Bisnis adalah sesuatu yang senantiasa mengalami perubahan, salah satu aternatif dan kiat sukses memajukan bisnis dan tetap eksis dalam persaingan bisnis adalah dengan selalu melakukan Inovasi dan transformasi bisnis.
Banyak cara bisa dilakukan untuk melakukan transformasi bisnis antara
lain diversifikasi produk, pembaharuan produk dan lain-lain. Bagi
sebagian kita tentu sudah tidak asing dengan PT United Tractors Tbk (UT),
perusahaan yang bergerak pada alat berat dengan salah satu merk yang
cukup terkenal yaitu Komatsu. UT menjadi inspirasi bagi pelaku bisnis
lain juga bagi pelaku Usaha Kecil Dan Menengah (UKM) untuk
mempertahankan dan mengembangkan bisnis, meski di saat situasi sulit.
“Willingness to change is a strength, even if it means plunging part of the company into total confusion for a while.” Pesan sekaligus prinsip manajemen yang dikemukakan Jack Welch itu tampaknya paralel dengan keyakinan yang dipegang erat segenap pemimpin PT United Tractors Tbk. (UT) dalam mengendalikan bisnis di saat arus persaingan alat berat semakin tak mudah dalam satu dekade terakhir.
“Willingness to change is a strength, even if it means plunging part of the company into total confusion for a while.” Pesan sekaligus prinsip manajemen yang dikemukakan Jack Welch itu tampaknya paralel dengan keyakinan yang dipegang erat segenap pemimpin PT United Tractors Tbk. (UT) dalam mengendalikan bisnis di saat arus persaingan alat berat semakin tak mudah dalam satu dekade terakhir.
Pada saat krisis moneter tahun 1998, UT terkena dampak serius. Beban
utang dalam jumlah besar memaksa manajemen merasionalisasi karyawan dan
menjual sebagian aset perusahaan (anak usaha). Sebab-musababnya, sektor
kontruksi yang sebelumnya jadi tulang punggung pemasaran alat berat UT
mengalami crash.
Bukan rahasia lagi, ketika itu bisnis kontruksi mati suri. Otomatis,
permintaan alat berat juga stagnan. Bayangkan, tahun 1996 UT bisa
menjual 2.012 unit alat berat (43% pangsa pasar nasional), tetapi
kemudian merosot menjadi 429 unit pada 1997 karena ambruknya sektor
konstruksi. Tak mengherankan, perusahaan publik ini merugi Rp 727
miliar.
Namun, kala melihat kinerja hingga akhir 2008, cerita muram itu hanya
tinggal kenangan. Lihat saja, penjualan alat berat mencapai 4.345 unit
atau meningkat 26% dari 2007 yang baru 3.454 unit. Hal ini juga
dibuktikan dari penjualan sepanjang 2008 yang meningkat 54% menjadi Rp
27,9 triliun – tahun 2007 baru Rp 18,2 triliun. Laba bersih perseroan
pun cukup gemuk, mencapai Rp 2,7 triliun, tumbuh 78% dibanding tahun
sebelumnya.
Dalam konteks pemasaran, pangsa pasar Komatsu berhasil dipertahankan
hingga level 45%. “Tahun 2008 kinerja kami memang memecahkan rekor dan
tertinggi dalam sejarah perusahaan ini berdiri,” ungkap Djoko Pranoto,
Presdir UT yang lebih dari 30 tahun berkarier di perusahaan alat berat
ini. Kinerja positif itu berlanjut di awal 2009 ini, bahkan pangsa pasar
UT diperkirakan sudah di atas 50%.
Bila didalami lebih lanjut, kinerja luar biasa itu tak lepas dari
keberanian dan upaya transformasi yang dilakukan sejak satu dekade lalu
yang pelaksanaannya semakin dipertajam sejak 2004. Transformasi
dilakukan dengan menggeser portofolio bisnis dari yang semula
mengandalkan sektor kontruksi ke sektor pertambangan, khususnya industri
batu bara. Maklum, industri ini sejak 2004 tumbuh signifikan dibanding
industri lain (lihat Grafik). “Kami fokus ke sektor mining karena di
sana alat berat yang dibutuhkan biasanya besar-besar. Otomatis harga dan
nilai proyek investasi juga lebih besar. Contohnya harga dump truck
yang 100 ton, itu harganya bisa setara dengan 8 kali harga escavator
yang kelas 20 ton,” Djoko memberi alasan.
Pergeseran pilihan industri yang dilayani itu kemudian diikuti dengan
tranformasi strategi bisnis UT. “Dulu kami menyebut perusahaan kami
sebagai customer driven company dan kuat terhadap product sales.
Sekarang ke arah product support dan konsentrasi penuh ke solution
driven,” kata Djoko. Orientasi perusahaan lebih dikembangkan ke solusi
total bagi pelanggan. Jadi, UT diposisikan sebagai solution driven
company.
Tak dimungkiri, transformasi strategi itu juga dilakukan karena
perusahaan pelanggan UT di sektor pertambangan rata-rata lebih demanding
dibanding pelanggan di sektor logging (Hak Pengusahaan Hutan/Hutan
Tanaman Industri), kontruksi ataupun agro sehingga UT juga harus
menyesuaikan diri agar bisa memaksimalkan kepuasan pelanggannya.
Pelanggan pertambangan — 80% dari total pelanggan UT — rata-rata tidak
hanya membicarakan transaksional, tetapi lebih banyak membicarakan
”Apakah Anda memberi dukungan sehingga ketika kami ada masalah Anda
memberi solusi?”
Apalagi kenyataannya, pelanggan alat berat sektor pertambangan
mengeluarkan uang yang tak sedikit dalam investasi. Kini, untuk
memproduksi 1 juta ton batu bara setidaknya butuh investasi US$ 15 juta
sehingga bila ada pelanggan yang punya target produksi 5 juta ton
setahun, dia harus mengeluarkan US$ 75 juta, termasuk sebagian besar
untuk membeli alat berat ke UT. Karena investasinya yang mahal, mereka
harus bisa memastikan investasinya bisa kembali sehingga UT pun harus
memuaskan dan mampu memberi solusi ke mereka.
Yang lebih penting diketahui, transformasi yang dilakukan di UT
ternyata bukan sekadar di permukaan. Tidak selesai hanya dengan
mengatakan kini lebih fokus ke sektor pertambangan, ternyata pilihan
arah bisnis baru itu diimbangi dengan perubahan strategi organisasi dan
manajemen internal. Singkatnya, pergeseran arah bisnis itu diikuti
keberanian melakukan transformasi diri. “Kami lakukan transformasi baik
pada people, process maupun infrastructure,” ungkap Djoko.
Dari sisi proses bisnis, UT mengubah cara dalam mendekati pelanggan,
dari yang semula jualan (selling) unit alat berat menjadi memberikan
solusi total. “Dulu jualan hanya dengan memberi feature product,
menjelaskan product knowledge atau memberi leaflet, sekarang sampai
titik memberi total solution,” ujar Djoko. UT yang sekarang lebih total
dalam memikirkan pelanggan, seperti bagaimana pelanggan memulai
bisnisnya di lokasi tambang, mencarikan mitra bisnis (matchmaking),
serta menyediakan mekanik dan operator alat beratnya. Otomatis, dulu
yang ditawarkan lebih ke produk (product offering), sekarang bergeser ke
pemberian solusi.
Ketika UT jualan ban buat kendaraan alat berat, misalnya,
pendekatannya bukan sekadar menjual ban, tapi sudah menjadi tire
management solution. “Bahkan bila memungkinkan, pelanggan tak perlu
punya stok ban sendiri. Jadi, tidak harus membeli dan membayar uang
dalam jumlah besar di muka – cukup menyewa alias membayar sekian dolar
per km (cost/km). Pihak UT yang kemudian mengelola ban tersebut,” papar
Paulus Bambang W., Wapresdir UT.
Demikian pula ketika UT berjualan baterai alat berat, maka diarahkan
menjadi battery management yang mengurusi dari proses delivery barang
hingga penampungan limbah baterai itu. Di salah satu pelanggannya,
perusahaan pertambangan besar di Papua, pola ini juga diterapkan. UT
bahkan membantu menjualkan aki bekas (disposal) sehingga perusahaan
tambang itu tak repot memikirkan di mana akan membuang limbah, tetapi
justru mendapatkan uang. Cara-cara baru seperti itu tentu saja lebih
solutif bagi pelanggan. Di sisi lain, hal itu juga merupakan jurus
tersendiri bagi UT guna menghindar dari jebakan perang harga murah yang
biasa terjadi di industri ini yang kalau diikuti akan merugikan
posisinya.
Perubahan mendasar pun dilakukan dari sisi orangnya (people).
Misalnya, dulu tenaga penjualan lebih ditugaskan sebagai salesman.
Tugasnya tentu saja menjual, menjual dan menjual. Namun seiring dengan
pergeseran bisnis, mereka ditiadakan karena diubah menjadi konsultan.
Jadi, yang dibentuk bukan salesman, melainkan business consultant. Ia
tidak sekadar menjual, tetapi juga memberi informasi solusi layaknya
seorang konsultan kepada kliennya. Perubahan ini tak main-main. “Bahkan
kami adakan acara ramai-ramai bakar kartu nama yang lama secara
bersama-sama. Kalau dulu di kartu nama tertulis jabatan sales force,
kemudian diganti menjadi business consultant,” ujar Paulus mengenang.
Jajaran mekanik di lapangan juga tak luput dari transformasi. Awalnya tugas mereka hanya memperbaiki alat-alat berat yang rusak dan memelihara alat berat yang masih bagus, kemudian diubah menjadi memelihara dan mengembangkan. “Harus maintain dan improve supaya hasilnya bagus. Kalau sebelumnya alat bisa menghasilkan kerja 10 ton/jam, kemudian juga memikirkan bagaimana supaya bisa menghasilkan 11 ton/jam. Selain itu, juga memikirkan bagaimana efisiensi kebutuhan bahan bakar. Jadi, mereka mikir untuk pengembangan,” kata Paulus. Adapun para operator alat berat di lapangan, tugas mereka bukan semata-mata mengoperasikan alat, melainkan sudah memikirkan hasil kerja (produce result). “Jadi, kami memang mentransformasi orang,” Paulus menegaskan.
Jajaran mekanik di lapangan juga tak luput dari transformasi. Awalnya tugas mereka hanya memperbaiki alat-alat berat yang rusak dan memelihara alat berat yang masih bagus, kemudian diubah menjadi memelihara dan mengembangkan. “Harus maintain dan improve supaya hasilnya bagus. Kalau sebelumnya alat bisa menghasilkan kerja 10 ton/jam, kemudian juga memikirkan bagaimana supaya bisa menghasilkan 11 ton/jam. Selain itu, juga memikirkan bagaimana efisiensi kebutuhan bahan bakar. Jadi, mereka mikir untuk pengembangan,” kata Paulus. Adapun para operator alat berat di lapangan, tugas mereka bukan semata-mata mengoperasikan alat, melainkan sudah memikirkan hasil kerja (produce result). “Jadi, kami memang mentransformasi orang,” Paulus menegaskan.
Tentu saja, berbagai perubahan itu diikuti pula penambahan pada sisi
infrastruktur. Artinya, transformasi yang terjadi memang difasilitasi
betul oleh perusahaan. “Kami juga membenahi infrastruktur, termasuk
metodenya,” kata Djoko. Sebut contoh, pada masa-masa sebelumnya di UT
hanya dikenal punya kantor cabang (di kota besar) dan kantor perwakilan
(di kota kecil), tetapi dengan tranformasi itu, didirikan unit job site
facilites di berbagai lokasi tambang. “Job site facilities itu setara
dengan kantor cabang, namun investasinya jauh lebih besar. Ruang
workshop-nya jauh lebih besar dengan peralatan yang lebih lengkap, harus
ada gudang dan orang-orang yang ditempatkan.”
Demikian juga dari sisi TI. Sistem TI yang terintegrasi saja tidak
cukup, melainkan dikolaborasikan dengan pelanggan. Tak mengherankan,
sekarang UT mempersenjatai diri dengan berbagai keunggulan TI. Sistem
TI-nya bergeser dari desk base ke arah solusi yang mudah diakses di
lapangan (mobile application). Contohnya, UT menerapkan vehicle
management system untuk pengelolaan armada alat berat dan angkutan (dump
truck, dll.).
Dengan adanya vehicle management system, kalau ada kendaraan rusak
atau kurang bahan bakar di lapangan, bisa langsung diketahui karena
setiap kendaraan dihubungkan dengan sistem. Lalu, kendaraan sedang
dipakai untuk bekerja ataukah tidak pada jam tertentu akan mudah
diketahui dari kantor pusat. Termasuk kalau dari bagian leasing
diinformasikan ada pelanggan yang belum bayar, bisa tinggal pencet dari
tombol komputer di kantor pusat untuk memberi peringatan agar kendaraan
berhenti beroperasi.
Cara itu dilakukan karena melayani sektor pertambangan memang butuh
pendekatan berbeda. Ketika di bisnis kontruksi, masih bisa mengatakan:
akan melayani besok pagi karena sekarang pukul 17.00 dan kantor sudah
tutup. Namun, untuk pelanggan sektor pertambangan, cara seperti itu
tidak bisa dilakukan. “Di bisnis batu bara proses menambang berlangsung
24 jam dan setiap menggali tambang berarti uang,” kata Paulus.
Yang juga menarik, dari sisi pengembangan SDM, perusahaan tak
serta-merta menuntut karyawannya bertransformasi, misalnya agar tenaga
penjualan berubah menjadi konsultan bisnis, dll. UT memfasilitasi
berbagai kegiatan pengembangan diri. Disediakan lembaga pelatihan yang
diarahkan menjadi learning center. Karyawan yang dimasukkan ke UT
Learning Center dikembangkan hard skill plus soft skill-nya, serta
diarahkan menjadi manajer yang punya jiwa kewirausahaan tinggi agar bisa
menciptakan dan mengembangkan bisnis-bisnis di lingkup UT.
Berbagai perubahan itu diharapkan bermuara pada pelanggan dan mereka
rasakan langsung. “Intinya, kami ingin menghadirkan the lowest lifetime
cost per total output dari proses produksi pada pelanggan kami,” ujar
Djoko. Dalam pandangannya, di bisnis alat berat yang menyasar sektor
tambang seperti yang digeluti UT, satu-satunya cara berpromosi yang
efektif adalah dengan mendekati langsung pelanggan lalu menawarkan
solusi terbaik.
Nila Irjani, karyawan yang juga Head of Corporate Planning UT,
merasakan perusahaannya memang sungguh-sungguh dalam bertransformasi
menjadi solution driven company. “Mulai dari visi, kemudian deploy-nya
secara organisasi juga sungguh-sungguh dipikirkan. Kami men-setting
arahan strategi untuk masing-masing divisi, pekerjaan masing-masing
divisi apa, organisasi yang dibutuhkan seperti apa untuk tranformasi
itu. Perusahaan juga membuat learning center. Semua diarahkan ke
solution driven tersebut,” ujar Nila yang sebelumnya menekuni bidang TI.
Salah satu kesungguhan UT juga tampak dari dibentuknya divisi
perencanaan korporat yang dikepalai Nila. “Divisi ini juga dibentuk
dalam rangka transformasi, untuk memastikan proses tranformasi dari atas
ke bawah bisa alligment. Kami percaya kalau segala sesuatunya by design
dan terus di-review, jalannya lebih terkontrol. Nggak seperti orang
buta berjalan. Yang penting, kami terus konsisten,” ungkap Nila.
Yang pasti, kinerja UT di awal 2009 tetap kinclong. “Kuartal pertama
tahun ini diharapkan market share kami sudah di atas 50% dibanding tahun
lalu sekitar 48%. Kondisi keuangan kami sehat sekali. Tidak ada tidak
utang. Inventori bisa kami kontrol. Kami ingin menunjukkan bahwa apa
yang selama ini (dijalankan) memang benar-benar menghasilkan,” kata
Djoko penuh optimisme.
Apakah berarti tidak ada kendala dan gejolak dalam proses transformasi di UT?
“Secara garis besar nggak ada gejolak. Tapi yang namanya perubahan di
mana pun pasti menimbulkan kekurangnyamanan pada sebagian orang yang
merasa sudah mentok,” ungkap Djoko. Namun, ia menambahkan, sesungguhnya
yang terpenting ialah bagaimana melakukan perubahan itu sendiri. “Kami
tidak dengan cara hari ini buat konsep dan besok langsung dijalankan.
Kami lakukan proses sosialisasi dulu, dijelaskan kenapa harus berubah
dan akan dibawa ke mana. Kalau hati mereka sudah dibuka dan jelas, maka
mau dibawa ke mana saja biasanya tidak menolak. Orang UT cenderung
sangat fleksibel walau organisasi sudah tua karena sudah dari 1973,”
papar Djoko.
Lebih dari itu, transparansi dan keterbukaan sudah dibiasakan di
lingkungan UT sejak awal. Dengan cara itu, karyawan akan memberikan
pandangan secara objektif bila ada masukan yang ingin disampaikan. “UT
satu-satunya perusahaan di Grup Astra yang menerapkan sistem whistle
blower,” Djoko menunjuk. Jadi, tiap karyawan dipersilakan menyuarakan
unek-uneknya melalui surat bila ada ketidakberesan, dan identitas si
pelapor dilindungi. “Daripada mereka membuat surat kaleng, lebih baik
kami wadahi. Dia boleh melaporkan hal yang dialaminya dan dilindungi.
Itu jarang lho perusahaan yang melakukan. Jadi, tidak asal ngomong GCG
tapi praktiknya jauh dari kenyataan,” kata Djoko kembali.
Proses bisnis terus berjalan dan tantangan baru terus muncul. Seperti
dalam setengah tahun terakhir, dunia mulai dicemaskan krisis global.
Isu krisis global mau tak mau juga mesti dihadapi UT. Menanggapi dampak
krisis global, manajemen UT tampaknya optimistis dalam menyikapi.
“Untungnya tahun 2007 dan 2008, UT tidak jorjoran dengan nambah orang
dan invest di sana-sini. Makanya, sekarang tidak berkeinginan mengurangi
karyawan. Tiga bulan pertama 2009 ini menunjukkan apa yang ditakutkan
di akhir tahun lalu tidak separah yang dibayangkan,” ungkap Djoko.
Kuartal I/2009 ini revenue-nya naik 30% dibanding kuartal I/2008
walaupun volume turun.
Lebih dari itu, rupanya UT juga sudah menyiapkan strategi lanjutannya
(next level). Persisnya dalam dua tahun terakhir perusahaan ini punya
banyak bisnis baru yang mulai jalan. Tahun lalu sudah memulai bisnis
rental melalui PT Multi Prima Universal. “Makanya begitu penjualan unit
alat berat baru turun seperti sekarang, bisnis jasa rentalnya justru
naik luar biasa. Dalam tiga bulan ini naik sangat fantastis,” kata
Paulus. Usaha rental ini dulunya di UT hanya berupa divisi, tetapi sudah
setahun ini dijadikan perusahaan tersendiri.
UT pun telah memperkuat diri dengan merestrukturisasi anak usaha. UT
ingin konsentrasi di mesin alat berat yang besar (Komatsu), maka alat
yang kecil-kecil yang melayani agroforestry dll. kemudian diserahkan ke
anak usaha UT, PT Bina Pertiwi (BP). Contohnya, bisnis forklift dan
genset. Bahkan, BP sekarang juga mengerjakan bisnis telekomunikasi untuk
agro (membuat menara). “Tim di anak usaha ini baru saja
direstrukturisasi dan Pak Djoko sudah mengirimkan orang-orang terbaik UT
untuk merestrukturisasi BP. Orang eks UT dikirimkan ke sana. Antara
lain, ada orang TI di UT disuruh jadi marketing di BP, lalu direkturnya
diangkat dari kepala cabang Surabaya,” Paulus memaparkan.
Tak berhenti di situ. Tak lama lagi UT akan meluncurkan bisnis baru
bidang pengangkutan batu bara (Patria Maritim Line), lalu perusahaan
logistik untuk mengangkut alat berat dan suku cadangnya dari Jakarta ke
tujuan mana saja (PT Harmony Mitra Utama). Juga, punya PT Tuah Turangga
Agung yang mengakuisisi konsesi tambang batu bara. UT juga punya tambang
batu bara dengan cadangan 40 juta ton yang segera akan dieksplorasi.
Konsesi tambang ini dibeli dari dana hasil right issue ketiga, persis
seminggu sebelum krisis terjadi (catatan: dari right issue UT
mendapatkan tambahan modal Rp 3,6 triliun dari pemilik modal yang sudah
ada). “Kami ingin punya keuntungan bisnis di value chain. Jadi mulai
dari punya konsesinya, punya contracting, punya transportasinya. UT
sekarang diposisikan sebagai AHEME (Astra Heavy Equipment Industry,
Mining dan Energy),” ujar Djoko.
Widjaja Kartika, GM Divisi Suku Cadang UT, membenarkan perusahaannya
telah bertransformasi menjadi solution driven company. Menghadapi krisis
global, Widjaja optimistis. “Penjualan unit baru mungkin menurun, tapi
kami yang di product support seperti bisnis suku cadang dan servis
justru optimistis karena yang kami tanam tiga tahun lalu justru sekarang
berbuah. Maka, target kami justru meningkat di tahun ini. Itu yang
menurut kami lebih baik karena berarti bisnis kami sustain,” tuturnya.
Lilik Agung, pemerhati bidang manajemen yang juga Mitra Pengelola
High Leap Consulting, melihat perpindahan dari sektor konstruksi ke
sektor mining menunjukkan kejelian manajemen UT dalam memandang arah
bisnis. Apalagi, sektor pertambangan di Indonesia dan dunia pada waktu
itu mengalami booming luar biasa, sementara sektor konstruksi nyaris
jalan di tempat. Ada dua hal yang menurut Lilik menjadi alasan UT
memutar haluan bisnisnya. “Pertama, memang bisnis mining sedang tumbuh
luar biasa dan berjangka panjang. Kedua, untuk mempertahankan
dominasinya dalam bisnis alat berat.”
Dalam pengamatan Lilik, alat berat merek Komatsu yang dijual UT
menjadi penguasa pasar hanya di sedikit negara. Salah satunya,
Indonesia. “Pada mayoritas negara lain Komatsu selalu di bawah
Caterpillar. Jika UT tetap pada pilihannya melayani sektor konstruksi,
dapat dipastikan UT akan dikalahkan Trakindo (Caterpillar) yang memang
sangat kuat di sektor mining.” katanya.
Lilik memprediksi, peluang sukses transformasi UT sangat tinggi
melihat rekam jejak yang luar biasa dalam menjadikan Komatsu sebagai
nomor satu di Indonesia. Menurutnya, ada empat alasan yang mendasari
keberhasilan. Yaitu, karyawan yang mudah menyesuaikan diri dengan
perubahan internal dan eksternal, sistem rekrutmen, pengembangan,
jenjang karier, dan kompensasi di UT yang sudah sangat bagus,
infrastruktur yang dimilikinya (perkakas manajemen modern – misalnya,
Balanced ScoreCard, Six Sigma, dan sistem TI) telah memadai, budaya
perusahaan sudah tertanam kuat, serta pertumbuhan dari bisnis
pertambangan masih akan menjanjikan. “Imbas krisis global memang
berpengaruh, namun pada jangka relatif pendek. Seiring dengan membaiknya
perekonomian global, keperkasaan bisnis mining akan kembali ke posisi
semula. Sementara UT sudah siap karena memutuskan masuk ke bisnis ini,”
kata Lilik. (Galeriukm)
Sumber : Majalah Swa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar