Terbentuknya Kerajaan Muna di Sulawesi Tenggara
Sejarah
peradaban manusia di Muna dimulai ketika Sawerigading dan pengikutnya yang
berjumlah 40 orang terdampar di suatu daratan di Pulau Muna yang saat ini dikenal dengan nama
‘Bahutara’.
Sawerigading
dan para pengikutnya, kemudian berbaur dengan penduduk yang telah dahulu
menetap dan membentuk komunitas di Pulau Muna. Lama kelamaan komunitas itu
berkembang. Dengan demikian, Sawerigading dan empat puluh pengikutnya di
daratan Muna telah membawa nuansa baru dalam pembangunan peradaban dalam
kehidupan Orang Muna, maka pada saat itulah orang Muna mulai memilih pemimpin
untuk memimpin komunitas itu,dan pemimpin yang dipilih adalah orang yang dianggap
sebagai primus intervares.
Sejarah
Kerajaan Muna dimulai setelah dilantiknya La Eli alias Baidhuldhamani yang bergelar
Bheteno Ne Tombula sebagai Raja Muna pertama. Setelah dilantiknya La Eli
bergelar Bheteno Ne Tombula sebagai Raja Muna I, Kerajaan Muna baru dapat
dikatakan sebagai sebuah kerajaan berdaulat karena telah memenuhi syarat-syarat
sebagai sebuah negara yaitu telah memiliki Rakyat, Wilayah dan Pemerintahan yang berdaulat dan seluruh
perangkat masyarakat bersepakat untuk mengikat diri dalam sebuah pemerintahan
dengan segala aturannya yang bernama Kerajaan Muna.
Masa
Pemerintahan Sugi
Setelah
pemerintahan Bheteno Ne Tombula berakhir, Kerajaan Muna dipimpin oleh Sugi.
Sugi bagi masyarakat Muna berarti Yang Dipertuan atau Yang Mulia. Sepanjang
sejarah Kerajaan Muna ada lima orang Sugi yang pernah memimpin Kerajaan Muna.
Mereka itu adalah Sugi Patola, Sugi Ambona, Sugi Patani, Sugi La Ende dan Sugi Manuru.
Dari
kelima sugi yang pernah memimpin Kerajaan Muna, Sugi Manuru-lah yang dianggap
berhasil membawa banyak perubahan di Kerajaan Muna dalam berbagai aspek.
Masa
Pemerintahan Lakilaponto
Setelah
masa pemerintahan Sugi berakhir pemerintahan Kerajaan Muna dijalankan oleh Lakilaponto. Lakilaponto menjadi Raja Muna VII
setelah menggantikan ayahandanya, Sugi Manuru sebagai raja muna. Selama menjadi
raja muna, Lakilaponto terkenal akan keberaniannya. Pada masa pemerintahannya
dibangunlah benteng yang mengelilingi ibukota Kerajaan Muna, untuk menghalau
dan menghadang ancaman serangan yang datang dari luar. Lakilaponto memerintah
Kerajaan Muna selama kurang lebih 3 tahun (1517-1520) sebelum digantikan oleh
adiknya sendiri, La Posasu.
Daftar
Raja-Raja Muna
- La Eli alias Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula,alias Remang Rilangiq (Menjadi Raja Luwuk Purba sebagai Soloweta Raja = Raja Pengganti di Kerajaan Luwuk Purba Menggantikan Sawerigading (1371 – 1395).
- La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola (1395 – 1420).
- La Mbona Gelar Sugi Ambona (1420 – 1455)
- La Patani gelar Sugi Patani (1455 – 1470)
- Sugi La Ende (1470 – 1501)
- Sugi Manuru gelar Omputo Mepasokino Adhati (1501 – 1517)
- Lakilaponto Alias Murhum di Buton atau La Tolalaka di Kendari (1517 –1520), Menjadi Sultan Buton I dengan nama Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (1520 – 1564)
- La Posasu gelar Kobangkuduno (1520 – 1551)
- Rampeisomba gelar Karawawono (1551 – 1600)
- Titakono (1600 – 1625)
- La Ode Sa’adudin (1625 – 1626)
- La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea (1626 – 1667)
- Wa Ode Wakelu (1667 – 1668)
- La Ode Muh. Idris (Soloweta Raja 1668 – 1671)
- La Ode Abd. Rahman gelar Sangia Latugho (1671 – 1716 )
- La Ode Husaini gelar Omputo Sangia (1716 – 1758, 1764 – 1767)
- La Ode Pontimasa Kapitalao Wolowa di Buton(Soloweta Raja (40 hari) )
- La Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo (1758 – 1764)
- La Ode Umara gelar Omputo Nigege
- La Ode Mursali gelar Sangia Gola
- La Ode Tumowu Kapitalao Lakologou di Buton (Soloweta Raja)
- La Ode Ngkumabusi (Soloweta Raja)
- La Ode Sumaeli gelar Omputo Nisombo
- La Ode Saete gelar Omputo Sorano Masigi (1816 – 1830 )
- La Ode Malei (Soloweta Raja)
- La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830 – 1861)
- La Ode Ali gelar Sangia Rahia (Soloweta Raja 1861 – 1864)
- La Aka Alias Yaro Kapala (Bhonto Balano / Perdana Menteri Merangkap Raja Muna 1864 – 1866)
- La Ode Ngkaili (1866 – 1906)
- La Ode Ahmad Maktubu gelar Omputo Milano we Kaleleha (1906 – 1914)
- La Ode Pulu (1914 – 1919)
- La Ode Safiu gelar Oputa Motembana Karoona / Oputa Moilana Yi Waara (1919 – 1922), Sultan Buton ke 36 (1922 – 1924)
- La Ode Rere gelar Omputo Aro Muna (1926 – 1928)
- La Ode Dika gelar Omputo Komasigino (1930 – 1938 ), 1938 – 1947 terjadi Kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna
- La Ode Pandu gelar Omputo Milano te Kosundano (1947 – 1956)
- La Ode Sirad Imbo (Pelaksana Sementara) (2012-Sekarang)
Sejarah
Perjuangan Menentang Penjajahan
Kerajaan
Muna melakukan konfrontasi dengan penjajah dimulai dengan keterlibatan
Lakilaponto Raja Muna ke VII (1517-1520) menumpas armada bajak laut Banggai
Labolontio yang selalu menggangu keamanan kerajaan-kerajaan tetangga
disekitarnya. Selain itu, Lakilaponto juga setelah bertahta di Buton tahun
(1520-1564) dan memeluk Islam yang dibawah oleh Syeikh Abdul Wahid dari Mekah
(Daulah Turky Usmani), beliau berperan aktif menghalau Portugis di Tenggara
Sulawesi, Banggai, Selayar, Maluku, dan Solor NTT, sehingga penjajahan Portugis
tidak terlihat di Tenggara Sulawesi . Pada masa Raja Muna ke X La Titakono
(1600-1625) Kerajaan Muna menolak campur tangan VOC di Buton karena dapat
mengancam keutuhan dan persatuan Kesultanan Butuni Darusalam setelah mengetahui
gelagat VOC di Buton. Namun pada akhirnya Sultan Buton tetap melakukan
perjanjian pada tahun 1613 di bawah pimpinan Sultan Dayanu Iksanudin
(Laelangi), dengan adanya perjanjian tersebut maka hubungan persaudaraan yang
telah dibina oleh para pendahulu kedua kerajaan ini menjadi renggang, dan
akhirnya menimbulkan peperangan antara Muna dan Buton dibawah pimpinan Raja
Muna XII yaitu Sangia Kaendea (1626-1667). Pada awalnya Kerajaan Muna memenangi
peperangan tersebut, namun setelah Buton mendapat bantuan dari VOC maka pasukan
kerajaan Muna harus mundur. Selang beberapa waktu, pasukan Buton yang diperkuat
oleh armada Kapal VOC berlabuh di perairan pulau lima tepatnya di depan Lohia,
pihak Buton dan VOC kemudian mengirim utusan untuk menemui Raja Muna dengan
alasan perundingan perdamaian diantara kedua belah pihak. Mula-mula La Ode
Ngakdiri/ Sangia Kaendea meragukan hal tersebut, namun karena terbujuk oleh
alasan persaudaraan akhirnya iapun turut serta dalam melakukan perundingan itu.
Sesampainya di pulau lima Raja Muna tidak diajak untuk berunding seperti apa
yang diberitahukan semula, melainkan beliau ditangkap dengan tipu muslihat oleh
Buton dan VOC dan diasingkan ke Ternate, setelah beberapa lama kemudian Raja
Muna tersebut diselamatkan kembali oleh Pihak Kerajaan Muna dan kembali
menduduki tahta Kerajaan Muna. Perlawanan Raja Muna berikutnya dilakukan oleh
La Ode Saete (1816-1630) yang melakukan peperangan dengan pihak Belanda dan
Buton sehingga banyak menghancurkan kapal-kapal Belanda dan Buton di Muna,
selain itu Raja Muna tersebut mengorganisir semua kekuatan tempur yang ada dan
melakukan perang semesta melawan penjajah sehingga beliau mampu mempertahankan
Kerajaan Muna dari serangan musuh yang datang bertubi-tubi. Perjuangan Kerajaan
Muna berikutnya dipelopori oleh La Ode Pulu (1914-1918), beliau menentang keras
perjanjian Korte Verklaring Tahun 1906 antara Buton dan Belanda. Raja Muna
menganggap perjanjian tersebut adalah ilegal dan sepihak yang tidak sesui
dengan Peraturan Adat di Muna sehingga beliau melakukan perlawanan rakyat
secara gerilya dan banyak mematahkan serangan pasukan Belanda. Walau demikian
beliau akhirnya tetap terbunuh dalam peperangan tersebut karena minimnya jumlah
persenjataan dan logistik perang. Hal tersebut menandai awal runtuhnya
kedaulatan Kerajaan Muna dan makin kuatnya cengkeraman Belanda dan Buton di
Muna. Walaupun demikian, Raja-Raja Muna berikutnya tetap menolak Isi Perjanjian
tersebut sehingga pergantian Raja-Raja Muna berikutnya selalu tidak berlangsung
lama. Perjuangan Rakyat Muna terus bergolak menentang penjajahan Belanda hingga
akhirnya membentuk banyak lasykar-lasykar Rakyat dan beberapa Batalion tempur
diantaranya Batalion Sadar yang merupakan embrio berdirinya KODAM WIRABUANA di
Makassar dan mendukung kesepakatan Malino untuk bergabung dengan Pemerintahan
Pusat di Jakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perjuangan
Pembentukan Kabupaten Muna seiring dengan perjuangan pembentukan Propinsi
Sulawesi Tengara. Dalam perjuangan ini dilakukan secara sinergis antara tokoh
yunior dan tokoh senior baik yang ada di Muna ataupun yang ada diperantauan,
baik perorangan maupun organisasi. Tokoh yunior seperti Idrus Efendi, Halim
Tobulu, La Ode Enda dan La Ode Taeda Ahmad dikenal sangat gigih
memperjuangkan pembentukan Kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara,
Selain itu, organisasi para militer yang dibentuk seperti Batalyon SADAR
(Sarekat Djasa Rahasia) dan Barisan 20 secara terus menerus menggalang dukungan
guna perwujudan pembentukan Kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Bataliyon
SADAR dan Barisan 20 pada awalnya dibentuk untuk melakukan perlawanan terhadap
pasukan sekutu ( NICA ) yang diboncengi Belanda yang mencoba kembali untuk
melakukan penjajahan terhadap Indonesia yang telah memproklamirkan
kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945, dengan semangat jiwa patriotisme
tokoh-tokoh Muna tersebut terus bergerak melakukan perlawanan gerakan bawah
tanah dan perang terbuka agar pasukan NICA keluar dari bumi Indonesia khususnya
di Kabupaten Muna.
Fase
I (Pertama), Pemerintahan Swapraja
Pemerintahan
Muna pada fase ini berstatus Swapraja dengan raja yang terakhir Laode Pandu
yang dilantik oleh pemangku adat menjadi Raja Muna tanggal 24 Februari 1947 di
Kota Muna. Pada fase ini tidak dapat dilepaskan dengan perjuangan mempertahankan
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, dimana para tokoh dan rakyat pejuang
daerah Muna baik itu perorangan maupun organisasi seperti Batalyon Sadar
(Serikat Djasa Rahasia), Barisan 20 dan lain-lain yang dipimpin oleh para
tokohnya, antara lain; Laode Muh Idrus Efendy dengan nama samaran Sitti
Goladria, Laode Enda Anwar dengan nama samaran Soneangka, Laode Taeda Ahmad dan
Halim Toboeloe. S.
Fase
II (Kedua), Pemerintahan Kewedanan
Pada
fase ini ditandai dengan dibubarkannya Daerah Afdeling Buton dan Laiwoi
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara Nomor 18 Tahun
1951 tanggal 20 Oktober 1951, ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (Permen)
Nomor 34 Tahun 1952 tentang pembentukan 7 (tujuh) Daerah Administratif Sulawesi
Tenggara, dengan demikian pemerintahan Muna beralih status menjadi Kewedanan
bersama-sama dengan Kewedanan Buton, Kendari, dan Kolaka. Masing-masing
Kewedanan dipimpin oleh seorang KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). Dalam
sejarahnya Kewedanan Muna dipimpin oleh Abdul Razak, Ngitung, Andi Pawilloi, H
Lethe, H Suphu Yusuf, Andi Jamuddin, dan F Latana.
Fase
III (Ketiga), Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna
Bupati
Sulawesi Tenggara yang kelima adalah Drs. Laode Manarfa, tanggal 26 Juni s.d.
31 Juli 1954 mengadakan sidang DPRD-SGR Sulawesi Tenggara di Raha, yang
menghasilkan ketetapan-ketetapan antara lain; Kabupaten Sulawesi Tenggara
meliputi Kewedanan Kendari, Kolaka, dan Boea Pinang. Hasil keputusan tersebut
harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat, sehingga untuk kepentingan
perjuangan, anggota DPRD-SGR Sulawesi Tenggara berangkat ke Jakarta, dalam hal
ini delegasi Muna diwakili oleh Laode Ado dan Supphu Yusuf. Dari hasil
perjuangan tersebut yang disetujui oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 3
Januari 1955, dan berdasarkan ketetapan Menteri Dalam Negeri tentang
pembentukan dan pemekaran kabupaten Sulawesi Tenggara hanya dua Kewedanan
sehingga terjadilah polemik dan protes dari para tokoh masyarakat dan pemuda
baik di Muna maupun di Makassar, karena apa yang mereka inginkan belum
terwujud, hal ini menimbulkan protes dan unjuk rasa yang dilakukan oleh para
pemuda baik yang ada di Muna maupun di Makassar, dimana unjuk rasa tesebut
ditujukan kepada Laode Ado sebagai delegasi Muna yang menghadap kepada Menteri
Dalam Negeri. Berdasarkan kenyataan tersebut, Raja Muna, Laode Pandu kemudian
mengadakan rapat pada hari Senin, tanggal 12 September 1955 di Raha yang
dihadiri tiga Kepala Distrik, yaitu Kepala Distrik Katobu, Kepala Distrik
Kabawo, Kepala Distrik Tongkuno, dan Kepala Distrik Lawa tidak hadir. Selain
itu turut pula hadir para Kepala Kampung, Ketua-ketua Partai/Organisasi, Pemuka
Masyarakat, dan Pihak Kepolisian. Agenda rapat yakni mendengarkan delegasi
DPRD-SGR SULTRA pada bulan Januari 1955, untuk membicarakan tentang status
daerah-daerah otonom dan status swapraja. Dan keputusannya antara lain, Muna
diperjuangkan untuk menjadi daerah Swatantra dengan otonomi penuh. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka hasil rapat memutuskan memberikan mandat kepada
Laode Rasjid dan Laode Ado untuk melaksanakan tugas menyusun program dan
menetapkan langkah perjuangan untuk terbentuknya daerah Swatantra Muna, dan
membentuk daerah persiapan pembentukan Kabupaten Muna.
Pemberi
mandat untuk melaksanakan tugas-tugas dimaksud ditanda tangani oleh sebanyak
102 orang. Selanjutnya, pada tanggal 5 Agustus 1956, para tokoh masyarakat Muna
di Makassar yang tergabung dalam PRIM (Persatuan Rakyat Indonesia Muna),
membentuk panitia pembentukan kabupaten Muna yang ditanda tangani oleh Laode
Walanda sebagai Ketua dan Laode Hatali sebagai sekretaris yang ditujukan kepada
MENDAGRI di Jakarta dan Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar dan 13 alamat
lainnya.
Tanggal
2 September 1956 dibentuklah Panitia Dewan Penuntut Kabupaten Muna di Raha
dengan Ketua dan Sektretarisnya masing-masing Laode Hibi dan Laode Tuga
dan disetujui oleh Raja Muna. Gelombang penuntutan pembentukan daerah
setingkat Kabupaten juga muncul dari generasi muda Muna yang ada di
Makassar. Pada tanggal 8 Februari 1958 terbentuk panitia penuntutan percepatan
pembentukan Kabupaten Muna dengan Ketua La Ode Walanda dan sekretaris
Ando Arifin. Panitia ini kemudian mengutus delegasinya untuk mengahadap
MENDAGRI di Jakarta. Delegasi ini dipimpin oleh La Ode Muh. Idrus Efendi.
Tanggal
20 Maret 1958 Pemerintah Swapraja Buton mengeluarkan Surat Pernyataan yang
ditanda tangani Sultan Buton Laode Falihi, yang intinya menyetujui terbentuknya
Kabupaten Muna. Mengenai batas-batas akan ditetapkan pada
perundingan-perundingan yang akan datang. Sebagai realisasi pernyataan Sultan
Buton tersebut maka diadakan rapat bertempat di Pendopo Sri Sultan Buton, yang
hadir pada rapat tersebut, antara lain; Drs Laode Manarfa Kepala Daerah
Sulawesi Tenggara, Laode Falihi Sultan Buton, Laode Pandu, Raja Muna, Laode A
Salam dan Laode Hude. Selain itu masing-masing Kepala Distrik yang
diperbantukan pada Kantor Swapraja Buton, mewakili Buton, Laode Muh Shalihin,
Kepala Distrik Katobu dan Laode Rianse sebagai Distrik Lawa, mewakili Muna.
Wujud dari pertemuan diatas yang disertai pernyataan-pernyatan Panitia dari
tiap tingkat pejabat pemerintah, maka pada tanggal 6 Desember 1958 diutuslah
empat orang Delegasi Muna untuk menghadap pemerintah pusat yakni Laode Muh.
Idrus Efendi, La Sipala, Laode Muh Badia Rere dan Laode Ado. Adapun penyandang
dana keberangkatan Delegasi adalah Ham Ahing, Darwis Tungguno dan Wahid
Kuntarati, dari perjuangan tersebut oleh Mendagri menetapkan, Pulau Sulawesi
dibagi 4 (empat) propinsi yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pemerintah Pusat mengajukan kepada para delegasi
untuk memenuhi syarat-syarat untuk berdirinya propinsi Sulawesi Selatan dan
Tenggara, dimana Sulawesi Tenggara dibagi 4 (empat) Kabupaten, antara lain;
KPN Kolaka, KPN Kendari, KPN Buton, dan KPN Muna.
Pada
tanggal 20 hingga 22 Juli 1959 diadakan rapat raksasa yang dihadiri utusan
Buton, Muna, Kendari, Kolaka masing-masing 15 orang, antara lain dari; staf
Kepala Daerah, KPN, dan Swapraja. Musyawarah itu dipimpin langsung Laode
Manarfa dan dihadiri pula oleh unsur TNI, Abdul Kahar (Kuasa Perang), H. Abdul
Halik (Buton), Abdul Rahim Daeng Muntu (Muna), H L Lethe (Kendari), Abdul Wahab
(Kolaka).
Fase
IV (Empat), Terbentuknya Kabupaten Muna
Setelah
melalui perjuangan panjang oleh para tokoh pejuang Muna, yang dilakukan tanpa
pamrih dalam menghadapi berbagai tantangan, maka berdasarkan berbagai
pertimbangan logis dan strategis, oleh pemerintah pusat menindaklanjuti yang
ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan
daerah-daerah tingkat II di Sulawesi, termasuk didalamnya Kabupaten Muna dengan
ibukotanya Raha.
Pada
awal pengusulan Kabupaten Muna terdiri dari empat Ghoerah (distrik) yaitu;
distrik Katobu, Distrik Lawa, Distrik Kabawo, dan Distrik Tongkuno. Dari keempat
distrik tersebut belum ada yang memenuhi kriteria untuk membentuk suatu
kabupaten, maka diadakanlah pendekatan dengan beberapa tokoh pada saat itu
yaitu tokoh Masyarakat Kulisusu, tokoh Masyarakat Wakorumba, dan tokoh
Masyarakat Tiworo Kepulauan, pada saat itu ketiga distrik adalah distrik
Kulisusu diwakili oleh Laode Ganiru dan Laode Ago, Distrik Wakorumba diwakili
oleh Laode Hami dan Laode Haju, dan Distrik Tiworo diwakili oleh La Baranti.
Berdasarkan kesepakatan yang utuh dan bulat dari tokoh-tokoh untuk bergabung
dalam pemerintahan Kabupaten Muna, maka doktrin untuk terbentuknya Kabupaten
Muna sudah tidak ada masalah lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar