BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk
individu yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan manusia lain.
Sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di antara individu-individu (manusia)
kemudian lahirlah kelompok-kelompok sosial (social group) yang dilandasi oleh
kesamaan-kesamaan kepentingan bersama. Namun bukan berarti semua himpunan
manusia dapat dikatakan kelompok sosial. Untuk dikatakan kelompok sosial
terdapat persyaratan-persyaratan tertentu. Dalam kelompok social yang telah
tersusun susunan masyarakatnya akan terjadinya sebuah perubahan dalam susunan
tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Karena perubahan merupakan hal yang
mutlak terjadi dimanapun tempatnya.
Perubahan sosial adalah
perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas, ia
dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan norma” serta “pran”.
Dengan demikina, istilah yang lebih lengkap mestinya adalah “perubahan
sosial-kebudayaan” karena memang antara manusia sebagai makhluk sosial tidak
dapat dipisahkan dengan kebudayaan itu sendiri.
Cara yang paling
sederhana untuk mengerti perubahan sosial (masyarakat) dan kebudayaan itu,
adalah dengan membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat itu sendiri, bahkan jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih jelas
lagi mengenai perubahan mayarakat dan kebudayaan itu, maka suatu hal yang
paling baik dilakukan adalah mencoba mengungkap semua kejadian yang sedang
berlangsung di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.
Kenyataan mengenai
perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi
diantaranya: ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak”
(direction of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak
meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu
mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali,
akan tetapi boleh pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam
waktu yang lampau.
Kebanyakan definisi membicarakan
perubahan dalam arti yang sangat luas. Wilbert Moore misalnya, mendefinisikan
perubahan sosial sebagai “perubahan penting dari stuktur sosial” dan yang
dimaksud dengan struktur sosial adalah “pola-pola perilaku dan interaksi
sosial”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perubahan social dalam suatu
kajian untuk melihat dan mempelajari tingkah laku masyarakat dalam kaitannya
dengan perubahan.
2.
Perumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah
yang dapat dikaji dari uraian-uraian di atas antara lain:
1. Apa definisi dari perubahan sosial dalam masyarakat dan bagaimana pendapat
para ahli tentang perubahan sosial?
2. Sebutkan tipe-tipe dari perubahan sosial?
3. perubahan sosial apa yang terjadi di Poso ?
4. Bagaimana situasi Poso setelah Konflik ?
3.
Tujuan
Makalah ini bertujuan
untuk:
1.
Untuk mengetahui macam-macam definisi dari
perubahan sosial dari masyarakat.
2.
Untuk mengetahui tipe-tipe deri perubahan
sosial dari masyarakat.
3.
untuk mengetahui perubahan sosial yang
terjadi di poso
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah
proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial.
Perubahan tersebut terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang
diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan. Proses perubahan
sosial biasa tediri dari tiga tahap:
- Invensi, yakni proses di mana ide-ide baru
diciptakan dan dikembangkan
- Difusi, yakni proses di mana ide-ide baru itu
dikomunikasikan ke dalam sistem sosial.
- Konsekuensi, yakni perubahan-perubahan yang
terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan
inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu
mempunyai akibat.
Dalam menghadapi
perubahan sosial budaya tentu masalah utama yang perlu diselesaikan ialah
pembatasan pengertian atau definisi perubahan sosial (dan Wilbert E.
Maore, Order and Change, Essay in Comparative Sosiology, New York, John Wiley
& Sons, 1967 : 3. perubahan kebudayaan) itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi
dan antropologi telah banyak membicarakannya.
Menurut Max Weber dalam
Berger (2004), bahwa, tindakan sosial atau aksi sosial (social
action)tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan
dicapai oleh pelaku. Tindakan sosial dapat dipisahkan menjadi empat macam
tindakan menurut motifnya: (1) tindakan untuk mencapai satu tujuan tertentu,
(2) tindakan berdasar atas adanya satu nilai tertentu, (3) tindakan emosional,
serta (4) tindakan yang didasarkan pada adat kebiasaan (tradisi).
Aksi sosial adalah aksi
yang langsung menyangkut kepentingan sosial dan langsung datangnya dari
masyarakat atau suatu organisasi, seperti aksi menuntut kenaikan upah atau
gaji, menuntut perbaikan gizi dan kesehatan, dan lain-lain. Aksi sosial adalah
aksi yang ringan syarat-syarat yang diperlukannya dibandingkan dengan aksi
politik, maka aksi sosial lebih mudah digerakkan daripada aksi politik. Aksi
sosial sangat penting bagi permulaan dan persiapan aksi politik. Dari aksi
sosial, massa/demonstran bisa dibawa dan ditingkatkan ke aksi politik. Aksi
sosial adalah alat untuk mendidik dan melatih keberanian rakyat. Keberanian itu
dapat digunakan untuk: mengembangkan kekuatan aksi, menguji barisan aksi,
mengukur kekuatan aksi dan kekuatan lawan serta untuk meningkatkan menjadi aksi
politik. Selanjutnya Netting, Ketther dan McMurtry (2004) berpendapat bahwa,
aksi sosial merupakan bagian dari pekerjaan sosial yang memiliki komitmen untuk
menjadi agen atau sumber bagi mereka yang berjuang menghadapi beragam masalah
untuk memerlukan berbagai kebutuhan hidup.
Perubahan sosial dalam
masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah
proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh
anggota masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang
menarik untuk memahami perubahan sosial. Kurt Lewin dikenal sebagai bapak
manajemen perubahan, karena ia dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial
yang secara khusus melakukan studi tentang perubahan secara ilmiah. Konsepnya
dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai
model power-based karena menekankan kekuatan-kekuatan penekanan.
Menurutnya, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap
kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan
(drivingforces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah.
Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan
melemahkan resistences to change.
Langkah-langkah yang
dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu: (1) Unfreezing, merupakan
suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah,
(2) Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving
forces maupun memperlemah resistences, dan (3) Refreesing,membawa
kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic
equilibrium). Pada dasarnya perilaku manusia lebih banyak dapat dipahami dengan
melihat struktur tempat perilaku tersebut terjadi daripada melihat kepribadian
individu yang melakukannya. Sifat struktural seperti sentralisasi, formalisasi
dan stratifikasi jauh lebih erat hubungannya dengan perubahan dibandingkan
kombinasi kepribadian tertentu di dalam organisasi.
Lippit (1958) mencoba
mengembangkan teori yang disampaikan oleh Lewin dan menjabarkannya dalam
tahap-tahap yang harus dilalui dalam perubahan berencana. Terdapat lima tahap
perubahan yang disampaikan olehnya, tiga tahap merupakan ide dasar dari Lewin.
Walaupun menyampaikan lima tahapan Tahap-tahap perubahan adalah sebagai
berikut: (1) tahap inisiasi keinginan untuk berubah, (2) penyusunan perubahan
pola relasi yang ada, (3) melaksanakan perubahan, (4) perumusan dan stabilisasi
perubahan, dan (5) pencapaian kondisi akhir yang dicita-citakan.
Konsep pokok yang
disampaikan oleh Lippit diturunkan dari Lewin tentang perubahan sosial dalam
mekanisme interaksional. Perubahan terjadi karena munculnya
tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan
bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan
(resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan
memperkuat driving forcesdan melemahkan resistences to change. Peran
agen perubahan menjadi sangat penting dalam memberikan
kekuatan driving force.
Atkinson (1987) dan
Brooten (1978), menyatakan definisi perubahan merupakan kegiatan atau proses
yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan
merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau
institusi. Ada empat tingkat perubahan yang perlu diketahui yaitu pengetahuan,
sikap, perilaku, individual, dan perilaku kelompok. Setelah suatu masalah
dianalisa, tentang kekuatannya, maka pemahaman tentang tingkat-tingkat
perubahan dan siklus perubahan akan dapat berguna.
Etzioni (1973)
mengungkapkan bahwa, perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti
halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat.
Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang
memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan
sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan August
Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu
masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif.
Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu
bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Menurut Spencer, suatu
organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi
diferensiasi antar organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh
kompleksitas, differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada
dasarnya berarti pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan
perubahan dari keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan
bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern
justru tidak stabil yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri.
Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi
suatu stabilitas menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai
dengan meningkatnya perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan
pemerintah, berakhirnya peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara
dan terwujudnya masyarakat global.
Seperti halnya Spencer,
pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte
yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus
menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut
dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa
setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran
tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang
menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan
adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi
dan terspesialisasi.
Membahas tentang
perubahan sosial, Comte membaginya dalam dua konsep yaitu social
statics(bangunan struktural) dan social dynamics (dinamika struktural).
Bangunan struktural merupakan struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu.
Bahasan utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyarakat yang melandasi
dan menunjang kestabilan masyarakat. Sedangkan dinamika struktural merupakan
hal-hal yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Perubahan pada
bangunan struktural maupun dinamika struktural merupakan bagian yang saling
terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Kornblum (1988),
berusaha memberikan suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup
perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun
immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan
material terhadap unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai
perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
Definisi lain dari
perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga
kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya.
Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan
kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya
(Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam
unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan
dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan.
Moore (2000), perubahan
sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan
mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi,
filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi
organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas
dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan
kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan
(Soekanto, 1990). Aksi sosial dapat berpengaruh terhadap perubahan sosial
masyarakat, karena perubahan sosial merupakan bentuk intervensi sosial yang
memberi pengaruh kepada klien atau sistem klien yang tidak terlepas dari upaya melakukan
perubahan berencana. Pemberian pengaruh sebagai bentuk intervensi berupaya
menciptakan suatu kondisi atau perkembangan yang ditujukan kepada seorang klien
atau sistem agar termotivasi untuk bersedia berpartisipasi dalam usaha
perubahan sosial.
Akhirnya dikutip
definisi Selo Soemardjan yang akan dijadikan pegangan dalam pembicaraan
selanjutnya. “Perubahan –perubahan sosial adalah segala perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Penantar, (Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia, 1974), hal. 217 mempengaruhi sistem sosialnya, termasuka didalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola per-kelakukan diantara kelompok-kelompok
dalam masyarakat”. Definisi ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang
selanjutnya mempengaruhi segi-segi lain struktur masyarakat. Lembaga social
ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup untuk mencapai tata tertib melalui
norma.
Definisi lain dari
perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga
kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya.
Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan
kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya
(Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam
unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya
perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin
(1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan
yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.
Perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup
semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan
lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial
masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan
perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan
perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
B.
Tipe-Tipe Perubahan
Dalam pandangan awan
setiap perubahan yang terjadi pada masyarakat disebut dengan perubahan sosial.
Apakah perubahan itu mengenai pakaian, alat transportasi, pertambahan penduduk,
ataupun tingkah laku anak muda. Pada beberapa pemikir terdapat tiga tipe
perubahan yaitu: perubahan peradaban, perubahan, budaya dan perubahan sosial.
1.
Perubahan peradaban
Perubahan adalah
keniscayaan, dan perubahan ke arah yang lebih baik tentunya merupakan hasrat
dari setiap individu maupun organisasi. Keharusan sejarah, kita semua
terus menerus berhadapan dengan sejarah perkembangan peradaban bangsa yang
bergerak ke depan dan tak pernah balik. V. Gordon Childe seorang arkeolog, mendefinisikan
peradaban sebagai suatu transformasi elemen-elemen budaya manusia, yang berarti
transformasi dalam penguasaan tulis-menulis, metalurgi, bangunan arsitektur
monumental, perdagangan jarak jauh, standar pengukuran panjang dan berat, ilmu
hitung, alat angkut, cabang-cabang seni dan para senimannya, surplus produksi,
system pertukaran atau barter dan penggunaan bajak atau alat bercocok tanam
lainnya.
Bila kita amati secara
lebih mendasar lagi, tingkat peradaban manusia terekspresikan dalam tiga indikator
utama yaitu bahasa, budaya (segala bentuk dan ragam seni, ilmu pengetahuan dan
teknologi) dan agama. Selanjutnya, ketiganya menjadi ciri suatu ras atau bangsa
tertentu, beserta suku-sukunya dalam perwilayahan geografisnya masing-masing.
Akan tetapi dalam memaknai perubahan peradaban kita harus berpedoman bahwa
tidak semua yang kontemporer itu baik dan sebaliknya tidak semua yang lama itu
usang dan tidak relevan dengan kehidupan saat ini. Dalam kacamata budaya,
bangsa yang besar belajar untuk mengganti apa yang buruk dari budayanya, dan
menjaga hal yang baik dari budayanya.
Perubahan peradaban yang
dimaksud pada alinea sebelumnya, prosesnya harus didesain dengan kesadaran,
kesengajaan, kebersamaan, dan komitmen, yang didasarkan atas nilai-nilai
kehidupan yang benar. Selanjutnya melalui pendidikanlah, kita dapat berharap
wujudnya yaitu dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan yang cerdas
inilah yang patut menjadi dasar sebuah peradaban yang kokoh dan sehat.
Pendidikan adalah syarat mutlak berkembangya peradaban. Tanpa pendidikan yang
memadai, tidak aka nada SDM yang mampu membawa perubahan peradaban ke arah yang
lebih baik.
Melalui fungsi
pendidikan dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka akan
lahirlah generasi yang mampu melaksanakan prinsip how to change the world
(bagaimana mengubah dunia) bukan hanya how to see the world (bagaimana melihat
dunia). Dan juga, how to lead the change (bagaimana memimpin perubahan), dan
bukan hanya how to follow the change (bagaimana ikut dalam perubahan). Oleh
karena itu, output pendidikan harus diarahkan menjadi agen perubahan (agent of
change). Di sinilah peran pendidikan, di dalam rangka merekat keutuhan dan
kesatuan bangsa, menjadi amat sangat menentukan.
Perubahan peradaban
biasanya dikaitkan dengan perubahn-perubahan elemen atau aspek yang lebih
bersifat fisik, seperti transportasi, persenjataan, jenis-jenis bibit unggul
yang ditemukan, dan sebagainya. Perubahan budaya berhubungan dengan perubahan
yang bersifat rohani seperti keyakinan, nilai, pengetahuan, ritual, apresiasi
seni, dan sebagainya. Sedangkan perubahan sosial terbatas pada aspek-aspek
hubuingan sosial dan keseimbangannya. Meskipun begitu perlu disadari bahwa
sesuatu perubahan di masyarakat selamanya memiliki mata rantai diantaranya
elemen yang satu dan eleman yang lain dipengaruhi oleh elemen yang lainnya.
2.
Perubahan kebudayaan
Pengertian perubahan
kebudayaan adalah suatu keadaan dalam masyarakat yang terjadi karena
ketidak sesuaian diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga
tercapai keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan.
Contoh :
Masuknya mekanisme
pertanian mengakibatkan hilangnya beberapa jenis teknik pertanian tradisional seperti
teknik menumbuk padi dilesung diganti oleh teknik “Huller” di pabrik
penggilingan padi. Peranan buruh tani sebagai penumbuk padi jadi kehilangan
pekerjaan.
Semua terjadi karena
adanya salah satu atau beberapa unsur budaya yang tidak berfungsi lagi,
sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan didalam masyarakat. Perubahan dalam
kebudayaan mencakup semua bagian yaitu : kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi
dan filsafat bahkan perubahan dalam bentuk juga aturan-aturan organisasi
social. Perubahan kebudayaan akan berjalan terus-menerus tergantung dari
dinamika masyarakatnya.
Ada faktor-faktor yang
mendorong dan menghambat perubahan kebudayaan yaitu:
a.
Mendorong perubahan kebudayaan
§
Adanya unsur-unsur kebudayaan yang
memiliki potensi mudah berubah, terutama unsur-unsur teknologi dan ekonomi (
kebudayaan material).
§
Adanya individu-individu yang mudah
menerima unsur-unsur perubahan kebudayaan, terutama generasi muda.
§
Adanya faktor adaptasi dengan lingkungan
alam yang mudah berubah.
b.
Menghambat perubahan kebudayaan
§
Adanya unsur-unsur kebudayaan yang
memiliki potensi sukar berubah seperti :adat istiadat dan keyakinan agama (
kebudayaan non material)
§
Adanya individu-individu yang sukar
menerima unsure-unsur perubahan terutama generasi tu yang kolot.
C.
Perubahan Sosial
Sedangkan perubahan
sosial terbatas pada aspek-aspek hubuingan sosial dan keseimbangannya. Meskipun
begitu perlu disadari bahwa sesuatu perubahan di masyarakat selamanya memiliki
mata rantai diantaranya elemen yang satu dan eleman yang lain dipengaruhi oleh
elemen yang lainnya. Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu
teori kemunculan diktator dan demokrasi, teori perilaku kolektif, teori
inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial.
Teori Barrington Moore
Teori yang disampaikan
oleh Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik
sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang
dianalisis oleh Moore adalah negara yang telah berhasil melakukan transformasi
dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis
besar proses transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu
demokrasi, fasisme dan komunisme.
Demokrasi merupakan
suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis.
Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya
dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah.
Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung
saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan
ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran
kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang
mengambil jalan demokrasi dalam proses transformasinya adalah Inggris, Perancis
dan Amerika Serikat.
Berbeda halnya
demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan
oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang
memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang
memilih jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok
borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman
merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.
Komunisme lahir melalui
revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha eksploitatif
yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan
oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada
kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa
kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang
mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif
(primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas
(scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat
feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada
tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan”
perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan
mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum
borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan
komunisme dalam proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.
Teori Perilaku Kolektif
Teori perilaku kolektif
mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan
sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam
jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan
baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik
status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat
ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar
individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.
Perubahan pola hubungan
antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi
atau konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik
inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk
merubah norma dan nilai.
Teori Inkonsistensi
Status
Stratifikasi sosial pada
masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat dengan jelas dibandingkan pada
masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan
yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status
sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk
status yang diperoleh sejak dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan
cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul seiring perubahan moda produksi
agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai dengan pembagian kerja dan
kemunculan organisasi kompleks.
Perubahan moda produksi
menimbulkan maslaah yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang baru
dengan segala keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring
perkembangan kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan,
pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan
inkonsistensi status pada individu.
D.
REKONSTRUKSI KONFLIK POSO (1998-2001)
Kerusuhan yang terjadi
di Poso, Sulawesi Tengah ini secara umum merupakan konflik horizontal antar
kelompok masyarakat setempat. Dilihat dari sisi dinamika kelompok (in
group-outgroup), sikap keberpihakan dan identitas keagamaan dari para warga
dan tokoh-tokoh yang terlibat, secara kasat mata terlihat bahwa dalam konflik
kerusuhan Poso melibatkan kelompok muslim (putih) di satu pihak dan kelompok
Kristiani (merah) di pihak yang lain. Namun begitu tidak berarti bahwa secara
otomatis “agama” merupakan faktor utama penyebab konflik.
Faktor Pemicu Konflik
Poso
Dalam laporan Pemda Poso
tertanggal 7 Agustus 2001 dinyatakan antara lain bahwa kerusuhan Poso diawali
sebuah kasus kriminalitas biasa (perkelahian) antara beberapa oknum pemuda.
Namun dalam waktu singkat berkembang sedemikian rupa menadi isu SARA, sehingga
mengundang konflik massa yang tidak terkendali dan mengakibatkan timbulnya
kerusuhan. Berkembangnya masalah kriminalitas tersebut menadi isu SARA tidak
berjalan dengan sendirinya, tetapi telah dimananfaatkan dan direkayasa
sedemikian rupa menadi sebuah isu SARA oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab dengan latar belakang kepentingan tertentu.
Konflik individual ini
kemudian melibatkan kelompok pemuda agama (masing-masing perwakilan dari korban
dan pelaku yang berbeda agama) yang berlanjut ke pembakaran toko dan
rumah-rumah warga yang sebelumnya tidak terlibat.
Terjadinya konflik dan
perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber potensi konflik yang
ada. Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya konflik, selain agama,
yaitu ketidakadilan ekonomi, ketidakstabilan politik, serta ketimpangan sosial.
Meskipun konflik Poso mengatasnamakan ‘agama’ sebagai penyebab konfliknya,
namun harus dilihat terlebih dahulu apakah benar agama sebagai faktor dibalik
konflik tersebut. Untuk itulah, dibutuhkan pemahaman terlebih dahulu mengenai
kondisi masyarakat Poso yang menjadi poin terjadinya konflik.
a. Faktor Politik
Meskipun pemicu awal
munculnya konflik di Poso ini adalah karena pertikaian pemuda namun sebenarnya
terdapat muatan politik berkaitan dengan suksesi bupati. Ketidakpuasan politik
inilah yang menjadi akar permasalah konflik. Pada 1998, ketika mantan Bupati Poso
Arief Patanga akan mengakhiri masa kepemimpinannya, terlihat sinyalemen
terjadinya gesekan di tingkat politisi partai yang menginginkan perubahan
kepemimpinan. Pergesekan antara politisi partai akhirnya merambah hingga ke
tingkat akar rumput. Akhirnya muncullah kelompok-kelompok di masyarakat yang
berlawanan haluan dengan kebijakan politisi partai.
Terendusnya praktik
korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief Patanga membuat yang
bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi Korupsi bermula dari pemberian
dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5 miliar pada 1998 oleh pemerintah
pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus korupsi itu, orang-orang yang terlibat
korupsi menggalang massa untuk melakukan aksi untuk mengalihkan isu korupsi
yang berkembang. Bahkan ada selebaran yang berisi penyerangan tokoh Kristen
yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu kemudian semakin memperuncing
konflik masyarakat yang beragama Islam dan Kristen.
Kekerasan yang terjadi
tersebut tidak mendapat respons yang memadai dari aparat keamanan. Kegiatan itu
terlihat dibiarkan sehingga terus terjadi dan meluas. Karena pembiaran oleh
aparat, eskalasi kekerasannya meningkat hingga terjadi pembakaran rumah
penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan terjadi pembantaian di Pesantren
Walisongo, Sintuwelemba, yang lokasinya di tengah-tengah komunitas Kristen.
b. Faktor Ekonomi
Poso telah dimasuki
pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, namun proporsi migrasi
yang signifikan baru terjadi pada masa orde baru. Hal itu terjadi sejak
dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan
laut dan udara yang semakin memudahkan perpindahan penduduk. Tanpa disadari
proses pembangunan ekonomi di Poso membawa dampak bagi orang Kristen setempat
yakni proses Islamisasi yang cepat dan kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih
dipertajam lagi dengan banyaknya angka pengangguran kaum terpelajar karena
sempitnya atau langkanya lapangan konflik yang sesuai dengan pendidikan yang
pernah ditempuh.
Akibat urbanisasi dan
kesenjangan ekonomi, politik dan budaya antara umat beragama ini menyebabkan
perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama terutama antara Muslim dan
Kristiani.
Pertumbuhan urbanisasi
yang cepat akan mengantarkan masyarakat ke arah modernisasi sering terjadi
konflik nilai-nilai tradisional yang masih kuat dengan nilai-nilai baru yang
belum mapan di masyarakat. Konflik nilai tersebut berpengaruh besar terhadap
perilaku masyarakat dan dapat mendorong masyarakat ke proses desintegrasi
alienasi, disorienttasi, disorganisasi, segmentasi dan lain sebagainya.
Resolusi Konflik Poso
Untuk menyelesaikan
konflik di Poso, telah dilakukan Deklarasi Malino untuk Poso (dikenal pula
sebagai Deklarasi Malino I). Deklarasi itu ditandatangani pada 20 Desember 2001
oleh 24 anggota delegasi kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi
kelompok Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut, yakni:
1.
Menghentikan semua bentuk konflik dan
perselisihan.
2.
Menaati semua bentuk dan upaya penegakan
hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3.
Meminta aparat negara bertidak tegas dan
adil untuk menjaga keamanan.
4.
Untuk menjaga terciptanya suasana damai
menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
5.
Menghilangkan seluruh fitnah dan
ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan
memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
6.
Tanah Poso adalah bagian integral dari
Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan
tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
7.
Semua hak-hak dan kepemilikan harus
dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan
perselisihan berlangsung.
8.
Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat
asala masing-masing.
9.
Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi
sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.
10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling
menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU
maupun dalam peraturan pemerintah.
E.
KONTRUKSI SOSIAL ATAS KONFLIK POSO
Sebagai konstruksi
sosial, konflik adalah pengetahuan yang membentuk realitas objektif dan
realitas subjektif. Sebagai realitas objektif pengetahuan konflik agama
merupakan faktisitas objektif yang bersifat eksternal dan koersif. Sebagai
realitas objektif, pengetahuan konflik agama Poso misalnya meliputi seperangkat
doktrin yang sudah terumuskan secara permanen, rumusan-rumusan operasional
lainnya, serta praktik implementasi konflik agama itu sendiri. Hal ini dapat
diperlihatkan dengan adanya gerakan-gerakan sosial yang bersifat politis dalam
masyarakat.
Sedangkan pengetahuan
konflik agama sebagai realitas subjektif berarti menyangkut makna,
interpretasi, dan relasi subjektif individu terhadap konflik agama. Setiap
individu mempunyai latar belakang sejarah, konstruksi ide, sampai minat dan
kepentingan yang bisa berbeda-beda dalam menghadapi konflik agama. Pengetahuan
konflik agama sebagai realitas objektif dan realitas subjektif terus menerus
berhubungan secara dialektis.
Realitas pluralisme
konstruksi sosial dalam masyarakat menumbuhkan persaingan untuk berebut
pengaruh dan menjadi konstruksi dominan. Gilirannya, fenomena kekuasaan ikut
terlibat, dari sinilah kemudian fenomena ideologi muncul. Menurut Berger,
ketika suatu definisi tertentu mengenai kenyataan pada akhirnya dikaitkan
dengan suatu kepentingan kekuasaan yang konkrit, ia bisa dinamakan ideologi.
Pengetahuan konflik agama yang turun dalam bentuk yang antagonis, bersifat
doktrin, merupakan bentuk pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan dalam
masyarakat.
F.
KONFLIK DAN PERUBAHAN SOSIAL
Fenomena perubahan
sosial sulit untuk dipahami bahkan sebagian besar sosiolog memberikan
makna intuitif dan sebagai suatu mitos belaka
terhadap perubahan sosial itu sendiri. More (1967) mengartikan perubahan sosial
sebagai suatu perubahan pentinng dalam struktur sosial – pola-pola perilaku dan
sistem interaksi sosial, termasuk di dalamnya perubahan norma, nilai, dan
fenomena kultural. Definisi lain yang bisa ditunjukkan, misalnya konsep
perubahan sosial ketika melihat ada perubahan-perubahan pada komunitas lokala
tertentu. Herbert Blumer (1955) melihat perubahan sosial sebagai usaha kolektif
untuk menegakkan terciptanya tata kehidupan baru. Ralp Turner dan Lewis M.
Killin (1962), perubahan sosial sebagai kolektivitas yang bertindak terus
menerus, guna meningkatkan perubahan dalam masyarakat atau kelompok.
Perubahan sosial yang
terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu
oleh keadaan perubahan yang terlalu mendadak biasanya diwarnai oleh gejala
dimana tatanan perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman,
sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur sehingga banyak orang kehilangan
arah dan pedoman perilaku. Keadaan demikian ini, memicu banyak orang bertingkah
individualis yang berakibat pada benturan antar kepentingan baik secara
individual maupun kelompok.
Konflik Poso adalah
bentuk perubahan sosial yang tidak terencana dan bersifat dadakan. Selain itu,
perubahan yang terlalu mendadak ini akan memunculkan tiga kelompok yang saling
bertentangan. Mereka adalah kelompok konservatif yang berusaha sekuat tenaganya
untuk mempertahankan nilai-nilai lama, kelompok radikal yang menghendaki
perubahan secara frontal dan kelompok moderat. Kelompok konservatif identik
dengan masyarakat lokal dan mayoritas, kelompok radikal identik dengan
masyarakat pendatang atau minoritas dan kelompok moderat identik dengan
kelompok intelektual yang terpelajar.
Agama tidak cukup
dipahami sebagai metode hubungan penyembahan manusia kepada Tuhan serta
seperangkat tata aturan kemanusiaan atas dasar tuntuknan kitab suci. Akan
tetapi, perbedaan keyakinan dan atribut-atribut justru berdampak pada
segmentasi kelompok-kelompok sosial yang berdiri sendiri. Secara sosiologis,
agama selain dapat dijadikan sebagai alat perekat solidaritas sosial, tetapi
juga bisa menjadi pemicu disintegrasi sosial. Perbedaan keyakinan penganut
agama yang meyakini kebenaran ajaran agamanya, dan menganggap keyakinan agama
lain sesat telah menjadi pemicu konflik antar penganut agama. Bahkan di dalam
agama itu sendiri juga terdapat segmentasi sektarian yang memiliki perbedaan
mulai dari perbedaan dari kulit luar ajaran agama ini hingga perbedaan secara
substansial. Akibat dari konflik ini timbul image baru
seolah-olah kelompok tersebut tidak mau berbagi tempat dengan kelompok lain
yang berbeda. Peristiwa Poso membuktikan bahwa solidaritas agama membuat
konflik semakin panas. Meskipun awalnya kejadian ini merupakan tindak kriminal
yang melibatkan individu, namun solidaritas yang mengatasnamakan agama membuat
peristiwa tersebut berubah menjadi konflik berkepanjangan yang menghadirkan
pertentangan kedua belah pihak atas nama agama.
G.
PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT POSO PASCA
KONFLIK
Proses perubahan dapat
dialami oleh semua orang, baik pada tataran individu (mikro), kelompok-kelompok
dalam masyarakat (meso) maupun masyarakat sebagai sebuah kesatuan kelompok yang
luas (makro). Adapun proses perubahan tersebut dapat terjadi secara alamiah
maupun secara terencana. Akan halnya proses perubahan yang dialami olehsebagian
masyarakat di wilayah kabupaten Poso, dapat dikategorikan sebagai sebuah
perubahan yang tidak direncanakan, karena terjadi akibat konflik sosial
berkepanjangan mulai pada tahun 1998 dan puncaknya terjadi pada tahun
2001. Dimana terjadi banyak kekerasan fisik dan mental, terjadi perampasan
hak-hak sosial ekonomi warga, masyarakat hidup dalam ketakutan sehingga
berdampak pada terhambat dan berhentinya aktifitas sosial ekonomi. Situasi
bertambah buruk karena tidak adanya jaminan pemerintah bagi keselamatan jiwa,
sehingga menyebabkan mereka terpaksa eksodus ke wilayah yang dianggap lebih
aman. Terjadi berbagai aktifitas keseharian pengungsi dalam memenuhi
kebutuhan dasar dan juga perubahan posisi mereka dalam stratifikasi
masyarakat baru di desa pengungsian.
Bulan Agustus 2009 lalu
merupakan tahun ke sepuluh setelah pertama kali peristiwa kekerasan meledak di
Poso, yang kemudian disusul dengan insiden-insiden kekerasan yang menyebar di
beberapa wilayah di sekitarnya. Akibat dari konflik tersebut telah
mengakibatkan lebih dari 25.000 orang menjadi pengungsi dan diperkirakan lebih
dari 1000 orang tewas. Setelah satu dekade telah berlalu dapat dikatakan bahwa
konflik kekerasan telah berakhir dan masyarakat Poso sudah mulai hidup nyaman.
Paling tidak, hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya konflik kekerasan
secara terbuka yang melibatkan massa dalam beberapa tahun terakhir ini. Salah
satu bentuk kepedulian masyarakat atas kelangsungan hidup bermasyarakat adalah
dibentuknya Kelompok Masyarakat Poso Anti-Teror beberapa waktu yang lalu dimana
anggota kelompok ini terdiri dari para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan
tokoh pemuda. Namun di level masyarakat, paling tidak terdapat dua perkembangan
yang cukup mengkhawatirkan.
Pertama, terjadinya
perubahan sosial keagamaan di Poso. Sebelum konflik, Al-Khairat merupakan
organisasi keagamaan yang mendominasi umat Islam di Poso. Namun pasca konflik,
muncul kelompok keagamaan lain, yang ditengarai membawa pemikiran Wahabisme
(selanjutnya untuk mempermudah disebut ‘kelompok Wahabi’). Kehadiran kelompok
agama baru ini dapat memicu persoalan baru di Poso, yaitu munculnya kontestasi
antar kelompok beragama (Islam). Beberapa pimpinan agama (Islam) yang sudah
lama eksis di Poso merasa terancam dengan keberadaan ‘Kelompok Wahabi’ yang
menyebar dengan cepat dengan sumber dana yang tidak diketahui asalnya.
Kontestasi mengenai pemegang otoritas keagamaan akan semakin meningkat di
masa-masa yang akan datang.
Selain itu, kelompok
wahabi ini sangat berpotensi membawa ajaran yang menganurkan kekerasan.
Kelompok ini mencela praktik-praktik keagamaan lokal yang merupakan
interpretasi ulama lokal atas ajaran Islam. Padahal banyak praktik-praktik
keagamaan di Indonesia yang mengadopsi adat dan budaya lokal dalam proses
penyebaran Islam di Nusantara. Meskipun tidak sama, kelompok Wahabi juga
diasosiasikan memiliki hubungan dengan al-Qaeda, yang cenderung menggunakan
kekerasan yang sangat ekstrim. Pada awalnya, mereka mengklaim bahwa
kedatangannya ke Poso adalah dalam rangka melindungi umat Islam, namun pada
akhirnya turut terlibat dalam penyerangan-penyerangan beberapa komunitas
Kristen karena menganggap bahwa Poso adalah arena perang.
Kedua, terjadi konflik
kepentingan antara elit politik di Kabupaten Poso. Konflik antara Bupati Poso
dengan Ketua DPRD Poso telah menghiasi media lokal di Sulawesi Tengah. Banyak
gagasan pembangunan di Poso mennjadi terabaikan karena konflik tersebut:
gagasan yaang diajukan oleh eksekutif cenderung dimentahkan oleh pihak
legislatif begitu pula sebaliknya. Dimungkinkan, konflik antar elit berkaitan
dengan perebutan kekuasaan masih akan terjadi.
Selain itu juga, masih
ada ketidaknyamanan di antara para pengungsi untuk kembali ke tempat asal.
Beberapa penduduk masih memilih untuk tinggal di Tentena (suatu wilayah yang
menadi tujuan para pengungsi dari berbagai wilayah di Poso yang beragama risten
yang terletak di dataran tinggi), daripada kembali ke tempat asal mereka karena
alasan ketidaknyamanan dan ketakutan ika kembali ke tempat semula. Selanjutnya,
meskipun tidak semua, sebagian masyarakat korban masih ada yang menyimpan rasa
dendam terhadap para pelaku kekarasan. Rekonsiliasi masih sulit untuk dilakukan
karena masih ada korban yang menyimpan rasa marah. Sebagian dari mereka masih
ingin menuntut balas atas kekerasan yang menimpa mereka dan keluarnya.
Sesungguhnya, sesama korban dari kedua komunitas tersebut sudah dapat dan
saling berinteraksi, tetapi para korban tersebut masih belum dapat berinteraksi
dengan para pelaku kekerasan.
Konflik Poso pun
mengharuskan sebagian masyarakat untuk mengungsi ke wilayah yang jauh dan aman
dari konflik. Namun hidup ditempat pengungsian berbeda dengan kondisi sebelumnya,
dengan keadaan serba kekurangan pengungsi harus memulai aktifitas hidupnya dari
awal sehingga pola hidup merekapun ikut berubah dalam berupaya memenuhi
kebutuhan dasar. Hal ini menjadi semakin tidak mudah karena kondisi sosial
ekonomi pengungsi berada pada level mobilitas vertikal menurun (social-sinking)
baik dalam tataran ekonomi maupun tataran sosial. Selanjutnya terdapat
perbedaan nilai, norma, budaya, cara pandang maupun perbedaan
kepentingan antara pengungsi dan penduduk desa tetap, sebagai realita
yang membutuhkan penyesuaian dan interaksi, namun beberapa kesamaan seperti
kesamaan religi/agama yang dianut pengungsi dan penduduk lokal dapat
memperkecil perbedaan (cross cutting), sehingga saat ini yang terjadi
bahwa pengungsi dapat kembali hidup layak dan berada dalam semua strata
kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa pengungsian. Dalam proses
penataan kehidupan sosial ekonomi pengungsi untuk menjadi layak dan normal, ada
peran stake holders baik itu pemerintah, tokoh agama maupun
tokoh masyarakat walaupun belum maksimal bahkan cenderung tidak lagi sesuai
dengan kebutuhan.
Berdasarkan fakta
tersebut, terkait dengan pembangunan perdamaian di Poso, dapat disimpulkan
bahwa pertama, konflik Poso belum benar-benar selesai karena faktor-faktor
penyebabnya belum diselesaikan. Kedua, munculnya kelompok agama garis keras di
Poso merupakan ancaman terhaap pembangunan yang perlu diwaspadai. Ketiga,
pemerintah daerah perlu lebih peka dan membuat program pembangunan perdamaian
yang lebih substansial dan mengurangi program-program yang bersifat seremonial.
Selain itu, trauma yang dialami masyarakat juga harus dapat dipertimbangkan.
Proses adaptasi masyarakat ke wilayah pengungsian juga bisa menjadi pemicu
ketegangan yang berwujud konflik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perubahan yang terjadi pada masyarakat disebut
dengan perubahan sosial. Apakah perubahan itu mengenai pakaian, alat
transportasi, pertambahan penduduk, ataupun tingkah laku anak muda. Pada
beberapa pemikir terdapat tiga tipe perubahan yaitu: perubahan peradaban,
perubahan budaya dan perubahan sosial.
Perubahan peradaban biasanya dikaitkan dengan perubahn-perubahan elemen atau
aspek yang lebih bersifat fisik, seperti transportasi, persenjataan,
jenis-jenis bibit unggul yang ditemukan, dan sebagainya.
Perubahan budaya
berhubungan dengan perubahan yang bersifat rohani seperti keyakinan, nilai,
pengetahuan, ritual, apresiasi seni, dan sebagainya. Sedangkan perubahan sosial
terbatas pada aspek-aspek hubungan sosial dan keseimbangannya. Meskipun begitu
perlu disadari bahwa sesuatu perubahan di masyarakat selamanya memiliki mata
rantai diantaranya elemen yang satu dan eleman yang lain dipengaruhi oleh
elemen yang lainnya. Berikut adalah teori yang membahas tentang perubahan sosial
Untuk itu, terlebih dahulu perlu dicatat bagaimana tingkat dan sifat peralihan
dari perubahan itu sendiri di masyarakat. Pada masyarakat yang tergolong
bersahaja relatif jarang dan lamban terjadinya perubahan-perubahan.
Proses perubahan dapat
dialami oleh semua orang, baik pada tataran individu (mikro), kelompok-kelompok
dalam masyarakat (meso) maupun masyarakat sebagai sebuah kesatuan kelompok yang
luas (makro). Adapun proses perubahan tersebut dapat terjadi secara alamiah
maupun secara terencana. Akan halnya proses perubahan yang dialami olehsebagian
masyarakat di wilayah kabupaten Poso, dapat dikategorikan sebagai sebuah
perubahan yang tidak direncanakan, karena terjadi akibat konflik sosial
berkepanjangan mulai pada tahun 1998 dan puncaknya terjadi pada tahun
2001. Dimana terjadi banyak kekerasan fisik dan mental, terjadi perampasan
hak-hak sosial ekonomi warga, masyarakat hidup dalam ketakutan sehingga
berdampak pada terhambat dan berhentinya aktifitas sosial ekonomi. Situasi
bertambah buruk karena tidak adanya jaminan pemerintah bagi keselamatan jiwa,
sehingga menyebabkan mereka terpaksa eksodus ke wilayah yang dianggap lebih
aman. Terjadi berbagai aktifitas keseharian pengungsi dalam memenuhi
kebutuhan dasar dan juga perubahan posisi mereka dalam stratifikasi
masyarakat baru di desa pengungsian.
Bulan Agustus 2009 lalu
merupakan tahun ke sepuluh setelah pertama kali peristiwa kekerasan meledak di
Poso, yang kemudian disusul dengan insiden-insiden kekerasan yang menyebar di
beberapa wilayah di sekitarnya. Akibat dari konflik tersebut telah
mengakibatkan lebih dari 25.000 orang menjadi pengungsi dan diperkirakan lebih
dari 1000 orang tewas. Setelah satu dekade telah berlalu dapat dikatakan bahwa
konflik kekerasan telah berakhir dan masyarakat Poso sudah mulai hidup nyaman.
Paling tidak, hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya konflik kekerasan
secara terbuka yang melibatkan massa dalam beberapa tahun terakhir ini. Salah
satu bentuk kepedulian masyarakat atas kelangsungan hidup bermasyarakat adalah
dibentuknya Kelompok Masyarakat Poso Anti-Teror beberapa waktu yang lalu dimana
anggota kelompok ini terdiri dari para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan
tokoh pemuda. Namun di level masyarakat, paling tidak terdapat dua perkembangan
yang cukup mengkhawatirkan.
B. SARAN
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis
kekurangan oleh karena itu saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
v Ritzer George. 1980. Sosiologi : Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta.
Rajawali Pers
v Rusdianta. 2009. Dasar-Dasar Sosiologi. Jakarta. Graha Ilmu
v Watloly Aholiab. 2005. Maluku Baru. Jakarta. Kanesius
v Wirutomo Paulus. 2003. Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta. Rajawali Pers
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil ‘Alamin segala Puji dan Syukur
Penulis Panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik dan
hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini,
Namun penulis menyadari makalah ini belum dapat dikatakan sempurna karena
mungkin masih banyak kesalahan-kesalahan. Shalawat serta salam semoga selalu
dilimpahkan kepada junjunan kita semua habibana wanabiana Muhammad SAW, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya, dan mudah-mudahan sampai kepada kita selaku
umatnya.
Makalah ini penulis membahas mengenai “PERUBAHAN
SOSIAL DAN PEMBANGUNAN YANG TERJADI DI POSO”, dengan makalah ini
penulis mengharapkan agar dapat membantu sistem pembelajaran. Penulis ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih atas segala
perhatiannya.
Raha, Agustus 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.........................................................................................................
i
Daftar Isi.................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
C. Tujuan............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN....
................................................................................... 1
A. Devinisi Perubahan Sosial............................................................................. 3
B. Tipe-Tipe Purubahan..................................................................................... 7
C. Perubahan Sosial ........................................................................................ 9
D. Rekonstruksi Konflik
Poso........................................................................ 11
E. Konstruksi Sosial atas
Konflik Poso........................................................... 14
F. Konflik Perubahan Sosial............................................................................. 16
BAB II
PENUTUP................................................................................................... 19
A. Kesimpulan.................................................................................................. 19
B. Saran............................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 21
MAKALAH
PERUBAHAN SOSIAL
DAN PEMBANGUNAN
YANG TERJADI DI POSO
DISUSUN OLEH :
NAMA : ERNA SARI
JURUSAN :
GEOGRAFI
SEMESTER :
II
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI
KELAS RAHA
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar