1. Maria Walanda Maramis (1872-1924)
Lahir di Kema, pada tanggal 1 Desember 1872. Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dimana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries Maramis terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.
Maria Walanda Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. ia kemudian diasuh oleh pamannya.
pada tahun 1917, tepatnya tanggal 8 juli M.W. Maramis bersama beberapa temannya mendirikan organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT). Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.
Organisasi PIKAT akhirnya berkembang pesat hingga ke pulau jawa, seperti di batavia, bandung, bogor, cimahi, magelang dan surabaya.
Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924.
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.
2. Dr.G.S.S.J.Ratulangi (1890-1949)
Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi adalah nama lengkapnya, lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi. lahir di Tondano 5 november 1890. Sam Ratulangi adalah anak dari Jozias Ratulangi. Pada tahun 1907, dia pergi ke Batavia untuk melanjutkan sekolah di Koningin Wilhelmina School. Setelah tamat, Sam Ratulangi melanjutkan ke Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda. Di sana, dia dipercaya menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda tahun 1914. Lima tahun kemudian, dia memperoleh gelar doktor di bidang Matematika dan Fisika.
Sejak masih mahasiswa di Negri Belanda, ia sudah menginginkan persatuan mahasiswa Indonesia. Dengan persatuan, para mahasiswa diharapkan dapat memenuhi kewajiban di Indonesia, kewajiban terhadap tanah air dengan mempertinggi derajat bangsa.
Tahun 1924 ia menetap di Manado dan
bekerja sebagai Sekertaris Minahasa Raad. Melalui Raad ia berhasil mendesak
pemerintah sehingga menghapuskan kewajiban rodi.
Tahun 1913 ia mensponsori pembentukan
Persatuan Kaum Sarjana Indonesia. Organisasi ini menghimpun sarjana Indonesia
dan menanamkan rasa kebangsaan dan kesadaran bahwa pergerakan rakyat memerlukan
pimpinan kaum terpelajar.
Tahun 1928 dan 1941 ia menulis buku "Indonesia in den Pasifiek"
(Indonesia di Pasifik). Bersama H.M.Thamrin dan Sutarjo Kartohadikusumo, ia
menulis buku "De Pasiefiek", buku yang berisi tentang uraian
negara-negara yang terletak di sekitar Lautan Pasifik. Antara tahun 1938-1942
ia menerbitkan dan memimpin majalah politik Nasionale Commenttaren. melalui
majalah tersebutlah Sam Ratulangi membahas masalah-masalah politik dalam negeri
dan luar negri dengan berpedoman kepada kepentingan rakyat Indonesia.
Setelah Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan, Sam Ratulangi diangkat Gubernur Sulawesi berkedudukan di
Makasar.Sam Ratulangi dikenal dengan kalimat "Si tou timou tumou tou"
yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat
memanusiakan manusia.
Sam Ratulangi meninggal dunia di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 1949.
3. Laksamana Muda TNI Jahja Daniel Dharma (John
Lie) (1911- 1988)
Adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tiongho yang lebih dikenal dengan nama John Lie. lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio pada tanggal 9 Maret 1911 di Manado, Sulawesi Utara
Pada usia 17 tahun, John meninggalkan tanah kelahirannya menuju Batavia dan kemudian menjadi buruh di pelabuhan Tanjung Priok. Dia bekerja sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM lalu tak berapa lama kemudian dia bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI. Semula John diperintahkan untuk bertugas di Cilacap dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan dia menorehkan prestasi dengan berhasil membersihkan semua ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Dia lalu ditugaskan untuk mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia yang diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis.
Di awal tahun 1947, John pernah bertugas mengawal kapal yang membawa 800 ton karet untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, dia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain yang telah berhasil dibawa ke Singapura dibarter dengan senjata yang nantinya akan diserahkan kepada pejabat Republik Indonesia di Sumatera sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan. Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat yang dia namakan the Outlaw. Bersama kapal ini, John selalu berhasil menembus barikade Belanda yang peralatan tempurnya jauh lebih hebat dari pada milik Angkatan Laut Indonesia. Berkali-kali dia juga berhasil mengelabui Belanda. Berulang kali John selamat dari kejaran kapal-kapal musuh.
Pada awal 1950 ketika berada di Bangkok, John dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut dia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku. John mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. John meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, pada 10 Nopember 1995 John dianugerahi Bintang Mahaputera Utama yakni Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Soeharto dan pada 9 November 2009 John dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
4. Arie Frederik Lasut (1918-1949)
Arie Frederik Lasut lahir di desa Kapataran, Minahasa, Sulawesi Utara, 6 Juli 1918, sebagai putra tertua dari 8 bersaudara, anak pasangan Darius Lasut dan Ingkan Supit. Dia adalah tokoh perintis dalam ilmu pertambangan dan geologi di Indonesia pada masa perang kemerdekaan. A. F. Lasut mulai mendalami ilmu geologi saat dia mengikuti Asistent Geologen Cursus di Bandung yang diselenggarakan oleh Dienst van den Mijnbouw pada tahun ajaran 1939-1941. Kursus Asisten Geologi tersebut adalah kursus dengan angkatan pertama yang diselenggarakan menjelang meletusnya Perang Dunia II pada tahun 1939-1945
Kemampuannya sebagai geologiwan dalam kariernya telah ditunjukkan dari laporan-laporannya yang berturut-turut tahun 1941, 1943, 1944 dan 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945, A.F. Lasut bersama dengan R. Sunu Somosoesastro dan rekan-rekan sejawat lainnya berjuang untuk mengambilalih kantor Sangyobu Chishitsuchosacho yang kala itu dikuasai oleh Jepang.
Seiring dengan berjalannya perang, Lasut dan rekannya kemudian mendirikan pusat Djawatan Tambang dan Geologi dengan kantor yang sama. Pengelolaan Pusat Djawatan yang semula dipimpin oleh R. Ali Tirtosoewirjo dan kemudian oleh digantikan oleh R. Sunu Soemosoesastro. A.F. Lasut sendiri menjadi salah satu dari 7 orang anggota Dewan Pimpinan dan merangkap sebagai Kepala Laboratorium.
Karena kepintarannya dalam hal ilmu pertambangan dan geologi, Lasut menjadi incaran bangsa Belanda. Lasut tetap bersikeras untuk menolak bekerjasama dengan Belanda hingga akhir hayatnya. Ketika berusia 30 tahun, Lasut diculik dari rumahnya dan ditembak mati oleh Belanda pada 7 Mei 1949 di daerah Pakem (sekitar 7 kilometer di utara Yogyakarta). Jenazah Lasut kemudian dimakamkan di Kintelan Yogyakarta, di sebelah makam isterinya, Nieke Maramis, yang telah lebih dulu meninggal pada Desember 1947. Atas jasa-jasanya, A.F. Lasut kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969 tanggal 20 Mei 1969.
5. Robert Wolter Monginsidi (1925-1949)
lahir di Malalayang, 14 Februari 1925, adalah anak dari Petrus Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931di Sekolah dasar yang diikuti sekolah menengah di Frater Don Bosco Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. sebelum akhirnya ke Makassar.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar. Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Monginsidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.Pada tanggal 17 Juli 1946. Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya melecehkan dan menyarang posisi Belanda. Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947 tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947. Belanda menangkapnya kembali dan kali ini menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949. Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
Robert Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar