sistem perberasan.
Tinggal lagi
yang diperlukan adalah adanya pemikiran logis dari para pengambil kebijakan
untuk menumbuhkan kembali peran koperasi dalam mendukungprogram ketahanan
pangan nasional yang secara nyata semakin tidak menentu.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymus,
(2002). Dewan Ketahanan Pangan. Kebijakan Umum Pemantapan Pangan
Nasional. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta.
-------------,
(2007). Kenaikan HPP Gabah /Beras diharapkan akan mendorong petani
untuk meningkatkan produksi pad. Harian Republika tanggal 26 April
tahun 2007.
Nasution
Muslimin, (1991). Pengembangan Peran Koperasi senbagai kelembagaan
dalam sistem penyediaan Pangan Nasional. Badan Litbang Koperasi Departemen
Koperasi Dan UKM. Jakarta.
Soetrisno Noer,
(1992). Mekamisme pasar gabah beras dan Permasalahan yang dihadapi
Koperasi dalam mendukung program Pengadaan Pangan Stok
Nasional. Badan Litabang Koperasi UKM, Departemen Koperasi dan
UKM. Jakarta.
Safuan, (1994). Kajian
Efektifitas Pola Pemasaran Beras di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar