Musyawarah Nasional
(Munas) II PKS di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta, yang telah berakhir pada
Minggu, 20 Juni 2010 lalu secara makro layak dibaca sebagai salah satu proses
pelembagaan sistem kepartaian di Indonesia.
Tak berbeda dengan momentum kongres beberapa parpol lain yang secara kebetulan
digelar beruntun sejak awal tahun 2010, Munas PKS merupakan forum krusial
melakukan reposisi dan restrukturisasi organisatoris. Tetapi ada yang menarik
dari Munas II PKS, bahwa forum ini memiliki perbedaan cukup mencolok dengan
ajang serupa oleh partai politik lain di Indonesia; tidak ada pemilihan ketua
umum. Oleh karena itu,tidak akan ada baliho besar kandidat yang menjejali
Jakarta dan arena kongres, tidak ada tim sukses, tidak ada hiruk-pikuk, tidak
ada money politic, tidak ada negative campaign,dan sepertinya juga tidak akan
ada liputan besar- besaran oleh media massa, seperti liputan terhadap kongres
Partai Golkar ataupun Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu.
Demokrasi yang dibangun oleh PKS dalam memilih ketua umumnya adalah dengan
menjalankan asas demokrasi perwakilan. Majelis ini merupakan lembaga tertinggi
PKS yang bertugas antara lain menyusun visi dan misi Partai, ketetapan-
ketetapan dan rekomendasi Musyawarah Nasional, memilih ketua umum, dan memilih
pimpinan pusat partai serta keputusan- keputusan strategis lainnya.
Kecerdasan Demokrasi
Pola demokrasi dan restrukturisasi yang ditampilkan oleh PKS tanpa ke-gaduhan
ini ingin menawarkan pola politik cerdas, setidaknya ditilik dari dua sisi:
Pertama,minimalisasi turbulensi politik internal. Salah satu kelemahan
demokrasi langsung bagi manajemen internal parpol adalah kesulitan mengakurkan
pluralitas kelompok dan agregasi kepentingan yang beragam. Aksi dukung-tolak
yang dilakukan oleh pimpinan cabang dan pimpinan wilayah terhadap calon ketua
umum kerap berimplikasi pada perpecahan.
Selain masih belum matangnya pola demokrasi kepartaian di Indonesia yang
cenderung mengedepankan aspek kepentingan kelompok, juga dilatari oleh ketidak
dewasaan dalam menyikapi kekalahan. Penyerahan kewenangan kepada syura
(perwakilan) merupakan sebuah alternatif solusi cerdas meminimalisasi
turbulensi politik tersebut. Kedua, orientasi agenda programatik ketimbang
interaksi politis yang acap kali menjerumuskan kader parpol kepada disparitas
kepentingan dan melupakan grand design kebutuhan parpol. Karena tidak adanya
proses politik pemilihan langsung, maka forum Munas PKS mempunyai energi jauh
lebih besar untuk membahas agenda program dan desain kepartaian dalam lima
tahun ke depan, utamanya strategi mempersiapkan kemenangan pada Pemilu
selanjutnya.
Grand Design
Dengan memfokuskan pada pembahasan strategi dan grand design parpol hingga lima
tahun mendatang, PKS selangkah tampak lebih cerdas. Dalam konteks ini, merujuk
pada plus-minus kontestasi politik yang diperagakan PKS, maka setidaknya ada
agenda krusial yang terus-menerus dipertajam. yaitu ,
masalah pencitraan. Dalam konstelasi politik mutakhir, aspek pencitraan
menempati posisi krusial bagi partai politik dalam membentuk persepsi
masyarakat.Hal ini dilakukan secara kontinu dan berkelanjutan melalui realisasi
program partai sesuai sasaran masyarakat dan dapat dirasakan
langsung,pencitraan dapat dilakukan melalui media komunikasi massa, baik
televisi, media cetak ataupun radio. Persepsi merupakan hal terpenting bagi
akseptabilitas partai politik dan peningkatan elektabilitasnya. Kini PKS telah
tercitrakan sebagai parpol bersih, peduli, profesional dan partai kaum
muda.Citra ini sampai kapan pun harus dijaga. Paling tidak, pencitraan
diorientasikan untuk kian menegaskan segmentasi politik PKS.
Namun masih banyak kelemahan yang patut dievaluasi seiring kian kompleksnya
persoalan politik tanah air.Konsolidasi internal tak hanya dilakukan dalam
forum-forum resmi, melainkan secara kontinu menanamkan budaya silaturahmi,baik
oleh pimpinan pusat ke bawah (top down) atau dari pimpinan ranting ke atas (buttom
up). Ketiga, sosialisasi dan komunikasi massa. Banyak pihak beranggapan setelah
menjadi partai pemerintah selama satu dasawarsa ini, PKS kehilangan sikap
kritisnya. Justru sebaliknya, PKS telah membuktikan konsistensinya bahwa
berkoalisi tak boleh menghilangkan prinsip kebenaran.
Selama terdapat permasalahan yang harus diungkap, maka semuanya niscaya dikuak
secara transparan dan sportif. Keempat, problem finansial. Bagaimanapun
kegiatan partai adalah massal dan harus terprogram secara profesional.Untuk itu
PKS perlu memikirkan bagaimana agar bisa memiliki sumber finansial kuat,
transparan, bersih dan berdaya.
Cerdas Berdakwah
Lebih jauh, sisi interaksi dengan parpol lainnya dalam kontestasi politik
merupakan faktor penting yang tak boleh disepelekan. Selama ini, sikap politik
PKS masih dianggap eksklusif dalam konfigurasi politik nasional. Kini PKS mulai
beranjak dari partai eksklusif menjadi inklusif. Diterimanya kader dan
konstituen nonmuslim menjadi iktikad baik yang membutuhkan pengembangan visioner.
Selain adaptasi dari spirit nasionalisme, sikap ini sesungguhnya diambil dari
saripati firman Tuhan, Innaa Kholaqnaakum min dzakarin
wauntsaawaja’alnaakumsyu’uuban wa qobaailan lita’aarafuu.
Karenanya, biarkanlah kemajemukan itu tetap ada, tapi itu semua tidak
didikotomikan, melainkan disinergikan untuk mencapai ketakwaan (Innaa akramakum
‘indallaahi atqokum). Sebagai partai Islam dan partai dakwah, muatan ideologis
PKS dapat dilakukan kepada siapa pun warga negara,tanpa adanya paksaan.
Perbedaan sikap merupakan hal wajar dalam demokrasi.Dalam menyikapi perbedaan,
utamanya di wilayah prinsip,ada kaidah yang disampaikan Sayid Qutub,
yakhtalituun walakin yatamaayazzuun.
Berinteraksi dengan masyarakat, namun tidak larut dengan berbagai kebiasaan
buruk mereka.Sebaliknya, kader PKS diharapkan muncul cemerlang dan selalu
berpegang dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar