BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Perkara cerai talak yang
diajukan seorang suami terhadap isterinya, sementara suaminya sebenarnya telah
menceraikan isterinya secara liar (di bawah tangan) sebanyak tiga kali yang
dijatuhkan terpisah dalam tiga kali kejadian. Dalam persidangan, keduanya
berkeinginan rujuk kembali karena mengingat masa depan anak-anak.
Bagaimana cara Pengadilan
menjatuhkan putusan ? Bila Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka
akan bertentangan dengan hati nurani karena mereka telah menjatuhkan talak
dengan tata cara syariat Islam.
2.
Tujuan
Untuk mengetahui Tentang materi talak 3 dengan satu kalimat dalam satu waktu
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TALAK
Talak dalam bahasa Indonesia
diartikan perceraian yang artinya terputusnya tali perkawinaan yang sah akibat
ucapan cerai suami terhadap istrinya. Maksudnya adalah perceraian karena talak
adalah seorang suami yang menceraikan isterinya dengan menggunakan kata-kata
cerai atau talak atau kalimat lain yang mengandung arti dan maksud menceraikan
isterinya, apakah talak yang diucapkan itu talak satu, dua atau tiga dan apakah
ucapan talak itu diucapkan talak dua atau tiga sekaligus pada satu kejadian
atau peristiwa, waktu dan tempat yang berbeda.Para ahli hukum Islam (fukaha)
berpendapat bahwa bila seseorang mengucapkan kata-kata talak atau semisalnya
terhadap isterinya maka talaknya dianggap sah dan haram hukumnya bagi keduanya
melakukan hubungan biologis sebelum melakukan rujuk atau ketentuan hukum lain
yang membolehkan mereka bersatu sebagai suami isteri.Para fukaha berbeda
pendapat tentang kata-kata talak atau semisalnya yang diucapkan oleh suami
kepada isteri dalam kondisi sadar atau tidak misalnya suami dalam kondisi
mabuk, atau karena suami dalam kondisi tidak tenang atau ketika dalam kondisi
marah yang dipicu adanya pertengkaran yang dapat menghilangkan keseimbangan
jiwa suami atau karena dalam kondisi dipaksa.
Abdul Aziz Dahlan et.al dalam
buku Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa talak dalam bahasa arab artinya
melepaskan dan meninggalkan suatu ikatan. Dalam istilah hukum talak adalah
perceraian ……antara suami isteri atas kehendak suami ( Abdul Aziz Dahlan et.al
1996:1776 ).
Sayyid Sabiq dalam Fiqh as
Sunnah memberi definisi bahwa talak dalam terminology bahasa adalah “ al-irsalu
wa al-taraku” artinya melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan menurut istilah
hukum talak adalah “ hillu rabithatin al zuwaj “ artinya melepaskan ( ikatan )
tali perkawinan. ( Sayyid Sabiq 1975:241)
Dalam Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No.1/1974) dan Peraturan Pemerintah Nomor. 9
Tahun 1975( PP.No 9/1975 ) tentang Pelaksanaan UU No.1/1975 dalam pengertian
umum tidak terdapat definisi talak, kecuali definisi talak dapat dilihat pada
pasal 117 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang berbunyi sebagai berikut :
“Talak
adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130
dan 131”
Bunyi pasal 129 KHI berbunyi
sebagai berikut :
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal isteri dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk
keperluan itu “
B. KESAKSIAN
TALAK
Kesaksian Talak Menurut Ahli
Fikih dan Menurut Hukum Positif.
Kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i (kecuali pada qaul qadimnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya memerlukan dua orang saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan talak seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, alasan mereka berpendapat demikian karena talak merupakan hak mutlak seorang suami terhadap isterinya, sedangkan suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya itu tidak dituntut untuk menghadirkan saksi, selain itu mereka berpendapat tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa seorang suami dalam menjatuhkan talak terhadap isterinya memerlukan saksi.
Kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i (kecuali pada qaul qadimnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya memerlukan dua orang saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan talak seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, alasan mereka berpendapat demikian karena talak merupakan hak mutlak seorang suami terhadap isterinya, sedangkan suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya itu tidak dituntut untuk menghadirkan saksi, selain itu mereka berpendapat tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa seorang suami dalam menjatuhkan talak terhadap isterinya memerlukan saksi.
Berbeda halnya dengan ulama
Syi’ah Imamiyah mereka berpendapat bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan
talak terhadap isterinya perlu disaksikan oleh dua orang saksi dengan mengambil
argumerntasi pengertian secara umum surah at Talak (65) ayat 2 (Abdul Aziz Dahlan
et.al 1996:1783) yang berbunyi sebagai berikut :
artinya :…. Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
karena Allah…..(Q.S. at-Talak ayat 2).
Imam Abu Dawud menceritakan
bahwa Imran bin Husain pernah ditanya tentang seseorang yang menjatuhkan talak
isterinya tanpa saksi, kemudian ia rujuk dengan isterinya itu tanpa saksi pula.
Imran bin Husain ketika itu menyatakan “ dia talak isterinya tidak sesuai
dengan sunah (Rasulullah) dan dia kembali kepada isterinya tidak sesuai dengan
sunnah. Persaksikanlah talaknya itu dan persaksikan pula rujuknya.
Menurut pasal 66 ayat (1) UU
No.1/1974 sebagaimana yang penulis kutip di atas maka talak yang akan diucapkan
oleh suami terhadap isterinya selain setelah mengikuti sidang-sidang dan
mendapat izin dari Pengadilan, maka Pengadilan membuka sidang guna penyaksian
terhadap suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya.
Tampaknya pembuat Undang-undang
pencantuman pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 diilhami pendapat ulama Syi’ah dan
(qaul qadimnya Imam Syafi’i) yang mensyaratkan adanya dua orang saksi bila
seseorang akan menceraikan/mentalak isterinya.
Dari uraian tersebut di atas
maka menurut fikih dan hukum positif ada perbedaan dan kesamaan tentang seseorang
yang akan menceraikan isterinya yaitu
1.
Persamaannya, menurut ulama Syi’ah Imamiyah (termasuk qaul
qadimnya Imam Syafii) dan hukum positif bahwa seseorang dalam
mengucapkan/mentalak isterinya perlu adanya saksi.
2.
Perbedaannya, bahwa jumhur ulama mengatakan, pengucapan talak
seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, sedangkan dalam
hukum positif menyatakan bahwa dalam menjatuhkan talak seorang suami terhadap
isterinya diperlukan saksi
Tindakan Pengadilan Terhadap
Perkara Cerai Talak di Bawah Tangan Sementara Pihak Berperkara Akan Rujuk.
Terhadap pertanyaan dari
Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD kepada Mahkamah Agung RI yang dikutip pada awal
tulisan ini, maka Pengadilan (Hakim) dalam memeriksa perkara tersebut haruslah
bijaksana. Dari satu sisi sebagai muslim hukum fikih yang berjalan dan hidup di
tengah-tengah masyarakat muslim di Nangroe Aceh Darussalam perlu mendapat
apresiasi, karena sebagai muslim yang patuh terhadap ajaran agamanya perlu
mendukung hukum yang hidup di masyarakat terutama sekali hukum syari’ah. Dari
sisi lain sebagai muslim plus sebagai hakim Negara wajib untuk menegakkan hukum
yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Undang-undang dan
peraturan lain tentang perkawinan.
Dalam Islam seorang suami yang
akan menceraikan/mentalak isterinya haruslah mengetahui rukun dan syarat dalam
melakukan talak terhadap isteri yang akan diceraikannya.
Kalangan ahli fikih kontemporer
seperti Muhammad Abu Zahra, Ali Hasbalah, Ali Al-Khalif, Mustafa As-Siba’i ,
Mustafa Ahmad az Zarqa, Abdur Rahman As-Sabuni dan Sayid Sabiq berpendapat
bahwa kesaksian dalam talak sangat logis, sehingga terjadi keseimbangan
(tawazun) kepentingan kesaksian dalam masalah perkawinan dan perceraian.
Mereka-mereka yang penulis
sebutkan di atas berpendapat bahwa “dalam perubahan situasi dan kondisi yang
diakibatkan perkembangan zaman, persoalan saksi semakin penting karena waziib
ad-diin (tanggung jawab religius) masing-masing suami semakin melemah, sehingga
dikhawatirkan talak tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang.”(A.Z.
Dahlan 1996:1783).
UU.No.1/1974, PP. No.9/1975 dan
KHI tidak mentolerir adanya perceraian di bawah tangan, hal itu dimaksudkan
agar seorang suami tidak semena-mena menceraikan isterinya tanpa adanya aturan
yang harus dipedomani.
Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara yang ditangani atas kasus yang diajukan oleh Mahkamah Syariyah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tersebut?. Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai berikut:
Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara yang ditangani atas kasus yang diajukan oleh Mahkamah Syariyah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tersebut?. Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai berikut:
a. Sesuai hukum acara yang berlaku
bagi Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan bahwa selama perkara yang
diajukan oleh pihak-pihak berperkara belum diputus, maka kewajiban hakim untuk
mengusahakan perdamaian secara maksimal. jelas bahwa kedua belah pihak
berperkara akan mengakhiri berperkara di Mahkamah Syar’iyah (bisa dibaca
Pengadilan Agama), apakah tindakan pihak-pihak tersebut atas prakarsa atau
upaya hakim dalam mendamaikan, ataukah karena inisiatif pihak-pihak sendiri
mengingat anakanaknya perlu mendapat perhatian dari orang tuanya.Apalagi kalau
pihak Termohon/isteri datang dalam persidangan, maka hakim sebelum melanjutkan
pemeriksaan menyarankan agar pihak-pihak menempuh proses mediasi sesuai amanat
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008.
Nah,
bila hal itu telah terjadi ( damai ) maka hakim menyarankan agar
Pemohon/Penggugat membuat pernyataan mencabut perkaranya (kalau pihak
Termohon/Tergugat hadir maka diperlukan persetujuannya) sehingga tidak ada
alasan bagi hakim untuk melanjutkan pemeriksaan atas perkara yang mereka ajukan
ke Mahkamah Syar’iyah ( Pengadilan Agama ).
Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat penetapan yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan menyatakan demi hukum (positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum. (Mujahidin 2008:172)
Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat penetapan yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan menyatakan demi hukum (positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum. (Mujahidin 2008:172)
b. Talak tiga yang sesuai dengan
tata cara syari’at yang sempat diucapkan oleh pihak suami terhadap isterinya
(diluar sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama) itu bukanlah wewenang
Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama justeru Pengadilan tidak mentolerirnya,
karena perceraian bisa terjadi bila dilakukan di depan sidang Mahkamah
Syar’iyah/Pengadilan Agama.
Pasal 65 UU No.1/1974
menyatakan bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak
c. Benarkah bila Mahkamah
Syar’iyah/Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan bertentangan
dengan hati nurani ?karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara
syariat Islam.Menurut pasal 65 dan 82 UU No.1/1974 jo pasal `115 KHI bahwa
sebelum perkara (perkawinan) belum final/diberi putusan maka hakim wajib untuk
mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara.
Dalam mendamaikan bukan berarti
bahwa hakim hanya berusaha agar pihak-pihak mengakhiri sengketanya dengan
harapan dapat kembali rukun, damai tetapi mendamaikan diartikan lebih dari itu,
termasuk di dalamnya upaya mendamaikan itu hakim menasehati dan memberi arahan
kepada kedua belah pihak yang akan mengakhiri sengketanya, termasuk memberi
arahan kepada pihak-pihak terutama sekali kepada suami yang telah menjatuhkan
talaknya secara liar (tanpa prosedur yang diatur dalam Undang-undang).
Karena Pemohon telah menjatuhkan
talaknya yang ketiga secara liar/di bawah tangan (talak bain kubra), maka hakim
atau mediator memberi nasehat-nasehat kepada pihak-pihak bahwa secara fikih
Pemohon tidak dapat lagi rujuk kepada isterinya sebelum isterinya menikah lagi
dengan laki-laki lain dan bercerai setelah adanya hubungan suami isteri.
Nah, karena perceraian itu
dilakukan di bawah tangan, maka perkawinan isterinya terhadap suami yang kedua
tentu juga di bawah tangan, dan seterusnya dalam proses/langkah-langkah
seterusnya. Memang repot dan memang repot dan ribet, itulah konsekwensinya bagi
masyarakat yang tidak taat hokum
d. Dapatkah Pengadilan
memberi putusan agar suami menjatuhkan talak yang ketiga.?
Oleh karena pihak-pihak akan
mengakhiri sengketanya maka hakim tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan
pemeriksaan atas perkara a quo, bahkan sebaliknya hakim tidak dibenarkan
memberi putusan dan mengabulkan permohonan Permohon dengan memberi izin kepada
Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak tiga, jelas hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang,
justeru dalam produknya hakim wajib membuat penetapan bahwa perkara tersebut
dicabut karena telah terjadi perdamian, kemudian hakim memberitahukan kepada
pihak-pihak bahwamereka tidak perlu datang lagi dalam persidangan karena
pekaranya telah selesai dan diputus
C.
HUKUM TALAK
Ulama fikih ( fukaha)
berpendapat bahwa talak dibagi kepada dua macam yaitu :
a. Wajib. Apabila terjadi
peselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara
keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai
b. Talak sunni, adalah talak yang
dijatuhkan suami sesuai dengan petunjuk yang disyariatkan Islam, yaitu :
1) Menalak isteri harus secara
bertahap (dimulai dengan talak satu, dua dan tiga) dan diselingi rujuk.
2) Isteri yang ditalak itu dalam
keadaan suci dan belum digauli dan Isteri tersebut telah nyata-nyata dalam
keadaan hamil.
3.
Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami melalui cara-cara
yang tidak diakui syariat islam yaitu:
1) Menalak isteri dengan tiga kali
talak sekaligus,
2) Menalak isteri dalam keadaan
haidh,
3) Menalak isteri dalam keadaan
nifas, dan Menjatuhkan talak isteri dalam keadaan suci tetapi telah digauli
sebelumnya, padahal kehamilannya belum jelas.
4.
Makruh. Yaitu Hukum Asal dari talak itu sendiri
Ulama fikih juga sepakat
menyatakan bahwa menjatuhkan talak bid’i hukumnya haram dan pelakunya mendapat
dosa.Akan tetapi apabila terjadi juga seperti tersebut di atas, maka jumhur
mengatakan talaknya tetap jatuh. Alasan mereka adalah talak bid’i itupun
termasuk dalam keumuman ayat-ayat yang berbicara tentang talak, seperti surah
al- Baqarah ayat 229-230, at-Talak ayat 1-2, dan hadits Nabi SAW dalam kasus
Abdullah bin Umar yang menjatuhkan talak terhadap isterinya yang sedang haid.
Rasulullah bersabda “Suruh dia kembali pada isterinya sampai ia suci, kemudian
suci, lalu suci lagi setelah itu jika ia ingin menceraikan isterinya itu, dan
jika ingin menalak juga lakukanlah ketika itu (ketika suci belum digauli ( H.R.
Muslim, Abu Dawud , Ibnu Majash dan an Nasa’i ) ( Abdul Azizi Dahlam et.al
1996:1783)Pengertian Talak Dalam Hukum Positif.
D. LAFADZ TALAK
Kalimat yang dipakai atau yang
disahkan Ulama’ ada 2 macam yaitu
1. Sarih ( Terang ) yaitu kalimat
yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud adalah memutuskan tali perkawinan
seperti kata sis suami “Kamu Tertalak” atau “Saya Ceraikan Kamu” Kalimat
tersebut tidak perlu dengan Niat. Jadi apabila contoh kalimat tersebut
dilafazkan oleh suami terhadap istrinya Niat atau tidak berniat maka keduanya
harus bercerari kecuali kalimat tersebut berupa HIKAYAT
2. Kinayah (sindiran) yaitu
kalimat yang masih ragu-ragu seperti kata suami “pulanglah engkau kerumah
keluargamu” atau “pergi dari sini” dsb. Kalimat sindiran ini tergantung Niat si
suami, kalu kalimat tersebut diniatkan utuk talak maka kuduanya harus bercerai.
E. BILANGAN TALAK
Setiap orang berhak menalak istrinya dari talak satu sampai dengan
tiga. Talak satu,dua masih bias untuk Rujuk sebelum habis masa Iddahnya dan
boleh menikah lagi kalu masa Iddahnya sudah habis tampa harus si perempuan
menikah dengan orang lain dulu. Sebagaimana Firman Allah
“Talak (yang dapat dirujuk) Dua kali. Setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik” (Al-Baqaroh :229
Adapun talak tiga tidak boleh rujuk atau kawin kembali kecuali
apabila si perepuan telah menikah dengan orang lain dan telah di talak pula
oleh suami yang kudua itu. Sebagaimana Firman Allah:
“Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
istri) untuk menikah kembali jika keduanya akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah” (Al-Baqaroh : 230)
Jadi si perempuan yang sudah ditalak oleh suaminya talak tiga
boleh menikah kembali kepada suaminya apabila si istri menikah dengan yang lain
dan sudah dicampuri suami keduanya dan ditalak serta masa Iddahnya sudah habis
dari talak suami yang kedua. Akan tetapi perlu di ingat pernikahan tersebut
benar-benar kehendak suami yang kedua dan kesukaan istri terhadap suami yang
kedua bukan karena kehendak suami yang pertama dan perbuatan ini tidak
diperbolehkan oleh Agama bahkan dimurkai oleh Allah dan Rasulnya
Adapun kalimat/cara talak tiga
yang di sahkan oleh Ulama’ yaitu
1. Menjatuhkan talak tiga pada
masa yang berlainan contoh suami menalak istrinya yang pertama kemudian rujuk,
setelah itu suami kembali menalak istrinya yang kedua kemiad rujuk lagi,
kemudian si suami kembali menalak istrinya yang ketiga.
2. Seorang suami menalak istrinya
lalu menikahnya setelah masa iddahnya habis, begitu juga dengan talak yang
kedua si suami menalak istrinya lalu menikahinya seterlah masa iddahnya habis,
kemudian ditalak lagi ketiga kalinya.
Dalam
dua cara tersebut para ulama’ sepakat talak tersebut menjadi talak tiga, dan
berlaku hukum talak tiga yang sudah dijelaskan diatas.
3. Suami menalak istrinya dengan
kalimat “saya talak kamu talak tiga” atau “saya talak kamu, saya talak kamu,
saya talak kamu”
Cara yang ketiga ini para
Ulama’ berbeda pendapat yaitu:
a. Jatuh talak tiga dan berlaku segala hokum
talak tiga
b. Tidak jatuh sama sekali
dengan alasan “Talak tiga bukan perintah Rasulullh bahkan dilarang oleh beliau,
talak tiga di tolak berarti tidak sah,
c. Jatuh talak satu, dalam hal
ini berlaku hokum talak satu. Seuai sabda Rasulullah yang artinya :
“dari Ibnu Abbas : Sesungguhnya Rakanah telah
menalak istrinya dengan talak tiga pada satu waktu kemudia ia sangat merasa
bersedih atas perceraian itu maka Nabi SAW bertanya kepadanya ‘bagaiman caramu
menalaknya?’ jawab Rakanah ‘Talak tida pada satu waktu(sekaligus).’ Rasulullah
SAW bersabda ‘Sesungguhnya talak yang demikian itu adalah talak satu, rujuklah
kamu kepadanya.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la dan disahkannya)
Talak 3.
Adalah talak yang dijatuhkan sesudah talak 2 atau bisa dengan 1x talak secara jelas spt "aku talak kamu dengan talak 3, dan hukum talak 3 tsb sah.
Ketika jatuh talak 3 maka suami istri tidak bisa rujuk sebelum istri menjadi janda orang lain.
Catatan.
Talak yang diucapkan 3x atau bahkan lebih namun dalam 1 waktu tanpa ada kejelasan ucapan talak 3 maka dianggap masih talak 1.
Misalkan suami mengatakan "aku ceraikan kamu, aku ceraikan kamu, aku ceraikan kamu" walau 3x ucapan maka dianggap talak 1.Begitu juga ketika untuk waktu kedua memberi talak.
Jika seorang suami yang belum pernah memberi talak lalu menjatuhkan talak 3 sekaligus, namun setelah itu suami merasa menyesal dan ingin kembali maka dianggap talak tsb adalah talak 1. Ada kisah dibalik ini pada jaman Rosulullah, namun aku tidak bisa menjelaskan karena komentarku akan terlalu panjang, silahkan cari di google saja.
Talak oleh istri.
Istri tidak bisa memberi talak tanpa dasar hukum yang jelas, dalak hal ini istri minta dipecahkan pada orang yang mengetahui seluk beluk perceraian serta bersikap adil dan amanah.
Sebagaimana keterangan jika seorang suami memukul/menyakiti badan atau hati istri, tidak memberi nafkah lahir dan bathin lalu istri tidak RIDHO maka bisa jatuh talak.
Pengertian memukul/menyakiti badan atau hati mempunyai arti tersendiri, tentunya hal tsb jika diluar batas ketentuan dalam Islam.
Aturan rujuk istri.
Sebagaimana rujuk seorang suami maka begitu pula rujuk seorang istri.
# Perceraian melalui PA.
Statusku duda cerai lewat PA (Pengadilan Agama).
Ketika seseorang yang mengajukan gugatan cerai melalui PA maka akan mengikuti prosedur yang berlaku.
Jika jatuh vonis hakim dengan mengabulkan gugatan cerai tsb maka jatuh talak 1.
Hal ini RANCU. Dengan kekuatan hukum negara yang ada maka akan ada kesenjangan atau permasalahan yang timbul. Aku menemui hal ini beberapa kali sebelum aku bercerai.
Sepasang suami istri yang sudah bercerai atas vonis hakim namun dikemudian hari mereka rujuk kembali biasanya akan mengalami masalah. Mereka harus mengajukan ke PA lagi tentang rujuk tsb.
Dari sebagian orang yang aku ketahui mereka mengajukan gugatan cerai ke-2 namun tanpa pernikahan resmi yang terjadi karena mereka rujuk dimasa idah hanya disaksikan tetangga. Hal tsb ditolak PA karena tidak ada rujukan surat nikah baru yang tanggalnya sesuai dengan tanggal sesudah keluar akta cerai.
Ada sepasang suami istri ingin rujuk kembali di akhir masa idah istri namun karena tersandung birokrasi akhirnya ketika sampai di PA masa idahnya sudah habis maka hal tsb juga ditolak oleh PA atas dasar masa idah sudah habis.
Aku lebih mengutamakan hukum Allah sesuai tuntunan Syariat yang ada dan terkesan mengabaikan aturan negara karena menikah dan bercerai adalah pertanggungan jawab langsung pada Allah, jika kita cerai sah menurut Allah namun kita berpatokan pada hukum negara maka akan mempersulit diri.
Sebagai contoh jika seorang suami telah memberikan talak 3 secara dengan aturan yang ada maka sah mereka bercerai dan hukum dari persetubuhan mereka adalah HARAM, namun karena belum pernah mengajukan gugatan cerai ke PA maka sesuai prosedur mereka belum bercerai. Dan dalam kondisi tsb putusan hakim tetap talak 1 yang tertera pada akta cerai. Ini dialami oleh teman dekatku sendiri sewaktu di Kalimantan, karena kami perantauan yang tidak punya waktu untuk mengurus perceraian yang memakan waktu sementara kami hidup ditengah rimba yang jauh dari kota. Dengan mengikuti aturan negara dia merasa belum bercerai, namun ketika dia curhat padaku maka aku jelaskan dan aku berikan rujukan pada alim ulama untuk memperjelasnya.Kesimpulannya dia telah berzinah selama 6 bulan dengan istrinya karena sah di mata Allah telah memberi talak 3 sebelumnya.
G. Hukum Talak Tiga Dalam Satu Lafazh (Talak
Tiga Sekaligus)
Hadits
Pertama:
عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قَالَ: كَانَ
الطّلاَقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبِي بَكْرٍ
وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ, طَلاَقُ الثّلاَثِ وَاحِدَةً، فَقَالَ عُمَرُ
بْنُ الْخَطّابِ: إِنّ النّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ
فِيهِ أنَاةٌ, فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ. (رواه مسلم)
Dari Ibn ‘Abbas, dia berkata, Pada
masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan 2 tahun pertama masa kekhilafahan ‘Umar
talak tiga (sekaligus dengan satu lafazh) terhitung satu kali talak. Maka
berkatalah ‘Umar bin al-Khaththab, “Orang-orang terlalu terburu-buru dalam
urusan (menalak tiga sekaligus dalam satu lafazh) mereka yang dulu masih ada
tempo waktunya.Andaikatan kami jalankan apa yang mereka lakukan dengan
terburu-buru itu (bahwa talak tiga dalam satu kata (lafazh) itu jatuh talak
tiga) niscaya hal itu dapat mencegah dilakukannya talak secara berturut-turut
(seperti yang mereka lakukan itu).” Lalu ia memberlakukan hal itu terhadap
mereka. (HR.Muslim)
Hadits
Ke-dua:
عَنْ مَحْمُود بْنَ لَبِيدٍ قَالَ:
أُخْبِرَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ رَجُلٍ طَلّقَ امْرَأَتَهُ
ثَلاَثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعا فَقَامَ غَضْبَانا ثُمّ قَالَ: «أَيُلْعَبُ
بِكِتَابِ اللّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟» حَتّى قَامَ رَجُلٌ وَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللّهِ أَلاَ أَقْتلُهُ. (رواه النسائي ورواته موثقون)
Dari Mahmud bin Labid, ia berkata,
saat Rasulullah SAW diberitahu mengenai seorang laki-laki yang menalak
isterinya dengan talak tiga sekaligus, maka berdirilah ia dalam kondisi marah,
kemudian berkata, “Apakah ia ingin bermain-main dengan Kitabullah padahal aku
masih ada di tengah kalian.?” Ketika itu ada seorang laki-laki berdiri seraya
berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya.?” (HR.an-Nasa’iy, dan
para periwayatnya adalah para periwayat Tsiqat)
Kualitas
hadits kedua ini adalah shahih.
Hadits
Ke-tiga:
عن ابنِ عَبّاسٍ قال: طَلّقَ أبُو
رُكَانَةَ أُمّ رُكَانَةَ فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : رَاجِع
امْرَأَتَكَ، فقال: إِنّي طَلّقْتُهَا ثَلاَثاً، قال: قَدْ عَلِمْتُ رَاجِعْها.
رواه أبو داود
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata, Abu
Rukanah telah menalak Ummu Rukanah, lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya,
“Rujuklah isterimu itu.” Lalu ia menjawab, “Sudah aku talak tiga ia.” Beliau
berkata, “Aku sudah tahu, rujuklah ia.” (HR.Abu Daud)
Dalam riwayat Ahmad terdapat teks:
“Abu Rukanah menalak isterinya
dengan talak tiga dalam satu majlis (sekaligus), maka ia pun menyesali kejadian
itu (bersedih atasnya), maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Ia hanya
(terhitung) satu kali.”
Tetapi dalam sanad ini terdapat Ibn Ishaq yang perlu diberi catatan.
Tetapi dalam sanad ini terdapat Ibn Ishaq yang perlu diberi catatan.
Abu Daud meriwayatkan dari jalur
lainnya dengan riwayat yang lebih baik:
“Bahwa Abu Rukanah telah menalak
isterinya, Suhaimah dengan pasti (sekaligus dan langsung talak tiga-red), lalu
ia memberitahu Nabi SAW mengenai hal itu, lantas beliau berkata, “Demi Allah,
kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?” Maka, Rasululullah SAW
mengembalikan isterinya kepadanya.
PESAN-PESAN
HADITS
1. Hadits pertama menginformasikan
bahwa tiga kali talak dengan satu kalimat (lafazh) tidak dihitung (dinilai)
selain sebagai satu kali talak saja; jika ia bukan merupakan talak yang ketiga
(terakhir), maka masih boleh rujuk. Hadits ini merupakan rujukan inti bagi
pendapat yang mengatakan demikian.
2. Hadits ke-dua menunjukkan bahwa
tiga kali talak yang tidak diiringi rujuk dan nikah (langsung talak tiga sekaligus-red),
maka ia merupakan talak bid’ah yang diharamkan.
3. Bahwa bermain-main dengan
hukum-hukum Allah dan melanggar aturan-Nya termasuk dosa besar sebab Nabi SAW
tidak marah kecuali terhadap kemaksiatan yang besar.
4. Bermain-main dengan Kitabullah dan
sunnah Rasul-Nya adalah haram sekali pun dilakukan sepeninggal Rasulullah SAW.
Beliau mengucapkan kata-kata seperti itu tidak lain karena merasa aneh dengan
sangat cepatnya perubahan yang melanda berbagai perkara.
5. Indikasi dua riwayat Abu Daud dan
Ahmad pada hadits ketiga adalah sama dengan hadits pertama dari sisi penilaian
bahwa tiga kali talak itu terhitung satu kali talak saja dan bahwa seorang
suami yang menalak isterinya boleh rujuk kepada isterinya selama talak itu
bukan merupakan akhir dari angka talak yang masih dimilikinya (talak ini bukan
terhitung yang ketiga kalinya dari talak yang pernah dilakukannya).
6. Sementara riwayat kedua dari Abu
Daud di atas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus berlaku sesuai dengan niat
orang yang menalak; jika ia meniatkan tiga, maka ia jadi tiga dan jika ia
meniatkan hanya satu, maka ia jadi satu, yang memungkinkan untuk rujuk.
7. Riwayat talak tiga sekaligus
dalam hadits Rukanah merupakan dalil Jumhur bahwa tiga talak itu merupakan
ucapan talak Ba’in Bainuunah
Kubro yang tidak bisa lagi dirujuk kecuali setelah si isteri yang
ditalak itu menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai lagi-red.).
Perbedaan
Pendapat Para Ulama
Para ulama berbeda pendapat mengenai
orang yang menalak dengan talak tiga sekaligus atau mengucapkannya dengan tanpa
diselingi rujuk dan nikah.
Artinya, apakah talak tiga itu harus dikomitmeninya sehingga isterinya menjadi tidak halal lagi baginya kecuali setelah ia menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai) dan menjalani masa ‘iddah darinya? Atau kah ia hanya terhitung satu kali talak saja sehingga ia boleh rujuk dengan isterinya selama masih dalam ‘iddah, lalu setelah ‘iddah ia melakukan ‘aqad baru sekali pun isterinya tersebut belum lagi menikah dengan laki-laki lain.?
Artinya, apakah talak tiga itu harus dikomitmeninya sehingga isterinya menjadi tidak halal lagi baginya kecuali setelah ia menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai) dan menjalani masa ‘iddah darinya? Atau kah ia hanya terhitung satu kali talak saja sehingga ia boleh rujuk dengan isterinya selama masih dalam ‘iddah, lalu setelah ‘iddah ia melakukan ‘aqad baru sekali pun isterinya tersebut belum lagi menikah dengan laki-laki lain.?
Masalah ini menjadi ajang perdebatan
panjang para ulama, bahkan gara-gara mengatakan boleh rujuk (dengan talak tiga
sekaligus karena mengganggapnya terhitung satu kali talak-red) ada beberapa
ulama yang disiksa, di antaranya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya.
Ringkasan
Dari Perselisihan Dan Perdebatan Panjang Itu Adalah:
1. Jumhur Ulama, di antaranya empat
imam madzhab, jumhur shahabat dan tabi’in berpendapat bahwa tiga talak dengan
satu kata (lafazh) adalah berlaku bila seorang suami berkata, “Kamu saya talak
(tiga kali)!” dan semisalnya atau dengan beberapa kata (kamu saya talak,
kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya
talak) sekali pun sebelumnya belum terjadi rujuk dan nikah.
Dalil
a. Hadits Rukanah bin ‘Abdullah
bahwasanya ia telah menalak isterinya secara pasti (talak tiga sekaligus), lalu
ia memberitahukan hal itu kepada Nabi SAW, lantas beliau berkata, “Demi Allah,
kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?”
Hadits ini dikeluarkan oleh asy-Syafi’i,
Abu Daud, at-Turmudzy, Ibn Hibban (dia menilainya shahih) dan al-Hakim.
Sisi
Pendalilan
Di dalam hadits tersebut, Rasulullah
meminta kepada suami yang menceraikan itu agar bersumpah bahwa ia tidak
menginginkan dari ucapannya “putus” (talak tiga) tersebut kecuali hanya satu
kali saja. Ini menandakan bahwa seandainya ia (suami) menghendaki lebih banyak
dari itu (lebih dari satu kali) niscaya terjadilah apa yang diinginkannya.
b. Amalan para shahabat, di
antaranya ‘Umar bin al-Khaththab RA yang menilai talak tiga dalam satu kata
(lafazh) berlaku tiga seperti yang diucapkan suami yang menalak. Tentunya,
mereka cukup sebagai panutan.
Selain dalil di atas, masih banyak
lagi dalil yang dikemukakan pendapat ini namun apa yang kami sebutkan tersebut
merupakan dalil yang lebih jelas dan secara terang-terangan.
2. Sekelompok ulama berpendapat tiga
talak dalam satu kata (lafazh), atau tiga talak dalam beberapa kata yang tidak
diiringi rujuk dan nikah, tidak jatuh kecuali hanya satu kali saja (satu
talak). Pendapat ini didukung oleh riwayat dari beberapa shahabat, tabi’in dan
para tokoh madzhab. Dari kalangan shahabat terdapat Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu
‘Abbas, Ibn Mas’ud, ‘Ali, ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan az-Zubair bin al-‘Awwam.
Dari kalangan tabi’in terdapat Thawus, ‘Atha’, Jabir bin Zaid dan mayoritas
pengikut Ibn ‘Abbas, Abdullah bin Musa dan Muhammad bin Ishaq. Dan dari
kalangan para tokoh madzhab terdapat Daud azh-Zhahiri dan kebanyakan
sahabatnya, sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian sahabat Imam Malik, sebagian
sahabat Imam Ahmad seperti al-Majd bin ‘Abdussalam bin Taimiyyah yang
memfatwakan hal itu secara sembunyi-sembunyi dan cucunya, Syaikhul Islam, Ibn
Taimiyyah yang memfatwakannya secara terang-terangan dengan memfatwakannya di
majlis-majlisnya serta kebanyakan pengikutnya, di antaranya Ibn al-Qayyim yang
membela mati-matian pendapat ini di dalam kitabnya al-Hadyu dan Ighaatsah
al-Lahafaan. Di dalam kedua kitabnya tersebut, beliau memaparkannya
secara panjang lebar, menukil berbagai nash-nash dan membantah pendapat para
penentangnya dengan bantahan yang cukup dan memuaskan.
Dalil
Dalil pendapat ini terdiri dari
nash-nash dan qiyas.
Dari nash, di antaranya:
Dari nash, di antaranya:
Hadits yang diriwayatkan Muslim,
bahwasanya Abu ash-Shahba’ berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Tahukah kamu bahwa yang
tiga itu dulu dijadikan satu talak saja pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan
permulaan masa ‘Umar.?Ia menjawab, “Ya.” Di dalam lafazh yang lain,
“dikembalikan kepada satu talak.?”, ia mejawab, “Ya.”
Ini merupakan nash yang shahih dan sangat jelas sekali, tidak bisa ditakwil-takwil atau pun dirubah.
Ini merupakan nash yang shahih dan sangat jelas sekali, tidak bisa ditakwil-takwil atau pun dirubah.
Sedangkan dari Qiyas:
Mengumpulkan tiga sekaligus adalah
diharamkan dan merupakan bid’ah sebab Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan
(dalam agama) yang bukan berasal dari kami, maka ia tertolak.” Jadi,
menjatuhkan (talak) tiga sekaligus bukan termasuk perkara yang berasal dari
Rasulullah SAW sehingga ia tertolak.
Bantahan
Terhadap Pendapat Pertama
Pendapat ke-dua ini membantah
dalil-dalil pendapat pertama sbb:
Mengenai hadits Rukanah; di dalam sebagian lafazhnya terdapat, “Ia menalaknya tiga kali.” Dan di dalam lafazh yang lain, “Satu kali.” Sementara di dalam riwayat lain lagi terdapat lafazh, “al-Battah.” (putus). Oleh karena itu, al-Bukhari berkata mengenainya, “Ia hadits Muththarib.” (merupakan jenis hadits Dla’if/lemah-red)
Mengenai hadits Rukanah; di dalam sebagian lafazhnya terdapat, “Ia menalaknya tiga kali.” Dan di dalam lafazh yang lain, “Satu kali.” Sementara di dalam riwayat lain lagi terdapat lafazh, “al-Battah.” (putus). Oleh karena itu, al-Bukhari berkata mengenainya, “Ia hadits Muththarib.” (merupakan jenis hadits Dla’if/lemah-red)
Imam Ahmad mengatakan, “semua jalur
periwayatannya lemah.Sebagian mereka (ulama) mengatakan, di dalam sanadnya
terdapat periwayat yang tidak dikenal (majhul), di dalamnya terdapat orang yang
lemah dan ditinggalkan (periwayatannya tidak digubris).”
Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah
berkata, “Kualitas hadits Rukanah menurut para imam hadits, lemah. Dinilai
lemah oleh Ahmad, al-Bukhari, Abu ‘Ubaid dan Ibn Hazm sebab para periwayatnya
bukanlah orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang yang adil dan kuat
hafalannya (Dhabith).”
Sedangkan hadits ‘Aisyah RHA tidak
tepat untuk dijadikan dasar berdalil sebab bisa jadi yang dimaksud dengan tiga
tersebut adalah urutan terakhir bagi seorang suami yang manalak, dari tiga
talak yang dimilikinya.Manakala ada kemungkinan seperti itu, maka berdalil
dengannya pun menjadi batal.Hadits itu masih bersifat global (mujmal) sehingga
dapat diarahkan kepada hadits Ibn ‘Abbas yang sudah dijelaskan (mubayyan)
sebagaimana yang berlaku dalam ilmu ushul fiqih.
Adapun berdalil dengan amalan para
shahabat, maka perlu dipertanyakan; siapa di antara mereka yang patut dan lebih
utama untuk diikuti?
Kami katakan: bahwa jumlah mereka
itu (para shahabat) lebih dari ratusan ribu. Bilangan orang yang banyak ini di
mana orang nomor satu mereka adalah nabi mereka sendiri, yakni Rasulullah SAW
menilai tiga talak tersebut sebagai jatuh satu kali. Hingga akhir hayat
Rasulullah, kondisinya tetap seperti itu; khalifah beliau, Abu Bakar
ash-Shiddiq RA memberlakukan hal itu hingga wafat, lalu ia digantikan khalifah
‘Umar RA. Di awal pemerintahannya, kondisi tersebut pun masih berlaku sebagai
yang berlaku pada masa Rasulullah SAW.Setelah itu lah baru tiga talak itu
dijadikan tiga seperti angkanya sebagaimana telah kami jelaskan sebabnya.
Jadi, mayoritas shahabat yang wafat
sebelum kekhalifahan ‘Umar tetap menjalankan dan memberlakukan tiga talak itu
dianggap satu kali saja.
Dengan begitu, kita ketahui bahwa
berdalil dengan amalan para shahabat RA telah dibatalkan dengan semi ijma’
mereka (para shahabat) pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq RA.
Tentunya, ‘Umar bin al-Khaththab
amat jauh dari melakukan suatu amalan yang bertentangan dengan amalan yang
pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Yang ia lakukan, bahwa ia melihat
banyak orang yang terburu-buru dan sering sekali melakukan talak tiga padahal
ini merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan. Karena itu, ia melihat perlunya
memberikan pelajaran atas ucapan mereka tersebut sekaligus sebagai sanksi atas
dosa yang mereka lakukan. Demikian pula, atas tindakan mereka yang sengaja
ingin menyulitkan diri sendiri padahal sudah mendapat kelapangan dan toleransi
yang tinggi.Apa yang dilakukan ‘Umar ini semata adalah sebuah ijtihad layaknya
ijtihad yang dilakukan para ulama tokoh di mana bisa berbeda seiring dengan
perbedaan zaman dan tidak akan tetap sebagai sebuah produk syari’at yang
mengikat, yang tidak dapat berubah. Yang tetap dan mengikat itu hanya syari’at
pokok dari masalah ini (masalah talak-red).
Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah RAH
berkata, “Jika ia (suami) menalaknya (isterinya) dengan talak tiga dalam masa
suci baik satu kata atau beberapa kata seperti ‘Kamu ditalak, kamu ditalak,
kamu ditalak’ atau ‘kamu ditalak’ kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’,
kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’, menurut para ulama baik Salaf mau pun
khalaf terdapat tiga pendapat dalam hal ini, baik wanita yang ditalak itu sudah
disetubuhi mau pun belum:
Pertama, Bahwa hal itu merupakan talak yang dibolehkan dan mengikat; ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat lamanya (dipilih oleh al-Kharqy)
Pertama, Bahwa hal itu merupakan talak yang dibolehkan dan mengikat; ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat lamanya (dipilih oleh al-Kharqy)
Ke-dua, Bahwa hal itu merupakan
talak yang diharamkan dan mengikat; ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah dan
Ahmad (yang dipilih oleh kebanyakan sahabatnya).Pendapat ini juga dinukil dari
kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat dan Tabi’in.
Ke-tiga, Bahwa ia merupakan talak
yang diharamkan dan hanya berlaku satu kali talak saja; ini pendapat yang
dinukil dari sekelompok ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat.
Pendapat ini juga diambil kebanyakan Tabi’in dan generasi setelah mereka.Juga,
merupakan pendapat sebagian sahabat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.
Tarjih
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari tulisan tersebut di atas
maka dapat diambil suatu kesimpulan (konklusi ) bahwa:
1.
Talak adalah perceraian yang dilakukan dan diucapkan oleh suami
terhadap isterinya di depan persidangan Pengadilan setelah Pengadilan memberi
izin kepada suami (Pemohon)
2.
Talak yang diucapkan di luar persidangan Pengadilan merupakan
talak liar, keabsahannya secara hukum tidak sah karena dianggap tidak pernah
terjadi perceraian.
3.
Perceraian/talak yang dijatuhkan atau diucapkan melalui putusan
atau dalam sidang Pengadilan dimaksudkan untuk membela hak kewajiban, status
suami isteri secara hukum, sekaligus memberi pendidikan hukum agar
perceraian/talak tidak sewenang-wenang dilakukan tanpa adanya proses,
pembuktian-pembuktian.
4. Sebagai hakim muslim perlu
memberi pengertian kepada pihak-pihak yang telah menjatuhkan talak liar ditinjau
secara hukum serta memberi solusi terhadap perkara yang diajukan.
Ø Talak sunni, adalah talak yang
dijatuhkan suami sesuai dengan petunjuk yang disyariatkan Islam, yaitu :
a.
Menalak isteri harus secara bertahap (dimulai dengan talak satu,
dua dan tiga) dan diselingi rujuk.
b.
Isteri yang ditalak itu dalam keadaan suci dan belum digauli dan
c. Isteri tersebut telah nyata-nyata dalam keadaan hamil.
B. Saran
Makalah ini masih memiliki
berbagai jenis kekurangan olehnya itu
kritik yang sifatnya membangung sangat
kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
a.
Rasjid H. Sulaiaiman, Fiqih Islam, Sinar Baru Algensido Bandung 42
: 2009
b.
Taqiuddin Muhammad, Kifayatul Akhyar
,2009
c.
Hakim Abdul Hamid,
Mu’ainul Mubin, 2007
KATA
PENGANTAR
Segala
Puji dan Syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat
dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis
dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul“TALAK 3 DENGAN 1 KALIMAT DALAM SATU WAKTU”
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul“TALAK 3 DENGAN 1 KALIMAT DALAM SATU WAKTU”
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Raha, November
2013
"Penulis"
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR
ISI...........................................................................................................ii
BAB
I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar
Belakang Masalah............................................................................1
1.2 Tujuan
dan Manfaat...................................................................................1
BAB
II PEMBAHASAN...........................................................................................4
A. Pengertian
Talak .......................................................................................2
B. Klasifikasi
talak...........................................................................................3
C. Hukum
talak................................................................................................6
D. Lafadz
talak................................................................................................7
E. Bilangan
talak.............................................................................................7
F. Hukum
talak tigak dalam satu lafaz..........................................................10
BAB
III PENUTUP.............................................................................................15
A. Kesimpulan................................................................................................15
B. Saran.........................................................................................................15
DAFTAR
PUSTAKA..............................................................................................16
1. Soal:
Bagaimana
status hukum talak yang dinyatakan, “Kamu saya talak tiga” secara sekaligus;
atau “Kamu saya talak, saya talak, saya talak” sampai tiga kali?Apakah jatuh
tiga, atau hanya dihitung sekali?Lalu bagaimana status talak yang digantung
mengikuti waktu tertentu?
Harus
ditegaskan bahwa hukum-hukum talak yang diadopsi Hizbut Tahrir adalah
hukum-hukum sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i.Adapun hukum-hukum cabang
lainnya, seperti kapan talak tiga bisa jatuh tiga tidak diadopsi oleh
Hizb.Dalam hal ini bisa diambil pendapat dari mujtahid manapun. Meski demikian,
pendapat yang paling kuat menurut kami terkait dengan jatuhnya talak tiga
dengan sekali ucapan dan dalam satu majelis adalah sebagai berikut: Pertama, jika seorang suami mengatakan
kepada istrinya, “Kamu saya talak tiga,” dengan sadar dan memahami apa yang dia
katakan, serta bukan orang non-Arab yang tidak mengerti maksud perkataan,
ketika diucapkan, maka talak seperti ini jatuh tiga; baik dinyatakan dengan
niat di dalam hatinya bahwa talak tersebut talak tiga sekaligus atau tidak.
Penunjukkan lafalnya dengan tegas dan jelas dalam ucapan ini, “Kamu saya talak
tiga” tidak membutuhkan niat sehingga talaknya jatuh.
Allah
SWT berfirman:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ
لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Jika
suami mentalak istrinya, maka tidak halal bagi dirinya setelah itu, hingga
istrinya menikahi suami (pria) lain (QS
al-Baqarah [2]: 230).
3.
Apakah suami istri yang sudah melakukan talak tiga bisa rujuk
kembali,,,?
4.
Hukum talak tiga adalah,,,?
TUGAS
MAKALAH KELOMPOK
ILMU FIQIH
TALAK 3 DENGAN SATU KALIMAT
DALAM SATU WAKTU
DISUSUN OLEH :
1. WA ODE NENY ERNIA
2. WA ODE NGGO
3. WA ODE JUMIATI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SYARIF MUHAMMAD RAHA
2013 / 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar