do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Kamis, 20 Februari 2014

MAKALAH TEORI KERJAHATAN




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari solusinya.
B.  Rumusan Masalah
C.  Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan, khususnya bagi pemakalah sendiri dan umumnya bagi teman-teman semua, untuk mengetahui teori-teori tentang kejahatan dan faktor-faktor penyebab kejahatan.



BAB II
PEMBAHASAN
TEORI-TEORI TENTANG KEJAHATAN DAN PENYEBABNYA

Tujuan-tujuan pembentukan suatu teori kriminologi pada pokoknya adalah:
v Memberikan suatu kerangka konseptual untuk membantu pengamatan yang cermat serta deskripsimengenai kejahatandan reaksi sosialterhadap kejahatan.
v Merumuskan suatu sistem sistem postulat-postulat dasar yang dapat menjelaskan kejahatan serta reaksi sosial.
v Menegakkan suatu dasar pengetahuan dan metode agar dalam kondisi-kondisi tertentu memungkinkan pengendalian atas kejahatan srta reaksi sosial.
v Membentuk suatu konsepsi kerja peradiloan pidana.
Secara krimonologis, kejahatan dan perilaku menyimpang dapat dijelaskan sebagai hasil bekerjanya faktor-faktor sosio kultural, faktor-faktor interaksi, faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor reaksi sosial.
Beberapa teori yang membahas peranan dari faktor-faktor itu sebagai faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan dan membentuk karir kriminal.
Didalam kriminilogi terdapat sejumlah teori yang dapat dimasukkan kedalam kelompok teori yang menekankan peranan penting faktor-faktor sosio-kultural dalam membahas kejahatan dan perilaku menyimpang, antara lain teori kejahatan dan kondisi ekonomi, teori anomi, teori-teori sub kebudayaan, teori-teori konflik dan sebagainya. Beberapa teori penting yakni :
a)    Teori “differential opportunity structure”
Teori yang dikembangkan oleh Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin ini mengetengahkan beberapa postulat yakni:
v  Delikuensi adalah suatu aktivitas dengan tujuan yang pasti: meraih kekayaan cara-cara yang tidak sah.
v   Sub kebudayaan delikuensi terbentuk apabila terdapat kesenjangan antara tujuan-tujuan yang dikehendaki secara kultural diantara kaum muda golongan (lapisan) bawah dengan kesempatan-kesempatan yang terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan ini melalui cara-cara yang sah.
v   Jenis-jenis sub-kebudayaan delikuen berkembang dalam hubungannya dengan perbedaan cara-cara yang tidak sah untuk mencapai tujuan. Jenis-jenis sub kebudayaan itu ialah:
Ø Sub kebudayaan konflik yang terdapat dalam lingkungan sosial yang mengalami disorganisasi serta ketidakstabilan. Pada lingkungan ini juga terdapat kesulitan-kesulitan dalam mencapai integrasi sosial, oleh karena seringkali para warga masyarakat memecahkan masalah “frustasi status” melalui cara-cara kekerasan.
Ø Sub kebudayaan kriminal yang terdapat dalam lingkungan sosial dengan ciri sebagian besar warganya berpendapatan rendah dan angka laju tinggi.
Ø Sub kebudayaan pengunduran diri
b)   Teori mengenai “krisis ekonomi dan kejahatan”
Berbagai jenis situasi gangguan ekonomi dikaji dalam bagian-bagian yang terpisah: krisis-krisis yang parah termasuk yang disebabkan bencana alam, krisis gradual dan siklikal yang tercermindalam inflasi, resesi dan mis-employment, kekurangan bahan dan tekanan-tekanan ekonomi yang kronis.
Istilah krisis yang dimaksudkan adalah suatu konsep umum yang tidak hanya menyangkut disfungsi ekonomi dari suatu jenis resesi, terlepas dari apakah ada atau tidak inflasi yang memperburuk keadaan tetapi juga krisis-krisis tertentu dan krisis lokal yang mungkin terjadi akibat bencana alam, krisis yang disebabkan oleh ketidakmampuan suatu masyarakat dalam “take off” ke era industri dan krisis yang melekat pada salah urus dalam bidang politik ekonomi.
Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari diskusi-diskusi antara lain:
Pertama, pertumbuhan ekonomi berkorelasi secara positif, berbeda-beda dengan angka laju yang tinggi dari sebagian besar kategori kejahatan-kejahatan yang dilaporkan.
Kedua, melalui pengukuran indikator-indikator ekonomi pada tingkat mikro yang tercermin dalam pengangguran, kelesuan bisnis serta hilangnya daya beli dapat ditandai adanya peningkatan yang tajam dari sebagian besar kategori kejahatan yang dilaporkan.
Ketiga, tenggang waktu antara fluktuasi ekonomi dan peningkatan angka laju kejahatan berbeda-bedab sesuai dengan jenisnya, masyarakat dan waktu.
Keempat, kejahatan-kejahatan” primer” yaitu kejahatan yang secara langsung berhubungan dengan disfungsi ekonomi berkorelasi dengan kecenderungan dan terutama dikondisikan oleh kebutuhan-kebutuhan konkrit serta harapan-harapan yang mengalami frustasi. Diantara kejahatan atau perilaku menyimpang lain yang meningkat adalah :
Ø Kejahatan-kejahatan ekonomi, yakni penadahan dan penipuan konsumen.
Ø Pelanggaran norma non-kriminal.
Ø Pelanggaran-pelanggaran lain, seperti: alkoholisme.
Kelima, seringkali masalah yang paling serius dihadapi adalah gejala kejahatan “sekunder” yang terjadi apabila kejahatan “primer” yang berkaitan dengan krisis tidak terkendali atau diampuni (misalnya dalam hal penyalahgunaan hukuman) atau ditindak dan dihukum dengan kekerasan yang berlebihan. Dalam hal terakhir, karir penjahat individual lebih diperkuat dan kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan krisis semakin memperoleh dorongan.
Secara teoritik M. Harvey Brenner mengidentifikasi beberapa pandangan yang berbeda mengenai latar belakang kejahatan dalam hubungannya dengan pengaruh langsung ekonomi terhadap kejehatan, yakni:
Ø Penurunan pendapatan nasional dan lapangan kerja akan menimbulkan kegiatan-kegiatan industri ilegal.
Ø Terdapatnya bentuk-bentuk “innofasi” sebagai akibat kesenjangan antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan sosial dengan sarana-sarana sosio-struktural untuk mencapainya. Dalam masa kemunduran ekonomi, banyak warga masyarakat yang kurang mempunyai kesempatan mencapai tujuan-tujuan sosial dan menjadi “innovator” potensial yang cenderung mengambil bentuk pelanggaran hukum.
Ø Perkembangan karir kejahatan dapat terjadi sebagai akibat tersumbatnya kesempatan dalam sektor-sektor ekonomi yang sah.
Ø Pada beberapa tipe kepribadian tertentu, krisis ekonomi akan menimbulkan frustasi oleh karena adanya hambatan atau ancaman terhadap pencapaian cita-cita dan harapan yang pada gilirannya menjelma dalam bentuk-bentuk perilaku agresif.
Ø Pada kelompok-kelompok tertentu yang mengalami tekanan ekonomi terhadap kemungkinan besar bagi berkembangnya sub kebudayaan delinkuen.
Ø Sebagai akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran, sejumlah warga masyarakat yang menganggur dan kehilangan penghasilannya cenderung untuk menggabungkan diri dengan teman-teman yang menjadi pengangguran pula dan dengan begitu lebih memungkinkan dirancang dan dilakukannya suatu kejahatan.   
c)    Teori-teori “kriminologi baru” atau “kriminologi kritis”
William J. Chambliss secara khusus membahas tentang isi dan bekerjanya hukum pidana, konsekuensi kejahatan bagi masyarakat dan sebab musabab kejahatan.
Tentang latar belakang kejahataan, Chambliss mengemukakan bahwa kejahatan berasal dari orang-orang yang bertindak secara rasional sesuai dengan posisi klasnya. Kejahatan adalah suatu reaksi atas kondisi kehidupan klas seseorang dan senantiasa berbeda-beda tergantung pada struktur-struktur politik dan ekonomi masyarakat.
Masih dalam kerangka penjelasan bekerjanya faktor-faktor sosio-kultural, Richard Quinney mengetengahkan teori tentang realitas sosial kejahatan sebagai berikut:
Ø Kejahatan adalah suatu defenisi hukum yang diciptakan oleh alat-alat klas dominan didalam masyarakat yang secara politis terorganisasi.
Ø Definisi-defenisi kejahatan terdiri dari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan klas dominan.
Ø Defenisi-defenisi kejahatan diterapkan oleh klas yang mempunyai kekuasaan untuk menegakkan dan melaksanakan hukum pidana.
Ø Pola-pola perilaku dibangun dalam hubungannya dengan rumusan-rumusan kejahatan dan dalam konteks ini orang terlibat dalam tindakan-tindakan yang relatif mempunyai kemungkinan untuk dirumuskan sebagai kejahatan.
Ø Idiologi tentang kejahatan dibentuk dan disebarluaskan oleh klas dominan untuk memelihara hegemoninya.
Ø Realitas sosial kejahatan dibentuk oleh perumusan dan penerapan defenisi-defenisi kejahatan, perkembangan pola-pola perilaku dalam kaitannya dengan defenisi ini.
2.    Teori-Teori yang Membahas Faktor-Faktor Interaksi
a)    Teori “Transmissi kebudayaan”
Pada wilayah-wilayah berstatus ekonomi tinggi dengan angka laju delikuensi rendah, umumnya terdapat suatu persamaan dalam sikap para penghuninya terhadap nilai-nilai konvensional dan terutama sikap-sikap yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Hal ini tergambar dengan adanya kebulatan pendapat praktis mengenai kehendak akan pendidikan dan aktivitas-aktivitas pada waktu luang yang konstruktif serta tekanan terhadap anak untuk tetap melakukan aktivitas-aktivitas konvensional. Dalam daerah-daerah tersebut juga terdapat rintangan-rintangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat terhadap perilaku yang merugikan nilai-nilai konvensional.
Itu tidaklah berarti bahwa setiap kegiatan yang melibatkan anggota-anggota masyarakat adalah kegiatan yang tunduk kepada hukum. Tetapi karena setiap usaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum akan ditentang oleh dalam wilayah tersebut, anak-anak yang tinggal dalam masyarakat dengan angka rataa-rata kejahatan yang rendah, secara keseluruhan akan dihalangi oleh kontak langsung dengan bentuk-bentuk perilaku menyimpang.
Lebih jauh, pada wilayah-wilayah yang dihuni oleh klas menengah dan wilayah-wilayah dengan status ekonomi tinggi, persamaan dalam sikap-sikap dan nilai-nilai dalam hal sosial kontroltercermin dalam pranata-pranata dan persekutuan-persekutuan sukarela yang bertujuan untuk mengekalkan dan melindungi nilai-nilai ini.
Kebalikannya, pada wilayah-wilayah dengan status ekonomi yang rendah yang berangka delikuensi tinggi ditandai dengan perbedaan yang luas dalam norma-norma dan standar-standar perilaku.
Dua sistem kegiatan ekonomi yang saling bertentangan memperlihatkan secara kasar kesempatan-kesempatan yang sama bagi para pekerja serta peningkatan taraf kehidupan. Bukti keberhasilan dalam dunia penjahat ditunjukkan oleh penampilan penjahat-penjahat dewasa yang pakaian dan kendaraannya memperlihatkan bahwa mereka makmur dalam bidang yang dipilihnya. Nilai-nilai yang salah dan resiko-resiko besar yang ditanggung tak jelas nampak bagi orang yang berusia muda.
b)   Teori “differential association”
Teori ini pada pokoknya mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan dipelajari melalui interaksi dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan serta motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran yang mendukung dilakukannya kejahatan.
Postulat-postulat yang dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland dan Donald Cressey dalam kerangka teori “differential association” ini adalah sebagai berikut:
Ø Kejahatan di pejajari, secara negatif ini berarti bahwa kejahatan tidak diwariskan.
Ø Kejahatan di pelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain melalui proses komunikasi.
Ø Proses belajar kejahatan meliputi:
·      Teknik-teknik untuk melakukan kejahatan yang kadangkala sangat rumit dan kadang-kadang sangat sederhana.
·      Arah, motif, dorongan, pembenaran dan sikap-sikap.
Ø Arah khusus motif dan dorongan dipelajari dari defenisi-defenisi tentang menguntungkan atau tidaknya aturan-aturan hukum.
Ø Seseorang menjadi delikuen oleh karena ia lebih mempunyai defenisi yang mendukung pelanggaran hukum dibandingkan dengan defenisi-defenisi yang tidak mendukung pelanggaran hukum.
Ø Pengelompokkan yang berbeda-beda mungkin beraneka raganm dalam frekuensi, lamanya, perioritas dan intensitasnya.
Ø Proses belajar kejahatan melalui pengelompokkan dengan pola-pola kejahatan atau anti kejahatn menyangkut semua mekanisme terdapat dalam proses belajar apa pun.
Ø Walaupun kejahatan merupakan pencerminan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, akan tetapi tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai tersebut, oleh karena perilaku yang bukan kejahatan pun merupakan pencerminan nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan yang sama.
Teori-teori lain yang menekankan pada peranan faktor-faktor interaksi, antara lain adalah teori Daniel Claser mengenai “differential identification and anticipation” yang pada pokoknya menekankan bahwa seseorang menjadi jahat tidak hanya oleh keterlibatannya secara langsung dengan penjahat-penjahat, meleinkan juga dengan mengacau pada eksistensi kriminal mereka.
3.    Teori-Teori tentang Faktor Pencetus
Yang dimaksudkan dengan faktor-faktor pencetus disini dapat berupa peranan korban dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan maupun tekanan-tekanan situasional yang dialami pelaku kejahatan.
Menurut Shepard, dalam studi-studi tentang kejahatan kekerasan terungkap betapa korban sangat acap memainkan peranan kunci dalam interaksi kekerasan, bahkan tak jarang memprovokasi orang lain atau mencetuskan saling balas dengan kekerasan yang pada akhirnya berakibat luka atau kematian.
Hubungan-hubungan sosial korban dalam kejahatan kekerasan, terutama dalam pembunuhan yang memperlihatkan tingginya angka victim precipitated kriminal homicide, menunjukkan korban merupakan bagian integral dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan dengan kekerasan.
Faktor lain adalah tekanan situasional yang dapat merupakan faktor pencetus berlangsungnya kejahatan, termasuk kedalamnya proses pengambilan resiko. Menurut Don C. Gibbons termasuk kelompok faktor-faktor pencetus ini adalah sikap-sikap dan motivasi-motivasi kriminal, dan pola-pola kepribadian lain.
4.    Teori-Teori tentang Faktor Reaksi Sosial
Kejahatan atau perilaku menyimpang dapat pula dijelaskan melalui suatu pendekatan sosiogenik dalam kriminologi yang menekankan pada aspek-aspek prosesual dari terjadi dan berlangsungnya penyimpangan terutama dalam hubungannya dengan reaksi sosial.
Dari sudut pandang ini, perilaku menyimpang adalah akibat penilaian sosial yang ditujukan pada seseorang.
Salah satu teori yang dikenal didalam kriminologi yang juga mencoba menjelaskan kejahatan dari perspektif reaksi sosial adalah teori yang dikemukakan oleh Edwin Lemert. Lemert menguraikan tentang proses-proses seseorang diasingkan sebagai pelaku penyimpangan dan akibatnya karir kehidupannya terorganisasikan atau terbentuk secara pribadi disekitar status-statussebagai pelaku penyimpangan.
Beberapa teori mengenai kejahatan menurut Kartini Kartono dalam bukunya “patologi sosial” yaitu:
1.    Teori Teologis
Menyatakan kriminalitas sebagai perbuatan dosa yang jahat sifatnya. Setiap orang  normal bisa melakukan kejahatan sebab didorong oleh roh-roh jahat dan godaan setan/ iblis atau nafsu-nafsu durjana angkara.dan melanggar kehendak Tuhan. Dalam keadaan setengah atau tidak sadar karena terbujuk oleh godaan iblis , orang baik-baik bisa menyalahi perintah-perintah Tuhan dan melakukan kejahatan. Maka, barang siapa melanggar Perintah Tuhan, dia harus mendapatkan hukuman sebagai penebus dosa-dosanya.
2.    Teori Filsafat tentang Manusia (Antropologi dan Transendental)
Menyebutkan adanya dialektika antara pribadi / personal jasmani dan pribadi rohani. Personal rohani disebut pula sebagai JIV atau jiwa, yang berarti “lembaga kehidupan” atau “daya hidup”. Jiwa ini merupakan prinsip keselesaian dan kesempurnaan, dan sifatnya baik, sempurna serta abadi, tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. Oleh karena itu, jiwa mendorong manusia kepada perbuatan-perbuatan yang baik dan susila. Mengarahkan manusia pada usaha transedensi diri dan konstruksi diri.
Jasmani menusia itu merupakan prinsip ketidakselesaian atau perubahan dan sifatnya tidak sempurna. Prinsip ketidakselesain mengarahkan manusia pada destruksi, kerusakan, kemusnahan,  dan kejahatan.
Kecenderungan mengarahkan pada kebinasaan dan kejahatan ini disebut sebagai kecenderungan menggelinding ke bawah, yang berlangsung dengan mudah atau otomatis. Sedangkan aktivitas manusia menuju pada konstruksi diri dan transendensi diri, melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan luhur, benar-benar merupakan usaha yang pelik dan berat dan setiap saat harus diperjuangkan secara gigih, agar orang tidak terseret kebawah melakukan kejahatan.  
3.    Teori Kemauan Bebas (Free Will)
Menyatakan bahwa manusia itu bisa bebas menurut kemauannya. Dengan kemauan bebas dia berhak menentukan pilihan dan sikapnya. Untuk menjamin agar setiap perbuatan berdasarkan kemauan bebas itu cocok dengan keinginan masyarakat maka manusia harus diatur dan ditekan yaitu dengan: hukum, norma-norma sosial dan pendidikan. Hukum dan hukuman biasanya disertai ancaman-ancaman pidana yang menakutkan, agar manusia merasa ngeri dan takut berbuat kejahatan dan tidak menyimpang dari pola kehidupan normal.
Teori kemauan bebas ini tidak menyebutkan roh-roh jahat sebagai sebab musabab kejahatan. Akan tetapi, sebab kejahatan adalah kemauan manusia itu sendiri. Jika dia dengan sadar benar berkeinginan melakukan perbuatan durjana, maka tidak ada seorang pun, tidak satu deawapun, bahkan tidak juga Tuhan dan sebuah kitab suci pun bisa melarang perbuatan kriminalnya. Orang-orang jahat yang selalu melakukan tindak durjana, bikin onar, dan kesengsaraan pada orang lain itu perlu ditindak, dihukum dan dididik kembali oleh masyarakat.
4.    Teori Penyakit Jiwa
Menyebutkan adanya kelainan-kelainan yang bersifat psikis, sehingga individu yang berkelainan individu sering melakukan kejahatan-kejahatan. Penyakit jiwa tersebut berupa psikopat dan defek moral.
Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu asosial, eksentrik (kegilaan), kurang memiliki kesadaran sosial dan intelegensia sosial. Mereka amat fanatikdan sangat egoistik, juga selalu menentang norma lingkungan dan norma etis.sikapnya aneh-aneh, sering berbuat kasar,  kurang ajar, dan ganas buas terhadap siapa pun tanpa suatu sebab. Sikapnya senantiasa menyakiti hati orang lain dan seringkali bertinglkah laku kriminal.
Kelemahan dan kegagalannya terutama ialah: dia tidak memiliki kemampuan untuk mengenal, memahami, mengendalikan, dan mengatur laku yang salah dan jahat. Sehingga sering melekukan kekerasan, penyerangan dan kejahatan.
Banyak orang yang defekt moral memiliki simpton-simpton psikotis, khususnya berupa penyimpangan dalam relasi kemanusiaan. Sikapnya dingin beku, tanpa afeksi atau perasaan.
Pada umumnya, bentuk tubuh penjahat-penjahat habitual dan residivis-residivis itu lebih kecil dari pada tubuh orang normal. Berat badannya juga lebih kurang daripada bobot orang dewasa pada umumnya.
5.    Teori Fa’al Tubuh (Fisiologis)
Teori ini menyebutkan sumber kejahatan adalah ciri-ciri jasmani dan bentuk-bentuk jasmaninya. Yaitu pada bentuk tengkorak, wajah, dahi, hidung, mata, rahang, telinga, leher, lengan, tangan, jari-jari, kaki, dan anggota badan lainnya. Semua ciri fisik itu mengkonstituasikan kepribadian seseorang dengan kecenderungan-kecenderungan kriminal.
Pada umumnya, penjahat-penjahat sadis itu mempunyai ciri-ciri jasmani khusus dan mereka itu dikelompokkan tipe kriminal. Kebanyakan dari para kriminal itu mengidap penyakit ayan/ epilepsi sejak lahir. Ringkasnya, sebab musabab kejahatan-kejahatan itu terletak pada konstitusi jasmani yang mempengaruhi kehidupan jiwani, yang sudah ada sejak lahir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari solusinya.
Secara krimonologis, kejahatan dan perilaku menyimpang dapat dijelaskan sebagai hasil bekerjanya faktor-faktor sosio kultural, faktor-faktor interaksi, faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor reaksi sosial. Beberapa teori yang membahas peranan dari faktor-faktor itu sebagai faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan dan membentuk karir kriminal.
1)   Teori-Teori yang Membahas Peranan Faktor-Faktor Sosio-Kultural
Ø    Teori “differential opportunity strukture”
Ø    Teori mengenai “krisis ekonomi dan kejahatan”
Ø    Teori-teori “kriminologi baru” atau “kriminologi krisis”
2)   Teori-teori yang membahas faktor-faktor interaksi
Ø Teori “transmissi kebudayaan
Ø Teori “differential association”
3)   Teori-teori tentang faktor pencetus
4)   Teori tentang faktor reaksi sosial
Beberapa teori mengenai kejahatan menurut kartini kartono dalam bukunya patologi sosial: Teori teologis, Teori filsafat tentang manusia, Teori kemauan bebas ,Teori  penyakit jiwa dan teori fa’al tubuh.


DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Kartini. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. 2009
Atmasasmita, Romli. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Eresco, 2004
Mustofa, Muhammad. Kriminologi. Jakarta: FISIP UI Press, 2007.

Tidak ada komentar: