do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Minggu, 12 Oktober 2014

MAKALAH HAM SMA NEGERI 1 RAHA



MAKALAH PKN













 

















KELOMPOK VI
KELAS XI MIA 3

1.        YULIATIM
2.       DESHA NURSYAHBAN
3.       LIZA NURAIN
4.       RANO KARNO
5.       RAHMAT BUDIRIYANTO



SMA NEGERI 1 RAHA
KABUPATEN MUNA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang

Salah satu contoh Pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia yaitu Penyerbuan kantor PDI sebagai bentuk intervensi negara terhadap PDI dibawah pimpinan Megawati tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.
Ada dua istilah untuk Peristiwa 27 Juli ini, yaitu:
Ø  Kudatuli. Akronim dari Kerusuhan 27 Juli. Pertama kali dimuat di Tabloid Swadesi dan kemudian luas digunakan oleh berbagai media massa. Mayjen TNI (Purn.) Prof. Dr. Soehardiman, SE juga pernah menggunakannya dalam bukunya.
Ø  Sabtu Kelabu. Merujuk pada hari saat terjadinya peristiwa ini yaitu hari Sabtu, kata "kelabu" untuk menggambarkan "suasana gelap" yang melanda panggung perpolitikan Indonesia saat itu. Tidak diketahui pencetusnya, namun diduga semula beredar dalam forum-forum di Internet.
Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.[1]


1.2.  Rumusan Masalah
1.      Peristiwa apa yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996?
2.     Jelaskan deskripsi peristiwa pada tanggal 27 Juli 1996 !


1.3.    Tujuan 

1.      Untuk mengetahui peristiwa yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996.
2.     Untuk mendeskripsikan peristiwa tanggal 27 Juli 1996.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Peristiwa 27 Juli 1996
Penyerbuan kantor PDI sebagai bentuk intervensi negara terhadap PDI dibawah pimpinan Megawati  tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa 27 Juli 1996, disebut sebagai peristiwa Sabtu Kelabu karena terjadi pada hari Sabtu. Pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.

2.2.  Deskripsi peristiwa 27 Juli 1996
Peristiwa 27 Juli 1996, disebut sebagai peristiwa Sabtu Kelabu karena terjadi pada hari Sabtu. Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.
Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.[1]
Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI.
Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi.
Pasca Orde Baru
Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.
Peristiwa 27 Juli menghasilkan sejumlah buku dan sejumlah penelitian. Pejabat militer juga menulis buku untuk menjelaskan posisinya dalam kasus itu. Benny S Butarbutar, yang menulis buku Soeyono Bukan Puntung Rokok (2003), memaparkan Kasus 27 Juli dari perspektif Soeyono yang kala itu menjabat Kepala Staf Umum ABRI. Ia membangun teori persaingan srikandi kembar antara Megawati dan Siti Hardijanti Rukmana sebagai latar terjadinya Kasus 27 Juli. Ia juga memaparkan, rivalitas di tubuh tentara yang membuatnya tersingkir dari militer. Soeyono menyebutnya sebagai Killing the Sitting Duck Game, rekayasa untuk "Membunuh Bebek Lumpuh." Sehari sebelum kejadian, Soeyono mengalami kecelakaan di Bolaang Mongondow.
Buku lain yang muncul adalah Membongkar Misteri Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 dengan editor Darmanto Jatman (2001). Tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga membukukan hasil penelitian mengenai Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru-Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli? (2001).
Pada Rabu 26 Juli 2006, Malam Dasawarsa Tragedi 27 Juli 1996 digelar di bekas Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat. Acara hanya dihadiri keluarga korban dan saksi mata peristiwa ini. Petinggi partai yang sudah berubah nama menjadi PDI Perjuangan tidak terlihat hadir. Begitu juga Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Walau begitu acara berjalan khidmat. Setelah tahlilan, peringatan itu diteruskan pemotongan tumpeng kemudian ditutup dengan renungan.
Kasus ini disidangkan melalui pengadilan koneksitas pada tahun 2004. Empat tersangka kasus tersebut dibebaskan, mereka adalah Rahimi Ilyas dan Mohammad Tanjung ( warga sipil ), serta kolonel CZI Purnawirawan Budi Purnama dan Kapten InfantriSuharto.

















BAB III
PENUTUP

3.1.  Kesimpulan
Peristiwa 27 Juli 1996 disebut sebagai peristiwa Sabtu Kelabu karena terjadi pada hari Sabtu. Dalam peristiwa ini menjebloskan para aktivis PRD kepenjara. Peristiwa 27 Juli 1996 menghasilkan sejumlah buku dan sejumlah penelitian. Pejabat militer Benny S Butarbutar, yang menulis buku Soeyono Bukan Puntung Rokok (2003), memaparkan Kasus 27 Juli dari perspektif Soeyono yang kala itu menjabat Kepala Staf Umum ABRI.
Buku lain yang muncul adalah Membongkar Misteri Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 dengan editor Darmanto Jatman (2001). Kasus ini disidangkan melalui pengadilan koneksitas pada tahun 2004. Empat tersangka kasus tersebut dibebaskan.





Tidak ada komentar: