BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Pelaksanaan pembangunan
di Indonesia sebenarnya sudah sejak semula diarahkan untuk mewujudkan
pemerataan. Sebagaimana dikemukakan oleh GBHN, hakekat pembangunan nasional
Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
seluruh masyarakat Indonesia. Untuk mewujudkan hakekat pembangunan nasional
tersebut, Indonesia kemudian menetapkan Trilogi Pembangunan, yang menjadikan
pemerataan sebagai prioritas utamanya.
Mewujudkan pemerataan
ternyata tidak mudah, usaha pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi
ternyata menimbulkan masalah baru, kesenjangan perekonomian Indonesia justru
cenderung semakin lebar. Perbandingan tingkat pendapatan antara penduduk
termiskin dengan penduduk terkaya cenderung semakin meningkat. Revrisond
Baswir, dalam Gunawan Sumodiningrat (1998), menjelaskan sebagai berikut : mewujudkan pemerataan ternyata tidak semudah
memacu pertumbuhan ekonomi. Ketika laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak
awal Pelita I dapat dipacu dengan rata-rata 6,5 persen pertahun, kesenjangan
perekonomian Indonesia justru cenderung semakin lebar. Perbandingan tingkat
pendapatan antara 10 persen penduduk termiskin dengan 10 persen penduduk
terkaya cenderung meningkat. Bila pada tahun 1970 perbandingan antara kedua
golongan pendapat tersebut masih sekitar 1 berbanding 65, maka pada tahun 1995
meningkat menjadi 1 berbanding 87.”
Memperhatikan kenyataan
tersebut, dapat diketahui betapa seriusnya masalah kesenjangan yang dihadapi
Indonesia. Padahal, selain menghadapi kesenjangan, Indonesia juga masih
menghadapi masalah kemiskinan absolut yang tidak kalah seriusnya. Walaupun
pemerintah sebelum tahun 1998, menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin telah
dapat dikurangi dari tahun ke tahun, akan tetapi sebenarnya standar yang
digunakan oleh pemerintah sebagai batas garis kemiskinan, tergolong sangat
rendah. Gunawan Sumodiningrat (1998) menjelaskan, bahwa batas garis kemiskinan
yang dipakai oleh pemerintah Indonesia sangat rendah, yaitu hanya Rp 900,-
perorang perhari untuk masyarakat pedesaan dan Rp 1300,- perorang perhari untuk
masyarakat perkotaan. Dengan standar garis kemiskinan tersebut maka jumlah
penduduk miskin telah dapat dikurangi dari 60 persen pada tahun 1970 menjadi 12
persen pada tahun 1995. Apabila garis kemiskinan dinaikkan menjadi Rp 1300,-
perorang perhari, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia kembali akan
membengkak jumlahnya. Kondisi tersebut berdasarkan perhitungan pada tahun 1996,
di saat Indonesia belum mengalami krisis moneter dan ekonomi pada tahun 1998.
Di mana uang sejumlah Rp 900,- ataupun Rp 1300,- masih layak untuk memenuhi
kebutuhan paling dasar manusia, makan dan minum dengan kualitas yang minimal.
Pada tahun 2003 ini di
saat Indonesia masih mengalami kondisi perekonomian yang tidak menguntungkan,
tentunya standar garis kemiskinan perlu dirumuskan kembali, yang membawa akibat
jumlah masyarakat miskin di Indonesia semakin besar jumlahnya. Kedua persoalan
tersebut mutlak dilakukan cara-cara penanggulangan. Padahal, saat ini bangsa
Indonesia harus sudah bersiap-siap menyongsong era keterbukaan ekonomi atau
liberalisasi perdagangan. Dalam mengantisipasi era yang akan ditandai oleh
meningkatnya persaingan ekonomi antar negara ini, bangsa Indonesia harus
mencurahkan segenap daya dan upayanya guna mensejajarkan diri dengan
negara-negara lain yang sudah lebih maju perekonomiannya. Tekad tersebut tentu
akan menghadapi banyak kendala apabila pada saat yang sama tidak segera diambil
langkah-langkah yang konkret untuk menanggulangi kesenjangan dan kemiskinan.
Sehingga perlu dirumuskan langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan untuk
membangun perekonomian rakyat di tengah-tengah tantangan era keterbukaan
ekonomi tersebut.
Dengan liberalisasi
perdagangan, sektor perdagangan memang diperkirakan akan tumbuh dengan pesat.
Hal ini tentu akan memacu penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan.
Tapi bangsa Indonesia harus menyadari, bahwa rakyat Indonesia seharusnya jangan
hanya menjadi pekerja saja. Karena dengan hanya menjadi pekerja saja, rakyat
tidak akan mendapatkan keuntungan maksimal dari liberalisasi perdagangan
tersebut. Selain itu bangsa Indonesia juga jangan membiarkan modal dan
teknologi terus dikuasai oleh negara-negara lain. Yang perlu diperhatikan
bangsa Indonesia adalah terus mendorong dan memberi peluang kepada segenap
warga negara Indonesia agar dapat berperan dan mengambil manfaat semaksimal
mungkin dalam kancah perdagangan bebas tersebut.
Penduduk miskin dapat
didefinisikan berdasarkan berbagai kriteria yang menggambarkan kondisi serba
kekurangan. Bahkan sampai pada tingkatan kebutuhan yang paling dasar yaitu
kebutuhan akan pangan. Akibat krisis multidimensional yang dialami bangsa
Indonesia, ternyata jumlah masyarakat yang tidak mampu memenuhi standar hidup
layak semakin meningkat. Kondisi rawan pangan melanda sebagian rakyat
Indonesia, baik di wilayah perkotaan maupun wilayah pedesaan. Apabila kondisi
rawan pangan tidak segera diatasi, maka pada gilirannya kestabilan pemerintahan
akan goyah. Hal ini telah ditangkap oleh para pengambil kebijakan di level
pemerintahan, sehingga untuk menjaga kestabilan pemerintahan kondisi rawan
pangan harus segera diatasi. Oleh karena itu melalui dana APBN dan Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM, selagi mengalami krisis ekonomi
berkepanjangan salah satu sektor yang didanai adalah mencukupi kebutuhan dasar
manusia untuk rakyat miskin yaitu program bantuan beras miskin (RASKIN).
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEMISKINAN DAN KEBODOHAN
Kemiskinan merupakan
masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, yang berkaitan dengan
aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Kemiskinan ditandai dengan
keterisolasian, keterbelakangan, kebodohan dan pengangguran, yang kemudian
meningkat menjadi ketimpangan antar daerah, antar sektor, dan antar golongan
penduduk. Kemiskinan timbul karena ada sebagian daerah yang belum sepenuhnya
tertangani, ada sebagian sektor yang harus menampung tenaga kerja secara
berlebih dengan tingkat produktivitas yang rendah, dan ada pula sebagian
masyarakat yang belum ikut serta dalam proses pembangunan sehingga belum dapat
menikmati hasilnya secara memadai.
Kemiskinan pada umumnya
diukur dengan rendahnya tingkat pendapatan. Mengenai kemiskinan Gunawan
Somodiningrat (1998:26) menjelaskan sebagai berikut : “Kemiskinan dibedakan
dalam kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sedangkan berdasarkan
penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan dalam tiga pengertian : kemiskinan
natural (alamiah), kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural. Dikatakan
kemiskinan absolut apabila tingkat pendapatan berada di bawah garis kemiskinan,
atau pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.
Kebutuhan hidup minimum tersebut dapat diukur dengan kebutuhan pangan, sandang,
kesehatan, perumahan, dan pendidikan, yang diperlukan untuk bisa hidup dan
bekerja. Kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok masyarakat
dengan tingkat pendapatan sudah di atas garis kemiskinan. Sehingga, sebenarnya
sudah tidak termasuk miskin, tetapi masih lebih miskin dibandingkan dengan
kelompok masyarakat lain. Dengan ukuran pendapatan, keadaan ini dikenal dengan
ketimpangan dalam distribusi pendapatan antargolongan penduduk, antarsektor
kegiatan ekonomi maupun ketimpangan antardaerah. Kemiskinan natural adalah
keadaan miskin, karena dari asalnya memang miskin. Kelompok masyarakat ini
miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik sumber daya alam,
sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, sehingga mereka tidak dapat
ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapatkan imbalan pendapatan yang
rendah. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan hasil
pembangunan yang belum seimbang, termasuk jenis kemiskikan ini adalah
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sedangkan kemiskinan kultural adalah
mengacu pada sikap hidup seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya
hidup, kebiasaan hidup dan budayanya, di mana mereka sudah merasa kecukupan dan
tidak merasa kekurangan. Kelompok ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi
dalam pembangunan, tidak mudah untuk melakukan perubahan, menolak untuk
mengikuti perkembangan, dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki kehidupannya.
Akibatnya, tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai umum.
Dengan ukuran absolut, misalnya tingkat pendapatan minimum, mereka dapat
dikatakan miskikn. Tetapi mereka tidak merasa miskin dan tidak mau disebut miskin.
Dengan keadaan seperti ini, bermacam tolok ukur dan kebijakan pembangunan sulit
menjangkau mereka”.
Sejalan dengan pendapat
di atas, cara yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah
berdasarkan tingkat pendapatan dan konsumsi dari seseorang, seperti dijelaskan
oleh Bank Dunia sebagai berikut: “A person is considered poor if his or her
consumption or income level falls below some minimum level necessary to meet
basic needs. This minimum level is usually called the “poverty level” (http//www.worldbank.org
/poverty/mission/up2.htm). Penjelasan Bank Dunia tersebut mengisyaratkan bahwa
setiap negara mempunyai standar sendiri-sendiri mengenai kemiskinan, karena
tingkat kebutuhan dasar pada negara yang berbeda diperlukan pengorbanan yang
berbeda pula untuk emperolehnya. Namun demikian Bank Dunia lebih lanjut
menetapkan ukuran standar yang digunakan secara umum untuk menentukan
kemiskinan yaitu seseorang yang pengeluaran sehari-harinya berkisar antara $1
sampai $2.
Penduduk miskin umumnya
berpendidikan rendah. Sumber penghasilan utamanya dari kegiatan pertanian dan
kegiatan ekonomi informal yang tidak cukup memberikan penghasilan, dan terpusat
di kantung kemiskinan seperti di daerah pedesaan, daerah terbelakang, daerah
dengan penduduk padat, daerah terpencil dan terisolasi, daerah kritis, daerah
pasang surut, dan daerah lain yang mengalami permasalahan khusus seperti daerah
bencana.
Penduduk miskin memiliki
tingkat pendidikan yang rendah atau dengan kata lain mereka masih berada pada
tingkat kebodohan yang tinggi, di samping tidak memiliki keahlian. Padahal
hanya dengan modal pendidikan yang memadai mereka akan mampu mengakses peluang
yang ada. Apabila negara tidak memperhatikan kebutuhan pendidikan dan keahlian
bagi rakyat miskin, maka pada gilirannya tingkat pengangguran akan semakin
tinggi. Perlu adanya pengambilan kebijakan di bidang pendidikan yang
benar-benar membantu penduduk miskin lepas dari kebodohan. Penduduk miskin juga
memiliki keterbatasan akses kepada kegiatan ekonomi yang pada akhirnya dapat
menghambat pengembangan kegiatan ekonomi mereka, serta membatasi peran serta
mereka dalam kegiatan pembangunan.
Penjelasan di atas
menginformasikan bahwa masyarakat miskin mengalami kesulitan untuk akses pada
kegiatan ekonomi, mereka diperlakukan tidak sama dengan masyarakat yang
memiliki tingkat ekonomi lebih baik, padahal sering terjadi justru para
pengusaha besarlah yang tidak jarang melakukan pelanggaran dalam soal kredit.
B. STRATEGI PEMBANGUNAN UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN
Salah satu program pembangunan
bangsa Indonesia adalah pembangunan masyarakat pedesaan. Pembangunan masyarakat
pedesaan patut diperhatikan oleh pemerintah yang telah mencanangkan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, seperti tercantum pada trilogi pembangunan.
Dalam rangka merealisasikan tujuan pembangunan nasional tersebut, maka
pemerintah selanjutnya menetapkan suatu kebijakan pembangunan, bahwa titik
berat pembangunan perlu diarahkan ke masyarakat pedesaan, karena sebagian besar
penduduk Indonesia bertempat tinggal di pedesaan (Biro Pusat Statistik,
1991:23), dan seperti telah dijelaskan di atas, pedesaan termasuk kantung
kemiskinan. Oleh karena itu pembangunan dan kebijakan pembangunan merupakan
landasan yang kuat bagi masyarakat pedesaan untuk tumbuh dan berkembang atas
kekuatan sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Pembangunan ekonomi
rakyat dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan, tidak
dapat dicapai hanya dengan mengandalkan strategi petumbuhan saja. Telah
terbukti bahwa dampak kebijakan yang hanya mengandalkan pertumbuhan saja,
justru semakin memperlebar jurang kesenjangan. Karena itulah strategi
pembangunan ekonomi bangsa Indonesia bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang
menempatkan salah satu arahnya adalah pemerataan hasil-hasil pembangunan. Yang
masih memerlukan pembahasan secara mendalam adalah, apakah upaya-upaya
pemerataan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan pembangunan sudah
dilandasi prinsipkeadilan. Prinsip keadilan dalam pemerataan pembangunan
menjadi sangat penting, karena akan dapat mempercepat pencapaian tujuan
masyarakat adil dan makmur.
Dengan demikian
pembangunan yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam rangka mewujudkan
pemerataan yang berkeadilan adalah pembangunan yang berpihak kepada kepentingan
rakyat banyak. Sebagian besar rakyat Indonesia tinggal di pedesaan dengan
kondisi perekonomian yang masih perlu mendapatkan uluran pemerintah, oleh
karena itu upaya untuk pengembangan ekonomi rakyat maka pembangunan perlu
diarahkan ke tingkat pedesaan.
Tujuan pembangunan dapat
tercapai apabila dimulai dari jenjang wilayah yang terendah yaitu pembangunan
di tingkat desa. Keberhasilan pembangunan desa merupakan indikator keberhasilan
pembangunan nasional, seperti yang dikatakan oleh Taliziduhu Ndraha (1983:14)
bahwa pembangunan nasional dijabarkan menjadi pembangunan sektoral, pembangunan
regional (daerah) dan pembangunan desa. Pembangunan desa juga memungkinkan
terjadinya pemerataan hasil-hasil pembangunan yang selanjutnya akan tercapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan
tercapainya stabilitas wilayah yang sehat dan dinamis. Hal ini sesuai dengan
pernyataan C.S.T Kansil (1984:243) berikut ini: “Keberhasilan pembangunan Desa
akan memungkinkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya bagi terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan
stabilitas wilayah yang sehat dan dinamis”.
Kalau dilihat lebih jauh
ke belakang lagi ternyata perhatian pemerintah terhadap perkembangan desa sudah
dilakukan semenjak Indonesia mengawali kemerdekaanya, namun sosok strategi
pembangunan desa sering kali mengalami perubahan. Hal ini memanifestasikan,
bukan hanya proses pencarian strategi pembangunan desa yang dipandang paling
efektif untuk suatu kurun waktu tertentu, akan tetapi juga merefleksikan
pengaruh strategi pembangunan nasional pada tingkat makro yang dianut dalam
kurun waktu tertentu. Dengan demikian dari waktu ke waktu dapat dikenal
berbagai variasi strategi pembangunan desa.
Belenggu kemiskinan menyebabkan
masyarakat desa tidak ikut berpartisipasi dalam pembangunan desanya, mereka
hanya sibuk dalam memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya. Sementara itu
keberhasilan pembangunan pada skala nasional maupun regional, tidak banyak
mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga tolok ukur keberhasilan pembangunan di
Indonesia selama ini sebenarnya baru dalam angka saja, yang sebenarnya belum
dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Supaya masyarakat miskin dapat
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan, perlu adanya upaya pemberdayaan
terhadap mereka.
C. BERAS MAKANAN POKOK MASYARAKAT INDONESIA
Seluruh program
pembangunan akan dapat berlangsung apabila negara dalam kondisi stabil.
Sementara itu stabilitas nasional sangat tergantung kepada ketenteraman
masyarakat. Kondisi masyarakat yang tenteram akan sangat mendukung perkembangan
perekonomian nasional. Salah satu pendukung stabilitas nasional adalah
tercukupinya persediaan pangan bagi masyarakat. Karena pangan merupakan
kebutuhan manusia yang paling dasar, sehingga apabila rawan pangan akibat
krisis multidimensional dapat diatasi, maka sedikit banyak akan mendukung
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Perlu diketahui bahwa
sebagian besar bahan pangan pokok bagi sekitar 90 persen penduduk Indonesia
adalah beras. Hal ini tidak mengherankan, Made Astawan (2002) menjelaskan bahwa
beras mengandung beberapa jenis zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia. Di samping mengandung karbohidrat sebagai sumber tenaga, ternyata
beras juga menyumbang antara 40-80 persen protein. Bahkan lebih lanjut
dijelaskan bahwa gabah tersusun dari 15-30 persen kulit luar (sekam), 4-5
persen kulit ari, 12-14 persen katul, 65-67 persen endosperm dan 2-3 persen
lembaga. Lapisan katul paling banyak mengandung vitamin B1. Selain itu, katul
juga mengandung protein, lemak, vitamin B2 dan niasin. Endosperm merupakan
bagian utama butir beras. Komposisi utamanya adalah pati. Selain itu endosperm
mengandung protein cukup banyak, serta selulosa, mineral dan vitamin dalam
jumlah kecil.
Lebih lanjut Made
Astawan menjelaskan menganai kandungan gizi dari beras bahwa komposisi kimia
beras berbeda-beda tergantung pada varietas dan cara pengolahannya. Selain
sebagai sumber energi dan protein, beras juga mengandung berbagai unsur mineral
dan vitamin. Sebagian besar karbohidrat beras adalah pati (85-90 persen),
sebagian kecil pentosan, selulosa, hemiselulosa dan gula. Dengan demikian sifat
fisikokimia beras terutama ditentukan oleh sifat fisikokimia patinya. Protein
adalah komponen kedua terbesar beras setelah pati. Sebagian besar (80 persen)
protein beras merupakan fraksi tidak larut dalam air, yang disebut protein
glutelin. Sebagai bahan makanan pokok di Indonesia, beras dalam menu makanan
masyarakat menyumbang sedikitnya 45 persen protein. Begitu besarnya nilai gizi
yang dikandung oleh beras, maka tidak aneh lagi kalau masyarakat Indonesia
sangat menggantungkan dirinya kepada beras sebagai bahan pangan pokok.
Di samping itu, pilihan
beras sebagai bahan pangan pokok juga ditunjang karena kondisi alam Indonesia
yang sangat memungkinkan sebagai produsen beras. Termasuk di dalamnya adalah
kultur yang diciptakan oleh nenek moyang bahwa mengkonsumsi beras merupakan
simbol dari kehidupan yang lebih mapan. Oleh karena itu berbagai daya dan upaya
dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia untuk memperoleh bahan
pangan beras. Apabila sebagian masyarakat telah mengkonsumsi makanan selain
beras, identik dengan status ekonominya sangat rendah. Kondisi ini menyebabkan
apabila ketersediaan beras kurang dalam arti rawan pangan, maka sangat mungkin
terjadi kekacauan yang berkepanjangan di Indonesia. Sehingga mutlak untuk
dicarikan jalan keluar untuk mengatasi kondisi rawan pangan akibat krisis
multidimensional yang berkepanjangan.
D. PROGRAM BERAS MISKIN (RASKIN)
Program RASKIN
diluncurkan dalam rangka mengamankan kondisi rawan pangan yang diakibatkan oleh
krisis yang berkepanjangan dan menurunnya daya beli masyarakat, dengan tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu sebagai pembanding
bahwa masyarakat pada saat ini jauh dari kondisi sejahtera, maka perlu
dijelaskan indikatorindikator masyarakat yang telah mencapai
kesejahteraan. Secara konseptual orang yang telah sejahtera adalah mereka yang
telah terpenuhi kebutuhan fisik maupun kebutuhan nonfisiknya.
Mengukur kesejahteraan
masyarakat memang merupakan sesuatu yang sulit, disamping belum ada ukuran yang
standar. Sehingga banyak sekali batasan-batasan mengenai kondisi kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Namun, indikator yang sederhana dan mudah difahami
dijelaskan oleh Moeljarto (1996:47) yang mencakup: tingginya tingkat kesehatan,
peningkatan gizi, kesempatan memperoleh pendidikan setinggi-tingginya,
sedikitnya anak dalam keluarga tetapi berpotensi tinggi, tersedianya lapangan
kerja, dan mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Kondisi tersebut pada saat
ini tidak tampak pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan kata lain,
masyarakat masih memerlukan uluran tangan dari pemerintah untuk dapat
mempertahankan hidupnya, terutama memenuhi kebutuhan yang paling dasar yaitu
kebutuhan akan pangan.
Program RASKIN merupakan
salah satu program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang diluncurkan Oktober 2001.
Program ini pengganti program Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras, yang diadakan
untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi 1998 yang sudah diluncurkan sejak 1
Juli 1998. Semula jumlah beras hanya 10 kilogram per keluarga, namun sejak
Desember 2002 dinaikkan menjadi 20 kilogram per keluarga. Sejak mulai
diluncukan harga beras itu tetap sama, yaitu Rp 1.000 per kilogram. Beras
miskin (RASKIN) pada dasarnya adalah beras murah yaitu yang harga jualnya
kepada masyarakat telah disubsidi oleh pemerintah, yang diberikan kepada
keluarga prasejahtera dan sejahtera satu. Penetapan jumlah keluarga miskin yang
berhak menerima RASKIN adalah sesuai dengan ketentuan pemerintah dalam hal ini
Menko Kesra yaitu berdasarkan data dari BPS dan BKKBN. Kebijakan ini diambil
oleh pemerintah agar dalam memberikan subsidi dan mengupayakan bantuan, dapat
disalurkan tepat mencapai sasaran.
Secara kriteria BKKBN
telah memiliki standar keluarga yang masuk kategori miskin yaitu keluarga
prasejahtera dan sejahtera satu. Keluarga prasejahtera adalah keluarga yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Anggota keluarga hanya makan dua kali
sehari; (2) Anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda terbatas untuk di
rumah, bekerja/bersekolah dan bepergian; (3) Lantai rumah maksimal terbuat dari
plester. Sementara itu keluarga sejahtera satu memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: (1) Makan daging atau telur hanya seminggu sekali; (2) Setiap angota
keluarga hanya mampu membeli akaian
baru setahun sekali; (3)
Luas lantai rumah per penghuni hanya 8 meter persegi.
E. SUMBER DANA PROGRAM RASKIN
Ada dua macam program
RASKIN, yakni yang dananya bersumber dari APBN dan dari dana kompensasi
kenaikan harga BBM yang besarnya Rp 500 miliar untuk tahun 2003. RASKIN dari
dana APBN lebih diarahkan ke daerah-daerah bencana dengan sasaran para
pengungsi. Sementara RASKIN yang bersumber dari dana kompensasi kenaikan harga
BBM disalurkan ke seluruh rakyat Indonesia sebagai akibat dari krisis ekonomi
yang berkepanjangan dan krisis pangan yang melanda Indonesia akibat gagal
panen.
Direktur Operasi Perum
Bulog mengatakan bahwa dalam raskin Bulog hanya sebagai pelaksana, yaitu hanya
menyalurkan beras dari Gudang Dolog ke titik distribusi dalam hal ini desa.
Sedangkan yang menentukan penerima beras adalah pemerintah daerah berdasarkan
data keluarga miskin yang diterbitkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN). Lebih lanjut Prasetyo menjelaskan bahwa penentuan penerima beras
miskin dapat salah sasaran karena kesulitan petugas penyuluh KB di lapangan
untuk menentukan keluarga miskin, mereka harus mengetahui pendapatan keluarga
itu, sementara keluarga itu tak memiliki pekerjaan tetap atau berubah-ubah.
Dari keterangan tersebut
menjelaskan bahwa Dolog hanya mengeluarkan beras dari gudang diantarkan ke
masing-masing desa, sementara pendistribusian beras untuk sampai ke sasaran di
tanggung oleh pemerintah desa. Biaya pengiriman beras dari gudang Dolog sampai
ke tingkat Desa menjadi beban dari Bulog. Sehigga pemerintah desa tidak
dibebani biaya pengambilan beras dari gudang Dolog, kecuali kalau ada biaya
pendistribusian ke masing-masing warga maka akan menjadi tanggungjawab
pemerintah desa.
F. PENDISTRIBUSIAN RASKIN
Untuk mengkaji bagaimana
model pendistribusian RASKIN tepat sasaran atau tidak, pada tingkat penentu
kebijakan, Mubiyarto (2001) mensinyalir bahwa program RASKIN yang termasuk
salah satu dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS) pendistribusiannya tidak
tepat sasaran, bahkan menganggap PKPS BBM sebagai proyek bagi-bagi uang. Sudah
sejak program JPS mula-mula diluncurkan tahun 1998, dalam bentuk OPK beras
merupakan program yang keliru. Memang pada waktu itu harga beras melonjak
terutama di kota-kota, sehingga banyak penduduk benar-benar tidak mampu membeli
karena pendapatan yang paspasan.
Namun seperti
dikhawatirkan, krisis moneter dadakan yang menaikkan harga beras dan bahan
pangan waktu itu, mudah sekali dijadikan alasan oleh semua orang termasuk yang
tidak miskin yang membutuhkan beras murah, dan mereka yang menyatakan dirinya
termasuk "KK miskin" (prasejahtera dan sejahtera satu) membengkak
beberapa kali lipat terutama di Jakarta.
Program JPS yang berupa
OPK beras jelas menjadi contoh program yang kebablasan. Dalam arti tujuan
awalnya sangat baik, tidak mungkin ada alasan masuk akal untuk menentang,
karena ingin membantu rakyat kecil yang tidak mampu membeli beras, tetapi dalam
pelaksanaannya mudah sekali menyimpang dari sasaran utama. Program OPK beras
tidak mungkin dibatasi di kota-kota besar seperti Jakarta saja, karena jika
demikian pasti diprotes. Kenyataannya, kenaikan harga beras terjadi di
mana-mana karena krisis moneter didahului atau bersamaan dengan penurunan
produksi beras akibat musim kering berkepanjangan pada tahun 2001. Maka beras
murah oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) dikirim/dibagi-bagikan ke mana-mana di
seluruh Indonesia, termasuk ke desa-desa pusat produksi beras.
Semua masyarakat Indonesia
tanpa melihat dari lapisan ekonomi mana, dalam program ini dapat membeli beras
dengan harga Rp 1.000 per kg. Sebenarnya pemerintah sudah tahu bahwa
pelaksanaan program ini di daerah-daerah, pembeli beras murah ini tidak hanya
rang miskin tetapi "diratakan", sehingga ekstrimnya ada yang hanya
menerima lima kilogram dari hak yang seharusnya 20 kg per KK. Dengan kata lain,
meski uang hasil penjualan beras murah dari program OPK beras memang masuk ke
kas pemerintah, tetapi sasaran yang dicapai tidak selalu penduduk/keluarga
miskin.
G. EFEKTIFITAS PROGRAM RASKIN
Untuk melihat efektif
atau tidaknya program RASKIN pada tingkat implementasi di lapangan, dapat
dilihat dari kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan program RASKIN sebagai
berikut :
a.
Program ini dapat membantu masyarakat miskin tentang kebutuhan paling dasar
manusia, yaitu kebutuhan akan pangan pada saat masyarakat dilanda kesulitan
pangan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, ditambah dengan gagal panen
akibat musim kemarau panjang pada tahun 2002, serta akibat pengurangan subsidi
BBM yang mengakibatkan harga-harga kebutuhan pokok meningkat tajam.
b.
Masyarakat miskin dapat melangsungkan aktivitasnya tanpa harus berpikir terlalu
berat mengenai kebutuhan akan pangan.
c.
Masyarakat miskin masih mampu memberikan fasilitas pendidikan kepada
putra-putrinya.
d.
Kegiatan sosial keagamaan di masyarakat tetap dapat berlangsung dengan baik,
diikuti oleh sebagian besar warga masyarakat.
e.
Membangun kesadaran berbangsa dan bernegara, dalam arti masyarakat menyadari
akan hak dan kewajibannya selaku warga negara.
Sementara itu mengenai
kekurangan dari implementasi program RASKIN sebagai berikut :
a.
Program RASKIN tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena adanya
pertimbangan kebersamaan, yaitu dibagikan secara merata kepada masyarakat, yang
seharusnya hanya kepada keluarga miskin yang setiap KK akan mendapat hak
sebanyak 20 kilogram.
b.
Pemanfaatan RASKIN tidak sesuai dengan tujuan semula yaitu mengamankan rawan
pangan yang diakibatkan oleh krisis ekonomi berkepanjangan, musim kemarau
panjang dan pengurangan subsudi BBM, karena banyak para keluarga penerima
RASKIN yang menjual berasnya untuk kepentingan keluarga yang lain, atau
menghibahkan kembali kepada sanak familinya yang berada di tempat lain. Padahal
ada kemungkinan mereka juga telah mendapatkan jatah RASKIN di wilayahnya.
c.
Program ini dapat menyebabkan ketergantungan yang besar dari masyarakat miskin,
mereka dimanjakan oleh program tersebut yang pada akhirnya justru akan
menyengsarakan apabila di waktu-waktu mendatang program ini dihentikan.
d.
Pada saat krisis moneter impor beras dilakukan besar-besaran, termasuk sejumlah
hibah dari negara-negara donor, bahkan sampai sulit untuk memastikan kapan
impor dianggap sudah mencukupi, demikian juga pada saat panen padi dalam negeri
mulai membaik, impor beras berjalan terus untuk melaksanakan program RASKIN,
dengan akibat amat menciutkan pasar beras dalam negeri. Akibat lebih lanjut
adalah merosotnya harga gabah sampai jauh melampaui harga dasar, yang mestinya
dipertahankan pemerintah/Bulog melalui operasi khusus pembelian gabah/beras
pada harga dasar. Ketidakmampuan pemerintah mempertahankan harga dasar gabah
ini sungguh-sungguh telah sangat memukul petani padi termasuk di Desa
Balecatur, karena harga pupuk justru dinaikkan (atau naik tanpa dikendalikan
pemerintah).
H. HAMBATAN PELAKSANAAN PROGRAM RASKIN
1.
Pelaksanaan Program RASKIN secara nasional
dapat dikatakan mengalami banyak hambatan. Hambatan itu terjadi karena kurang
adanya koordinasi antar instansi yang terkait dengan program tersebut, seperti
halnya Kementrian Sumber Daya dan Energi sebagai penyandang dana, Bulog sebagai
penyedia beras, Pemerintah Daerah selaku pelaksana penyalur beras ke masyarakat
dan BKKBN selaku lembaga normatif yang menetapkan keluarga miskin sebagai
sasaran program RASKIN. Dampak kurang koordinasi tersebut menyebabkan
penyaluran beras ke masyarakat jadi terlambat, padahal masyarakat sangat
mengharapkan bantuan segera datang karena kebutuhan akan pangan tidak dapat
ditunda-tunda lagi. Sementara itu kurangnya koordinasi karena sikap pemerintah
yang tidak tegas, sampai saat ini belum ada petunjuk pelaksanaan yang dapat
diacu sebagai pedoman pelaksanaan program RASKIN. Masing-masing instansi yang
terkait cenderung saling menunggu dalam melaksanakan tugasnya.
2.
Masyarakat dalam penerimaan beras rakyat
miskin sering tidak sesuai dengan
banyaknya beras yang telah ditentukan pemerintah pusat.
3.
tambahan biaya pembayaran Raskin
(pungli) di luar ketentuan yang telah ditentukan Pemerintah
Pusat
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Program beras miskin
(RASKIN) merupakan program Jaring Pengaman Sosial sebagai kelanjutan dari
program Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras, yang dimaksudkan untuk membantu
keluarga miskin yang mengalami krisis pangan akibat dari (1) dampak krisis
ekonomi 1998 yang berkepanjangan tidak kunjung selesai bahkan berkembang
menjadi krisis multidimensional; (2) menanggulangi dampak kekeringan akibat
kemarau panjang di tahun 2001 yang menyebabkan gagal panen; (3) adanya
pengurangan subsidi Bahan Bakan Minyak yang dikenal dengan Program Kompensasi
Pengurangan Subsisi (PKPS) BBM. Progam Raskin juga dirasakan sangat bermanfaat
dan merupakan angin segar bagi rakyat miskin yang tidak berdaya akibat
harga-harga kebutuhan pokok membumbung tinggi, yang dipicu dari pengurangan
subsidi BBM.
Program RASKIN merupakan
Program Jaring Pengaman Sosial yang pelaksanaannya benar-benar sampai ke
masyarakat miskin, akan tetapi program ini tidak mampu memberikan spirit untuk
mengentaskan kemiskinan, maka Program JPS perlu dirumuskan kembali model JPS
yang mampu memberdayakan rakyat miskin, pelaksanaan yang lebih baik,
transparan, dan tepat sasaran, serta dengan aturan main yang jelas. Penetapan
sasaran tidak dapat lagi putuskan secara terpusat, tetapi harus makin
diserahkan ke daerah. Lebih-lebih dalam era otonomi daerah, program JPS
sebaiknya diubah menjadi program penanggulangan kemiskinan yang perumusanya dan
penetapan sasarannya secara sepenuh dibuat di daerah (kabupaten/kota). Jumlah
penduduk miskin yang berasal dari data pra KS dan KSI dari BKKBN amat
menyesatkan, dan seharusnya sudah tidak dipakai lagi sebagai data perencanaan,
sehingga perlu pendataan ulang keluarga miskin yang benar-benar perlu
disubsidi.
B.
SARAN
Makalah ini masih
memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kiritik yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Alwi Dahlan,
M. (1992) Mencari ukuran kualitas nonfisik penduduk: mengukur kualitas manusia
dan masyarakat melampaui indeks kualitas kehidupan fisik, Sofian Effendi
Ø Biro Pusat
Statistik. (1994). Penduduk miskin dan desa tertinggal 1993: metodologi dan
analisis. Jakarta: BPS.
Ø Dumairy.
(1995). Evaluasi kebijakan pemerintah menanggulangi masalah kemiskinan dan
kesenjangan”. Awan Setya Dewanta (Eds.). Kemiskinan dan kesenjangan di
Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media.
Ø Taliziduhu
Ndraha. (1983). Metodologi pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Ø Gunawan
Sumodiningrat. (1998). Membangun perekonomian rakyat. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil ‘Alamin segala Puji dan Syukur
Penulis Panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik dan
hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini,
Namun penulis menyadari makalah ini belum dapat dikatakan sempurna karena
mungkin masih banyak kesalahan-kesalahan. Shalawat serta salam semoga selalu
dilimpahkan kepada junjunan kita semua habibana wanabiana Muhammad SAW, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya, dan mudah-mudahan sampai kepada kita selaku
umatnya.
Makalah ini penulis membahas mengenai “PELAYANAN
MASYARAKAT PENERIMAAN BERAS RASKIN”,
dengan makalah ini penulis mengharapkan agar dapat membantu sistem
pembelajaran. Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih atas segala
perhatiannya.
Raha, Januari
2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................
i
Daftar Isi.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN....
..................................................................... 3
A. Kemiskinan dan kebodohan......................................................... 3
B. Strategi pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan................. 4
C. Beras makanan pokok masyarakat indonesia............................... 6
D. Program beras miskin (raskin) ..................................................... 7
E. Sumber dana program raskin............................................................. 8
F.
Pendistribusian
raskin....................................................................... 9
G. Efektifitas program raskin................................................................9
H. Hambatan pelaksanaan program raskin............................................11
BAB III
PENUTUP...................................................................................... 12
A. Kesimpulan....................................................................................... 12
B. Saran.................................................................................................. 12
C. Berita
Acara..................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................13
TUGAS : MAKALAH SISTEM PEMERINTAHAN DESA KELURAHAN
PELAYANAN MASYARAKAT
PENERIMAAN BERAS RASKIN
DISUSUN OLEH :
NAMA
: LA MAEMUDI
STAMBUK
:
21208261
JURUSAN :ILMU PEMERINTAHAN
SEMESTER
: III
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH KENDARI
KELAS RAHA
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar