BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemberdayaan adalah perspektif yang lebih luas dari
hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme
untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Konsep ini
berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara
lain oleh Friedmann (1992) disebut sebagai the Politics of Alternative
Development, yang menghendaki adanya “inclusive democracy, appropriate economic
growth, gender equality and sustainability or intergenerational equity”.
Kartasasmita (1996), dengan mengutip pendapat beberapa ahli, melukiskan konsep
pemberdayaan itu sebagai suatu konsep yang tidak mempertentangkan antara
pertumbuhan dengan pemerataan, tetapi memadukan antara keduanya, karena sebagaimana
dikatakan oleh Brown (1995), kedua konsep tersebut tidak harus diasumsikan
sebagai “tidak cocok atau berlawanan (incompatible or antithetical)”. Konsep
pemberdayaan berusaha melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade
off”, dan bertitik tolak dari pandangan bahwa melalui pemerataan akan tercipta
landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan sekaligus akan menjamin
pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan oleh
Kirdar dan Silk (1995), “the pattern of growth is just as important as the rate
of growth”. Hal yang dikehendaki adalah seperti yang dikatakan oleh Ranis
(1995), “the right kind of growth”, yakni bukan yang vertikal dan menghasilkan
“trickle-down”, karena sudah terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat
horizontal (horizontal flows), yakni “broadly based, employment intensive, and
not compartmentalized”.
Menurut Kartasasmita (1996), memberdayakan masyarakat
adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang
dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan
dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat. Dalam konteks pemikiran ini, upaya memberdayakan
masyarakat haruslah diawali dengan menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang atau dikembangkan. Titik
tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia atau setiap masyarakat,
memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang
sama sekali tanpa daya, karena jika demikian maka masyarakat tersebut sudah
punah. Dengan demikian maka pemberdayaan merupakan suatu upaya untuk membangun
daya atau potensi yang dimiliki, dengan mendorong, memotivasi, dan
membangkitkan kesadaran terhadap potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya, sehingga orang atau masyarakat menjadi berdaya, lepas dari
ketergantungan, kemiskinan dan keterbelakangan.
Pemberdayaan tidak hanya meliputi penguatan individu,
tetapi juga berbagai pranatanya (institutions), misalnya dalam bentuk penanaman
nilai-nilai budaya modern -seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan sikap
bertanggung jawab adalah menjadi bagian dari proses pemberdayaan. Demikian
pula, pemberdayaan juga menyangkut pembaharuan lembaga sosial dan
pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di
dalamnya, khususnya yang menyangkut partisipasi dalam pengambilan keputusan
dalam proses pembangunan di lingkungannya. Atas dasar pandangan ini,
pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan
pengamalan nilai demokrasi. Dalam konteks ini, Friedmann (1992), menyatakan
“The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development,
places the emphasis on autonomy in the decision-making of territorially
organized communities, local self-reliance (but not autarchy), direct
(participatory) democracy, and experiental social learning”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemberdayaan dan Strategi Pembangunan Desa
Empowement atau pemberdayaan adalah salah satu
strategi atau merupakan paradigma pembangunan yang dilaksanakan dalam kegiatan
pembangunan masyarakat, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang.
Pemberdayaan ini muncul dikarenakan adanya kegagalan-kegagalan yang dialami
dalam proses dan pelaksanaan pembangunan yang cenderung sentralistis seperti
community development atau pengembangan komunitas. Model ini tidak memberi
kesempatan langsung kepada rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan,
terutama dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pemilihan pejabat,
perencanan, pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan.
Friedmann (1992) menawarkan konsep atau strategi
pembangunan yang populer disebut dengan empowerment atau pemberdayaan. Konsep
pemberdayaan ini adalah sebagai suatu konsep alternatif pembangunan yang pada
intinya memberikan tekanan pada otonomi dalam mengambil keputusan di suatu
kelompok masyarakat yang dilandaskan pada sumberdaya pribadi, bersifat
langsung, demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Fokus
utama pemberdayaan, menurut Friedmann, adalah sumberdaya lokal, namun bukan
berarti mengabaikan unsur-unsur lain yang berada di luar kelompok masyarakat,
bukan hanya ekonomi akan tetapi juga politik, agar masyarakat memiliki posisi
tawar menawar yang seimbang, baik ditingkat lokal, nasional maupun
internasional.
Schumacher (1973) lebih menekankan aspek ekonomi
dibandingkan aspek politik dalam proses pemberdayaan masyarakat, dengan
menyatakan: economic development can succeed only if it is carried for ward as
a board popular “movement reconstruction” with the primary emphasis on the full
utilization of the drive, anthusiasm, intelligence an labour power of every
one. Sedangkan strategi yang paling tepat adalah dengan memberikan masyarakat
berupa sarana agar mampu dan dapat mengembangkan diri. Lebih lanjut Schumacher
mengemukakan bahwa, dalam proses pemberdayaan masyarakat NGO (nongovermental
organization) memiliki tempat yang istimewa dalam kaitannya membentuk kelompok mandiri.
Elliot (1987), menyatakan bahwa strategi pemberdayaan
dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu:
- The Welfare Approach; pendekatan ini mengarah pada pendekatan manusia dan bukan untuk memberdaya masyarakat dalam menghadapi proses politik dan pemiskinan rakyat.
- The Development Approach; pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan proyek pembangunan untuk meningkatkan kemampuan, kemandirian dan keswadayaan masyarakat.
- The Empowerment Approach; pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan sebagai akibat dari proses politik dan berusaha untuk memberdayakan atau melatih rakyat untuk mengatasi ketidakberdayaan masyarakat.
Strategi pemberdayaan dalam pembangunan masyarakat
merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan dan memandirikan, serta menswadayakan
masyarakat sesuai dengan potensi dan budaya lokal yang dimilikinya secara utuh
dan konprehensif agar harkat dan mertabat lapisan masyarakat yang kondisinya
tidak mampu dapat melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Pemberdayaan tidak hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi
pranata hidup yang ada dalam masyarakat perlu dan harus diberdayakan. Melalui
strategi pemberdayaan ini, partisipasi masyarakat dalam melaksanakan
pembangunan akan semakin meningkat.
B. Proses
Pemberdayaan Masyarakat Desa
Proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan secara
bertahap melalui tiga fase (Pranaka dan Prijono, 1996) yaitu:
(a) Fase Inisiasi adalah bahwa semua proses
pemberdayaan berasal dari pemerintah, dan masyarakat hanya melaksanakan apa
yang direncanakan dan diinginkan oleh pemerintah dan tetap tergantung pada
pemerintah.
(b) Fase Partisipatoris adalah bahwa proses
pemberdayaan berasal dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah dan
masyarakat, dan diperuntukkan bagi rakyat. Pada fase ini masyarakat sudah
dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembangunan untuk menuju kemandirian.
(c) Fase Emansipatoris adalah bahwa proses
pemberdayaan berasal dari rakyat dan untuk rakyat dengan didukung oleh
pemerintah bersama masyarakat. Pada fase emansipatori ini masyarakat sudah
dapat menemukan kekuatan dirinya sehingga dapat dilakukan dalam
mengaktualisasikan dirinya. Puncak dari kegiatan proses pemberdayaan masyarakat
ini adalah ketika pemberdayaan ini semuanya datang dari keinginan masyarakat
sendiri (fase emansipatoris).
C.
Pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa
Salah satu pendekatan yang mulai banyak digunakan
terutama oleh LSM adalah advokasi. Pendekatan advokasi pertama kali
diperkenalkan pada pertengahan tahun 1960-an di Amerika Serikat (Davidoff,
1965). Model pendekatan ini mencoba meminjam pola yang diterapkan dalam sistem
hukum, di mana penasehat hukum berhubungan langsung dengan klien. Dengan
demikian, pendekatan advokasi menekankan pada proses pendampingan kepada
kelompok masyarakat dan membantu mereka untuk membuka akses kepada
pelaku-pelaku pembangunan lainnya, membantu mereka mengorganisasikan diri,
menggalang dan memobilisasi sumberdaya yang dapat dikuasai agar dapat
meningkatkan posisi tawar (bargaining position) dari kelompok masyarakat
tersebut. Pendekatan advokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada
hakekatnya masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang masing-masing
mempunyai kepentingan dan sistem nilai sendiri-sendiri. Masyarakat pada dasarnya
bersifat majemuk, di mana kekuasaan tidak terdistribusi secara merata dan akses
keberbagai sumberdaya tidak sama.
Dalam jangka panjang diharapkan dengan pendekatan
advokasi masyarakat mampu secara sadar terlibat dalam setiap tahapan dari
proses pembangunan, baik dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
pelaporan, dan evaluasi. Seringkali pendekatan advokasi diartikan pula sebagai
salah satu bentuk “penyadaran” secara langsung kepada masyarakat tentang hak
dan kewajibannya dalam proses pembangunan.
D.
Metodologi Evaluatif dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa
Untuk melaksanakan evaluasi apakah proyek yang telah
dilaksanakan selama jangka waktu tertentu telah sungguh mendatangkan perbaikan
yang sesuai dengan harapan warga masyarakat, perlu dilakukan suatu penelitian.
Dua metoda penelitian evaluatif yang bersifat bottom-up adalah rapid rural
appraisal (RRA), dan participatory rural appraisal (PRA).
(1) Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)
Metoda RRA digunakan untuk pengumpulan informasi
secara akurat dalam waktu yang terbatas ketika keputusan tentang pembangunan
perdesaan harus diambil segera. Dewasa ini banyak program pembangunan yang
dilaksanakan sebelum adanya kegiatan pengumpulan semua informasi di daerah
sasaran. Konsekuensinya, banyak program pembangunan yang gagal atau tidak dapat
diterima oleh kelompok sasaran meskipun program-program tersebut sudah
direncanakan dan dipersiapkan secara matang, karena masyarakat tidak
diikutsertakan dalam penyusunan prioritas dan pemecahan masalahnya.
(2) Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)
Konsepsi dasar pandangan PRA adalah pendekatan yang
tekanannya pada keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan. Metoda PRA
bertujuan menjadikan warga masyarakat sebagai peneliti, perencana, dan
pelaksana program pembangunan dan bukan sekedar obyek pembangunan.
Kritik PRA terhadap pembangunan adalah bahwa
program-program pembangunan selalu diturunkan "dari atas" (top down)
dan masyarakat tinggal melaksanakan. Proses perencanaan program tidak melalui
suatu 'penjajagan kebutuhan' (need assesment) masyarakat, tetapi seringkali
dilaksanakan hanya berdasarkan asumsi, survei, studi atau penelitian formal
yang dilakukan oleh petugas atau lembaga ahli-ahli penel itian. Akibatnya
program tersebut sering tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat dan tidak
adanya rasa memiliki terhadap program itu. Dengan PRA, yakni dengan partisipasi
masyarakat keadaan itu diperbaiki dan juga keterampilan-keterampilan analitis
dan perencanaan dapat dialihkan kepada masyarakat. Dengan demikian secara
bertahap ketergantungan pada pihak luar akan berkurang dan pengambilan prakarsa
dan perumusan program bisa berasal dari aspirasi masyarakat (bottom up). Metoda
PRA didasarkan pada penyempurnaan dan modifikasi dari metoda AEA (Agroecosystems
Analysis) dan RRA (Rapid Rural Appraisal) yang dilakukan oleh kalangan LSM dan
peneliti yang bekerja di wilayah Asia dan Afrika. Walaupun ada beberapa
kesamaan antara metoda PRA dan RRA, tetapi ada pe rbedaan secara mendasar.
Metoda RRA penekannya adalah pada kecepatannya (rapid) dan penggalian informasi
oleh órang luar. Sedangkan metoda PRA penekannya adalah pada partisipasi dan
pemberdayaan.
E. Strategi
Pemberdayaan Masyarakat Desa dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat
Dengan memperhatikan berbagai pandangan termasuk
bias-bias terhadap konsep pemberdayaan, maka dapat dikemukakan beberapa langkah
strategis yang harus ditempuh untuk mengembangkan ekonomi rakyat melalui
pemberdayaan. Pertama, peningkatan akses ke dalam aset produksi (productive
assets). Bagi masyarakat petani yang masih dominan dalam ekonomi rakyat, modal
produktif yang utama adalah tanah. Karena itu kebijaksanaan pemilikan,
penguasaan dan penggunaan tanah sangat penting dalam melindungi dan memajukan
ekonomi rakyat ini.
Pemilikan tanah yang makin mengecil (marjinalisasi)
harus dicegah. Persoalan ini tidak mudah, karena menyangkut budaya dan hukum
waris. Namun, dalam rangka proses modernisasi budaya masyarakat, kebiasaan
untuk membagi tanah semakin kecil sebagai warisan harus dihentikan. Untuk dapat
melakukan hal itu memang harus ada alternatif, antara lain berupa pemanfaatan
lahan secara lebih efisien (misalnya: mixed farming, mixed landuses),
penciptaan lapangan kerja perdesaan di luar pertanian (agroindustri dan jasa),
program transmigrasi dan sebagainya. Dalam rangka ini upaya untuk memelihara
dan meningkatkan produktivitas (dan dengan demikian nilai aset) lahan harus
ditingkatkan, misalnya dengan pengairan, pemupukan, diversifikasi usaha tani,
atau pemilihan jenis budi daya (untuk memperoleh nilai komersial yang tinggi).
Di samping itu akses masyarakat kepada lingkungan hidup yang sehat yang tidak
tercemar akan mengurangi beban dan menambah produktivitas masyarakat.
Masalah yang paling mendasar dalam rangka transformasi
struktural ini ternyata adalah akses ke dalam dana. Tersedianya kredit yang
memadai dapat menciptakan pembentukan modal bagi usaha rakyat sehingga dapat
meningkatkan produksi dan pendapatan, serta menciptakan surplus yang dapat
digunakan untuk membayar kembali kreditnya dan melakukan pemupukan modal.
Permasalahannya adalah adanya prasyarat perbankan yang membuat masyarakat
lapisan bawah umumnya dinilai tidak bankable. Keadaan ini menyebabkan terbatasnya
interaksi antara lembaga keuangan yang melayani pemberian kredit dengan
masyarakat kecil yang memerlukan kredit. Akhirnya, modal makin banyak
terkonsentrasi pada sektor modern, khususnya pada usaha besar, yang berakibat
makin lebarnya jurang kesenjangan. Karena itu, langkah yang amat mendasar yang
harus ditempuh adalah membuka akses ekonomi rakyat ke dalam modal. Untuk itu
memang diperlukan pendekatan yang berbeda dengan cara-cara perbankan
konvensional.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa
mengenyam pendidikan yang berkualitas,
kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan untuk membiayai investasi,
kurangnya akses ke pelayanan public, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya
jaminan social dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi
ke kota, dan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan
papan secara terbatas.
Kemiskinan diyakini sebagai akar permasalahan
hilangnya martabat manusia, hilangnya keadilan, belum terciptanya masyarakat
madani, tidak berjalannya demokrasi, dan terjadinya degradasi lingkungan.
Program kemiskinan selama ini kurang berhasil
disebabkan antara lain :
1.
Bersifat Top-down
2.
Sentralistik
3.
Rendah partisipatif masyarakat
4.
Berorientasi proyek
5.
Peran pemerintah terlalu besar
6.
Masyarakat hanya menerima
Melalui
pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan melalui
program yang besifat :
a.
Bottom-up
planning
b.
Desentralistik
c.
Partisipasi masyarakat yang tinggi
d.
Berorientasi tujuan
e.
Peran LSM besar
f.
Masyarakat sangat aktif
B.
Saran
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan
olehnya itu kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdul Wahab, S., 1999. Ekonomi Politik Pembangunan: Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan di Tengah Krisis moneter. Malang: Danar Wijaya, Brawijaya University Press.
- ---------------, 1995. “Kebijakan Pembangunan Pedesaan Di Negara-negara Berkembang, Skala Permasalahan dan Hakekatnya”. Dalam Kebijakan Publik dan Pembangunan. IKIP Malang.
- Alwasilah, A. Chaedar, 2002. Pokoknya Kualitatif : Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya dan Pusat Studi Sunda.
- Ahmadi, Abu, 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
- Awang, San Afri, 1995. “Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan Lokal dalam Program IDT: Studi Kasus Tipologi Desa Hutan di Kabupaten Madiun”. Dalam Mubyarto (ed.), Program IDT dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Aditya Media.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil ‘Alamin segala Puji dan Syukur
Penulis Panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik dan
hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini,
Namun penulis menyadari makalah ini belum dapat dikatakan sempurna karena
mungkin masih banyak kesalahan-kesalahan. Shalawat serta salam semoga selalu
dilimpahkan kepada junjunan kita semua habibana wanabiana Muhammad SAW, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya, dan mudah-mudahan sampai kepada kita
selaku umatnya.
Makalah ini penulis membahas mengenai “
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA”, dengan makalah ini penulis
mengharapkan agar dapat membantu sistem pembelajaran. Penulis ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih atas segala
perhatiannya.
Raha, Januari
2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................
i
Daftar
Isi.............................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
BAB
II PEMBAHASAN....
..................................................................... 3
1. Pemberdayaan
dan Strategi Pembangunan Desa........................ 3
2. Proses
Pemberdayaan Masyarakat Desa...................................... 4
3. Pendekatan
dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa..................... 5
4. Metodologi
Evaluatif dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa..... 5
5. Strategi
Pemberdayaan Masyarakat Desa dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat......................................................................... 6
BAB III
PENUTUP...................................................................................... 8
A. Kesimpulan....................................................................................... 8
B. Saran.................................................................................................. 9
C. Berita Acara..................................................................................... 9
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................10
TUGAS : MAKALAH SISTEM PEMERINTAHAN DESA KELURAHAN
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DESA
DISUSUN
OLEH :
NAMA :
ALIMUDIN
STAMBUK : 21208251
JURUSAN :ILMU PEMERINTAHAN
SEMESTER :
III
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH KENDARI
KELAS RAHA
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar