BAB I
PENDAHULUAN
Kata kasta sudah sering kita dengar di kalangan
masyarakat Hindu. Kasta bukan warna. Kasta itu identik dengan pelapisan sosial
di masyarakat. Dari turun temurun masyarakat percaya dan masih menggunakan
sistem kasta tersebut. Kasta mulai digunakan saat pemerintahan kolonial
Belanda. Pemerintah kolonial ini membagi Bali menjadi delapan wilayah
pemerintahan tahun 1929. Oleh penjajah Belanda, para raja diwajibkan
menggunakan gelar sekaligus nama yang diberikan Belanda. Misal, I Goesti Alit
Ngoerah di Badung dan Dewa Agong Tjokorda Oka Geg Peonggawa di Klungkung.
Inilah yang disebut kebijakan Baliseering, semacam purifikasi Bali untuk
gerakan Ajeg Bali saat itu. Penjajah Belanda, selama 350 tahun menguatkan
sistem kasta karena ini sesuai dengan politik divide et impera-nya
(politik adu domba). Belanda mempertahankan kuasa melalui tangan-tangan
penguasa, terutama Brahmana dan Ksatria, dua tingkat tertinggi dalam kasta.
Kebijakan kasta memberikan dampak negatif yaitu perselisihan bertahun-tahun
bahkan hingga sekarang. Contoh perselisihan tersebut ialah terjadi di Mengwi
dan Gianyar. Di dua tempat ini, warga klan Pande melawan kalangan Brahmana yang
melarang mereka melakukan upacara tanpa dipimpin pihak Brahmana. Selama 17
tahun melawan, dari 1911 hingga 1928, akhirnya warga Pande diperbolehkan
melaksanakan upacara dipimpin seorang empu, bukan pedanda.
Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group
resulting from the division of society based on class differences of wealth,
rank, rights, profession, or job.Uraian lebih luas ditemukan pada
Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah “Casta”
bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan.
Bangsa Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan
penemupertama corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan
berkelompok; mereka menamakan tatanan itu sebagai casta. Tatanan
itu kemudian berkembang di Eropa terutama di Inggris, Perancis, Rusia,
Spanyol, dan Portugis. Sosialisasi casta di Eropa tumbuh subur karena
didukung oleh bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) dan kehidupan agraris.
BAB II
PEMBAHASAN
Para elit ketika itu adalah the king (raja), the prince (kaum
bangsawan), dan the land lord (tuan/ pemilik tanah pertanian); rakyat jelata
kebanyakan buruh tani misalnya di Rusia disebut sebagai kaum proletar
adalah kelompok mayoritas yang hina, hidup susah, dan senantiasa
menjadi korban pemerasan kaum elit. Lama kelamaan tatanan ini berubah
karena tiga hal utama, yaitu:
1. Revolusi
Perancis dan Bholshevik (Rusia) yang menghapuskan monarki dan the land lord
2.
Industrialisasi
yang mengurangi peran sektor agraris
3.
Pengembangan
Agama Kristen yang menonjolkan segi kasih sayang di antara umat manusia
Walaupun demikian casta tidak hilang sama sekali. Ia berubah wujud
sebagai “Class System” yang didefinisikan sebagai: A differentiation
among men according to such categories as wealth, position, and power (perbedaan
manusia menurut kekayaan, posisi/status dan kekuasaan). Class System ini
dianalisis secara ilmiah oleh berbagai tokoh masyarakat; yang terkemuka
adalah Karl Marx dengan teorinya: The relations of production. Inilah
embrio pemahaman sosialis komunis yang ingin meniadakan perbedaan kelas masyarakat,
di mana pemerintah menguasai sumber-sumber kehidupan dan mengupayakan perimbangan
income yang wajar di antara rakyatnya.
Peredaran zaman menuju ke abad 20 membawa Class Theory yang klasik
seperti pemikiran Karl Marx berubah menuju era baru seperti apa yang
disebut sebagai Class Mobility, yaitu pengelompokan sosial karena
kepentingan profesi. Kini kita biasa mendengar kelompok-kelompok: usahawan, birokrat, intelektual, militer, dan
rohaniawan; mereka kemudian mengikat diri lebih khusus ke dalam
organisasi-organisasi seperti: IKADIN, IDI, ICMI, ICHI, MUI, PHDI, dll.
India yang disebut dalam berbagai sumber sebagai asal Kasta Stelsel,
sebenarnya mempunyai sekitar 3000 kelompok sosial masyarakat, namun pada
umumnya dapat dibedakan menjadi empat. Pengelompokan ini di India tidak hanya
ditemukan pada masyarakat yang beragama Hindu saja, tetapi juga pada masyarakat
yang beragama lain misalnya penganut Islam berkelompok pada: Sayid, Sheikh,
Pathan, dan Momin; penganut Kristen berkelompok pada: Chaldean Syrians,
Yacobite Syrians, Latin Catholics, dan Marthomite Syrians; penganut Budha
berkelompok pada: Mahayana, Hinayana, dan Theravadi.
Untuk memastikan sejak kapan kasta muncul di India memang menjadi persoalan yang amat sulit dibuktikan.
E.A Gait mengemukakan pendapatnya bahwa mula-mula bangsa Arya tak suka
perkawinan antar suku. Suku bangsa Arya di India menganggap suku Dravida lebih
rendah harkat dan martabatnya. Keadaan ini didasarkan pada latar belakang sejarah
kedatangan bangsa Arya ke India. Menurut hypotesa Prof.Giles suku Arya yang ada
di India sekarang berasal dari Eropa Tengah. Kedatangan suku Arya yang pada
awalnya tidak suka kawin dengan orang-orang pribumi yang kulitnya hitam. Tetapi
lama-kelamaan prajurit-prajurit Arya kesulitan mendapatkan istri. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya percampuran darah antar suku bangsa Arya yang kulitnya
putih dengan suku bangsa Dravida yang kulitnya hitam. Percampuran bangsa Arya
dan Dravida inilah mendatangkan pelapisan sosial yang disebut kasta (Ketut
Wiana & Raka Santeri:19).
Istilah pertama yang digunakan di India sesungguhnya bukanlah kasta tetapi
“Varnas” Bahasa Sanskerta yang artinya Warna (colour); ditemukan dalam
Rg Veda sekitar 3000 tahun sebelum Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya
(prajurit dan pemerintah), Vaishya (pedagang/ pengusaha), dan Sudra
(pelayan). Tiga kelompok pertama disebut “dwij” karena kelahirannya
diupacarai dengan prosesi penyucian.
Sementara itu, Warna yang diabadikan bahkan diwariskan turun temurun
terjadi di India sebagai usaha kelompok elit mempertahankan status quo, yang
sebenarnya sudah sangat menyimpang dari ajaran suci Weda. Gejala mengabadikan
Warna inilah yang dilihat oleh orang-orang Portugis sehingga timbullah istilah
“casta” seperti yang diuraikan di atas. Penerapan kasta stelsel di India
menimbulkan pengkotak-kotakan masyarakat sehingga mereka saling bertikai. Dalam
kondisi seperti ini jiwa nasionalisme pudar sehingga India mudah dipecah belah
dan akhirnya dijajah Inggris.
Agama Hindu kemudian menyebar ke Indonesia lengkap dengan tatanan
masyarakat menurut Warna masing-masing. Mula-mula di Jawa tatanan masyarakat
masih murni menurut Weda yaitu tatanan menurut profesi atau Warna. Ketika
Majapahit hendak meluaskan kerajaan dengan cita-cita menyatukan Nusantara yang
terkenal dengan Sumpah Palapa-nya Gajahmada, maka Majapahit menundukkan
Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13. Para “penjajah Majapahit” membawa serta
kaum elit yang memimpin kerajaan Samprangan. Kaum elit itu dinamakan Triwangsa,
yaitu Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Semua penduduk Bali asli yang dijajah,
dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra. Tujuan politik Gajahmada adalah agar kaum
Bali-asli tidak bisa eksis, sehingga kelanggengan pemerintahan Samprangan dapat
berlanjut terus.
Titel bagi para Raja di Bali dikukuhkan/dianugrahkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda setelah terwujudnya Pemerintahan Swapraja, berlaku efektif sejak
tanggal 1 Juli 1938. Pengambilan sumpah jabatan para Raja itu dilaksanakan di
Pura Besakih pada tanggal 29 Juni 1938 bertepatan dengan hari raya Galungan
oleh Residen Bali dan Lombok: J. Mol(sumber: Bali pada abad XIX, Ida Anak Agung
Gde Agung, Gajahmada University Press,1989).
Sejak masa itulah Warna di Bali berubah menjadi Wangsa atau Kasta karena hak-hak
kebangsawanan diturunkan kepada generasi seterusnya. Kebijaksanaan ini menjadi
panutan bagi sebagian golongan Triwangsa lainnya. Setelah kerajaan-kerajaan di
Bali runtuh, kemudian Indonesia menjadi negara Republik, hak-hak kebangsawanan
mereka dengan sendirinya hilang. Yang menjadi persoalan sekarang adalah
kaburnya pengertian antara kasta dan warna dalam Hindu karena pendidikan yang
rendah dan kurang tersebarnya kitab-kitab suci Weda. sehingga para rohaniawan
yang memang Brahmana sesuai konsep catur warna, misalnya sampai keturunananya
pun ikut disebut Brahmana, padahal keturunannya itu bukan seorang rohaniawan
(Ketut Wiana & Raka Santeri:23).
Terjadi perkembangan sedemikian rupa dalam masyarakat khususnya masyarakat non-Hindu yang menggunjingkan tentang
sitem warna ini yang dikaburkan atau dicampur adukan dengan sistem kasta (Ketut
Wiana & Raka Santeri:30).
Sebuah buku yang ditulis oleh seorang pengajar perbandingan agama,
menguraikan pengertian catur warna sebagai berikut : Jumlah waran ada 4 yaitu
Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari keempat kelompok tersebut, Brahmana
yang paling tinggi. Pembagian golongan ini didasarkan pada kelahiran.
Pengertian warna ini sama dengan kasta.
Seorang Guru Besar Ilmu Filsafat dalam bukunya Pembimbing Ke Arah Filsafat
menuliskan sebagai berikut : adapun seluruh masyarakat Hindu dapat dibagi 4
tingkatan Kasta yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Keempat tingkatan
ini ditentukan oleh kelahiran sehingga bagaimanapun orang berusaha, tak dapat
ia beralih dari satu kasta ke kasta lainnya. Demikian dua contoh pandangan para
ahli sejarah dan filsafat yang non-Hindu yang tidak meneliti pengertian warna
dari sumber-sumber kitab suci agama Hindu (Ketut Wiana & Raka Santeri:31).
Kedua para ahli tersebut, mungkin terbatas mendapatkan kitab-kitab suci
Hindu. Tetapi jangankan kedua para ahli tersebut, masyarakat Bali yang notabene
sebagaian besar beragama Hindu masih rancu atau adanya kesalahpahaman mengenai
sistem kasta dan warna. Hal ini disebabkan karena masih rendahnya pendidikan
dan belum banyak membaca kitab-kitab suci dan ajaran–ajaran Hindu. Contohnya
saja seorang keturunan raja diberi gelar seperti raja padahal ia tidak menjabat
sebagai raja.
Dalam Lontar Wrhaspati Tattwa dijelaskan: Paramasiwa kesadarannya mulai
tersentuh oleh Maya; ketika itu ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna,
dan swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi Wasa. Dalam
keadaan begini ia diberi gelar Sadasiwa. Ia memiliki kekuatan untuk
memenuhisegala kehendaknya yang disimpulkan sebagai bunga teratai (padma)
yang merupakan stana-Nya. Dengan sakti, guna, dan swabawa-Nya ia aktif dengan
segala ciptaan-Nya, karena itu ia disebut Saguna Brahman. Dalam menciptakan
manusia ia tidak membedabedakan derajat manusia. Catur Warna adalah: Brahmana,
Kesatria, Wesya, dan Sudra. Pengelompokannya menurut bakat/ kualitas manusia
dan kerjanya:
1. Orang yang berbakat,
berkualitas, dan bekerja di bidang ke-Tuhanan disebut Brahmana.
2.
Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang pemerintahan
disebut Kesatria.
3.
Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang perekonomian
disebut Waisya.
4.
Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang pelayanan
disebut Sudra.
Keempat kelompok profesi ini diperlukan dalam tatanan kehidupan manusia,
oleh karena itu Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan manusia-manusia yang berbeda,
tidak sama semuanya. Tidaklah dapat dibayangkan bagaimana bentuk kehidupan ini
jika semua manusia persis sama: bakat, kualitas, dan kerjanya.
Warna seseorang dapat berubah menurut desa, kala, patra, dan juga dapat
dirangkap oleh satu orang. Perubahan menurut desa, kala, patra sudah terjadi
sejak dahulu, misalnya di abad ke 13 M ketika Danghyang Kresna Kepakisan (Warna
Brahmana) dinobatkan sebagai Raja Bali Dwipa oleh Sri Ratu Tribuwanattunggadewi
(Raja Majapahit) gelarnya diubah menjadi Sri Kresna Kepakisan (Warna Kesatria).
Warna seseorang tidak selamanya tetap apalagi turun temurun; misalnya seorang
petani (berwarna Sudra) karena ketekunannya berhasil menyekolahkan anaknya dan
di kemudian hari menjadi bupati maka anaknya sudah menjadi Warna Ksatriya;
demikian sebaliknya seorang keturunan Brahmana yang tidak lagi berprofesi
sebagai Wiku tidak dapat disebut sebagai Warna Brahmana. Perubahan status pada
seseorang bahkan dapat terjadi setiap saat menurut bidang tugasnya, misalnya
seorang pesuruh di suatu kantor yang merangkap menjadi Pemangku di Pura/Sanggah
Pamerajan; ketika bertugas sebagai pesuruh dia berwarna Sudra, tetapi jika
bertugas nganteb piodalan di Pura dia berwarna Brahmana.
Kesimpulannya adalah Warna itu realistis dan idealnya semua profesional
berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan umat
manusia. Ke-empat Warna itu status dan derajatnya sama, tidak ada yang lebih
tinggi dan tidak ada yang lebih rendah, karena wujudnya adalah
professionalisme.
Wangsa adalah bangsa. Karena bangsa berkonotasi dengan etnis, maka sifatnya
turun temurun. Misalnya anak pasangan suami/istri berbangsa Cina tidak mungkin
mengaku anak orang berbangsa Negro. Di Bali, wangsa sering dikaitkan dengan
istilah Kasta. Kasta artinya tingkatan derajat (Cast) yang membedakan
dengan tingkatan atau derajat (Cast) yang lain. Secara umum konotasi
ke-wangsa-an berkaitan dengan politik, perjuangan, dan kekuasaan. Lama kelamaan
wangsa menjadi kasta, dan Warna menjadi wangsa, sehingga sekarang ditemukan:
Kasta Brahmana, Kasta Kesatria, Kasta Wesya, Kasta Sudra, dengan atribut/ titel
yang tidak berdasarkan kitab suci. Oleh karena pembauran Warna dengan wangsa/
kasta, maka atribut/ titel itupun diwariskan turun temurun. Kejanggalan tidak
sedikit terjadi, misalnya seorang wangsa Brahmana berprofesi sebagai Warna
Sudra, demikian sebaliknya. Banyak yang berdalih bahwa mewariskan wangsa kepada
keturunan adalah sebagai wujud penghormatan kepada leluhur. Ini tampaknya
kurang bijaksana, karena pola pikir seperti itu telah menyimpang dari Weda.
Menurut Bhagawan Dwija, upaya yang dilakukan untuk memudarkan kasta yaitu
perlakukan orang-orang berkasta itu biasa-biasa saja. Hormati mereka
berdasarkan inteligensi dan pengabdiannya kepada masyarakat. Bukan karena titel
kebangsawanannya. Satu lagi yang sebaiknya diterapkan di masyarakat Hindu :
bila seorang gadis dinikahi oleh seorang dari kaum Triwangsa sebaiknya namanya
tidak usah diganti misalnya ketika gadis bernama Made Arini, lalu karena
menikah dengan Ida Bagus/Anak Agung/I Gusti namanya diganti menjadi Jero
Jempiring. Karena tidak ada aturan tentang hal tersebut dalam sastra Agama. Ini
hanyalah tradisi gugon tuwon yang berbau feodal. Lontar Dharma Kauripan
mengatakan bahwa yang berhak memberi
nama atau merubah nama seorang anak hanyalah ayah dan ibu kandungnya (Guru
Rupaka).
Nama diberikan ketika upacara tiga bulanan, disaksikan oleh Ida Bethara
Hyang Guru (Kemulan), karena itu ada unsur sakralnya. Anak yang namanya
diganti bukan atas kehendak orang tuanya akan menemui kesialan dalam hidup
selanjutnya, karena terkena kutukan prasangga pada Guru Rupaka. Dan
mudah-mudahan juga ketika natab banten pekala-kalaan si Jero Jempiring
tidak natab bersama keris sebagai ganti sang suami. Kalau ini juga
terjadi penyimpangan dharma agama akan makin melebar. Seorang lelaki yang
menikahi seorang gadis yang berbeda wangsa tidak hanya mencintai dan menyayangi
gadis itu saja, tetapi juga wajib menghormati dan menyayangi keluarga si gadis,
termasuk para leluhurnya. Ngaturang bakti di sanggah pamerajan pihak wanita
tidak selamanya berarti “nyumbah” leluhur si gadis, tetapi (dalam
upacara Pawiwahan) lebih bermakna sebagai permakluman dan perkenalan
diri kepada para leluhur si gadis. Yang terakhir, perlu dipahami bahwa upacara Mepamit
tidak berarti mohon diri kepada Ida Bethara di Sanggah Pamerajan, tetapi
berarti pemindahan registrasi (secara niskala), yaitu registrasi di
Sanggah Pamerajan gadis dicoret kemudian terdaftar di Sanggah Pamerajan
laki-laki, sehingga nanti bila meninggal dunia lalu di-aben, arwah si
gadis sudah sah “mepaingkup” di Sanggah Pamerajan laki-laki.
BAB III
KESIMPULAN
Pengaruh Kasta di Bali pada mulanya
berasal dari India saat penyebaran Agama Hindu. Mula-mula di Bali dan Jawa
tatanan masyarakat masih murni menurut Weda. Ketika Majapahit hendak meluaskan
kerajaan dengan patihnya Gajah Mada. Ia menundukan Bali dengan mengelompokan
penduduk menjadi tiga kelompok yaitu Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Kemudian
ketika pemerintahan Hindia Belanda, sistem kasta ini terus dilanjutkan dengan
tujuan memecah belah persatuan.
Kesalahpahaman antara kasta dan
warna terjadi pada orang-orang non Hindu
karena mereka tidak meneliti dengan berpedoman pada kitab-kitab suci Agama
Hindu. Sementara itu, sebagain umat Hindu yang pendidikannya masih rendah dan
belum banyak membaca kitab-kitab suci dan ajaran Hindu masih terjadi
kesalahpahaman dalam mengartikan antara kasta dan warna.
Dalam kitab-kitab suci Agama Hindu
seperti Bhagawan Gita, Manawa Dharma Sastra, dan Yajur Weda menyebutkan tidak
adanya istilah yang menyinggung kasta yang ada hanya warna yang membagi
masyarakat berdasarkan guna dan karmanya dan tidak ditentukan karena
kelahirannya.
Upaya yang dilakukan untuk
memudarkan sistem kasta adalah menghormati mereka berdasarkan inteligensi dan
pengabdiannya kepada masyarakat, bukan karena titel kebangsawanannya.
DAFTAR
RUJUKAN
Ø Wirawan
Afdila, I Kade. 2012. Kasta sikap
Diskrimitif Orang Bali. (Online)
(http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/20/kasta-sikap-diskriminatif-orang-bali/ , diakses
pada tanggal 12 Desember 2013)
Ø Dwija,
Bhawagan. 2012. Riwayat Kasta di Bali.
(Online) (http://stitidharma.org/riwayat-kasta-di-Bali/ , diakses
pada tanggal 12 Desember 2013)
Ø Wiana Ketut
& Sateri Raka.1993.Kasta dalam Hindu: Kesalahpahaman
Berabad-abad. Denpasar :Yayasan Dharma Naradha
Ø Kerepun
Kembar,Made.2007.Mengurai Benang Kusut
Kasta. Denpasar:
Ø PT Empat
Warna Komunikasi
makalah
sistem kasta di bali
DISUSUN OLEH :
NAMA :
MARTINI
KELAS : XI
SMA
NEGERI 1 RAHA
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar