do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Sabtu, 16 Januari 2016

MAKALAH PELANGGARAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PENYELIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang Masalah
            Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoneseia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah “kebabalasan” bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak terkelola dengan baik ditambah dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang sangat otoriter berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan. Terjadi pula pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok etnis lain. Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama”  berbagai media di tanah air.
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horisontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).
            Pada kenyataannya selama lebih lima tujuh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat dari segala tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar 1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 
1.2    Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penulis mengemukakan beberapa perumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah :
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Apakah penegakan hukum itu?
2.    Apakah itu aparatur penegak hukum?
3.    Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum?
4.    Apakah  Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?
5.    Bagaimana pelanggaran aparat penegak hukum dalam penyelidikan ?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
 1. Untuk memenuhi tugas mata kuiah Sistem Hukum Indonesia
 2. Untuk menambah pengetahuan tentang Penegakan Hukum
 3. Untuk mengetahui pelanggaran aparat penegak hukum dalam penyelidikan






















BAB II
PEMBAHASAN


 
2.1 Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan  hukum  adalah  proses  dilakukannya  upaya  untuk  tegaknya  atau
berfungsinya  norma-norma  hukum  secara  nyata  sebagai  pedoman  perilaku  dalam  lalu
lintas  atau  hubungan-hubungan  hukum  dalam  kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.
Ditinjau dari  sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek  yang
luas  dan  dapat  pula  diartikan  sebagai  upaya  penegakan  hukum  oleh  subjek  dalam  arti
yang  terbatas  atau  sempit.  Dalam  arti  luas,  proses  penegakan  hukum  itu  melibatkan
semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan
normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri
pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan
sebagai  upaya  aparatur  penegakan  hukum  tertentu  untuk  menjamin  dan  memastikan
bahwa  suatu  aturan  hukum  berjalan  sebagaimana  seharusnya.  Dalam  memastikan
tegaknya  hukum  itu,  apabila  diperlukan,  aparatur  penegak  hukum  itu  diperkenankan
untuk menggunakan daya paksa.
            Pengertian  penegakan  hukum  itu  dapat pula  ditinjau  dari  sudut  objeknya,  yaitu
dari segi hukumnya.  Dalam  hal ini, pengertiannya juga mencakup  makna  yang luas dan
sempit.  Dalam  arti  luas,  penegakan  hukum  itu  mencakup pula  nilai-nilai  keadilan  yang
terkandung  di  dalamnya  bunyi  aturan  formal  maupun  nilai-nilai  keadilan  yang  hidup
dalam  masyarakat.  Tetapi,  dalam  arti  sempit,  penegakan  hukum  itu  hanya  menyangkut
penegakan  peraturan  yang  formal  dan  tertulis  saja.  Karena  itu,  penerjemahan perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’  dalam  arti  luas  dan  dapat  pula  digunakan  istilah  ‘penegakan  peraturan’  dalam
arti  sempit.  Pembedaan  antara  formalitas  aturan  hukum  yang  tertulis  dengan  cakupan
nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan  juga timbul dalam  bahasa Inggeris  sendiri
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’  yang berarti ‘the
rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh
hukum,  tetapi  bukan  dalam  artinya  yang  formal,  melainkan  mencakup  pula  nilai-nilai
keadilan  yang  terkandung  di  dalamnya.  Karena  itu,  digunakan  istilah  ‘the  rule  of  just
law’.  Dalam  istilah  ‘the  rule  of  law  and  not  of  man’  dimaksudkan  untuk  menegaskan
bahwa  pada  hakikatnya  pemerintahan  suatu  negara  hukum  modern  itu  dilakukan  oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan
sebagai  pemerintahan  oleh  orang  yang  menggunakan  hukum  sekedar  sebagai  alat
kekuasaan belaka.

             Dengan uraian di atas  jelaslah kiranya  bahwa  yang  dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam  arti  formil  yang  sempit  maupun  dalam  arti  materiel  yang  luas,  sebagai  pedoman
perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan
maupun oleh  aparatur  penegakan hukum  yang  resmi  diberi  tugas  dan  kewenangan oleh
undang-undang untuk  menjamin berfungsinya  norma-norma hukum  yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita
tentang  penegakan hukum dapat  kita  tentukan  sendiri batas-batasnya.  Apakah  kita  akan
membahas  keseluruhan  aspek  dan  dimensi  penegakan  hukum  itu,  baik  dari  segi
subjeknya  maupun  objeknya  atau  kita  batasi  hanya  membahas  hal-hal  tertentu  saja,
misalnya,  hanya  menelaah  aspek-aspek  subjektifnya  saja.  Makalah  ini  memang  sengaja
dibuat  untuk  memberikan  gambaran  saja  mengenai  keseluruhan  aspek  yang  terkait
dengan tema penegakan hukum itu.

PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF
             Seperti  disebut di  muka,  secara  objektif,  norma  hukum  yang hendak  ditegakkan
mencakup  pengertian  hukum  formal  dan  hukum  materiel.  Hukum  formal  hanya
bersangkutan  dengan  peraturan  perundang-undangan  yang  tertulis,  sedangkan  hukum
materiel  mencakup  pula  pengertian  nilai-nilai  keadilan  yang  hidup  dalam  masyarakat.
Dalam  bahasa  yang  tersendiri,  kadang-kadang  orang  membedakan  antara  pengertian
penegakan  hukum  dan  penegakan  keadilan.  Penegakan  hukum  dapat  dikaitkan  dengan
pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti
luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa
Inggeris juga terkadang dibedakan  antara konsepsi  ‘court of  law’  dalam arti  pengadilan
hukum  dan  ‘court  of  justice’  atau  pengadilan  keadilan.  Bahkan,  dengan  semangat  yang
sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court
of Justice’.
  Istilah-istilah  itu  dimaksudkan  untuk  menegaskan  bahwa  hukum  yang  harus
ditegakkan  itu  pada  intinya  bukanlah  norma  aturan  itu  sendiri,  melainkan  nilai-nilai
keadilan  yang  terkandung  di  dalamnya.  Memang  ada  doktrin  yang  membedakan  antara
tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara
perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan  kebenaran  formil  belaka,  sedangkan
dalam  perkara  pidana  barulah  hakim  diwajibkan  mencari  dan  menemukan  kebenaran
materiel  yang  menyangkut  nilai-nilai  keadilan  yang  harus  diwujudkan  dalam  peradilan
pidana.  Namun  demikian,  hakikat  tugas  hakim  itu  sendiri  memang  seharusnya  mencari
dan  menemukan  kebenaran  materiel  untuk  mewujudkan  keadilan  materiel.  Kewajiban
demikian  berlaku,  baik  dalam  bidang  pidana  maupun  di  lapangan  hukum  perdata.
Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu
sendiri,  sehingga  istilah  penegakan hukum dan  penegakan  keadilan  merupakan dua  sisi
dari mata uang yang sama.
             Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan
persoalan  penegakan  hukum  dan  keadilan  itu  sendiri.  Karena  itu,  sebenarnya,  tidaklah
terlalu  tepat  untuk  mengembangkan  istilah  penegakan  hak  asasi  manusia  secara
tersendiri.  Lagi  pula,  apakah  hak  asasi  manusia  dapat  ditegakkan?  Bukankah  yang
ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu,
dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang
sudah  salah  kaprah.  Kita  sudah  terbiasa  menggunakan  istilah  penegakan  ‘hak  asasi
manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran
untuk  menghormati  hak-hak  asasi  orang  lain  di  kalangan  masyarakat  kitapun  memang
belum berkembang secara sehat.

2.2  Aparatur Penegak Hukum
            Aparatur  penegak  hukum  mencakup  pengertian  mengenai  institusi  penegak
hukum  dan  aparat  (orangnya)  penegak  hukum.  Dalam  arti  sempit,  aparatur  penegak
hukum  yang  terlibat  dalam  proses  tegaknya  hukum  itu,  dimulai  dari  saksi,  polisi,
penasehat  hukum,  jaksa,  hakim,  dan  petugas  sipir  pemasyarakatan.  Setiap  aparat  dan
aparatur  terkait  mencakup  pula  pihak-pihak  yang  bersangkutan  dengan  tugas  atau
perannya  yaitu  terkait  dengan  kegiatan  pelaporan  atau  pengaduan,  penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
            Dalam  proses  bekerjanya  aparatur  penegak  hukum  itu,  terdapat  tiga  elemen
penting  yang  mempengaruhi,  yaitu:  (i)  institusi  penegak  hukum  beserta  berbagai
perangkat  sarana  dan  prasarana  pendukung  dan  mekanisme  kerja  kelembagaannya;  (ii)
budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya,
dan  (iii)  perangkat  peraturan  yang  mendukung  baik  kinerja  kelembagaannya  maupun
yang  mengatur  materi  hukum  yang  dijadikan  standar  kerja,  baik  hukum  materielnya
maupun  hukum  acaranya.  Upaya  penegakan  hukum  secara  sistemik  haruslah
memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan
keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
            Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum  di  negara  kita  selama  ini,  sebenarnya  juga  memerlukan  analisis  yang  lebih
menyeluruh  lagi.  Upaya  penegakan  hukum  hanya  satu  elemen  saja  dari  keseluruhan
persoalan  kita  sebagai  Negara  Hukum  yang  mencita-citakan  upaya  menegakkan  dan
mewujudkan  keadilan sosial bagi seluruh rakyat  Indonesia. Hukum  tidak  mungkin  akan
tegak,  jika  hukum  itu  sendiri  tidak  atau  belum  mencerminkan  perasaan  atau  nilai-nilai
keadilan  yang  hidup  dalam  masyarakatnya.  Hukum  tidak  mungkin  menjamin  keadilan
jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya
penegakan  hukum  tetapi  juga  pembaruan  hukum  atau  pembuatan  hukum  baru.  Karena
itu,  ada empat  fungsi  penting  yang  memerlukan perhatian  yang  seksama,  yang  yaitu  (i)
pembuatan  hukum  (‘the  legislation of  law’  atau  ‘law  and  rule  making’),  (ii)  sosialisasi,
penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law,
dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). 

2.3  Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu :
a.    Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang
b.    Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.
c.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e.    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1.    Faktor Subjektif
a.    Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.
b.    Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
c.    Sikap Arrogence power
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.
d.    Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
2.    Faktor Objektif
a.    Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
b.    Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) danskills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

2.4 Permasalahan Penegakan Huukum di Indonesia
Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak disadari telah berlangsung dari hari ke hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan hukum yang terjadi pada saat berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang memberlakukan aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri. Bahkan polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI  atau Polri yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang polisi yang bertugas memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Secara tidak disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam tapi sayangnya banyak masyarakat yang tidak  menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.
a.      Tingkat kekayaan seseorang.
Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang melakukan pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang bisa mementahkan dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau jika perlu pelaku dapat membayar hakim atau jaksa agar memperingan masa tahanannya. Sebaliknya dengan pelaku pelanggaran yang tidak memiliki uang yang banyak maka pelaku hanya bisa membayar pengacara semampunya atau tidak sedikit pula yang mereka hanya pasrah menerima putusan hakim. Padahal jika dibandingkan kasus pelanggarannya tidak merugikan pemerintah milyaran rupiah. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum bisa dibeli dengan uang.
b.       Tingkat Jabatan Seseorang
Mari kita simak kasus berikut ini. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding keluar negri yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota  DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sekitar 5,2 M dan uang saku dari PT. Pembangunan Jaya Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus ini 9 orang staf Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun. Penyelesaian masalah ini dilakukan setelah media cetak dan media elektronik menemukan ketidaksesuaian dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terurik ketika sanksi ini hanya dikenalan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tinggi DKI yaitu Gubernur Sutiyoso (saat itu) yang sebagai komisaris PT. Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.

2.5  Pelanggaran Aparat Penegak Hukum Dalam Penyelidikan
  Kualitas penyidikan dugaan tindak pidana memang harus ditingkatkan. Karena itu penyidik dituntut hati-hati menangani setiap penyidikan. Agar tujuan itu tercapai, pemberian sanksi pada penyidik yang melakukan kesalahan dalam penanganan perkara, berupa denda dan pidana badan, perlu dimuat dalam RKUHAP.
Demikian pandangan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar saat dimintakan kontribusi terkait bagi Daftar Isian Masalah (DIM) RKUHAP dan RKUHP di Komisi III DPR, Selasa (11/6).
Praktik saat ini, menurut Antasari, apabila terjadi kesalahan penyidik dalam menjalankan tugas, sanksi berupa denda dibebankan kepada negara. Padahal, kata Antasari,  pemberian sanksi pidana terhadap pejabat yang melakukan kesalahan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 9 ayat (1),setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekliruan mengenai orangnya atau hukumnya yang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

Pasal 9 ayat (2), pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Antasari menegaskan RKUHAP sejatinya menjadi alat kontrol aparatpenegak hukum, bukan tersangka maupun terdakwa. Dikatakan Antasari, lantaran tidak ada kepastian hukum yang mengatur sanksi bagi aparat penegak hukum,akibatnya acapkali terjadi pelanggaran dalam melaksanakan praktik peradilan pidana. “Khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi pada setiap penyidikan,” ujarnya.
Menurut Antasari, praktik abuse of power disebabkan tak adanya konsekuensi yuridis bagi aparat penegak hukum yang tidak melaksanakan ketentuan hukum acara pidana. Akibatnya, tindak kekerasan di tingkat penyidikan kerap terjadi.
“Oleh karena itu, sangat mendesak ada aturan memuat pemberian sanksi bagi penyidik, khususnya penyidik yang tidak memberitahukan secara lengkap dan jelas tentang hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum,” katanya.
Lebih jauh Antasari menuturkan, dalam praktik, tersangka berhadapan langsung dengan penyidik yang memiliki diskresi dan tak terkendali. Misalnya, penggunaan kekerasan yang berlebihan (police brutality), penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Antasari berpendapat, diskresi yang tak terkendali tersebut memungkinkan terjadinya pelanggaran HAM. Atas dasar itulah hak atas bantuan hukum wajib diberikan dalam setiap penyidikan tindak pidana kepada tersangka.
Hukum, memang memberikan kewenangan kepada polisi dalam rangka penegakan hukum dengan berbagai cara. Misalnya dengan tindakan preventif maupun represif berupa pemaksaan dan penindakan. Sayangnya, dalam proses penyidikan, polisi cenderung berlaku represif.
Kecendrungan inilah menyebabkan polisi lekat dengan penggunaan kekerasan sebagai salah satu upaya mengatasi hambatan penyidikan untuk memperoleh pengakuan maupun keterangan tersangka terkait tindak pidana. Kendatipun hak tersangka dari kesewenangan tindakan penyidik telah diatur dalam Pasal 50 hingga 68 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, namun praktiknya tidak demikian. “Praktiknya seringkali terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terkait,” imbuhnya.
Antasari menyarankan untuk menciptakan proses penyidikan yang tertib, adil dan mendukung HAM perlu diatur ketentuan yuridis bagi aparat penegak hukum. “Ketentuan yuridis  berupa sanksi hukuman adminsitratif hingga pidana. Hal ini perlu dilakukan agar aparat penegak hukum khususnya penyidik tidak berbuat sewenang-wenang terhadap tersangka,” ujarnya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Harry Witjaksono mengamini pandangan Antasari. Menurutnya, aturan pemberian sanksi terhadap aparat penegak hukum perlu dituangkan dalam RUU KUHAP. Pasalnya dengan begitu, setidaknya aparat penegak hukum dapat bekerja secara profesional. “Tidak sembarangan dan tetap berlandaskan undang-undang,” ujarnya, Rabu (12/6).
Ia berpandangan berbagai kasus perkara di tingkat penyidikan berujung hilangnya nyawa tersangka di sel tahanan. Padahalm sebagai aparat penegak hukum, penyidik di kepolisian berkewajiban menjaga dan memberikan hak tersangka di tingkat penyidikan. “Kalau ditemukan kesalahan dari polisi atau jaksa, harus dimintakan pertanggungjawaban,” ujar Harry.

























BAB III
PENUTUP


3.1   Kesimpulan
                        Penegakan  hukum  adalah  proses  dilakukannya  upaya  untuk  tegaknya  atau
berfungsinya  norma-norma  hukum  secara  nyata  sebagai  pedoman  perilaku  dalam  lalu
lintas  atau  hubungan-hubungan  hukum  dalam  kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.
Aparatur  penegak  hukum  mencakup  pengertian  mengenai  institusi  penegak
hukum  dan  aparat  (orangnya)  penegak  hukum.  Dalam  arti  sempit,  aparatur  penegak
hukum  yang  terlibat  dalam  proses  tegaknya  hukum  itu,  dimulai  dari  saksi,  polisi,
penasehat  hukum,  jaksa,  hakim,  dan  petugas  sipir  pemasyarakatan. 

3.2 Saran
Makalah ini masih memiliki berbagia jenis kekurangan olehnya itu kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.























DAFTAR PUSTAKA

Ø  Harahap Yahya. Pmbahasan Permasalahn dan penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta; 2003
Ø  Hamid Hamrat, Harun. Pembahasan Permasalahan KUHAP bidang Penyidikan. Sinar Grafika. Jakarta; 1992
Ø  KUHP dan KUHAP, Citra Buana Citra Umbara Bandung















MAKALAH
PELANGGARAN APARAT PENEGAK HUKUM
DALAM PENYELIDIKAN


OLEH :
NAMA                : LA SIANE
NIM                     : 21209320
M.K                     : PRAKTEK PERADILAN PIDANA
KELAS               : RAHA
SEMESTER       : VII
                






UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2016

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan  makalah ”PELANGGARAN APARAT PENEGAK HUKUM  DALAM PENYELIDIKAN”.


Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehinggga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. 

Dalam penyusunan makalah ini kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun sendiri maupun kepada pembaca umumnya. Kami mohon maaf apabila ada kekurangan maupun kesalahan pada penulisan makalah ini untuk itu kami berterima kasih apabila pembaca memberi saran atau kritikan kepada kami.


                                                                     Raha,    Januari  2016

                                                                                                             Penyusun


 








DAFTAR ISI
                                                                                             

Kata Pengantar.............................................................................................        i
Daftar Isi......................................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................        1    
1.      Latar Belakang.......................................................................................        1
2.      Rumusan Masalah..................................................................................        1    
3.      Tujuan Penulisan....................................................................................        1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................        2
BAB III PENUTUP....................................................................................        9
A.    Kesimpulan............................................................................................        9
B.     Saran......................................................................................................        9
Daftar Pustaka.............................................................................................        10









 

Tidak ada komentar: