Kututup pembicaraanku dengan seorang sahabat malam itu dengan
perasaan tidak karuan. Berulang kali kata sabar kuucapkan untuk membesarkan
hati beliau. Niat awalku ingin meminta kehadirannya dalam suatu acara,
berbuntut panjang menjadi diskusi mengenai permasalahan rumah tangga.
Kata orang sih, setiap rumah tangga pasti akan menghadapi cobaan. Ada yang
berat, ada yang ringan, ada yang sedang-sedang saja. Seperti janji Allah bahwa
ujian itu tidak akan ditimpakan di luar kesanggupan hamba-Nya untuk menanggung,
dan kesanggupan orang memang berbeda-beda, kan? Untuk aku yang belum mengenal
kehidupan rumah tangga yang sebenarnya, baru mengetahuinya sebatas teori. Teori
tentang butuhnya komunikasi, tentang menyikapi perbedaan, tentang kesabaran dan
rasa syukur, tentang bersikap lemah lembut, tentang kejujuran, dan seterusnya.
"Bayangin, Yen.. Sepuluh tahun dia bohong. Sepuluh tahun usia pernikahan
kami, kenapa justru sekarang...?" Aku mencoba menghadirkan wajah sahabatku
dan dua orang anak perempuannya. Sebenarnya agak sulit bagiku untuk mempercayai
cerita beliau. Selama ini yang kutahu, keluarga mereka sangat harmonis. Tapi,
ternyata di baliknya tersimpan sebuah bom waktu. Dan mungkin, ini adalah waktu
yang tepat untuk meledakkan bom tersebut.
Kejujuran itu pahit, benarkah? Jika kita memutuskan untuk melakukan suatu
kedustaan, maka kita akan melakukan ribuan kedustaan lain untuk menutupinya.
Hingga suatu saat, ada kondisi di mana mau tidak mau kejujuran itu harus kita
katakan, maka benarlah bahwa ia akan terasa sangat pahit. Bahkan tidak jarang,
ada hal yang harus kita ikhlaskan untuk lepas dari genggaman.
Ingatkah kalian tentang sebuah film yang berjudul LIAR-LIAR? Film ini berkisah
tentang seorang anak yang selalu merasa dibohongi oleh ayahnya, lalu dihari
ulang tahunnya dia memohon agar satu hari, hanya satu hari, ayahnya tidak dapat
berkata bohong. Awalnya, semua menjadi berantakan. Keluarga, pekerjaan,
interaksi dengan orang-orang tercintanya, janji-janji yang dibuat. Lalu, satu
demi satu keadaan mulai membaik hingga akhirnya, semua terselesaikan tanpa
perlu mementaskan satupun kebohongan. Walaupun film itu adalah rekaan semata,
tapi ada pesan moral yang ingin disampaikan. Bahwa kejujuran itu tidak akan
pernah membawa dampak buruk bagi kita. Jadi, kenapa kita harus takut untuk
jujur?
Sebagian orang menganggap bahwa mereka akan selamat dengan sebuah dusta.
Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah, mereka menunda bencana yang kecil,
dan datang menyambut bencana yang lebih besar lagi. Ketika kita jujur saat ini,
memang pasti akan menemukan suatu konsekuensi yang ada kalanya tidak enak. Tapi,
konsekuensi itu akan selesai dalam sekejap, dan hari esok akan kita jelang
dengan penuh ketenangan. Timbanglah hal ini dengan agama. Ketika kita berusaha
untuk senantiasa jujur di dunia, maka kita tidak akan menghadapi hari
penghisaban dengan kekhawatiran atas terbongkarnya kedustaan kita. Padahal
Raqib dan Atid, tidak pernah luput mencatat satu per sekian detikpun yang kita
lewati di dunia.
"Tapi Yen, sejak dia terus terang kepadaku tentang kebohongannya selama
ini. Aku jadi tenang. Sekarang aku enggak terlalu ambil pusing apa yang dia
kerjakan saat tidak di rumah. Toh, dia sendiri yang sudah berjanji akan
bertobat. Sekarang tinggal urusannya sama Allah..." kuingat lagi sepenggal
ucapan sahabatku.
Subhanallah... Ketenangan! Mungkin itulah yang dijanjikan Allah untuk
setiap hamba yang ridho terhadap ketetapan-Nya. Padahal dari apa yang aku
dengar, ujian yang beliau hadapi ini bukan sesuatu yang mudah. Mudahkah untuk
menerima kenyataan bahwa kita telah diduakan tanpa sepengetahuan kita? Mudahkah
untuk menerima kenyataan tentang bejatnya kelakuan seseorang yang selama ini
kita anggap sebagai pemimpin? Mudahkah untuk menerima kenyataan bahwa kesetiaan
kita selama ini hanya dianggap sebelah mata? Tentu tidak mudah, bukan? Pada
akhirnya, setiap orang harus memilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar