Dosen : HARMIN TOHA S,ST
M.KES
Dosen : HARMIN TOHA S,ST
M.KES
Dosen : HARMIN TOHA S,ST
M.KES
PENANGGULANGAN BENCANA NON ALAM
DI SUSUN OLEH
1.
HASMIRAWATI TONA
2.
HESTI REZITA PRAWITA SARI
3.
HASRIANI
4.
HIKAMAT
5.
SITTI FARINA SAPUTRI
6.
AKADEMI
KEBIDANAN YAYASAN KESEHATAN NASIONAL BAU-BAU 2 0 1 6
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji
syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah
dengan judul “Manajemen Bencana di Indonesia”.
Makalah ini dibuat untuk
menambah wawasan dan penulis dalam penanggulan bencana di Indonesia. Penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam proses
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara
penulisannya.
Namun demikian, penulis
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik. Oleh sebab itu, penulis dengan rendah hati menerima
saran dan kritik guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap
semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan memberikan referensi yang
bermakna bagi para pembaca.
Palangkaraya, Januari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang……………………………………………………
1.2 Tujuan
Penulisan……………………………………………........
1.3 Manfaat
Penulisan………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Definisi dan Jenis Bencana…………………………………….
2.2 Tahapan
Bencana………………………………………………
2.3
Definisi Bencana……………………………………………….
2.4
Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana…………..
2.5
Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana……………………..
2.6
Asas-asas Penanggulangan bencana…………………………..
2.7
Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana…………………..
BAB III PENUTUP
3.1
Simpulan…………………………………………………………
3.2
Saran……………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap
bencana di dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana
(UN-ISDR). Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang
terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki
peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi.
Dan menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir.
Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) selama Januari 2013 mencatat ada 119 kejadian
bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB juga mencatat akibatnya ada sekitar 126
orang meninggal akibat kejadian tersebut. kejadian bencana belum semua
dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian bencana menyebabkan 126 orang meninggal,
113.747 orang menderita dan mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak
sedang, 10.945 rumah rusak ringan. Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah
melakukan penanggulangan bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan tanggap
darurat. Untuk siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan longsor sejak akhir
Desember 2012 hingga sekarang, BNPB telah mendistribusikan dana siap pakai
sekitar Rp 180 milyar ke berbagai daerah di Indonesia yang terkena bencana.
Namun, penerapan manajemen
bencana di Indonesia masih terkendala berbagai masalah, antara lain kurangnya
data dan informasi kebencanaan, baik di tingkat masyarakat umum maupun di
tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial
kebencanaan merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan manajemen
bencana di Indonesia berjalan kurang optimal. Pengambilan keputusan ketika
terjadi bencana sulit dilakukankarena data yang beredar memiliki banyak versi
dan sulit divalidasi kebenarannya.
Dari uraian diatas,
terlihat bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem manajemen bencana di
Indonesia sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau
meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.
1.2 Tujuan Penulisan
Mahasiswa mengerti tentang sistem manajemen bencana
1.3 Manfaat Penulisan
1. Menambah pengetahuan
dan wawasan pembaca dan penulis dalam hal menajemen bencana.
2.Pembaca dapat menerapkan
upaya penanggulangan bencana, terutama untuk para petugas kesehatan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Jenis
Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut
menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia.
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan
mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi. dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat, dan teror.5
2.2 Tahapan Bencana
Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu :
tahap pra-disaster, tahap serangan atau saat terjadi bencana (impact), tahap
emergensi dan tahap rekonstruksi. Dari ke-empat tahap ini, tahap pra disaster
memegang peran yang sangat strategis.
a. Tahap Pra-Disaster
Tahap ini dikenal juga
sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya mulai saat sebelum terjadi bencana
sampai tahap serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai
tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu
dilatih tanggap terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang
diberikan kepada petugas dan masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah
besarnya korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan
kepada masyarakat pada tahap pra bencana.
b. Tahap Serangan atau
Terjadinya Bencana (Impact phase)
Pada tahap serangan atau
terjadinya bencana (Impact phase) merupakan fase terjadinya klimaks bencana.
Inilah saat-saat dimana, manusia sekuat tenaga mencoba ntuk bertahan hidup.
Waktunya bisa terjadi beberapa detik sampai beberapa minggu atau bahkan bulan.
Tahap serangan dimulai saat bencana menyerang sampai serang berhenti.
c. Tahap Emergensi
Tahap emergensi dimulai
sejak berakhirnya serangan bencana yang pertama.Tahap emergensi bisa terjadi
beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada tahap emergensi, hari-hari minggu
pertama yang menolong korban bencana adalah masyarakat awam atau awam khusus
yaitu masyarakat dari lokasi dan sekitar tempat bencana. Karakteristik korban
pada tahap emergensi minggu pertama adalah : korban dengan masalah Airway dan
Breathing (jalan nafas dan pernafasan), yang sudah ditolong dan berlanjut ke
masalah lain, korban dengan luka sayat, tusuk, terhantam benda tumpul, patah
tulang ekstremitas dan tulang belakang, trauma kepala, luka bakar bila ledakan
bom atau gunung api atau ledakan pabrik kimia atau nuklir atau gas. Pada minggu
ke dua dan selanjutnya, karakteristik korban mulai berbeda karena terkait
dengan kekurangan makan, sanitasi lingkungan dan air bersih, atau personal
higiene. Masalah kesehatan dapat berupa sakit lambung (maag), diare, kulit,
malaria atau penyakit akibat gigitan serangga.
d. Tahap Rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat
tinggal, sarana umum seperti sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat
pertemuan warga. Pada tahap rekonstruksi ini yang dibangun tidak saja kebutuhan
fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun kembali adalah budaya.
Kita perlu melakukan rekonstruksi budaya, melakukan re-orientasi nilai-nilai
dan norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab. Dengan melakukan
rekonstruksi budaya kepada masyarakat korban bencana, kita berharap kehidupan
mereka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi bencana. Situasi ini seharusnya
bisa dijadikan momentum oleh pemerintah untuk membangun kembali Indonesia yang
lebih baik, lebih beradab, lebih santun, lebih cerdas hidupnya lebih memiliki
daya saing di dunia internasional.
2.3 Definisi Manajemen
Bencana
Penanggulangan bencana
atau yang sering didengar dengan manajemen bencana (disaster management)
adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi
Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami
pergeseran paradigma dari pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik
(menyeluruh). Pada pendekatan konvensial bencana itu suatu peristiwa atau
kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan
pertolongan, sehingga manajemen bencana lebih fokus pada hal yang
bersifat bantuan (relief) dan tanggap darurat (emergency response). Selanjutnya
paradigma manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan pengelolaan risiko
yang lebih fokus pada upaya-upaya pencegahan dan mitigasi, baik yang bersifat
struktural maupun non-struktural di daerah-daerah yang rawan terhadap bencana,
dan upaya membangun kesiap-siagaan.
Sebagai salah satu tindak lanjut dalam
menghadapi perubahan paradigma manajemen bencana tersebut, pada bulan Januari
tahun 2005 di Kobe-Jepang, diselengkarakan Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference
on Disaster Reduction) yang menghasilkan beberapa substansi
dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi
dan lingkungan. Substansi dasar tersebut yang selanjutnya merupakan lima
prioritas kegiatan untuk tahun 2005‐2015 yaitu:
1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas
nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang
kuat.
2.Mengidentifikasi, mengkaji dan
memantau risiko bencana
serta menerapkan sistem peringatan dini
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan
membangun kesadaran kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana
pada semua tingkat masyarakat.
4. Mengurangi faktor‐faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat kesiapan menghadapi
bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif
2.4 Tahapan dan Kegiatan
dalam Manajemen Bencana
Dalam
melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi tahap prabencana, tahap tanggap darurat, dan tahap
pascabencana.
1. Pada Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
a.
Situasi Tidak Terjadi Bencana
Situasi
tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang berdasarkan analisis
kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman bencana
yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana meliputi : · perencanaan penanggulangan bencana; · pengurangan risiko
bencana; · pencegahan; · pemaduan dalam perencanaan pembangunan; · persyaratan
analisis risiko bencana; · pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; ·
pendidikan dan pelatihan; dan · persyaratan standar teknis penanggulangan
bencana.
b. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada
situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan: · Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
●
Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang
●
Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Kegiatan-kegiatan
pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi stakeholder, oleh
karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.
2. Tahap Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,
harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan, pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi,
kerusakan, dan sumber daya dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan lokasi
bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap
fungsi pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun
buatan.
b. penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan
status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala
bencana.
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana
yang terjadi pada suatu daerah melalui upaya pencarian dan penyelamatan korban,
pertolongan darurat, dan/atau evakuasi korban.
d. pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan
kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan,
pelayanan psikososial; dan penampungan dan tempat hunian.
e. Perlindungan terhadap kelompok rentan, dilakukan dengan
memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi,
pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial. Kelompok rentan yang dimaksud
terdiri atas bayi, balita, anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau
menyusui;, penyandang cacat, dan orang lanjut usia.
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Tahap tindakan dalam tanggap daruratdibagi menjadi dua fase yaitu fase akut dan
fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase
penyelamatan dan pertolongan medis darurat sedangkan fase sub akut terjadi
sejak 2-3 minggu.
3. Pasca Bencana
Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:
a. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan
pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada
wilayah pascabencana.
b. Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali
semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
2.5 Prinsip-Prinsip
Penanggulangan Bencana
Prinsip-prinsip
dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 tahun 2007, yaitu:
1. Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan
tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara
cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2. prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas”
adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat
prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3. koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan
“prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada
koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip
keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor
secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4. berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan
“prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang
dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan
bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
5. transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan
“prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip
akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
6. Kemitraan
7. Pemberdayaan
8. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip
nondiskriminasi” adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan
aliran politik apa pun.
9. Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah
bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.
2.6 Asas-asas Dalam
Penanggulangan Bencana
Penanggulangan
bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007 berasaskan:
1.
kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi dalam
penanggulangan bencana sehingga undang-undang ini memberikan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan”
adalah bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali.
3. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh
berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
4. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang
dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan
lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keselarasan tata kehidupan
dan lingkungan. Yang dimaksud dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi
muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian
lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
5. ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud
dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas
kebersamaan” adalah bahwa penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas
dan tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara
gotong royong.
7. Kelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan
“asas kelestarian lingkungan hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi
sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi kepentingan bangsa dan
negara.
8. ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud
dengan “asas ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan
bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal
sehingga mempermudah dan mempercepat proses penanggulangan bencana, baik pada
tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana
2.7 Pertolongan Pertama
Pada Korban Bencana
Peran
penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam penanggulangan dampak bencana,
terutama dalam penanganan korban trauma baik fisik
maupun psikis. Keberadaan tenaga kesehatan tentunya akan sangat membantu
untuk memberi pertolongan pertama sebelum proses perujukan ke rumah sakit yang
memadai.
1 Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah
memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin
bisa menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangatlah penting,
karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal
sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan Triase. Prinsip-prinsip
ini diterapkan dalam pelaksanaan pemberian bantuan hidup dasar pada
penderita trauma (Basic Trauma Life Support) maupun Advanced Trauma Life
Support.11 Triage adalah tindakan mengkategorikan pasien menurut
kebutuhan perawatan dengan memprioritaskan mereka yang paling perlu
didahulukan. Paling sering terjadi di ruang gawat darurat,
namun triage juga dapat terjadi dalam pengaturan perawatan kesehatan
di tempat lain di mana pasien diklasifikasikan menurut keparahan kondisinya.
Tindakan ini dirancang untuk memaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan sumber
daya tenaga medis dan fasilitas yang terbatas.10 Triage dapat dilakukan di
lapangan maupun didalam rumah sakit. Proses triage meliputi tahap
pra-hospital/lapangan dan hospital atau pusat pelayana kesehatan lainnya.
Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat
kejadian dan tindakan ini harus dinilai lang terus menerus karena status triage
pasien dapat berubah. Metode yang digunakan bisa secara Mettag (triage Tagging
System) atau sistem triage penuntun lapangan Star (Simple Triage and Rapid
Transportasi) Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60
detik yang mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan
kelompok korban seperti yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang
tidak mungkin diselamatkan, atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat
mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah
tidak memerlukan transport segera. Star merupakan salah satu metode yang paling
sederhana dan umum. Metode ini membagi penderita menjadi 4 kategori : 1.
Prioritas 1 – Merah Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita
yang kritis keadaannya seperti gangguan jalan napas, gangguan pernapasan,
perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol, penurunan status mental 2.
Prioritas 2 – Kuning Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para
penderita yang mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran
napas atau kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak dapat
berjalan, cedera punggung. 3. Prioritas 3 – Hijau Merupakan kelompok yang
paling akhir prioritasnya, dikenal juga sebagai ‘Walking Wounded” atau orang
cedera yang dapat berjalan sendiri. 4. Prioritas 0 – Hitam Diberikan kepada
mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang mematikan. Pendekatan yang
dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas korban adalah yang dijumpai
pada sistim METTAG. Prioritas tindakan dijelaskan sebagai : 1. Prioritas
Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera
berat yang memerlukan tindakan dan transport segera (gagal nafas, cedera
torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan
berat, luka bakar berat).
3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan
cedera yang dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat
(cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura
mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta luka bakar
ringan).
4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan
cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera (cedera jaringan lunak,
fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan
nafas serta gawat darurat psikologis).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia
merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan manajemen atau penanggulangan
bencana yang tepat dan terencana. Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya
yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen
bencana di mulai dari tahap prabecana, tahap tanggap darurat, dan tahap
pascabencana. Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk
meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan bencana
menggunakan prinsip triage.
3.2 Saran Masalah penanggulangan bencana tidak hanya
menjadi beban pemerintah atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga
diperlukan dukungan dari masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap
lapisan dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. 2011. Indonesia negara rawan bencana.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/08/110810_indonesia_tsunami.shtml.
Diakses tanggal 11 januari 2014.
2. Ledysia, Septiana. 2013. Januari 2013, Indonesia
Dirundung 119 Bencana.
http://news.detik.com/read/2013/02/02/002615/2159288/10/januari-2013-indonesia-dirundung-119-bencana.
Diakses tanggal 11 Januari 2014.
3. Pusat Data, Informasi dan Humas. 2010. Sistem
Penangulangan Bencana.
http://bnpb.go.id/page/read/7/sistem-penanggulangan-bencana. Diakses tanggal 11
Januari 2014
4. Pusat Data, Informasi dan Humas. 2012. Definisi
dan Jenis Bencana.
http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana. diakses tanggal
12 Januari 2014.
5. Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Jakarta: DPR RI
dan Presiden RI
DI SUSUN OLEH
1.
HASMIRAWATI TONA
2.
HESTI REZITA PRAWITA SARI
3.
HASRIANI
4.
HIKAMAT
5.
SITTI FARINA SAPUTRI
6.
AKADEMI
KEBIDANAN YAYASAN KESEHATAN NASIONAL BAU-BAU 2 0 1 6
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji
syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah
dengan judul “Manajemen Bencana di Indonesia”.
Makalah ini dibuat untuk
menambah wawasan dan penulis dalam penanggulan bencana di Indonesia. Penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam proses
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara
penulisannya.
Namun demikian, penulis
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik. Oleh sebab itu, penulis dengan rendah hati menerima
saran dan kritik guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap
semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan memberikan referensi yang
bermakna bagi para pembaca.
Palangkaraya, Januari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang……………………………………………………
1.2 Tujuan
Penulisan……………………………………………........
1.3 Manfaat
Penulisan………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Definisi dan Jenis Bencana…………………………………….
2.2 Tahapan
Bencana………………………………………………
2.3
Definisi Bencana……………………………………………….
2.4
Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana…………..
2.5
Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana……………………..
2.6
Asas-asas Penanggulangan bencana…………………………..
2.7
Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana…………………..
BAB III PENUTUP
3.1
Simpulan…………………………………………………………
3.2
Saran……………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap
bencana di dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana
(UN-ISDR). Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang
terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki
peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi.
Dan menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir.
Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) selama Januari 2013 mencatat ada 119 kejadian
bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB juga mencatat akibatnya ada sekitar 126
orang meninggal akibat kejadian tersebut. kejadian bencana belum semua
dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian bencana menyebabkan 126 orang meninggal,
113.747 orang menderita dan mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak
sedang, 10.945 rumah rusak ringan. Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah
melakukan penanggulangan bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan tanggap
darurat. Untuk siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan longsor sejak akhir
Desember 2012 hingga sekarang, BNPB telah mendistribusikan dana siap pakai
sekitar Rp 180 milyar ke berbagai daerah di Indonesia yang terkena bencana.
Namun, penerapan manajemen
bencana di Indonesia masih terkendala berbagai masalah, antara lain kurangnya
data dan informasi kebencanaan, baik di tingkat masyarakat umum maupun di
tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial
kebencanaan merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan manajemen
bencana di Indonesia berjalan kurang optimal. Pengambilan keputusan ketika
terjadi bencana sulit dilakukankarena data yang beredar memiliki banyak versi
dan sulit divalidasi kebenarannya.
Dari uraian diatas,
terlihat bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem manajemen bencana di
Indonesia sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau
meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.
1.2 Tujuan Penulisan
Mahasiswa mengerti tentang sistem manajemen bencana
1.3 Manfaat Penulisan
1. Menambah pengetahuan
dan wawasan pembaca dan penulis dalam hal menajemen bencana.
2.Pembaca dapat menerapkan
upaya penanggulangan bencana, terutama untuk para petugas kesehatan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Jenis
Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut
menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia.
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan
mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi. dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat, dan teror.5
2.2 Tahapan Bencana
Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu :
tahap pra-disaster, tahap serangan atau saat terjadi bencana (impact), tahap
emergensi dan tahap rekonstruksi. Dari ke-empat tahap ini, tahap pra disaster
memegang peran yang sangat strategis.
a. Tahap Pra-Disaster
Tahap ini dikenal juga
sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya mulai saat sebelum terjadi bencana
sampai tahap serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai
tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu
dilatih tanggap terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang
diberikan kepada petugas dan masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah
besarnya korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan
kepada masyarakat pada tahap pra bencana.
b. Tahap Serangan atau
Terjadinya Bencana (Impact phase)
Pada tahap serangan atau
terjadinya bencana (Impact phase) merupakan fase terjadinya klimaks bencana.
Inilah saat-saat dimana, manusia sekuat tenaga mencoba ntuk bertahan hidup.
Waktunya bisa terjadi beberapa detik sampai beberapa minggu atau bahkan bulan.
Tahap serangan dimulai saat bencana menyerang sampai serang berhenti.
c. Tahap Emergensi
Tahap emergensi dimulai
sejak berakhirnya serangan bencana yang pertama.Tahap emergensi bisa terjadi
beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada tahap emergensi, hari-hari minggu
pertama yang menolong korban bencana adalah masyarakat awam atau awam khusus
yaitu masyarakat dari lokasi dan sekitar tempat bencana. Karakteristik korban
pada tahap emergensi minggu pertama adalah : korban dengan masalah Airway dan
Breathing (jalan nafas dan pernafasan), yang sudah ditolong dan berlanjut ke
masalah lain, korban dengan luka sayat, tusuk, terhantam benda tumpul, patah
tulang ekstremitas dan tulang belakang, trauma kepala, luka bakar bila ledakan
bom atau gunung api atau ledakan pabrik kimia atau nuklir atau gas. Pada minggu
ke dua dan selanjutnya, karakteristik korban mulai berbeda karena terkait
dengan kekurangan makan, sanitasi lingkungan dan air bersih, atau personal
higiene. Masalah kesehatan dapat berupa sakit lambung (maag), diare, kulit,
malaria atau penyakit akibat gigitan serangga.
d. Tahap Rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat
tinggal, sarana umum seperti sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat
pertemuan warga. Pada tahap rekonstruksi ini yang dibangun tidak saja kebutuhan
fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun kembali adalah budaya.
Kita perlu melakukan rekonstruksi budaya, melakukan re-orientasi nilai-nilai
dan norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab. Dengan melakukan
rekonstruksi budaya kepada masyarakat korban bencana, kita berharap kehidupan
mereka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi bencana. Situasi ini seharusnya
bisa dijadikan momentum oleh pemerintah untuk membangun kembali Indonesia yang
lebih baik, lebih beradab, lebih santun, lebih cerdas hidupnya lebih memiliki
daya saing di dunia internasional.
2.3 Definisi Manajemen
Bencana
Penanggulangan bencana
atau yang sering didengar dengan manajemen bencana (disaster management)
adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi
Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami
pergeseran paradigma dari pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik
(menyeluruh). Pada pendekatan konvensial bencana itu suatu peristiwa atau
kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan
pertolongan, sehingga manajemen bencana lebih fokus pada hal yang
bersifat bantuan (relief) dan tanggap darurat (emergency response). Selanjutnya
paradigma manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan pengelolaan risiko
yang lebih fokus pada upaya-upaya pencegahan dan mitigasi, baik yang bersifat
struktural maupun non-struktural di daerah-daerah yang rawan terhadap bencana,
dan upaya membangun kesiap-siagaan.
Sebagai salah satu tindak lanjut dalam
menghadapi perubahan paradigma manajemen bencana tersebut, pada bulan Januari
tahun 2005 di Kobe-Jepang, diselengkarakan Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference
on Disaster Reduction) yang menghasilkan beberapa substansi
dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi
dan lingkungan. Substansi dasar tersebut yang selanjutnya merupakan lima
prioritas kegiatan untuk tahun 2005‐2015 yaitu:
1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas
nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang
kuat.
2.Mengidentifikasi, mengkaji dan
memantau risiko bencana
serta menerapkan sistem peringatan dini
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan
membangun kesadaran kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana
pada semua tingkat masyarakat.
4. Mengurangi faktor‐faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat kesiapan menghadapi
bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif
2.4 Tahapan dan Kegiatan
dalam Manajemen Bencana
Dalam
melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi tahap prabencana, tahap tanggap darurat, dan tahap
pascabencana.
1. Pada Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
a.
Situasi Tidak Terjadi Bencana
Situasi
tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang berdasarkan analisis
kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman bencana
yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana meliputi : · perencanaan penanggulangan bencana; · pengurangan risiko
bencana; · pencegahan; · pemaduan dalam perencanaan pembangunan; · persyaratan
analisis risiko bencana; · pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; ·
pendidikan dan pelatihan; dan · persyaratan standar teknis penanggulangan
bencana.
b. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada
situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan: · Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
●
Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang
●
Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Kegiatan-kegiatan
pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi stakeholder, oleh
karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.
2. Tahap Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,
harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan, pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi,
kerusakan, dan sumber daya dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan lokasi
bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap
fungsi pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun
buatan.
b. penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan
status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala
bencana.
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana
yang terjadi pada suatu daerah melalui upaya pencarian dan penyelamatan korban,
pertolongan darurat, dan/atau evakuasi korban.
d. pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan
kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan,
pelayanan psikososial; dan penampungan dan tempat hunian.
e. Perlindungan terhadap kelompok rentan, dilakukan dengan
memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi,
pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial. Kelompok rentan yang dimaksud
terdiri atas bayi, balita, anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau
menyusui;, penyandang cacat, dan orang lanjut usia.
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Tahap tindakan dalam tanggap daruratdibagi menjadi dua fase yaitu fase akut dan
fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase
penyelamatan dan pertolongan medis darurat sedangkan fase sub akut terjadi
sejak 2-3 minggu.
3. Pasca Bencana
Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:
a. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan
pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada
wilayah pascabencana.
b. Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali
semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
2.5 Prinsip-Prinsip
Penanggulangan Bencana
Prinsip-prinsip
dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 tahun 2007, yaitu:
1. Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan
tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara
cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2. prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas”
adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat
prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3. koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan
“prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada
koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip
keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor
secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4. berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan
“prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang
dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan
bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
5. transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan
“prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip
akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
6. Kemitraan
7. Pemberdayaan
8. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip
nondiskriminasi” adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan
aliran politik apa pun.
9. Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah
bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.
2.6 Asas-asas Dalam
Penanggulangan Bencana
Penanggulangan
bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007 berasaskan:
1.
kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi dalam
penanggulangan bencana sehingga undang-undang ini memberikan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan”
adalah bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali.
3. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh
berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
4. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang
dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan
lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keselarasan tata kehidupan
dan lingkungan. Yang dimaksud dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi
muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian
lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
5. ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud
dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas
kebersamaan” adalah bahwa penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas
dan tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara
gotong royong.
7. Kelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan
“asas kelestarian lingkungan hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi
sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi kepentingan bangsa dan
negara.
8. ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud
dengan “asas ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan
bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal
sehingga mempermudah dan mempercepat proses penanggulangan bencana, baik pada
tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana
2.7 Pertolongan Pertama
Pada Korban Bencana
Peran
penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam penanggulangan dampak bencana,
terutama dalam penanganan korban trauma baik fisik
maupun psikis. Keberadaan tenaga kesehatan tentunya akan sangat membantu
untuk memberi pertolongan pertama sebelum proses perujukan ke rumah sakit yang
memadai.
1 Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah
memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin
bisa menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangatlah penting,
karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal
sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan Triase. Prinsip-prinsip
ini diterapkan dalam pelaksanaan pemberian bantuan hidup dasar pada
penderita trauma (Basic Trauma Life Support) maupun Advanced Trauma Life
Support.11 Triage adalah tindakan mengkategorikan pasien menurut
kebutuhan perawatan dengan memprioritaskan mereka yang paling perlu
didahulukan. Paling sering terjadi di ruang gawat darurat,
namun triage juga dapat terjadi dalam pengaturan perawatan kesehatan
di tempat lain di mana pasien diklasifikasikan menurut keparahan kondisinya.
Tindakan ini dirancang untuk memaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan sumber
daya tenaga medis dan fasilitas yang terbatas.10 Triage dapat dilakukan di
lapangan maupun didalam rumah sakit. Proses triage meliputi tahap
pra-hospital/lapangan dan hospital atau pusat pelayana kesehatan lainnya.
Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat
kejadian dan tindakan ini harus dinilai lang terus menerus karena status triage
pasien dapat berubah. Metode yang digunakan bisa secara Mettag (triage Tagging
System) atau sistem triage penuntun lapangan Star (Simple Triage and Rapid
Transportasi) Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60
detik yang mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan
kelompok korban seperti yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang
tidak mungkin diselamatkan, atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat
mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah
tidak memerlukan transport segera. Star merupakan salah satu metode yang paling
sederhana dan umum. Metode ini membagi penderita menjadi 4 kategori : 1.
Prioritas 1 – Merah Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita
yang kritis keadaannya seperti gangguan jalan napas, gangguan pernapasan,
perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol, penurunan status mental 2.
Prioritas 2 – Kuning Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para
penderita yang mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran
napas atau kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak dapat
berjalan, cedera punggung. 3. Prioritas 3 – Hijau Merupakan kelompok yang
paling akhir prioritasnya, dikenal juga sebagai ‘Walking Wounded” atau orang
cedera yang dapat berjalan sendiri. 4. Prioritas 0 – Hitam Diberikan kepada
mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang mematikan. Pendekatan yang
dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas korban adalah yang dijumpai
pada sistim METTAG. Prioritas tindakan dijelaskan sebagai : 1. Prioritas
Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera
berat yang memerlukan tindakan dan transport segera (gagal nafas, cedera
torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan
berat, luka bakar berat).
3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan
cedera yang dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat
(cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura
mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta luka bakar
ringan).
4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan
cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera (cedera jaringan lunak,
fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan
nafas serta gawat darurat psikologis).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia
merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan manajemen atau penanggulangan
bencana yang tepat dan terencana. Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya
yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen
bencana di mulai dari tahap prabecana, tahap tanggap darurat, dan tahap
pascabencana. Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk
meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan bencana
menggunakan prinsip triage.
3.2 Saran Masalah penanggulangan bencana tidak hanya
menjadi beban pemerintah atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga
diperlukan dukungan dari masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap
lapisan dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. 2011. Indonesia negara rawan bencana.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/08/110810_indonesia_tsunami.shtml.
Diakses tanggal 11 januari 2014.
2. Ledysia, Septiana. 2013. Januari 2013, Indonesia
Dirundung 119 Bencana.
http://news.detik.com/read/2013/02/02/002615/2159288/10/januari-2013-indonesia-dirundung-119-bencana.
Diakses tanggal 11 Januari 2014.
3. Pusat Data, Informasi dan Humas. 2010. Sistem
Penangulangan Bencana.
http://bnpb.go.id/page/read/7/sistem-penanggulangan-bencana. Diakses tanggal 11
Januari 2014
4. Pusat Data, Informasi dan Humas. 2012. Definisi
dan Jenis Bencana.
http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana. diakses tanggal
12 Januari 2014.
5. Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Jakarta: DPR RI
dan Presiden RI
DI SUSUN OLEH
1.
HASMIRAWATI TONA
2.
HESTI REZITA PRAWITA SARI
3.
HASRIANI
4.
HIKAMAT
5.
SITTI FARINA SAPUTRI
6.
AKADEMI
KEBIDANAN YAYASAN KESEHATAN NASIONAL BAU-BAU 2 0 1 6
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji
syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah
dengan judul “Manajemen Bencana di Indonesia”.
Makalah ini dibuat untuk
menambah wawasan dan penulis dalam penanggulan bencana di Indonesia. Penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam proses
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara
penulisannya.
Namun demikian, penulis
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik. Oleh sebab itu, penulis dengan rendah hati menerima
saran dan kritik guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap
semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan memberikan referensi yang
bermakna bagi para pembaca.
Palangkaraya, Januari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang……………………………………………………
1.2 Tujuan
Penulisan……………………………………………........
1.3 Manfaat
Penulisan………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Definisi dan Jenis Bencana…………………………………….
2.2 Tahapan
Bencana………………………………………………
2.3
Definisi Bencana……………………………………………….
2.4
Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana…………..
2.5
Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana……………………..
2.6
Asas-asas Penanggulangan bencana…………………………..
2.7
Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana…………………..
BAB III PENUTUP
3.1
Simpulan…………………………………………………………
3.2
Saran……………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap
bencana di dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana
(UN-ISDR). Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang
terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki
peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi.
Dan menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir.
Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) selama Januari 2013 mencatat ada 119 kejadian
bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB juga mencatat akibatnya ada sekitar 126
orang meninggal akibat kejadian tersebut. kejadian bencana belum semua
dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian bencana menyebabkan 126 orang meninggal,
113.747 orang menderita dan mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak
sedang, 10.945 rumah rusak ringan. Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah
melakukan penanggulangan bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan tanggap
darurat. Untuk siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan longsor sejak akhir
Desember 2012 hingga sekarang, BNPB telah mendistribusikan dana siap pakai
sekitar Rp 180 milyar ke berbagai daerah di Indonesia yang terkena bencana.
Namun, penerapan manajemen
bencana di Indonesia masih terkendala berbagai masalah, antara lain kurangnya
data dan informasi kebencanaan, baik di tingkat masyarakat umum maupun di
tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial
kebencanaan merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan manajemen
bencana di Indonesia berjalan kurang optimal. Pengambilan keputusan ketika
terjadi bencana sulit dilakukankarena data yang beredar memiliki banyak versi
dan sulit divalidasi kebenarannya.
Dari uraian diatas,
terlihat bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem manajemen bencana di
Indonesia sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau
meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.
1.2 Tujuan Penulisan
Mahasiswa mengerti tentang sistem manajemen bencana
1.3 Manfaat Penulisan
1. Menambah pengetahuan
dan wawasan pembaca dan penulis dalam hal menajemen bencana.
2.Pembaca dapat menerapkan
upaya penanggulangan bencana, terutama untuk para petugas kesehatan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Jenis
Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut
menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia.
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan
mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi. dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat, dan teror.5
2.2 Tahapan Bencana
Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu :
tahap pra-disaster, tahap serangan atau saat terjadi bencana (impact), tahap
emergensi dan tahap rekonstruksi. Dari ke-empat tahap ini, tahap pra disaster
memegang peran yang sangat strategis.
a. Tahap Pra-Disaster
Tahap ini dikenal juga
sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya mulai saat sebelum terjadi bencana
sampai tahap serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai
tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu
dilatih tanggap terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang
diberikan kepada petugas dan masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah
besarnya korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan
kepada masyarakat pada tahap pra bencana.
b. Tahap Serangan atau
Terjadinya Bencana (Impact phase)
Pada tahap serangan atau
terjadinya bencana (Impact phase) merupakan fase terjadinya klimaks bencana.
Inilah saat-saat dimana, manusia sekuat tenaga mencoba ntuk bertahan hidup.
Waktunya bisa terjadi beberapa detik sampai beberapa minggu atau bahkan bulan.
Tahap serangan dimulai saat bencana menyerang sampai serang berhenti.
c. Tahap Emergensi
Tahap emergensi dimulai
sejak berakhirnya serangan bencana yang pertama.Tahap emergensi bisa terjadi
beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada tahap emergensi, hari-hari minggu
pertama yang menolong korban bencana adalah masyarakat awam atau awam khusus
yaitu masyarakat dari lokasi dan sekitar tempat bencana. Karakteristik korban
pada tahap emergensi minggu pertama adalah : korban dengan masalah Airway dan
Breathing (jalan nafas dan pernafasan), yang sudah ditolong dan berlanjut ke
masalah lain, korban dengan luka sayat, tusuk, terhantam benda tumpul, patah
tulang ekstremitas dan tulang belakang, trauma kepala, luka bakar bila ledakan
bom atau gunung api atau ledakan pabrik kimia atau nuklir atau gas. Pada minggu
ke dua dan selanjutnya, karakteristik korban mulai berbeda karena terkait
dengan kekurangan makan, sanitasi lingkungan dan air bersih, atau personal
higiene. Masalah kesehatan dapat berupa sakit lambung (maag), diare, kulit,
malaria atau penyakit akibat gigitan serangga.
d. Tahap Rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat
tinggal, sarana umum seperti sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat
pertemuan warga. Pada tahap rekonstruksi ini yang dibangun tidak saja kebutuhan
fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun kembali adalah budaya.
Kita perlu melakukan rekonstruksi budaya, melakukan re-orientasi nilai-nilai
dan norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab. Dengan melakukan
rekonstruksi budaya kepada masyarakat korban bencana, kita berharap kehidupan
mereka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi bencana. Situasi ini seharusnya
bisa dijadikan momentum oleh pemerintah untuk membangun kembali Indonesia yang
lebih baik, lebih beradab, lebih santun, lebih cerdas hidupnya lebih memiliki
daya saing di dunia internasional.
2.3 Definisi Manajemen
Bencana
Penanggulangan bencana
atau yang sering didengar dengan manajemen bencana (disaster management)
adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi
Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami
pergeseran paradigma dari pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik
(menyeluruh). Pada pendekatan konvensial bencana itu suatu peristiwa atau
kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan
pertolongan, sehingga manajemen bencana lebih fokus pada hal yang
bersifat bantuan (relief) dan tanggap darurat (emergency response). Selanjutnya
paradigma manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan pengelolaan risiko
yang lebih fokus pada upaya-upaya pencegahan dan mitigasi, baik yang bersifat
struktural maupun non-struktural di daerah-daerah yang rawan terhadap bencana,
dan upaya membangun kesiap-siagaan.
Sebagai salah satu tindak lanjut dalam
menghadapi perubahan paradigma manajemen bencana tersebut, pada bulan Januari
tahun 2005 di Kobe-Jepang, diselengkarakan Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference
on Disaster Reduction) yang menghasilkan beberapa substansi
dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi
dan lingkungan. Substansi dasar tersebut yang selanjutnya merupakan lima
prioritas kegiatan untuk tahun 2005‐2015 yaitu:
1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas
nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang
kuat.
2.Mengidentifikasi, mengkaji dan
memantau risiko bencana
serta menerapkan sistem peringatan dini
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan
membangun kesadaran kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana
pada semua tingkat masyarakat.
4. Mengurangi faktor‐faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat kesiapan menghadapi
bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif
2.4 Tahapan dan Kegiatan
dalam Manajemen Bencana
Dalam
melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi tahap prabencana, tahap tanggap darurat, dan tahap
pascabencana.
1. Pada Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
a.
Situasi Tidak Terjadi Bencana
Situasi
tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang berdasarkan analisis
kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman bencana
yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana meliputi : · perencanaan penanggulangan bencana; · pengurangan risiko
bencana; · pencegahan; · pemaduan dalam perencanaan pembangunan; · persyaratan
analisis risiko bencana; · pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; ·
pendidikan dan pelatihan; dan · persyaratan standar teknis penanggulangan
bencana.
b. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada
situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan: · Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
●
Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang
●
Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Kegiatan-kegiatan
pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi stakeholder, oleh
karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.
2. Tahap Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,
harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan, pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi,
kerusakan, dan sumber daya dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan lokasi
bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap
fungsi pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun
buatan.
b. penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan
status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala
bencana.
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana
yang terjadi pada suatu daerah melalui upaya pencarian dan penyelamatan korban,
pertolongan darurat, dan/atau evakuasi korban.
d. pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan
kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan,
pelayanan psikososial; dan penampungan dan tempat hunian.
e. Perlindungan terhadap kelompok rentan, dilakukan dengan
memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi,
pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial. Kelompok rentan yang dimaksud
terdiri atas bayi, balita, anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau
menyusui;, penyandang cacat, dan orang lanjut usia.
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Tahap tindakan dalam tanggap daruratdibagi menjadi dua fase yaitu fase akut dan
fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase
penyelamatan dan pertolongan medis darurat sedangkan fase sub akut terjadi
sejak 2-3 minggu.
3. Pasca Bencana
Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:
a. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan
pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada
wilayah pascabencana.
b. Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali
semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
2.5 Prinsip-Prinsip
Penanggulangan Bencana
Prinsip-prinsip
dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 tahun 2007, yaitu:
1. Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan
tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara
cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2. prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas”
adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat
prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3. koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan
“prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada
koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip
keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor
secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4. berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan
“prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang
dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan
bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
5. transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan
“prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip
akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
6. Kemitraan
7. Pemberdayaan
8. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip
nondiskriminasi” adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan
aliran politik apa pun.
9. Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah
bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.
2.6 Asas-asas Dalam
Penanggulangan Bencana
Penanggulangan
bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007 berasaskan:
1.
kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi dalam
penanggulangan bencana sehingga undang-undang ini memberikan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan”
adalah bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali.
3. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh
berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
4. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang
dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan
lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keselarasan tata kehidupan
dan lingkungan. Yang dimaksud dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi
muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian
lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
5. ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud
dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas
kebersamaan” adalah bahwa penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas
dan tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara
gotong royong.
7. Kelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan
“asas kelestarian lingkungan hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi
sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi kepentingan bangsa dan
negara.
8. ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud
dengan “asas ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan
bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal
sehingga mempermudah dan mempercepat proses penanggulangan bencana, baik pada
tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana
2.7 Pertolongan Pertama
Pada Korban Bencana
Peran
penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam penanggulangan dampak bencana,
terutama dalam penanganan korban trauma baik fisik
maupun psikis. Keberadaan tenaga kesehatan tentunya akan sangat membantu
untuk memberi pertolongan pertama sebelum proses perujukan ke rumah sakit yang
memadai.
1 Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah
memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin
bisa menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangatlah penting,
karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal
sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan Triase. Prinsip-prinsip
ini diterapkan dalam pelaksanaan pemberian bantuan hidup dasar pada
penderita trauma (Basic Trauma Life Support) maupun Advanced Trauma Life
Support.11 Triage adalah tindakan mengkategorikan pasien menurut
kebutuhan perawatan dengan memprioritaskan mereka yang paling perlu
didahulukan. Paling sering terjadi di ruang gawat darurat,
namun triage juga dapat terjadi dalam pengaturan perawatan kesehatan
di tempat lain di mana pasien diklasifikasikan menurut keparahan kondisinya.
Tindakan ini dirancang untuk memaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan sumber
daya tenaga medis dan fasilitas yang terbatas.10 Triage dapat dilakukan di
lapangan maupun didalam rumah sakit. Proses triage meliputi tahap
pra-hospital/lapangan dan hospital atau pusat pelayana kesehatan lainnya.
Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat
kejadian dan tindakan ini harus dinilai lang terus menerus karena status triage
pasien dapat berubah. Metode yang digunakan bisa secara Mettag (triage Tagging
System) atau sistem triage penuntun lapangan Star (Simple Triage and Rapid
Transportasi) Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60
detik yang mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan
kelompok korban seperti yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang
tidak mungkin diselamatkan, atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat
mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah
tidak memerlukan transport segera. Star merupakan salah satu metode yang paling
sederhana dan umum. Metode ini membagi penderita menjadi 4 kategori : 1.
Prioritas 1 – Merah Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita
yang kritis keadaannya seperti gangguan jalan napas, gangguan pernapasan,
perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol, penurunan status mental 2.
Prioritas 2 – Kuning Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para
penderita yang mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran
napas atau kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak dapat
berjalan, cedera punggung. 3. Prioritas 3 – Hijau Merupakan kelompok yang
paling akhir prioritasnya, dikenal juga sebagai ‘Walking Wounded” atau orang
cedera yang dapat berjalan sendiri. 4. Prioritas 0 – Hitam Diberikan kepada
mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang mematikan. Pendekatan yang
dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas korban adalah yang dijumpai
pada sistim METTAG. Prioritas tindakan dijelaskan sebagai : 1. Prioritas
Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera
berat yang memerlukan tindakan dan transport segera (gagal nafas, cedera
torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan
berat, luka bakar berat).
3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan
cedera yang dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat
(cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura
mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta luka bakar
ringan).
4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan
cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera (cedera jaringan lunak,
fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan
nafas serta gawat darurat psikologis).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia
merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan manajemen atau penanggulangan
bencana yang tepat dan terencana. Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya
yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen
bencana di mulai dari tahap prabecana, tahap tanggap darurat, dan tahap
pascabencana. Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk
meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan bencana
menggunakan prinsip triage.
3.2 Saran Masalah penanggulangan bencana tidak hanya
menjadi beban pemerintah atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga
diperlukan dukungan dari masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap
lapisan dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. 2011. Indonesia negara rawan bencana.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/08/110810_indonesia_tsunami.shtml.
Diakses tanggal 11 januari 2014.
2. Ledysia, Septiana. 2013. Januari 2013, Indonesia
Dirundung 119 Bencana.
http://news.detik.com/read/2013/02/02/002615/2159288/10/januari-2013-indonesia-dirundung-119-bencana.
Diakses tanggal 11 Januari 2014.
3. Pusat Data, Informasi dan Humas. 2010. Sistem
Penangulangan Bencana.
http://bnpb.go.id/page/read/7/sistem-penanggulangan-bencana. Diakses tanggal 11
Januari 2014
4. Pusat Data, Informasi dan Humas. 2012. Definisi
dan Jenis Bencana.
http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana. diakses tanggal
12 Januari 2014.
5. Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Jakarta: DPR RI
dan Presiden RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar