TUGAS MAKALAH
“Perkembangan Sejarah Sosiologi Di Indonesia Dan Di Eropa”
NAMA : NORA YULIANTI
KELAS : X
IPA_3
SMA NEGERI 2
RAHA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seorang manusia akan memiliki perilaku yang berbeda dengan
manusia lainnya walaupun orang tersebut kembar siam. Ada yang baik hati suka
menolong serta rajin menabung dan ada pula yang prilakunya jahat yang suka
berbuat kriminal menyakitkan hati. Manusia juga saling berhubungan satu sama
lainnya dengan melakukan interaksi dan membuat kelompok dalam masyarakat.
Perkembangan masyarakat pada abad 20 ini tidak dapat
lepas dari berbagai macam pengaruh masuknya tata nilai budaya yang baru.
Perubahan struktur masyarakat menyebabkan lahirnya berbagai topik kajian sosiologi.
Sosiologi berasal dari bahasa yunani yaitu kata socius dan logos, di mana
socius memiliki arti kawan / teman dan logos berarti kata atau berbicara.
Menurut Bapak Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, sosiologi adalah ilmu
yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk
perubahan-perubahan sosial.
Dalam makalah ini akan dituliskan tentang perkembangan
Sosiologi sebagai ilmu di indonesia beserta penjelasan tokoh Sosiologi
Indonesia atau Bapak Sosiologi Selo Soemardjan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah dalam
makalah ini dirumuskan sebagai berikut :
- Bagaimana perkembangan Sosiologi secara umum?
- Bagaimana perkembangan Sosiologi di Indonesia?
- Siapa sajakah tokoh Sosiologi di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Dalam makalah
ini, tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
- Mengetahui perkembangan Sosiologi secara umum.
- Mengetahui perkembangan Sosiologi di Indonesia.
- Mendeskripsikan tokoh Sosiologi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Sosiologi Di Eropa
Sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur
relatif muda yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali
diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai
bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang
pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan
dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap
metode ilmiah. Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan
klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini
merupakan pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.
Seorang Amerika Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya “Dynamic
Sociology” dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui
tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.
Seorang Perancis, Emile Durkheim menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah
dalam sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang diterbitkan
tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia teruskan penelaahannya
dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan pada tahun
1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia
merencanakan disain risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang
ciri-ciri orang yang melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik
suatu teori tentang bunuh diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai universitas
sekitar tahun 1890-an. The American Journal of Sociology memulai
publikasinya pada tahun 1895 dan The American Sociological Society (sekarang
bernama American Sociological Association) diorganisasikan dalam tahun 1905.
Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an telah
menciptakan masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog Amerika untuk
mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi sebagai pedoman ilmiah untuk
kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika terbitnya edisi awal American Journal
of Sociology isinya hanya sedikit yang mengandung artikel atau riset ilmiah,
tetapi banyak berisi tentang peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan
industrialisasi. Sebagai contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903
berjudul “The Social Effect of The Eight Hour Day” tidak mengandung data
faktual atau eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari
kerja yang lebih pendek.
Namun pada tahun 1930-an beberapa jurnal sosiologi yang ada lebih berisi
artikel riset dan deskripsi ilmiah. Sosilogi kemudian menjadi suatu pengetahuan
ilmiah dengan teorinya yang didasarkan pada obeservasi ilmiah, bukan pada
spekulasi-spekulasi.
Para sosiolog tersebut pada dasarnya merupakan ahli filsafat sosial. Mereka
mengajak agar para sosiolog yang lain mengumpulkan, menyusun, dan
mengklasifikasikan data yang nyata, dan dari kenyataan itu disusun teori sosial
yang baik.
Bapak Pendiri Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology) yang
sampai kini pikirannya masih dipakai dalam teori sosiologi, yaitu Auguste
Comte, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan mereka telah memberi
stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan terkait dgn kehidupan
ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan mereka juga digunakan dalam
disiplin ilmu social lain seperti ilmu politik, ekonomi, antropologi, dan
sejarah.
B. Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di
Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu
pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan
oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara
para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda,
banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar
golongan (intergroup relations).
Ki Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia,
memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep
kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan
dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan
belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck
Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka
tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi
kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai
Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi
ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan
dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan
lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Perang Dunia ke dua
diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun
kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi
yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis,
berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan,
Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum
tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun
daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat
beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran
hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang
sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member
kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia
menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam
bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke
dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu
Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam
Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik.
Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para
mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah
ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik.
Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat
tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat
sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk
Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang
berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan
terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan
Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu
en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya
Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja
Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua
pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar
Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis
lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962.
Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting
dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai
dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai
Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas
Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada
Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun
telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI
dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesia belum mendapat tempat yang
sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative
mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku
mutlak disebkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat
Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku
Banyak nama atau orang Indonesia yang menjadi ahli
atau sosiolog besar dalam perkembangan sosiologi di Indonesi. Diantaranya
adalah Prof. Dr. Selo Soemardjan, Prof Dr Paulus Wirutomo dan Arief Budiman.
Berikut biografi singkat dan peran – peran tokoh tersebut dalam perkembangan
sosiologi di Indonesia :
1. Prof Dr Paulus Wirutomo sang Sosiolog Pendidikan
Prof Dr Paulus Wirutomo sosiolog dan guru besar FISIP
Universitas Indonesia. Pria kelahiran Solo, 29 Mei 1949, ini menamatkan sarjana
sosiologi dari Universitas Indonesia, 1976. Meraih S2 bidang Perencanaan Sosial
dari University College of Swansea Wales, Inggris, 1978 dan S3 bidang Sosiologi
Pendidikan dari State University of New York at Albany, USA, 1986.
Dia menjabat Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI,
2005-2009 dan Ketua Program Magister Manajemen Pembangunan Sosial Pascasarjana
UI, 1997-sekarang.
Dalam wawancara dengan Kompas di ruang kerjanya di
Kampus FISIP UI Depok, beberapa hari menjelang Idul Fitri 1427 H, Prof Dr
Paulus Wirutomo melihat sosial saat ini masih disalahpahami. Menurutnya,
pembangunan sosial saat ini masih disalahpahami. Bagi pemerintah, pembangunan
sosial hanya dianggap sebagai sektor pembangunan saja. Meskipun hal ini tidak
sepenuhnya salah, namun juga tidak bisa dibenarkan.
Pasalnya, kata Paulus, pengertian pembangunan sosial
yang benar itu lebih dari sekadar pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial,
harus termuat peningkatan interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa
terjadi kualitas hubungan sosial dari langkah pembangunan sosial yang diambil,
sulit mengatakan adanya pembangunan sosial.
Menurutnya, bukan hanya pemerintah, tetapi sebagian
besar kita masih memahami pembangunan sosial itu sekadar charity yang tidak
menghasilkan uang. "Mengikuti logika pembangunan sosial sebagai sektor,
maka pembangunan sosial ini membutuhkan masukan berupa penyediaan anggaran,
perlu pembiayaan. Dan mengikuti pemahaman pembangunan sosial sebagai charity,
maka pembangunan sosial itu dianggap sebagai sebuah langkah yang tidak
menghasilkan apa pun. Atau paling tidak output-nya dinyatakan tidak
menghasilkan uang," jelasnya.
Bahkan, menurut ahli sosiologi pendidikan itu,
pendidikan, sama halnya dengan kesehatan dan agama yang juga dianggap
pembangunan sosial, terkadang dianggap sebagai anggaran yang habis terpakai
tanpa menghasilkan uang. Padahal, ujarnya, pembangunan pendidikan itu akan
menghasilkan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang
meningkat inilah yang nantinya diharapkan akan menjadi pendorong terjadinya
peningkatan kualitas hubungan sosial.
Ditanya tentang adakah usaha yang sudah dilakukan
untuk memberikan pemahaman yang betul? Paulus mengatakan bahwa Departemen
Sosiologi UI sudah lebih dari 10 tahun terakhir sebenarnya sudah memberikan
pemahaman yang betul, melalui pembukaan program manajemen pembangunan sosial.
Bahkan, menurutnya, sebenarnya Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault
dan Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali
merupakan sebagian kecil dari orang Indonesia yang pernah mendapatkan
pendidikan manajemen pembangunan sosial di pascasarjana UI.
"Dulu kita membuka program manajemen pembangunan
sosial ini karena kita di UI merasakan kok Sosiologi sebagai ilmu enggak punya
sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Kami membuat program lanjutan S2,
terutama pada pekerja sosial, pembangunan sosial, LSM, dan Bappeda. Ketika itu,
kami melihat tenaga Bappeda yang ada, SDM-nya seadanya. Ada yang diambil dengan
latar belakang ekonomi, hukum, pertanian, ataupun pakar teknik. Mestinya orang
sosial budaya yang punya ilmu untuk pembangunan sosial bisa menyumbangkan
pengetahuannya. Dengan membuka program manajemen pembangunan sosial ini
diharapkan akan lahir kader manusia Indonesia yang memahami pembangunan sosial
dan punya sumbangan besar bagi pembangunan bangsa," jelasnya.
Hasilnya? "Sesudah 10 tahun, kok hasilnya masih
kurang dirasakan. Saya berpikir, persoalannya terletak pada inti pembangunan
sosial yang ternyata memang belum bisa ditangkap secara baik oleh masyarakat
dan terutama oleh pemerintah. Sekali lagi saya tegaskan, inti dari adanya
pembangunan sosial adalah kualitas interaksi sosial, dan kualitas hubungan
sosial di masyarakat. Interaksi sosial itu sifatnya lebih kasat mata. Misalnya
orang berkonflik dengan saling lempar batu, tetapi ada yang lebih mendalam dari
interaksi sosial, misalnya hubungan itu antara buruh dan majikan, guru dan
murid, rakyat dan pemerintah. Yang menyangkut hubungan kekuasaan, bagaimana
kekuasaan yang Anda punya dan yang saya punya, bagaimana kekuasaan yang senjang
bisa menghasilkan eksploitasi. Ini yang disebut hubungan sosial," jels
Paulus.
Paulus sangat risau dengan perjalanan bangsa yang
kualitas hubungan sosialnya sepertinya hanya jalan di tempat. Menurut Paulus,
banyak bibit kreatif sumber daya manusia yang telah dimatikan oleh kebijakan
nasional yang tidak berpihak pada usaha kreatif. Padahal, usaha kreatif ini
mampu memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.
Dia memisalkan: Si A baru lulus kuliah dari teknik
industri dan berhasil memproduksi ataupun menciptakan alat pertanian,
katakanlah pacul. Persoalan pertama yang dihadapi si A, dia tidak punya dana
untuk memproduksi ciptaannya. Sistem perbankan yang ada tidak memungkin-kannya
meminjam dari bank karena tidak punya jaminan. Solusi yang mungkin si A lakukan
jika tetap ingin memproduksi idenya adalah meminjam uang dari saudara, kenalan,
atau dari rentenir. Katakanlah dia berhasil mendapatkan pinjaman dana, lantas
dia memulai produksi pacul ciptaannya. Apa yang terjadi kemudian, pemerintah
mengimpor pacul dalam jumlah banyak dan dijual dengan harga lebih murah dari
harga jual buatan si A. Jelas produksi si A tidak laku, kalah bersaing, dan
akhirnya terpaksa menutup usaha produksinya yang menjadi produk kreatif anak
bangsa. Karena tutup usaha pada saat belum berkembang, si A meninggalkan utang,
hidupnya terbelit utang. Cita-citanya pupus dan tidak banyak yang bisa
dilakukannya.
Dia berharap pemerintah sebagai pengambil kebijakan
memberikan dukungan pada usaha-usaha anak bangsa yang kreatif untuk
meningkatkan kualitas kehidupannya. "Persoalan ini tidak sulit kalau
memang pemerintah mau dan punya keberpihakan pada usaha kreatif. Inilah yang
harus dilakukan sekarang, yaitu membuat kebijakan nasional yang berpihak pada
usaha kreatif. Tanpa ini, saya kira, bangsa ini akan tetap seperti sekarang,
kualitas hubungan sosialnya tidak meningkat," katanya.
2. Arief Budiman Sosiolog Lokal yang
Melangkah ke Dunia Internasional
Doktor sosiologi yang terlahir dengan nama Soe Hok
Djin ini meninggalkan status sebagai dosen di Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW), Salatiga, Jawa Tengah, pasca kerusuhan Mei 1998. Kemudian bersama istri
Leila Ch. Budiman bermukim dan mengajar di Universitas Melbourne, Australia.
Dia agaknya belum mau menghentikan sedikitpun suara kritisnya. Sejak masih muda
lelaki keturunan Tionghoa ini sudah berani mengkritisi kebijakan Presiden
Soekarno bahkan turut turun ke jalanan berdemosntrasi bersama mahasiswa
menumbangkan Orde Lama.
Dia adalah kakak kandung Soe Hok Gie yang meninggal
dunia sebagai tokoh pergerakan mahasiswa. Kendati turut menumbangkan Orde Lama
namun justru di masa Soeharto sepak terjang dan sikap kritisnya semakin
menjadi-jadi terlebih setelah berstatus dosen Program Studi Pembangunan di
UKSW, Salatiga. Pemerintahan yang diwariskan kepada B.J. Habibie pun tak luput
dari kekritisannya yang dia sebut tak lebih sebagai perpanjangan Orde Baru.
Bahkan hingga pemerintahan sudah jatuh ke tangan
koleganya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, suara kritisnya tetap nyaring
terdengar. Media massa pada suatu masa pernah ramai memuat kritiknya kepada Gus
Dur ketika menjelang di ujung tanduk kekuasaan. Arief ketika itu menyarankan
sebagai upaya untuk bisa bertahan Gus Dur jangan lebih banyak membuat musuh
melainkan harus berkoalisi.
Akhirnya dia merelakan diri dihujani kritik bahkan
makian tatkala kritik pedas terbarunya disampaikan tentang kepemimpinan Presiden
Megawati Soekarno Putri dan PDI Perjuangan yang dianggapnya sebagai partai yang
rusak dan kacau. Banyak simpatisan partai berlambang kepala banteng bulat dalam
lingkaran putih itu menyebutkan pakar sosiologi lulusan Harvard University itu
sebagai tidak nasionalis karena banyak bicara di luar dan mengkritik namun
memilih bermukim di luar negeri.
Dia lalu menjelaskan makna dan pengertian nasionalisme sesungguhnya yang menurutnya dalam praktek sangat rentan terhadap manipulasi. Jadi tentang nasionalisme harus dilihat siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan apa.
Dia lalu menjelaskan makna dan pengertian nasionalisme sesungguhnya yang menurutnya dalam praktek sangat rentan terhadap manipulasi. Jadi tentang nasionalisme harus dilihat siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan apa.
Namun secara teoritis kata Arief nasionalisme adalah
persatuan secara kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah yang sama,
bahasa yang sama, dan pengalaman bersama. Tetapi definisi seperti itu jarang
terjadi. Yang biasa terjadi adalah pemakaian pengertian nasionalisme secara
spesifik sehingga rentan terhadap manipulasi. Karena nasionalisme terkadang
dipakai untuk bermacam-macam hal maka pengertiannya harus pula dilihat kasus
per kasus.
Mengatasnamakan nasionalisme untuk dikaitkan dengan
amandemen dan penolakannya oleh sejumlah kalangan, misalnya, menurut Arief bisa
relevan tetapi bisa juga tidak. Disebutkan, diartikan seakan-akan nasionalisme
adalah negara kesatuan tetapi dalam negara kesatuan itu terdapat eksploitasi.
Terhadap Jakarta yang mengambil terlalu banyak oleh daerah yang tidak kebagian
meminta jatah dan tetap pula tidak dipedulikan yang berarti tidak ada
nasionalisme di situ. Oleh mereka yang memperjuangkan nasionalisme kemudian berpendapat,
“justru mungkin Republik Indonesia akan lebih dipersatukan bila menjadi negara
serikat atau federal state.”
Dicontohkan, negara Australia tempatnya bermukim
sekarang kuat sekali nasionalismenya sebab tiap negara bagian mempunyai
pemerintahan masing-masing seperti juga di Amerika Serikat. Jadi, menurutnya,
sama sekali tidak benar jika Republik Indonesia dipertahankan hanya kalau
berbentuk negara kesatuan. Karena masalah sebenarnya adalah kepentingan, apakah
kepentingan dari banyak orang terpelihara atau tidak. Dalam banyak kasus
ternyata kepentingan lebih banyak orang akan semakin terpelihara jika negara
berbentuk federal di mana kesatuan yang berpusat di Jakarta tidak diperlukan
lagi.
Penyederhanaan nasionalisme menjadi sebentuk negara
kesatuan adalah bermotif keinginan Jakarta mempertahankan hegemoni terhadap
daerah. Lalu, mereka yang seakan-akan mau bebas dan tidak mau tunduk kepada
Jakarta dianggap melawan nasionalisme. Padahal itu hanyalah pengatasnamaan
seakan-akan Jakarta adalah seluruh Republik Indonesia dan dimaksudkan untuk
mendapatkan untung bagi sebagian elit di Jakarta.
Amandemen Undang-undang Dasar 1945 dalam kacamata
Arief Budiman umumnya adalah memperbaiki yang lama. Seperti pemilihan presiden
langsung suatu hal yang baik masalahnya presiden hanya bisa dicalonkan oleh
partai sehingga beresiko menimbulkan oligarki. Harusnya ada juga peluang untuk
pencalonan presiden, gubernur, dan bupati secara independen. Adalah kemajuan
bahwa presiden dipilih oleh rakyat secara langsung tetapi buntutnya masih
dipegang oleh orang-orang yang punya vested interest dalam partai.
Kemajuan lain amandemen adalah dihapuskannya wakil
militer di parlemen sejak tahun 2004. Militer yang seharusnya profesional itu
jika ingin berpolitik maka berpolitiklah secara pribadi. Piagam Jakarta
terutama Pasal 29 UUD 1945 tentang agama dalam pengertian yang sesungguhnya
adalah tidak terjadi kemunduran karena yang dipertahankan adalah yang lama.
Arief menyimpilkan secara keseluruhan terjadi progresi dalam amandemen sehingga
bisa memberikan tambahan optimisme.
Dia menyebutkan pada dasarnya konstitusi harus selalu
diperbaharui dan yang berhak menentukan perubahan itu harus rakyat sendiri
misalnya melalui semacam referendum khusus untuk hal-hal yang kontroversial.
Konstitusi merupakan sesuatu yang dinamis dan mencerminkan kepentingan rakyat
pada kurun waktu tertentu. Kepentingan bisa berubah karena waktu dan tempat
juga berubah demikian pula lingkungan ikut berubah.
UUD 45 yang dibuat oleh para pendiri bangsa belum
tentu cocok untuk keadaan selanjutnya. UUD 45 dibuat masih dalam keadaan kacau
dan darurat sehingga sangat dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Demikian pula
soal hal asasi manusia belum dimasukkan karena sesungguhnya deklarasi HAM baru
keluar tahun 1948 sehingga baru masuk dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950
yang sudah tidak digunakan.
Arief menilai penolakan terhadap negara federal dahulu
terjadi pada zaman Republik Indonesia Serikat (RIS) sebab ide federal dipakai
oleh Belanda hanya sebagai alat pemecah-belah berbeda dengan jika sekarang yang
dibuat oleh bangsa sendiri Belanda-nya saja sudah tidak ada lagi. Tentang
federal, menurut Arief antara Megawati dengan militer setara punya mitos-mitos
yang tidak bisa ditawar tanpa penjelasan yang baik.
Arief Budiman berpendapat bahwa rumusan umum
nasionalisme adalah tatkala semua pihak mengutamakan kepentingan bangsa di atas
segalanya. Dalam definisi demikian apapun bisa masuk, semisal, jika negara
kesatuan adalah sesuatu yang penting untuk mengembangkan bangsa maka itu adalah
nasionalisme.
Demikian pula jika ada orang yang mengatakan bahwa
negara federal akan lebih baik bagi kepentingan meningkatkan kesejahteraan
semua sebagai bangsa maka itu juga nasionalisme. Seandainya harus berperang pun
dengan Australia jika itu berguna untuk memperbaiki bangsa adalah nasionalisme
juga. Tetapi jika semuanya tidak berguna maka menjadi tidak nasionalis.
Nasionalisme adalah tujuan yang bisa dicapai dengan bermacam cara termasuk
dalam hal amandemen konstitusi apakah perubahan itu baik bagi bangsa ini atau
tidak.
Posisi nasionalisme dalam kasus pengusiran TKI dari
negeri Malaysia, misalnya, menurut Arief Budiman kasusnya lebih banyak
disebabkan karena kesalahan diplomasi serta kesemrawutan Departemen Luar Negeri
dan pemerintah Indonesia mengurus warganya di luar negeri. Tanpa kata
nasionalisme pun adalah kewajiban membela warga negara yang pergi sebagai orang
miskin sebab tidak bisa hidup di negeri sendiri. Mestinya yang dipersoalkan
kenapa orang-orang TKI itu cari makan di luar negeri yang lalu secara
menyakitkan diusir oleh negara yang juga sama-sama mengalami kesulitan oleh
karena kedatangan TKI itu. Kepada TKI itu kenapa tidak bisa diberikan
pekerjaan.
Seiring dengan itu sebagai orang Salatiga Arief
Budiman ikut pula merasakan sentimentil sejenis milik para TKI yang ingin pulang
ke kampung halaman sebab merasa sudah capek berbicara bahasa Inggris
terus-menerus bahkan hingga bermimpi pun memakai bahasa Inggris. Bagi dia
Salatiga adalah tetap sebagai tanah air. Meskipun dia merasa bukan patriot
bahkan jika harus merasa bukan Indonesia sekalipun bagi dia pun bukan masalah
yang penting Salatiga adalah tetap sebagai tanah air.
Dia tetap ingin pulang ke Indonesia. Selain karena
teman-temannya ada di Indonesia dia kalau ngomong berbahasa Indonesia dia
rasakan lebih puas termasuk kalau ngomong lelucon atau ngomong jorok lebih
plong rasanya sebab emosi keluar semua. Semua itu telah membuat dia rindu
selalu terhadap Indonesia walau dia anggap itu bukanlah sebagai patriotisme
atau nasionalisme. Tetapi karena dilahirkan di Indonesia, kecil diIndonesia,
teman-temannya di Indonesia termasuk bahasa yang dia pakai ketika pertama kali
menyatakan emosi adalah bahasa Indonesia memberi dia alasan untuk rindu
Indonesia. Karenanya pada hari tua Arief Budiman akan lebih senang berada di
Indonesia. Dia mempersilakan kalau sikapnya itu bisa disebut sebagai
nasionalisme..
Perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia dilihat
oleh Arief Budiman sebagai sebuah pergerakan sejarah yang tetap memberi
harapan. Arief pernah mengalami hidup di zaman Soekarno demikian pula Soeharto
termasuk masa reformasi. Jika pada zaman Soeharto saja dia masih punya harapan
maka harapan itu menjadi lebih setelah sekarang Soeharto jatuh. Progresi yang
terjadi dia lihat banyak sekali sehingga memberi harapan yang lebih besar daripada
di masa Soeharto. Progresi yang terjadi itu misalnya pers yang bebas serta
demokrasi yang mulai ada meskipun masih kacau. Sekarang segala sesuatunya
menjadi lebih mungkin untuk terjadi hanya saja bangsa ini masih berada di
tengah-tengah masalah yang masih segudang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh
Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi.
Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The
Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838.
Di Indonesia sendiri, sebenarnya para raja dan
pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam
kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk
pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di
Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM .
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang
mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat
ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas
sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan
Politik UGM, UI dan UNPAD.
Banyak nama atau orang Indonesia yang menjadi ahli
atau sosiolog besar dalam perkembangan sosiologi di Indonesi. Diantaranya
adalah Prof. Dr. Selo Soemardjan, Prof Dr Paulus Wirutomo dan Arief Budiman
DAFTAR PUSTAKA
http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-1-sejarah-perkembangan-sosiologi.html
diakses tanggal 02 Februari 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Selo_Soemardjan diakses
tanggal 02 Februari 2010
http://learning-of.slametwidodo.com/2008/02/01/struktur-ketergantungan-dan-moda-produksi/#more-70
diakses tanggal 02 Februari 2010
http://organisasi.org/definisi-pengertian-sosiologi-objek-tujuan-pokok-bahasan-dan-bapak-ilmu-sosiologi
diakses tanggal 03 Februari 2010
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/p/paulus-wirutomo/index.shtml
diakses tanggal 03 Februari 2010
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/arief-budiman/index.shtml
diakses tanggal 03 Februari 2010
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan atas rahmat dan hidayah yang telah Allah berikan
kepada Saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu
yang telah diberikan untuk menyelesaikan makalah ini.
Makalah
ini berisi tentang Perkembangan Sejarah Sosiologi di Indonesia dan Eropa Dan
harapan saya semoga makalah ini dapat membantu. mahasiswa dalam proses
pembelajaran.
Saya menyadari bahwa isi makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu
keritik dan saran dari saudara atau saudari sangat saya harapkan untuk
kesempurnaan makalah pada kemudian hari.
Raha, 4 September
2014
Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar