BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di
Indoneseia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin
perubahan berupa kebebasan berekspresi yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada
beberapa kesempatan telah “kebabalasan” bahkan berujung pada konflik horisontal
maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak terkelola dengan baik ditambah
dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang sangat otoriter
berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan
beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan.
Terjadi pula pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh
kelompok etnis lain. Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan
menjadi “menu utama” berbagai media di tanah air.
Sejarah bangsa Indonesia hingga
kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang
disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras,
warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial
lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran
hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara
terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horisontal (antarwarga negara
sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi
manusia yang berat (gross violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima tujuh tahun usia
Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau penegakan hak
asasi manusia masih jauh dari memuaskan.
Hal tersebut tercermin dari
kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan,
perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis tertentu,
pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin
berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat
publik dan aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi
justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan
nyawa. Bahkan pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus
pelanggaran HAM berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral
Angkatan Darat dari segala tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas
untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar 1945, Majelis Permusyarwaratan
Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,
telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur
Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan
pengukuhan melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia.
1.2 Rumusan
Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam
penulisan ini penulis mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penulis
mengemukakan beberapa perumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah :
Adapun rumusan masalah dalam
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah
penegakan hukum itu?
2. Apakah itu
aparatur penegak hukum?
3. Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan
Hukum?
4.
Apakah Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?
5.
Bagaimana pelanggaran aparat penegak hukum dalam penyelidikan ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuiah Sistem Hukum
Indonesia
2. Untuk menambah pengetahuan tentang Penegakan Hukum
3. Untuk mengetahui pelanggaran aparat penegak hukum
dalam penyelidikan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya
untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum
secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya,
penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang
luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek
dalam arti
yang terbatas atau sempit.
Dalam arti luas, proses penegakan hukum
itu melibatkan
semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja
yang menjalankan aturan
normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri
pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan
hukum itu hanya diartikan
sebagai upaya aparatur penegakan
hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum
berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan
untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula
ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya
juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas,
penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai
keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi
aturan formal maupun nilai-nilai keadilan
yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi, dalam
arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut
penegakan peraturan yang formal
dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan
perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’ dalam arti luas dan
dapat pula digunakan istilah ‘penegakan
peraturan’ dalam
arti sempit. Pembedaan antara
formalitas aturan hukum yang tertulis
dengan cakupan
nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga
timbul dalam bahasa Inggeris sendiri
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the
rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the
rule by law’ yang berarti ‘the
rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’
terkandung makna pemerintahan oleh
hukum, tetapi bukan dalam
artinya yang formal, melainkan mencakup
pula nilai-nilai
keadilan yang terkandung di
dalamnya. Karena itu, digunakan istilah
‘the rule of just
law’. Dalam istilah ‘the rule
of law and not of man’ dimaksudkan
untuk menegaskan
bahwa pada hakikatnya pemerintahan
suatu negara hukum modern itu dilakukan
oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule
by law’ yang dimaksudkan
sebagai pemerintahan oleh orang
yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat
kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang
dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik
dalam arti formil yang sempit
maupun dalam arti materiel yang luas,
sebagai pedoman
perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek
hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum
yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
undang-undang untuk menjamin berfungsinya
norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang
luas itu, pembahasan kita
tentang penegakan hukum dapat kita
tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan
membahas keseluruhan aspek dan
dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi
subjeknya maupun objeknya atau
kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu
saja,
misalnya, hanya menelaah aspek-aspek
subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja
dibuat untuk memberikan gambaran
saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait
dengan tema penegakan hukum itu.
PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF
Seperti disebut di muka, secara objektif,
norma hukum yang hendak ditegakkan
mencakup pengertian
hukum formal dan hukum materiel. Hukum
formal hanya
bersangkutan dengan
peraturan perundang-undangan yang tertulis,
sedangkan hukum
materiel mencakup
pula pengertian nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Dalam bahasa yang
tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara
pengertian
penegakan hukum
dan penegakan keadilan. Penegakan hukum
dapat dikaitkan dengan
pengertian ‘law enforcement’ dalam
arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti
luas, dalam arti hukum materiel,
diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa
Inggeris juga terkadang
dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam
arti pengadilan
hukum dan ‘court
of justice’ atau pengadilan keadilan.
Bahkan, dengan semangat yang
sama pula, Mahkamah Agung di Amerika
Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court
of Justice’.
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa hukum yang harus
ditegakkan itu pada intinya
bukanlah norma aturan itu sendiri,
melainkan nilai-nilai
keadilan yang terkandung di
dalamnya. Memang ada doktrin yang
membedakan antara
tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan
perdata. Dalam perkara
perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan
kebenaran formil belaka, sedangkan
dalam perkara pidana barulah
hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran
materiel yang menyangkut nilai-nilai
keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan
pidana. Namun demikian, hakikat
tugas hakim itu sendiri memang seharusnya
mencari
dan menemukan kebenaran materiel
untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban
demikian berlaku, baik dalam
bidang pidana maupun di lapangan hukum
perdata.
Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya
berisi penegakan keadilan itu
sendiri, sehingga istilah penegakan hukum
dan penegakan keadilan merupakan dua sisi
dari mata uang yang sama.
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait
erat dengan
persoalan penegakan hukum dan
keadilan itu sendiri. Karena itu,
sebenarnya, tidaklah
terlalu tepat untuk mengembangkan
istilah penegakan hak asasi manusia secara
tersendiri. Lagi pula, apakah
hak asasi manusia dapat ditegakkan?
Bukankah yang
ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang
menjamin hak asasi manusia itu,
dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek
sehari-hari, kita memang
sudah salah kaprah. Kita sudah
terbiasa menggunakan istilah penegakan ‘hak asasi
manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi
manusia dan kesadaran
untuk menghormati hak-hak asasi
orang lain di kalangan masyarakat kitapun
memang
belum berkembang secara sehat.
2.2 Aparatur Penegak Hukum
Aparatur
penegak hukum mencakup pengertian mengenai
institusi penegak
hukum dan aparat (orangnya)
penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur
penegak
hukum yang terlibat dalam
proses tegaknya hukum itu, dimulai dari
saksi, polisi,
penasehat hukum, jaksa, hakim,
dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap
aparat dan
aparatur terkait mencakup pula
pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya yaitu terkait dengan
kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian
sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses
bekerjanya aparatur penegak hukum itu,
terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu:
(i) institusi penegak hukum beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
(ii)
budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya,
dan (iii) perangkat peraturan
yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun
yang mengatur materi hukum
yang dijadikan standar kerja, baik hukum
materielnya
maupun hukum acaranya. Upaya
penegakan hukum secara sistemik haruslah
memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga
proses penegakan hukum dan
keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara
nyata.
Namun, selain ketiga
faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama
ini, sebenarnya juga memerlukan analisis
yang lebih
menyeluruh lagi. Upaya penegakan
hukum hanya satu elemen saja dari
keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara
Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Hukum tidak mungkin akan
tegak, jika hukum itu sendiri
tidak atau belum mencerminkan perasaan atau
nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam
masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin
keadilan
jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu
yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan
saja berkenaan dengan upaya
penegakan hukum tetapi juga
pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru.
Karena
itu, ada empat fungsi penting
yang memerlukan perhatian yang seksama, yang
yaitu (i)
pembuatan hukum (‘the legislation of
law’ atau ‘law and rule making’),
(ii) sosialisasi,
penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization
and promulgation of law,
dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law).
2.3 Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya, yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri yaitu
berupa undang-undang
b. Faktor penegak hukum, yakni
pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni
lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai
hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim
dan peradilan di Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang
mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
a. Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal
dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah,
sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini
jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern,
yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama
dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya
adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi
karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan
target penyelesaian yang tidak seimbang.
b. Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah
akan berbeda dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam
menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil
putusannya.
c. Sikap Arrogence power
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa
dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa
atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi
Keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan
penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan
hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan
sikap tidak adil lainnya.
2. Faktor Objektif
a. Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku
hakim. Dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal
dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada
dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial
menengah atau rendah.
b. Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan,
wawasan) danskills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan
ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim
mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan
kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang menangani suatu
perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan
putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2.4 Permasalahan Penegakan Huukum di Indonesia
Indonesia tengah mengalami krisis
kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia
yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh beberapa hal yaitu sistem
peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi
kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut
adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik
polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah
peradilan yang bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan
masyarakat itu sendiri dan dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi
penegakan hukum ini secara tidak disadari telah berlangsung dari hari ke hari.
Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan hukum yang terjadi pada saat
berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang memberlakukan
aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan
Polri. Bahkan polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas
TNI atau Polri yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang
kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang polisi yang bertugas memberikan
penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Secara tidak
disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam tapi
sayangnya banyak masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang
tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini
beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia yang dikelompokan
berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam baik
melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa lain yang bisa
diikuti melalui media cetak dan media elektronik.
a. Tingkat
kekayaan seseorang.
Tingkat kekayaan seseorang dapat
memperingan masa tahan seseorang yang melakukan pelanggaran. Pelaku pelanggaran
bisa menyewa pengacara mahal yang bisa mementahkan dakwaan kejaksaan untuk
memperingan masa tahanannya atau jika perlu pelaku dapat membayar hakim atau
jaksa agar memperingan masa tahanannya. Sebaliknya dengan pelaku pelanggaran
yang tidak memiliki uang yang banyak maka pelaku hanya bisa membayar pengacara
semampunya atau tidak sedikit pula yang mereka hanya pasrah menerima putusan
hakim. Padahal jika dibandingkan kasus pelanggarannya tidak merugikan
pemerintah milyaran rupiah. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum
bisa dibeli dengan uang.
b. Tingkat
Jabatan Seseorang
Mari kita simak kasus berikut ini.
Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding keluar negri yang diikuti oleh
sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut
anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu
SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sekitar 5,2 M dan uang saku
dari PT. Pembangunan Jaya Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus ini 9 orang staf
Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak
dikenai tindakan apapun. Penyelesaian masalah ini dilakukan setelah media cetak
dan media elektronik menemukan ketidaksesuaian dalam masalah pendanaan studi
banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar
dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan
masyarakat terurik ketika sanksi ini hanya dikenalan pada pegawai rendahan.
Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai
ke pejabat tinggi DKI yaitu Gubernur Sutiyoso (saat itu) yang sebagai komisaris
PT. Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.
2.5 Pelanggaran Aparat Penegak Hukum Dalam
Penyelidikan
Kualitas penyidikan
dugaan tindak pidana memang harus ditingkatkan. Karena itu penyidik dituntut
hati-hati menangani setiap penyidikan. Agar tujuan itu tercapai, pemberian
sanksi pada penyidik yang melakukan kesalahan dalam penanganan perkara, berupa
denda dan pidana badan, perlu dimuat dalam RKUHAP.
Demikian pandangan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Antasari Azhar saat dimintakan kontribusi terkait bagi Daftar Isian
Masalah (DIM) RKUHAP dan RKUHP di Komisi III DPR, Selasa (11/6).
Praktik saat ini, menurut Antasari, apabila terjadi
kesalahan penyidik dalam menjalankan tugas, sanksi berupa denda dibebankan
kepada negara. Padahal, kata Antasari, pemberian sanksi pidana terhadap
pejabat yang melakukan kesalahan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 9 ayat (1),setiap orang yang ditangkap, ditahan,
dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena
kekliruan mengenai orangnya atau hukumnya yang diterapkan, berhak menuntut
ganti kerugian dan rehabilitasi.
Pasal 9 ayat (2), pejabat yang dengan sengaja melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
|
Antasari menegaskan RKUHAP sejatinya menjadi alat kontrol
aparatpenegak hukum, bukan tersangka maupun terdakwa. Dikatakan Antasari,
lantaran tidak ada kepastian hukum yang mengatur sanksi bagi aparat penegak
hukum,akibatnya acapkali terjadi pelanggaran dalam melaksanakan praktik
peradilan pidana. “Khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi pada
setiap penyidikan,” ujarnya.
Menurut Antasari, praktik abuse of power disebabkan
tak adanya konsekuensi yuridis bagi aparat penegak hukum yang tidak
melaksanakan ketentuan hukum acara pidana. Akibatnya, tindak kekerasan di
tingkat penyidikan kerap terjadi.
“Oleh karena itu, sangat mendesak ada aturan memuat
pemberian sanksi bagi penyidik, khususnya penyidik yang tidak memberitahukan
secara lengkap dan jelas tentang hak tersangka untuk mendapatkan bantuan
hukum,” katanya.
Lebih jauh Antasari menuturkan, dalam praktik, tersangka
berhadapan langsung dengan penyidik yang memiliki diskresi dan tak terkendali.
Misalnya, penggunaan kekerasan yang berlebihan (police brutality),
penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Antasari berpendapat, diskresi yang tak
terkendali tersebut memungkinkan terjadinya pelanggaran HAM. Atas dasar itulah
hak atas bantuan hukum wajib diberikan dalam setiap penyidikan tindak pidana kepada
tersangka.
Hukum, memang memberikan kewenangan kepada polisi dalam
rangka penegakan hukum dengan berbagai cara. Misalnya dengan tindakan preventif
maupun represif berupa pemaksaan dan penindakan. Sayangnya, dalam proses
penyidikan, polisi cenderung berlaku represif.
Kecendrungan inilah menyebabkan polisi lekat dengan
penggunaan kekerasan sebagai salah satu upaya mengatasi hambatan penyidikan
untuk memperoleh pengakuan maupun keterangan tersangka terkait tindak pidana.
Kendatipun hak tersangka dari kesewenangan tindakan penyidik telah diatur dalam
Pasal 50 hingga 68 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, namun
praktiknya tidak demikian. “Praktiknya seringkali terjadi pelanggaran terhadap
hak-hak tersangka yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terkait,” imbuhnya.
Antasari menyarankan untuk menciptakan proses penyidikan
yang tertib, adil dan mendukung HAM perlu diatur ketentuan yuridis bagi aparat
penegak hukum. “Ketentuan yuridis berupa sanksi hukuman adminsitratif
hingga pidana. Hal ini perlu dilakukan agar aparat penegak hukum khususnya
penyidik tidak berbuat sewenang-wenang terhadap tersangka,” ujarnya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Harry
Witjaksono mengamini pandangan Antasari. Menurutnya, aturan pemberian sanksi
terhadap aparat penegak hukum perlu dituangkan dalam RUU KUHAP. Pasalnya dengan
begitu, setidaknya aparat penegak hukum dapat bekerja secara profesional. “Tidak
sembarangan dan tetap berlandaskan undang-undang,” ujarnya, Rabu (12/6).
Ia berpandangan berbagai kasus perkara di tingkat penyidikan
berujung hilangnya nyawa tersangka di sel tahanan. Padahalm sebagai aparat
penegak hukum, penyidik di kepolisian berkewajiban menjaga dan memberikan hak
tersangka di tingkat penyidikan. “Kalau ditemukan kesalahan dari polisi atau
jaksa, harus dimintakan pertanggungjawaban,” ujar Harry.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya
untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum
secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Aparatur penegak hukum mencakup
pengertian mengenai institusi penegak
hukum dan aparat (orangnya)
penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur
penegak
hukum yang terlibat dalam
proses tegaknya hukum itu, dimulai dari
saksi, polisi,
penasehat hukum, jaksa, hakim,
dan petugas sipir pemasyarakatan.
3.2
Saran
Makalah ini masih
memiliki berbagia jenis kekurangan olehnya itu kritik yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Harahap Yahya. Pmbahasan
Permasalahn dan penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta; 2003
Ø Hamid Hamrat,
Harun. Pembahasan Permasalahan KUHAP bidang Penyidikan. Sinar Grafika.
Jakarta; 1992
Ø KUHP dan KUHAP,
Citra Buana Citra Umbara Bandung
MAKALAH
PELANGGARAN
APARAT PENEGAK HUKUM
DALAM
PENYELIDIKAN
OLEH
:
NAMA
: LA SIANE
NIM : 21209320
M.K : PRAKTEK PERADILAN PIDANA
KELAS : RAHA
SEMESTER : VII
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua,
sehingga berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ”PELANGGARAN
APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PENYELIDIKAN”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan
banyak terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
tugas makalah ini sehinggga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penyusun sendiri maupun kepada pembaca
umumnya. Kami mohon maaf apabila ada kekurangan maupun kesalahan pada
penulisan makalah ini untuk itu kami berterima kasih apabila pembaca memberi saran atau kritikan kepada kami.
Raha,
Januari 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar............................................................................................. i
Daftar Isi...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1. Latar
Belakang....................................................................................... 1
2. Rumusan
Masalah.................................................................................. 1
3. Tujuan
Penulisan.................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 2
BAB III PENUTUP.................................................................................... 9
A. Kesimpulan............................................................................................ 9
B. Saran...................................................................................................... 9
Daftar Pustaka............................................................................................. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar