do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Sabtu, 17 September 2011

BUDAYA KORUPSI MASYARAKAT INDONESIA


Apa sebenarnya yang telah kita kerjakan selama 66 tahun kemerdekaanm ini, Negara-negara Asia yang lebih kemudian merdeka telah meninggalkan kita. Tentunya kata “sepertinya” bukan lagi menjadi suatu alasan atau argument tentang negeri ini, yang benar adalah “sebenarnya” ada yang salah dengan negeri ini. Sudah 65 tahun lebih 1 bulan keadaannya tak jauh berbeda dengan masa Jepang.
Misalnya Korea pada tahun 1953 masih perang dan Malaysia pun baru merdeka pada tahun 1958, Vietnam baru merdeka pada tahun 1970-an dan Jepang pada tahun 1945 hancur tak tersisakan akibat bom dari Sekutu. Tetapi kenapa ketiga Negara tersebut lebih unggul dan lebih sejahtera tidak seperti negeri Indonesia yang hidupnya selalu kembang kempis, kere, pas-pasan, serba kekurangan dan lebih-lebih ngutang kenegara lain. Yang kaya menjadi kaya khususnya pejabat yang berdasi, bermobil,berintar permata, yang miskin tetap menjadi tambah miskin karena kewajiban mereka diambil yang kaya (berdasi, bermobil,berintan permata). Apalagi bicara masalah pemilihan baik aparatur desa, Bupati, Gubenur, Presiden, semuanya mengatasnamakan rakyat yang mempunyai tujuan untuk memerdekakannya disegala bidang (sebuah program yang bagus) tapi perlu dingat kembali seorang pemimpin bukan bercermin pada dirinya sendiri tapi pada rakyatnya, hanya rakyat yang mengerti dan mampu memberikan evaluasi semuanya, sehingga jangan pernah menyalahkan rakyat jika harus berprilaku radikal, anarkis karena itulah adalah sebuah pisau dari ketidak adilan yang terjadi saat ini. Sangatlah memprihatinkan sekali bagi rakyat kecil di negeri ini sebagai dampak dari permasalahan diatas. Malah saya tidak tau apa lagi artinya merdeka! Pada kesempatan kali ini tentunya tidak mengungkit atau mengadah-ngadah tetapi ini sebuah kenyataan buram bagi negeri ini yang dikatakannya sebagai negeri yang memiliki kekayaan yang mendukung.

Kadangkala sempat berfikir, apakah rakyat kecillah yang membuat kesalahan. bukankah rakyat kecillah yang taat pada aturan?......., lebih-lebih soal pajak, baik pajak kendaraan, pajak bangunan dan pajak tontonan. Karena mereka takut yang namanya denda dan dari mana  uang yang mau dibayar buat denda.  Seperti apa yang dikatakan oleh Chairil Anwar bahwa rakyat hanya patuh dan percaya, seperti nenek moyang kita yang tunduk sama yang pegang kuasa (feodal). Tetapi apakah yang memegang kuasaan itu pernah memikirkan rakyatnya yang setia mengabdi?.........
Kenyataannya jika dijawab, yang memegang kekuasaan duduk di sebuah pemerintahan  yang dikenal dengan penguasa tidaklah lagi memperhatikan nasib rakyatnya yang selama ini diambang kesusahan, jiwa pemimpin sekarang meniru seorang pengemis yang serakah yang selalu tidak puas apa yang diperolehnya. lebih-lebih pemimpin saat ini memakan yang menjadi hak rakyatnya. Maka hal inilah yang menurut saya disebut korupsi.  Bicara masalah korupsi sampai saat ini belum bisa bisa diberantas, lebih-lebih korupsi saat ini sedang membudaya.
Di Indonesia seperti yang saya jelaskan sebelumnya merupakan cerita lama yang baru-baru memanas saat ini. Untuk mengkaji tentang kapan sudah ada korupsi? siapakah yang disebut dengan koruptor? Apa saja yang dilakukan koruptor?sampaikapan lagi koruptor itu berhenti? Dan solusi apa?
Apabila menggunakan pendekatan sejarah perekonomian Indonesia. Dalam kehidupan ekonomis bangsa Indonesia diwarnai oleh kehidupan desa. Rumah tangga Indonesia merupakan masyarakat kecil lemah. Warga sering mengingatkan dirinya masing-masing bahwa mereka adalah bagian terkecil yang tidak dapat dipisahkan dari penduduk desa lainnya. Istilah “tolonglah dirimu sendiri” tidak dikenal dalam kehidupan desa Indonesia. Yang ada jika yang satu sakit maka yang lain dapat merasakan sakit semua, jadi nilai-nilai kebersamaan dijungjung tinggi. Bahwa warga desa belum memiliki rangsangan untuk memproduksi melebihi kebutuhan sendiri. (Bachri, 2005). Fikirkan dengan bangsa Indonesia saat ini.
Dalam perkembangannya, desa rumah tangga yang primitive kemudian mendapat pengaruh dari peradaban Hindhuisme yang menempatkan seorang Raja yang berada diatas rumah tangga desa. Perubahannya yang sebelumnya memproduksi untuk kebutuhan sendiri, tetapi dilain pihak harus memenuhi kebutuhan Raja, misalnya membayar Upeti. Seorang raja memiliki hak hidup dan hak milik rakyat.
Pada zaman kerajaan inilah, kerja paksa, serta penyerahan wajib merupakan tulangpunggung golongan yang paling berkuasa.  Golongan yang paling berkuasa tidak lain adalah Raja-raja, bangsawan, pemilik modal. Sebagai rakyat kecil hanya bisa menerima saja. Kadangkala petani hanya bisa menikmati hasil pertaniannya 1/4 saja, kadang tidak mendapatkan sama sekali dan sebaliknya sisa dari hasil pertaniaanya diambil untuk penguasa. Kalau dicermati berapa banyak kekayaan yang dimiliki oleh penguasa. Luar biasa sekali menjadi penguasa.
Sejak datangnya bangsa Barat ke Indonesia, ini malah merubah kebudayaan bangsa Indonesia agar sama dengan bangsa Barat yang sangat individualistic. Bangsa Barat banyak memanfaatkan negeri ini  untuk kepentingan mereka yang menyebabkan terjadinya kemiskinan yang berkepanjangan. Menurut Juliantara (1998)  kemiskinan bangsa kita adalah kemiskinan yang ada diluar batas nilai-nilai kemanusiaan.prakter kerja paksa yang tidak jarang memakan korban ratusan jiwa,seperti pembangunan jalan dari Anyer sampai Penarukan, praktek Stesel tanam paksa yang amat merugikan dan menguntungkan mereka. Misalnya Belanda, saldo untung dari pemerintah colonial ke negeri Belanda selama 1832-1867 berjumlah f 784 juta ( D.H. Burger dan Prajudi: 1960). Belum lagi untu kepentingan Pegawai Belanda dalam mencukupi kebutuhan hidup sudah melakukan cara korupsi yaitu dengan cara berdagangan di luar perserikatan dagang (VOC) Hal ini belum lagi meminta secara paksa dari hasil kerjanya pada rakyat kecil. Hal ini telah terbukti akhir dari saldo 1799 VOC  oleh kerajaan Belanda dinyatakan Pailit dengan saldo kridit sebesar 134,7 Gulden.

Dari beberapa gambaran diatas semakin kuatnya feodalisme dan kepemilikian pribadi walau bukan haknya ini terjadi saat ini menjadi sebuah sumber awal membudayannya korupsi. Menurut Sumardjo (2003),  hukum feudal siapa yang meningkat taraf budayanya, maka akan meningkat taraf kekuasaannya dan dengan sendirinya akan meningkat pula penghasilannya. Dalam masyrakat feudal tidak ada Bupati atau sastrawan istana yang miskin. Bahkan dalang istana tentu punya rumah yang lebih bagus, gaji lebih besar dan tanda kehormatan lebih tinggi. kalau saya bilang dari zaman kuno Indonesia sampai berakhirnya bangsa Barat adalah.  sebagai bibit lama yang pada ahkirnya melahirkan bibit baru yang lebih unggul dan tertatah rapi. Korupsi pada zaman dulu berupa penyerahan wajib pada penguasa yang secara terang-terangan sedangkan sekarang hanya merupah bolpoin dan kertas yang tinggal merubah angka dan menambahnya, biasanya maraknya dikenal dengan proposal.
Menurut Edwar Aspinall (2000) Thailand atau Korea Selatan  sudah masuk kategori Negara korupsi, tetapi jika dibandingkan dengan Indonesia masih kalah jauh. Tetapi Thailand mampu mengentaskannya dari krisis ekonominya. Perlu diketahui bersama di Indonesia para korupsi tersebut banyak yang bertitel atau bergelar Doctor, Profesor, Sarjana atau “babap-bapak yang terhormat”dan lebih parahnya lagi Mantan Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Said Aqil Husein Al Munawar tersangka tindak pidana korupsi (Setiawan, 2006) . Sangatlah memalukan sekali karena Departemen Agama sebagai corong muralitas bangsa, karena dibungkus oleh nama yang transeden yaitu agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan sinergis antara manusia dengan alam. Jika Departemen Agama sudah melakukan tindak pidana, terus bagaimana dengan Departemen-departemen yang lain yang tentunya tidak berlebel agama. Artinya Islam hanya dijadikan alat legitimasi dan legalitas semata.
Yang menjadi pertannyaan sekarang adalah kenapa yang banyak melakukan tindak pidana korupsi atau pencurian terhadap uang rakyat adalah orang-orang intelektual yang duduk ditengah-tengah masyarakat? dan hukum tidak berani menindak lanjutinya. kadang mereka mengandalkan uang untuk membayar pengacara handal atau bayar Hakim untuk membayarnya.
Ini sebuah contoh yang sampai saat ini kita selalu mendengarnya dan melihatnya, baik dikehidupan nyata dan surat kabar. Ada seorang anak lulusan SD yang sedang kepergok mengambil HP, karena diketahui oleh warga masyarakat maka anak tersebut babak belur sampai berlumuran darah dan terpaksa harus menekam di tahanan. Sedangkan babak-bapak yang terhormat yang mempunyai gelar berjajar terlibat dalam tindak pidana korupsi yang banyak merugikan Negara dan rakyat miskin , tetapi masih bisa menghirup udara segar dan bisa tersenyum. Kalau misalnya harus terpaksa masuk ke tahanan, maka tahanan itu hanyalah di Ibaratkan pindah rumah yang didalam tahanan tersebut fasilitasnya tidak jauh berbeda dengan dirumahnya sendiri. Tentunya melihat kondisi yang seperti ini terus Negara kita akan menjadi kandang dari mafia koruptor. Mafia akan berakhir jika bos mafianya lenyap.
Bagi para koruptor yang sudah membudaya saat ini bukanlah sebuah dosa besar, tetapi sudah meletakkan perbuatan salah  sebagai profesi, pekerjaan, maka bagi mereka pengampunan tidak banyak artinya lagi, bahkan koruptor saat ini sudah memiliki etika (tata aturan dunia koruptor). Misalnya kasus korupsi baru bisa dikatakan mencuat kalau diantara para anggota-anggota koruptor itu terjadi pelanggaran etika koruptor. “maling teriak maling diantara sesame”. Sebab mengaku bersalah di dunia koruptor tidak mungkin ada atau bisa terjadi. Para koruptor juga punyak Undang-undang sendiri, tata nilai dan etikanya sendiri. Jadi kita tidak usa mengadili, karena mereka sudah saling mengadili. Jadi percuma saja mengampuni para koruptor jika mereka masih berada di dunia koruptor dan percuma menuduh seorang koruptor jika merasa dirinnya tidak bersalah.contoh yang paling gampang memnghentikan seorang perokok. Berhenti merokok merupakan kewajiban, karena harus menghentikan ketagihan. Korupsi juga jenis ketagihan dan kenikmatan yang sulit diputus. Sebab saat ini yang mengerakkan manusia adalah uang dan semuanya dapat diperoleh dari uang.
Melihat kondisi yang sudah membudaya seperti ini, apa yang harus kita lakukan, selaku yang sadar dan peduli akan nasib negeri ini dan Perlukah kita menerapkan yang namanya Revolusi dan reformasi. Menurut saya pribadi, rasanya sudah tidak zaman lagi kita menerapkan reformasi, jadi yang perlu kita terapkan adalah Revolusi. Revolusi yang dimaksud bukan revolusi secara total, kalau tidak kita akan mengalami penjajahan lagi. Tentunya yang perlu kita revolusi adalah system negeri ini harus ditata ulang yakni:
pertama: para pemimpinnya. Mind Set mereka selamah ini ternyata membuat hidup bangsa  tidak berubah. Yang berubah hanyalah diri mereka sendiri. Karena para pemimpin yang bijaksana dan sejati  tidak akan tidur nyenyak kalau pulang dari kantor masih banyak rakyat kecil yang hidupnya susah, pemulung yang berkeliaran, petani yang susah, PSK yang alasannya terhimpit masalah perekonomian dan kesejahteraan, dan lain-lain.
Kedua: system pendidikan kita, yaitu manusia perlu didik menjadi baik dan pendidikan yang lebih baik.format pendidikan yang bernuansa mendidik, mencerahkan dan  perpihak tampaknya masih menjadi idola dari sebagian masyarakat Indonesia. Pendidikan selama ini hanya menjadi ajang penindasan  dan pembodohan gaya baru yang dibungkus rapi dengan nama sekolah (Setiawan,2006).
Ketiga: orang tua dan lingkungannya, orang tua harus mempunya peran penting untuk memberikan pendidikan dan penanaman kedisiplinan pada anaknya,kadangkala orang tua hanya menitipkan anaknya kesekolah karena orang tuanya tidak ada waktu disebabkan bekerja. Yang ada hanya menanyakan nilanya berapa? Jadi yang dilihat adalah kecerdasan kognitifnya saja, cobalah tekankan nilai-nilai spritual dan kejiwaan. Cobalah jika orang tua selalu mengajarkan anak didiknya untuk disiplin dan selalu mengajarkan arti bangun bagi,  beribadah tepat waktu,  dan nasehat-nasehat untuk jujur setiap kesempatan, menghormati guru dan orang lain tentunya tidak menyuburkan yang namanya korupsi.
Renungkan budaya untuk masa yang akan datang, Pertama: budaya Feodal lawan budaya egaliter. Kedua: budaya instant lawan budaya kerja keras, Ketiga: budaya kulit lawan budaya isi, Keempat: budaya penampilan lawan budaya sederhana, Kelima: budaya boros lawan budaya hemat, Keenam: budaya apati lawan budaya empati, Ketujuh : budaya kompetisi lawan budaya kerja sama.

Oleh
Miskawi
Wakil Dekan I FKIP Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi

Tidak ada komentar: