SISTEM
SAPAAN BAHASA MUNA
Oleh MULIATI
A1D3 09 177
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESI DAN DAERAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVRSITAS
HALUOLEO
KENDARI 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa
Indonesia memiliki bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Sebagai negara
kepulauan, bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang mempunyai
keanekaragaman budaya serta latar belakang sosiokultur yang berbeda-beda. Salah
satu dari keanekaragaman budaya yang dimaksud adalah bahasa, dalam hal ini
bahasa-bahasa daerah. Bahasa-bahasa daerah tersebut berbeda-beda sistem
pembentukannya satu dengan yang lain. Dalam perkembangannya dan pertumbuhannya,
bahasa Indonesia saling berinteraksi dengan bahasa-bahasa daerah. Bahasa daerah
bermanfaat sebagai alat komunikasi bagi pemiliknya. Setiap suku bangsa memiliki
bahasa daerah yang berbeda dengan suku bangsa yang lain. Sebagai alat
komunikasi, bahasa daerah ini dapat memungkinkan terciptanya rasa saling pengertian,
saling menghargai, saling sepakat, saling menghormati, dan saling membutuhkan
dalam kehidupan bermasyarakat bagi kelompok masyarakat yang sama. Sehingga
suatu bahasa tertentu hanya dapat digunkan dan dipahami oleh anggota masyarakat
pemakai bahasa itu. Bahasa Muna merupakan salah satu dari sekian banyak bahasa
daerah yang ada di Indonesia yang masih tetap hidup dan digunakan oleh
masyarakat penuturnya. Bahasa ini terdapat di wilayah Kabupaten Muna Propinsi
Sulawesi Tenggara. Bahasa Muna pada umumnya di pergunakan oleh masyarakat yang
berdomilisi di seluruh Pulau Muna, sebagian Pulau Buton yang masuk wilayah
pemerintahan Muna, sebagian kabupaten Buton, dan sebagian Kota Kendari. Bahasa
Muna dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah sejajar dengan bahasa-bahasa
lainnya yang tersebar luas di Indonesia dan mempunyai fungsi dan peranan yang
cukup besar di kalangan masyarakat pendukungnya. Selain digunakan sebagai alat
komunikasi utama dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Muna juga digunakan dalam
berbagai kegiatan kemasyarakatan lainnya seperti upacara adat, kegiatan
kebudayaan, keagamaan, bahkan digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah
dasar dan SLTP sebagai muatan lokal. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perlu
pembinaan dan pengkajian bahasa daerah guna meningkatkan mutu pemakaian dan
memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia serta kebudayaan nasional. Mengingat
begitu pentingnya kedudukan dan fungsi bahasa daerah sebagai salah satu unsur
dalam pendukung kebudayaan nasional, maka bahasa-bahasa daerah perlu
mendapatkan perhatian agar dapat diselamatkan, dipelihara, dan dikembangkan.
Tindakan ini perlu dilakukan dalam rangka pelestarian budaya bangsa terutama
bahasa-bahasa daerah yang tersebar luas di seluruh nusantara yang mana nantinya
dapat menambah kekayaan kebudayaan nasional. Penuturan bahasa daerah oleh
generasi sekarang kurang memperhatikan sapaan dalam berbahasa. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang variasi sapaan
dalam berbahasa. Variasi sapaan tersebut menyangkkut pronominal persona, nomina
nama diri, dan istilah kekerabatan yang berkaitan dengan kesopanan dan
solidaritas. Memang tidak ada yang berhak melarang, menyalahkan, dan mengatur
seseorang mengungkapkan sebuah tuturan dalam berbahasa, tetapi perlu dicatat bahwa
bangsa Indonesia kental dengan budaya sopan santun, budaya tutur, dan yang
demikian merupakan sifat alamiah setiap suku bangsa di Indonesia termasuk
bahasa Muna. Permasalahannya adalah bagaimana mengajak kembali penutur-penutur
tersebut mau memperhatikan penggunaan sapaan dalam berbahasa Muna, karena bukan
tidak mungkin kurangnya perhatian oleh ketidaktahuan tentang variasi sapaan
yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk itu, peneliti sebagai penutur bahasa
Muna merasa terpanggil untuk mengadakan penelitian tentang variasi sapaan
bahasa Muna. Untuk menginformasikan tentang bentuk-bentuk sapaan dalam bahasa
Muna dan memberikan pemahaman kepada penutur bahasa Muna tentang hal tersebut,
maka pengkajian tentang sapaan harus dilaksanakan. Hal inilah yang mendorong
penelitian untuk mengkaji variasi sapaan bahasa Muna. Penelitian variasi
sistema sapaan bahasa Muna pernah di teliti oleh bapak La Ino, S.Pd.,M.Hum
(2009). Untuk itu peneliti hanya akan melakukan penelitian variasi sistem
sapaan bahasa Muna yang menyagkut pronominal persona dan nomina nama diri. Alas
an mendasar peneliti melakukan penelitian ini karena peneliti merasa prihatin
terhadap kenyataan yang terjadi di masyarakat kabupaten Muna sekarang ini,
dimana banyak para generasi muda sekarang ini yang tidak lagi meperhatikan
sapaan demi kesopanan dalam berkomunikasi, baik pada orang yang lebih muda,
teman sebaya dan orang yang lebih tua. Yang menarik dalam pembahsan ini bahwa
pada dasarnya kegiatan berbahasa (penutur bahasa) tidak sekedar menuturkan kata-kata
menjadi kalimat sebagai lambing bunyi saja, kemudian orang lain (penyimak)
mendengarkan, memahami maknanya, tetapi selain itu variasi sapaan dalam
mengungkapkan sapaanpun menjadi hal yang penting,agar tidak menimbulkan sikap
antipasti dan menimbulkan rasa tidak senang terhadap lawan bicara. Tentunya hal
ini dapat berdampak terpeliharanya hubungan bermasyarakat yang baik.
1.2 Masalah
Mengacu pada
latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana
variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan variasi bentuk dan
fungsi dalam sapaan bahasa Muna.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitia
ini membahas tentag variasi bentuk dan fungsi sistem sapaan dalam bahasa Muna.
Peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat member gambaran yang rinci dan
mendalam tentang variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna, sehingga
dapat memberi sumbangan pengkajian khususnya bahasa Muna. Selain itu, manfaat
lain yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini adalah :
1. Sebagai
informasi dan masukan kepada masyarakat tentang variasi bentuk dan fungsi dalam
sapaan bahasa Muna.
2. Sebagai
bahan rujukan atau perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang relevan dengan
penelitian ini.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
Sebagai landasan teori dalam penelitian ini,
teori-teori yang digunakan adalah teori sosiolinguistik, dengan alas an bahwa
analisis bentuk sapaan termasuk dalam aanalisis sosiolinguistik. Teori-teori
yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.1
Sosiolinguistik
Istilah
sosiolinguistik terdiri dari dua unsure, yaitu sosio dan linguistik. Sosio
adalah seakar denga sosial, yaitu berhubungan dengan masyarakat,
kelompok-kelompok masyarakat dan fungsi kemasyarakatan. Sedangkan linguistik
adalah ilmu yang mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsure-unsur
bahasa (fonem,morfem, kata, dan kalimat) dan hubungan antar unsure-unsur itu
(struktur) termasuk hakikat dan pembentukan unsur-unsur itu. Dengam memahami ke
dua unsur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah studi
atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai
anggota masyarakat. Dapat pula dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang
mempelajari atau mambahas aspek-aspek kemasyarakatan, khususnya
perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan
factor-faktor kemasyarakatan sosial (Nababan, dalam Yusriandi, 2010:6)). Selain
itu, Kridalaksana (dalam Pateda, 1992: 2 (dalam Yusriandi, 2010:7) mengetakan
bahwa sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang berusaha menjelaskan
ciri-ciri variasi bahasa dengan ciri sosial. Pendapat ini sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Fishman (dalam Supriyanto, 1991:9 (dalam
Yusriandi, 2010:7)) bahwa dalam sosiolinguistik lazim dibatasi sebagai ilmu
yang mempelajari cirri-ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa. Booji
(dalam Pateda, 1992:3 (dalam Yusriandi, 2010:7)) mengatakan bahwa
sosiolinguistik yang mempelajari factor-faktor sosial yang berperan dalam
pemakaian bahasa dan berperan dalam pergaulan. Kemudian menurut Appel (dalam
Pateda, 1992:2 (dalam Yusriandi. 2010:7))mengatakan bahwa sosiolinguistik
adalah ilmu yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks soaial
dan budaya. Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli sosiolinguistik
tersebut di atas maka dapat di simpulkan bahwa osiolinguistik adalah salah satu
cabang ilmu linguistik yang memepelajari bahasa dan pemakaiannya dalam
masyarakat tertentu berdasarkan konteks sosial dan budaya yang dianut oleh
masyarakat tersebut.
2.1.1
Aspek-Aspek Sosiolinguistik
Penggunaan
bahasa terbagi atas dua yaitu kegiatan yang bersifat aktif dan yang bersifat
psif. Kegiatan bahasa bersifat aktif meliputi berbicara dan menulis, sedangkan
kegiatan yang bersifat pasif meliputi mendengarkan dan membaca. Sehingga
beragam-ragam tingkah laku manusia sehubungan dengan bahasa. Bagaiman interaksi
antara ke dua aspek tingkah laku manusia ini (berbicara dan membaca), inilah
yang menjadi urusan sosiolingistik. Berdasarkan definisi yang dikemukakan di
atas, sosiolinguistik dapat dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Mikro
sosiolinguistik yang berhubungan dengan kelompok kecil misalnya tegur sapa.
2. Makro
sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah perilaku bahasa dan struktur
sosial. Dalam makna sosiolinguistik ada yang dapat digolongkan ke dalam
persoalan pokok, yaitu:
1. Tentang
profil sosiolinguistik, yakni bagaimaba keanekaragaman bahasa mencerminkan
keanekaragaman sosial yang bersiafat statistic.
2. Dianamika
sosiolinguistik yang diusahakan dengan mencari cirri-cirinya terhadap berbagai
jenis sosiolinguistik.
2.1.2 Kajian
Sosiolinguistik Sosiolinguistik lazim dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari
ciri dan fungsi berbagai varias bahasa serta hubungannya diantara bahasawan
dengan cirri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa. Fishman (dalam
Supriyanto, 1990:9 (dalam Yusriandi,2010:8)) mengatakan bahwa sosiolinguistik
tidak memusatkan perhatian pada sosial tingkah laku sikap bahasa, tingkah laku
nyata terhadap terhadap bahasa dan pemakaian bahasa. Di dalam tindakan bahasa
pada hakikatnya seorang penutur telah mengambil keputusan untuk memilih suatu
variasi tertentu berupa bentuk-bentuk linguistic. Pengambilan keputusan
ditentukan oleh berbagai factor yakni: jarak sosial, situasi dan topik
pembicaraan, Tanner (dalam Supriyanto,1990:9 (dalam Yusriandi,2010:8)). Jarak
sosial dapat dilihat dari sudut vertical dan horizontal. Dimensi vertical akan
menunjukkan seseorang itu berada di atas atau di bawah (berkedudukan tinggi
atau rendah). Dimensi sosial ini misalanya kelompok, umur, kelas, dan status
perkawinan. Sedangkan dimensi horizontal menunjukkan kontinum akrab. Misalnya
derajat persahabatan, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, dan jarak tempat
tinggal. Tinjauan sosiolinguistik lainnya adalah bahwa bahasa memungkinkan
penuturnya fleksibel dalam memainkan berbagai hubungan peran sewaktu
berkomunikasi. Penutur senantiasa membatasi diri pada norma-norma hubungan
peran denagan memilih ragam bahasa tertentu. Inilah yang menjadi objek
sosiolinguistik yakni siapa yang bertutur kata, bahasa apa, kepada siapam dan
tentang apa. Sebagai kesimpulan dapat disebutkan bahwa masyarakat itu diikat
oleh bahasa, sebab dengan bahasa seseorang bias bersosialisasi. Cooer (dalam
Alwasilah, 1992:2 (dalam Yusriandi, 2010:9)) menjelaskan: Kita dapat
berkomunikasi dengan seseorang hanya karena bersama kita memiliki sepengakat
cara bertingkah laku yang tersepakati. Bahasa ialah merupakan milik satu
kelompok sosial, seperangkap aturan yang mutlak diperlukan yang memungkinkan
anggotanya berhubungan satu sama lain: bahasa daerah adalah satu lembaga
soaial.
2.2 Sapaan
Sapaan berasal dari kata “sapa” yang berarti perkataan untuk menegur (menegur,
bercakap-cakap, dan sebagainya), kemudian mendapat akhiran-an menjadi “sapaan”
yang berarti ajakan untuk bercakap; terugar; ucapan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (dalam Yusriandi, 2010:10). Jadi pengertian sapaan adalah seperangkat
kata-kata atau ungkapan yang dipakai untuk menegur dan memanggil para pelaku
dalam peristiwa bahasa. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan definisi kata
sapaan antara lain Kridalaksana (dalam Alisa, 1998:13) mengatakan bahwa semua
bahasa mempunyai alat yang disebut sistem tutur sapa, yakni yang mempertautkan seperangkat
kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para
pelaku dalam sistem tutur sapa disebut kata sapaan. Kridalaksana (dalam La
Indonesia, 2009:153) mengemukakan bahwa sistem sapaan adalah seperangkat kata
atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memenggil para pelaku
dalam suatu peristiwa bahasa yang sangat ditentukan oleh aspek-aspek sosial,
seperti dialek (regional/sosial) variasi sistuasi, sifat hubungan diantara
pelaku seperti akrab,biasa formal, dan resiprokal. Braun (dalam La ino,
2009:153) mengungkapkan sistem sapaan sebagai perangkat kata dan frasa yang
digunakan untuk penyapa yang mengacu pada kalektor dan mengandung deiksis yang
kuat. Sistem sapaan tersebut dapat terdiri atas tiga kelas, pronominal nama
diri, nomina istilah kekerabatan, nomina istilah kasih saying, honorifik dan
sufiks-sufiks. Infektif dalam verba yang memiliki sejumlah varian dalam setiap
bahasa dan secara detail menandai perbedaan da;\lam usia, jenis kelamin, status
soaial refleksi norma dan nilai budaya. Sistem sapaan dalam memusatkan
perhatian pada pantingnya usia tiap-tiap budaya suatu bahasa. Menurut Nababan
(dalam Niluh, 2010: 23-24)), bahasa sapaan adalah alat seorang pembicara untuk
mengatakan sesuatu kepada orang lain. Sapaan itu akan mrujuk kepada orang yang
diajak bicara pada perhatiannya kepada pembicara. Di samping itu, Nababan
mengemukakan pula perbedaan kelas dalam suatu masyarakat menimbulkan pronominal
yang asimetris yang menunjukkan bahwa salah satu pembicaranya memiliki lebih
banyak kekuasaan daripada yang diajak bicara sehingga mereka berhak menggunakan
itu untuk lawan bicaranya. Kridalaksana (dalam Darjon, 2003:11) sapaan adalah
morfem, kata atau frasa yang digunakan untuk saling merujuk dalam situasi
pembicaraan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antar pembicara itu. Pada
buku lain Kridalaksana mengatakan bahasa bentuk sapaan adalah seperangkat
kata-kata atau ungakapan yang dipakai untuk menyebutkan dan memanggil para
pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Para pelaku tersebut adalah pembicara
(pelaku pertama) yang selanjutnya disebut penyapa, yang di ajak bicara (pelaku
ke dua) selanjutnya disebut dalam pembicaraan (pelaku ke tiga). Bertolak dari
pendapat ahli tersebut, maka dapat disimpulkan batasan tentang pengertian
sapaan, bahwa sapaan adalah seperangkat kata-kata atau ungkapan yang dipakai
untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam peristiwa bahasa, sistem sapaan
yang dipakai ditentukan oleh umur, jenis kelamin, kedudukan, hubungan keluarga,
situasi, keakraban, dan topic pembicaraan antara penyapa dengan yang disapa.
2.3 Dimensi
Kata Sapaan Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan kata sapaan,
harus dilihat bebera factor yang berhubungan dengan kata pesapa itu sendiri.
Pesapa itu muncul dari situasi pembicara dan pendengar. Dalam uraian
selanjutnya pembicara disebut penyapa, sedangkan lawan bicara (pendengar)
disebut pesapa. Beberapa para ahli bahasa menggolongkan kata sapaan ke dalam
kata ganti. Kata itu sendiri merupakan salah satu fenomena sosiolinguistik yang
merupakan salah satu dari bidang linguistik. Pada waktu sedang bernbicara
kepada pesapa, akan dilihat siapa mereka itu. Hubungan yang bagaimana antara
pesapa dan penyapa. Hubungan kekerabatan, mislanya anak dan orang tuanya atau hubungan
atasan dan bawahan, dan hubungan teman biasa. Hubungan itu pula dapat
ditentukan dari segi usia, pesapa yang muda kepada pesapa tua atau sebaliknya,
baik pesapa maupun yang disapa sebayam atau hubungan antara pesapa dan yang
disapa ditentukan oleh jenis kelamin yang berbeda. Ada beberapa pendapat yang
mengemukakan dimensi kata sapaan atara lain,kridalaksana (dalam Nasution,
1988;7(daam Yusriandi, 2010)) mengatakan bahwa semua bahasa mepunyai apa yang
disebutsistem tutur sapa, yakni siste yang mempertautkan seperangkat kata-kata
atau ungkapan – ungkapan yang dipakaiuntuk menyebiut dan memanggil para pelaku
dalam sistem tutur sapa disebut kata sapaan. Kridalaksana juga meneliti sapaan
dalam berbahasa Indonesia. Dalam urainnya, kridalaksana mengemukakan beberapa
kata sapaan,yakni kata ganti (engkau, kamu, kita, dan sebagainya), nama diri
(nama yang terlihat dalam suatu percakapan), gelar dan pangkat( dokter, suster,
jendral, dan lain-lain),bentuk ferbal ( pembaca, pendengar, penonton, dan
sebagainya),bentuk nominal lain + ku( tuhanku, kekasihku, dan lain-lain), kata
deiksis ( situ, sini), nominal lain (tuan, nyonya, nona, dan sebagainya), dan
tampa kata sapaan disebut zero. Sudtono (dalam M.Nasution, 1988: 7 (dalam
Yusriandi, 2010:12)) memberikan gambaran itu dalam bentuk pronominal yang
dipakai dalam suatu pembicaraan dari penyapa kepada pesapa dalam hubungan
kondisi atau situasi tertentu. Dalam uraian itu, Sudtono meberikan beberapa
contoh dari beberapa bahasa daerah. Berdasarkan contoh yang diberikan terlihat
bahwa perbedaan kelas kata dalam suatu masyarakat akan terdapat siatem
pronominal yang sistematik antara pembicara yang satu dengan yang lain. Selain
itu, jika dari sudut hubungan teman dan situasi tertentu, pada situasi dan
kondisi tertentu kata sapaan yang lain muncul. Kata sapaan dapat di ukur dari
jarak hubungan penyapa dan pesapa, ada yang hubungan vertical dan ada yang
hubungan horizontal. Hubungan vertical menunjukkan berapa jauh hubungan penyapa
dan pesapa sebagai lawan bicara, hubungan horizontal menunjukkan tingkat
kekerabatan penyapa dan pesapa. Kedua dimensi tersebut mengakibatka banyaknya
variasi sapaan yang dijumpai dalam pemakaiannya pada suatu masyarakat tertentu.
2.4 Sistem
Sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk totalitas, teori asas dan sebagainya metode (Depdikbud (dalam
Yusriandi, 2010:13)). Sistem yang dimaksud adalah seperangkat unsur sapaan
bahasa yang secara teratur saling berkaitan, yang tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya.
2.4.1 Sapaan
dalam Keluarga Sapaan dalam keluarga adalah kata sapaa yag digunakan untuk
menyapa orang-orang atau anak-anak yang masih mempunyai hubungan persaudaraan
langsung maupan persaudaraan tidak langsung. Persaudaraan langsung adalah
persaudaraan yang disebabkan oleh sislsilah keturunan, misalnya kakek, nenek,
ayah, ibu, anak, dan cucu. Bagaimana cara menyapa orang-orang tersebut.
Tentunya disesuaikan fungsi dan peran antara pembicara dan lawan bicara
(Suherman, www.mycityblogging.com).
2.4.2 Sapaan
di Luar Keluarga Sapaan di luar keluarga biasa disebut pula sapaan dalam
masyarakat. Sapaan dalam masyarakat adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa
orang-orang yang tidak empunyai hubungan keturunan atau sapaan terhadap sesama
warga dalam masyarakat (Kundharu Saddhon, Kundharu.staff.uns.ac.id).
2.5 Sapaan
Bahasa adalah alat penghubung atau komunikasi anggota masyarakat yaitu
individu-individu sebagai manusia yang berpikir merasa dan berkeinginan
pikiran, perasaan dan keinginan baru terwujud bila dinyatakan, adan alat untuk
menyatakan itu adalah bahasa, Badudu (dalam Yusriandi, 2010:14). Di sisi lain
Fiochiato (dalam Alwasila, 1992:2 ( dalam Yusriandi, 2010:14))erpendapat bahwa
bahasa adalah suatu sistem symbol vocal yang arbitrer memungkinkan semua orang
dalam suatu kebudayaan tersebut untuk berkomunikasi atau berinteraksi.
2.5.1
Penggunaan Bahasa Bahasa adalah suatu sistem tanda yang berhubungan dengan
lambing bunyi-bunyi suara dan digunakan oleh suatu kelompok masyarakat untuk
berkomunikasi dan bekerja sama, Berber (dalam Sibarani,1992:2 (dalam Yusriandi,
2010:14). Bahasa dalah sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan
alat-alat ucap) yang bersifat sewenag-wenang dan konvensionl yang dipakai
sebagai alat komuikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Depdikbud (dalam
Yusriandi, 2010:14)). Ahli lain mengemukakan bahwa dapat pula didefinisikan
sebagai sistem simbol-simbol ujaran yang arbitrer yag digunakan oleh anggota
masyarakat sebagai alat untuk berinteraksi sesuai dengan keseluruhan pola
budaya (Trager dalam Yusriandi, 2010:14-15). Dalam kamus linguistic dikemukakan
bahwa bahasa adalah sistem lambing yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.
2.5.2
Tingkat Bahasa Perbedaan dalam tingkatan kedudukan dan usia dinyatakan dengan
pemakaian kata yang lebih atau kurang “tinggi” (hormat) dan pengucapan kalimat
dan nada yang dipergunakan (Kats,dkk dalam Yusriandi, 2010:15). Senada denga
pendapat di atas Kats, dkk juga mengemukakan du hal yang harus dibedakan yaitu:
1.Ucapan
atau tulisan terhadap seseorang yang lebih, sama atau kurang dalam tingkat
kedudukan atau usia.
2.Ucapan
atau tulisan tentang seseorang yang lebih, sam atau kurang. Dalam hal yang
pertama harus diingat adanya perbedaan dalam kedudukan, tingkat, dan usia
antara pembicara dan lawan bicara. Dlam hali yang ke dua, masih harus
diperhatikan hubungan yang baik dari pembicara maupun lawan bicara terhadap orang
yang dibicarakan. Pembicara dan lawan bicara harus menyadari atau harus tah
benar akan kedudukannya pada waktu berinteraksi. Ragam bahasa yang akan dipilih
oleh oseseorang dalam suatu pembicaraan ditentukan oleh topik pembicaraan,
tempat berbicara, bagaiman penilaian seorang pembicara terhadap dirinya dalam
hubungan dengan lawan bicaranya tersebut. Mengenai topik pembicaraan, tentu
banyak pula ragamnya, ada seorang pembicara yang mempunyai topik terbatas ada
juga yang menguasai macam-macam topik. Orang terbatas pembicaraannya tentulah
terbatas pula penggunaanragam bahasa dan sebaliknya. Tempat pembicaraan terjadi
mempengaruhi ragam bahasa yang dipakai biasanya merupakan suatu lembaga. Rumah
tangga sebagai suatu lembaga membawa orang memilih ragam bahasa tertentu dalam
berbicara. Lembaga-lembaga yang lain dapatlah disebut sekolah, rumah ibadah,
kantor-kantor, dan pasar. Stuasi pembicaraan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
situasi resmi dan situasi tidak resmi. Resmi atau tidak resminya pembicaraan
ditentukan oleh situasi dan tepmat dimana berlangsungnya pembicaraan itu. Dalam
pembicaraan yang bersifat resmi seperti di kantor lurah di depan orang banyak,
digunakan sapaan yang tidak berlaku di lingkungan keluarga.
BAB III
METODE DAN
TEKNIK PENELITIAN
3.1 Metode dan Jenis Penelitian
3.1.1 Metode
Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
preskriftif. Penggunaan metode ini bertujuan untuk melihat (benar-salah) hasil
penelitian secara rinci dan mendalam sesuai dengan penentuan bahasa yang
diteliti. Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini terutama dalam
hubungan langsung dengan pengumpulan data, pengkajian data, dan penjyajian data
dalam laporan penelitian.
3.1.2 Jenis Penelitiaan Penelitian ini
termasuk penelitian lapangan, karena data yang diperoleh adalah data lisan yang
diperoleh di lokasi penelitian.
3.2 Data dan
Sumber Data
3.2.1 Data
Penelitian ini menggunakan data lisan. Data lisan berupa tuturan yang
dituturkan oleh penutur asli bahasa Muna yang bermukib di Desa Wakorambu
Kecamatan Bata Laiworu. Desa Wakorambu dipilih menjadi tempat penelitian,
karena beberapa alas an sebagai berikut ini. 1.Penuturan bahasa Muna di Desa
Wakorambu masih tergolong murni dalam arti belum terkontaminasi oleh bahasa
daerah lain yang ada di Sulawesi Tenggara. 2.Meskipun dekat dengan kota tetapi
Desa Wakorambu masih merupakan salah satu daerah kampong yang mayoritas
penduduknya adalah petani. Yang memiliki sistem pemerintahan seperti desa-desa
lain, hal ini mengindikasikan bahwa ada kebudayaan tentang sapaan dalam
berbahasa dan budaya tersebut sampai sekarang masih dipertahankan Dari lokasi
penelitian inilah peneliti akan memperoleh data untuk bahan penkajian variasi
bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna. Data yang akan digunakan dalam
pengkajian variasai bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna ini adalah data
lisan (rekaman) dan data verifikasi. Data verifiksi maksudnya adalah berupa
data tuturan-tuturan bahasa Muna yang dibuat oleh peneliti sesuai dengan
kriteria variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna atau tidak,
kemudian diverifikasikan kepada informan (penutur asli) untuk menentukan
keabsahannya. Hal ini akan dilaksanakan karena peneliti termasuk penutur asli
bahasa Muna. 3.2.2 Sumber Data Data yang akan digunakan dalam penelitian ini
yaitu data yang diperoleh dari sejumlah masyarakat Muna yang termasuk penutur
asli bahasa Muna yang bermukin di Desa Wakorambu, mereka adalah petani, tokoh
masyarakat di bidang agama dan adat istiadat, orang-orang yang berpendidikan,
anak-anak dan orang tua serta dalam lingkungan keluarga. Penelitian ini akan
berlangsung selama tiga bulan dari tanggal 10 Agustus sampai tanggal 10 Oktober
2012. Penentuan informasi berdasarkan criteria berikut ini:
1)Penutur asli bahasa Muna yang bermukim di
lokasi penelitian.
2)Menetap
dilokasi penelitian.
3)Sadar dan
memahami permasalahan peneliti.
4)Komunikatif.
5)Memiliki
artikulasi yang baik.
3.3 Metode
dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini akan
menggunakan metode cakap dan simak. Tekniknya adalah teknik rekam dan teknik
catat. Dalam pengumpulan data peneliti akan melakukan percakapanlangsung dengan
informan. Selama percakapan berlangsung peneliti akan merekam tuturan-tuturan
berupa variasi bentuk sapaan dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna dengan
menggunakan recorder dan akan mencatat tuturan-tuturan tersebut yang dianggap
berhubungan dengan masalah peneliti. Teknik rekaman akan digunakan dengan
pertimbangan bahwa data yang diteliti adalah data lisan. Selain itu dalam
pengumpulan data, peneliti akan melakukan pengamatan (metode simak) pada
penutur-penutur bahasa Muna dalam berkomunikasi. Selama pengamatan peneliti
tidak perperan langsung dalam diaolog-dialog yang terjadi. Kehadiran peneliti
hanyalah sebagai pengamat (pasif), kemudian akan merekam atau mencatat
tuturan-tuturan berupa variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan yang berhubungan
dengan variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan. Setelah data terkumpul, peneliti
juga akan menggunakan teknik introspeksi melalui teknik elisitas (Djajasudarman
(dalam Konisi, 2001:37). Teknik ini akan digunakan dengan alas an bahwa
peneliti juga termasuk penutur asli bahasa Muna. 3.4 Metode dan Teknik Analisis
Data Metode yang akan digunakan adalam menganalisis data adalah metode
preskriftif yakni menguraikan dan menginterpretasikan data berdasarkan apa yang
ditemukan dalam penelitian. Analisis data akan dilakukan menggunakan pendekatan
sosiopragmatik, sebuah pendekatan yang menelaah tuturan yang dikaitkan dengan
kondisi tertentu, kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat yang memakai bahasa yang
berbeda yang dikaitkan dengan variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa
Muna. Analisis data akan dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut ini.
1.Identifikasi
data, maksudnya data yang sudah ada diberi kode sesuai permasalahan peneliti.
2.Klasifikasi data adalah mengklasifikasikan data berdasarkan permasalahan
peneliti. 3.Interprestasi, maksudnya adalah suatu proses data yang telah
diklasifikasikan.
4.Deskripsi
data, maksudnya data yang sudah diklasifikasikan kemudian di interpretasikan,
dirumuskan menjadi sebuah kesimpulan setiap pokok permasalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar