do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Jumat, 22 Juni 2012

Strategi PEMBIAYAAN UKM

Kita seringkali memilah sektor usaha ke dalam UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan Usaha Besar (konglomerat). Pemilahan ini berarti tersisihnya usaha mikro dari perhatian kita. Karena itu, kami mengusulkan agar istilah UKM diubah menjadi Usaha Kecil dan Mikro. Ini diperlukan untuk memberikan penekanan yang lebih besar pada pengembangan usaha mikro yang sering disebut sebagai ekonomi rakyat. Sementara usaha menengah, sesuai dengan karakteristiknya, lebih baik digabungkan dengan kelompok usaha besar: Usaha Menengah dan Besar (UMB).


Menurut PNM (Permodalan Nasional Madani) jumlah usaha mikro di Indonesia mencapai 34 juta unit, sementara usaha kecil mencapai 45.000 unit. Rata-rata kebutuhan dana untuk usaha mikro adalah Rp 1 juta per unit usaha sementara untuk usaha kecil sebesar Rp 50 juta, dan usaha menengah Rp 1,5 milyar.
Kategorisasi seperti ini sangat baik untuk digunakan dalam perumusan strategi pembiayaan agribisnis.


Usaha Kecil dan Mikro (UKM)
Pembiyaan agribisnis untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada, baik bank maupun non bank. LKM bank antara lain BRI Unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Saat ini BRI Unit Desa memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, semantara BPR tercatat berjumlah 2.500 unit. Dari kedua LKM ini saja sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani pengusaha kecil dan mikro. LKM non bank adalah seperti koperasi simpan pinjam (59.441), Badan Kredit Desa (5.345), dan lembaga swadaya masyarakat (500), termasuk kelompok swadaya masyarakat (800.000). Jumlah LKM non bank ini jauh lebih besar dibandingkan dengan LKM bank.


Yang harus dilakukan sekarang ini adalah mendorong pengembangan LKM. Selama ini LKM non bank, selain koperasi, memiliki kesulitan dalam legitimasi operasionalnya. LKM non bank (kecuali koperasi) tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas atau beroperasi tanpa dasar hukum. Saat ini beberapa pihak di bawah koordinasi Bank Indonesia telah mempersiapkan RUU Keuangan Mikro untuk memberikan legitimasi keberadaan LKM. Karena itu, dalam rangka mencari solusi pembiayaan agribisnis, RUU KM ini perlu didorong lebih kuat agar mendapat perhatian pihak terkait, terutama DPR, untuk menjadi UU KM.


Untuk kelompok UKM ini, maka strategi pembiayaannya adalah melalui pola HBK (Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat) yang telah dikenalkan oleh Bank Indonesia tahun 1988, dan terbukti berjalan baik. Program HBK ini sangat menarik dan merupakan terobosan dimana bank melayani masyarakat kecil (melalui kelompok) yang tidak memiliki jaminan fisik dan kelembagaan formal.


Pihak bank diuntungkan dalam hal:
a) Dapat mengurangi biaya transaksi, yang bila dilakukan sendiri-sendiri terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan nilai kredit yang diberikan;
b) Dengan melalui sistem collateral substitute berupa tanggung renteng dan adanya social pressure dalam kelompok memungkinkan terjaminnya keamanan kredit yang diberikan.


Bagi kelompok swadaya masyarakat (KSM) atau Kelompok Tani, adanya program HBK memungkinkan mereka berhubungan dengan bank, yang selama ini tidak ada akses ke sana.


Melalui program HBK dimungkinkan terjadinya kapitalisasi di perdesaan, apalagi dengan diberlakukannya sistem rasio tabungan : pinjaman sebesar 1 : 5. Dengan demikian telah membalikkan keadaan, keberadaan perbankan dianggap “menyedot” dana-dana dari desa ke kota. HBK merupakan langkah praktis yang terbaik dalam hal pelayanan keuangan mikro di Indonesia. Yang kini harus dilakukan adalah memperluas cakupan HBK ke semua wilayah Indonesia, dan menjadi bagian strategis dalam pembiayaan agribisnis.


Pola seperti ini bisa berjalan baik kalau didukung oleh kegiatan pendampingan. Sebetulnya, dalam hal ini PPL yang sudah ada saat ini menjalankan fungsi pendampingan ini. Namun, untuk menjaga keberlanjutan pendampingan tersebut, diperlukan terobosan baru melalui konsep Pendampingan Mandiri. Para PPL se-kecamatan bergabung dalam Lembaga Pendampingan Usaha Mikro (LPUM) yang menjadi penghubung antara kelompok swadaya masyarakat (Kelompok Tani) dengan bank. Perannya sebagai penghubung inilah pendamping memperoleh imbalan jasa yang dapat menopang hidupnya. Di sini PPL tidak hanya menggeluti teknis pertanian, tetapi juga mengembangkan usaha para petani. Untuk itu perlu upaya penguatan PPL dan kelembagaan LPUM dengan pelatihan dan pengorganisasian.

Tidak ada komentar: