do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Kamis, 18 Februari 2016

MAKALAH LINGKUNGAN



BAB I
PENDAHULUAN


A.           Latar Belakang Masalah
Ilmu Linguistik sampai saat ini masih dianggap sulit oleh sebagian besar manusia. Padahal Ilmu Linguistik bersifat umum yang hanya mengkaji sebuah bahasa saja, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Ilmu Linguistik umum merupakan media komunikasi penting yang bersifat komunikatif.
Banyak yang beranggapan bahwa Ilmu Linguistik itu sulit dan perlu segera ditepis. Masalahnya sekarang, sampai saat ini panduan Ilmu Linguistik umum yang benar-benar dan detai masih sangat sulit untuk ditemukan. Padahal buku jenis Ilmu Linguistik akan sangat membantu para penulis pemula untuk mulai mengasah kemampuan.
Problematika diatas perlu segera dipecahkan, salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah menyajikan makalah tentang ke Ilmuan Linguistik Umum.. Secara umum makalah ini dapat dikategorikan kedalam bagian besar yakni pembahasan objek keilmuan Linguistik dan sejarah berkembangnya Linguistik.

B.            Rumusan Masalah
Beberapa hal yang kami bahas dalam makalah ini, yakni:
1.        Apa pengertian Linguistik?
2.        Bagaimana proses perkembangan ilmu Linguistik?
3.        Apa saja yang termasuk objek kajian Linguistik?

C.           Tujuan Pembuatan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian linguistik dari berbagai ahli atau sumber yang berbeda;
2.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan linguistik hingga saat ini; dan
3.      Untuk mengetahui beberapa objek kajian linguistik.




BAB II
PEMBAHASAN


A.           Pengertian ilmu linguistik
Kata linguistic berasal dari bahasa latin lingua yang artinya bahasa. Menurut Kridalaksana (1993) dalam kamusnya kamus linuistik, kata linguistic di definisikan sebagai ilmu tentang bahasa atau penyelidikan bahasa secara ilmiah. Definisi yang sama di kemukakan oleh Tarigan (1986), yaitu seperangkat ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan jalan penerapan metode ilmiah terhadap fenomena bahasa. Sebagai penyelidikan bahasa secara ilmiah, linguistik tidak membedakan antara bahasa yang satu dengan yang lainnya (hasanan, 1984).
Dalam BA, linguistik disebut ilmu lughah. Pada mulanya kata ilmu lughah tidak digunakan dengan makna linguistic atau kajian bahasa. Kata ilmu lughah pertama kali digunakan oleh Ibnu Khaldun dalam karyanya “Al-Muqoddimah” dan dimaksudkan sebagai ilmu ma’ajim atau lecikology. Berikutnya kata ilmu lughah digunakan oleh Assuyuti dalam judul bukunya “Al-Mazhar Fi ulumi-l Lughah wa Anwa’uha”. Assuyuti pun menggunakan dengan makna lexicology. (dalam Hasanin,1984).[1]
Secara  populer orang asing menyatakan bahwa linguistic adalah ilmu tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya; atau lebih tepat lagi, sepeti dikatakan Martiner (1987:19), telaah ilmiah mengenai bahasa manusia.[2]
Kata linguistik  berpadanan dengan linguistic dalam bahasa inggris, linguistique dalam bahasa Prancis, dan linguistiek dalam bahasa belanda) diturunkan dalam bahasa latin lingua yang berarti ‘ bahasa’.
Prancis mempunyai dua istilah, yaitu langue dan langage dengan makna yang berbeda. Langue berarti suatu bahasa tertentu, seperti bahasa inggris, bahasa jawa, atau bahasa prancis. Sedangkan langage beararti bahasa secara umum, dan parole  adalah bahasa dalam wujudnya yang nyata , yang konkret, yaitu yang berupa ujaran.
B.            Sejarah Perkembangan Ilmu Linguistik/Ilmu Bahasa
Sejarah perkembangan ilmu bahasa pada dasarnya dapat dikatakan bermula dari dua dunia, yakni dunia barat dan dunia timur. Secara kebetulan bermulanya sejarah bahasa di dunia barat dan dunia timur hampir bersamaan masanya, yaitu disekitar abad IV sebelum masehi. Sejarah perkembangan ilmu bahasa di dunia barat tersebut di awali dari yunani kuno, sedangkan sejarah perkembangan bahasa di dunia timur di awali dari india.
1.             Perkembangan Ilmu Bahasa Didunia Barat
Sejarah perkembangan ilmu bahasa di dunia barat dimulai sejak dua puluh empat abad yang lalu, yaitu abad IV sebelum masehi oleh Plato yang membagi jenis kata bahasa yunani kuno dalam kerangka telaah filsafatnya. Dalam kerangka telaah filsafatnya Plato membagi jenis kata bahasa yunani kuno menjadi dua golongan yakni onom  dan rhema. Onoma adalah jenis kata yang biasanya menjadi pangkal pernyataan dan pembicaraan, dalam kata lain onoma pun disebut sebagai pernyataan pertama atau kurang lebihnya itu disejajarkan dengan kata benda. Sedangkan rhema adalah jenis kata yang biasanya dipakai untuk mengungkapkan pernyataan atau pembicaraan, dalam kata lain rhema merupakan pernyataan kedua dan dapat dijajarkan dengan kata kerja atau sifat.[3]
Pola pikir tersebut kemudian dikembangkan oleh Aristoteles (384 SM-322 SM). Dimana Aristoteles membagi jenis kata bahasa yunani kuno menjadi tiga golongan, yakni onoma, rhema, syndesmos. Dua jenis kata sama dengan pokok pikiran gurunya, sedangkan yang satunya lagi sebagai buah pikirannya sendiri sebagai usaha melengkapi pembagiannya itu.
Kriteria pembagian jenis kata yang dipergunakan oleh Aristoteles tidak lagi semata-mata filosofis melainkan lebih kepada pemikiran linguistik. Onoma sekarang ditafsirkan sebagai jenis atau golongan kata yang mengalami perubahan bentuk secara deklinatif, yaitu perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin, jumlah dan kasus. Rhema diartikan  sebagai golongan kata yang mengalami perubahan bentuk secara konjugatif, yaitu perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perbedaan personal, jumlah, dan kala (tenses).
Pada akhir abad kedua masehi (130 SM) oleh Dyonisius Thrax dimana pada saat ini sangat menjadi anutan para ahli tata bahasa, beliau menjadikan jenis kata bahasa mencapai delapan, yakni:

a.         Nomina
b.        Pronominal
c.         Artikel
d.        Verba
e.         Adverbial
f.         Preposisi
g.        Partisipium
h.        Konjugasi


Dimana yang sebelumnya pembagian ini melakukan oleh Zeno.[4]
jenis kata menjadi empat, yakni:
a.         Nomina
b.        Verba
c.         Artikel
d.        Konjugasi
Pada abad ke-IV dan V,  gramatisi yang terkenal pada saat itu adalah Donatius dan Priscianus. Karangan kedua gramatis ini sangat terkenal dan besar sekali pengaruhnya diseluruh eropa. Pembagian jenis kata pada saat itu menjadi tujuh, yaitu:

a.       Nomina
b.      Pronominal
c.       Verba
d.      Adverbial
e.       Preposisi
f.       Partisipium
g.      konjugasi/konjungsi

Pada abad pertengahan orang-orang eropa berlomba-lomba mempelajari bhasa latin. status bahasa latin pada saat itu memang sangat tinggi hingga bahasa-bahasa lain yang termasuk bahasa-bahasa mereka asli mereka sendiri dianggap sebagai bahasa vulgar. Setelah abad XVI barulah muncul kesadaran untuk mempelajari bahasa mereka sendiri. Pembagian jenis kata pada abad pertengahan dilakukan oleh modistae. Ia membagi jenis kata menjadi delapan, yaitu:

a.         nomina
b.        pronominal
c.         partisipium
d.        verba
e.         adverbial
f.         preposisi
g.        partisipium


Dan pembagian jenis kata ini di negeri belanda menjadi sepuluh, yaitu: :
a.      Nomina
b.      Verba
c.       Pronomina
d.      Adverbia
e.       Adjektiva
f.       Numeralia
g.      Preposisi
h.      Konjungsi
i.        Interjeksi
j.        Artikel.
Tradisi inilah yang kemudian dikutip oleh para ahli tatabahasa tradisional di Indonesia.[5]
Di Indonesia ada tradisi lain di dalam hal pembagianjenis kata ini, yaitu pembagian jenis kata atas 3 golongan, yakni: (1) isim, (2) fi’il, (3) harf. Pemabagian semacam ini dilakukan oleh Sultan Muhammad Zain. Dia terpengaruh oleh ahli tata bahasa melayu Raja Alihaji. Raja Alihaji sendiri pada dasarnya terpengaruh oleh tradisi Arab, yakni dari seorang ahli tata bahasa Arab yang bernama Sibawaihi. Sibawaihi sendiri meneruskan poko pikiran gurunya yaitu Addu’ali.
Awal abad XX fajar mulai merekah, paham baru mulai muncul . munculnya karangan Ferdinand de Saussure yang berjudul “Cours de Linguistique generale” (1916) merupakan angin segar bagi perkembangan ilmu bahasa modern. Bahkan secara ekstem orang mengatakan buku tersebut merupakan revolusi di dalam sejarah perkembangan ilmu bahasa. Konsepnya tentang signifiant dan signifie merupakan kunci utama untuk memahami hakikat bahasa. Konsep lain yang ditampilkan antara lain parole, langue dan  langage;  representasi grafis, serta deretan sintakmatik dan pradigmatik. Pandangan de Saussure ini kemudian berkembang menjadi suatu aliran dengan nama aliran Strukturalisme. Dibawah panji-panji strukturalisme ini linguistic modern berkembang dengan pesatnya hingga sekarang. Walaupun sekarang ini bermunculan beraneka macam aliran linguistic seperti transformasionalisme, tagmemik, case grammer, dll.
Pembagian jenis kata pada zaman strukturalisme tidak lagi menggunakan criteria filosofis. Melainkan criteria structural yang meliputi struktur morpologis, faseologis, klausal. Berdasarkan criteria itu Moeliono (dalam kridlaksana, 1986:19) membagi jenis kata Indonesia menjadi tiga, yakni:
a.       Nominal
b.      Verbal
c.       Partikel
Apabila kita ini kita bandingkan dengan tradisi Arab dan Yunani terdapat kesejajaran sebagai berikut:[6]
Aristoteles :                       Arab :                          strukturalisme :
(1)   Onoma                                    (1) isim                        (1) nominal
(2)   rhema                          (2) fi’il                         (2) verbal
(3)   syndesmos                    (3) harf                        (3) partikel      

2.      Perkembangan Ilmu Bahasa Di Dunia Timur
Sejarah perkembangan ilmu bahasa didunia timur dimulai dari india kurang lebih empat abad sebelum masehi, jadi hampir bersamaan dengan dimulainya sejarah ilmu bahasa didunia barat (tradisi Yunani). Perkembangan bahasa di dunia timur ini ditandai dengan munculnya karya Panini yang berjudul “vyakarana” .[7] buku tersebut buku tata bahasa sansekerta yang sangat mengagumkan dunia pada zaman yang sedini itu telah dapat mendeskripsikan bahasa sansekerta secara lengkap dan dan sangat seksama, teristimewa dalam bidang fonologinya. Sayangnya buku tersebut teramat sulit dipahami oleh orang awam. Hal itulah yang menyebabkan seorang muridnya yang bernama Patanjali terpaksa harus menyusun tafsir atau penjelasannya yang diberi judul “mahabhasa”.
Karya Panini itu pada dasarnya disusun semata-mata berdasarkan dorongan atau motivasi religious. Para brahmana dan brahmacarin dalam mengajarkan pemahaman dan pengalaman isi kitab Veda kepada para pengikutnya tidak dilakukan secara tertulis, melainkan secara lisan. Hal tersebut dilakukan agar hal pengucapannya benar-benar mendapat perhatian. Pengucapan yang salah tidak hanya menyebabkan mantranya tidak terkabul, akan tetapi justru akan mendatangkan malapetaka. Demikianlah anggapan mereka. Dengan anggapan semacam itu mengakibatkan mereka sangat cermat dan berhati-hati di dalam pengucapan. Untuk keperluan itu maka pengucapan atau sistem fonologi bahasa sansekerta dipelajari dengan tekun. Hasilnya memang sangat mengagumkan. Huruf Devanagari yang dipakai untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa sansekerta sedemikian lengkapnya. Setiap bunyi diupayakan untuk dilambangkan dengan cara khas. Di seluruh dunia tidak ada bahasa yang secermat ini sistem bunyi dan sistem tulisnya. Banyak ahli bahasa barat yang kagum dan terperanjat setelah mengetahui bahwa tata bahasa sansekerta pada zaman yang sedini itu sudah memiliki deskrifsi bahasa yang tidak ubahnya dengan deskripsi ahli bahsa structural di barat pada awal abad dua puluh, atau katakanalah akhir abad Sembilan belas. Bahkan banyak yang menilai bahwa deskripsi linguistic panini ini merupakan deskripsi structural yang paling cermat dan paling murni. Dengan demikian seandainya kita bandingkan antara barat dan timur dengan mengambil tharikh yang sama, maka dapat dikatakan bahwa ilmu bahsa di dunia barat tertinggal dua puluh tiga abad dari dunia timur. Sayangnya puncak strukturalisme pada saat itu terputus sama sekali dan tidak ada kelanjutannya barang sedikit pun. Hal tersebut dapat kita pahami karena motivasinya bukanlah motivasi yang sifatnya linguistic melainkan motivasi religius. [8]
C. Objek Linguistik Bahasa
1.             Pengertian Bahasa
Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna atau pengertian, sehingga sering kali membingungkan. Untuk jelasnya, coba perhatikan pemakaian kata bahasa dalam kalimat berikut!
1)      Dika belajar bahasa  inggris, nila belajar bahasa  jepang.
2)      Manusia mempunyai bahasa, sedangkan binatang tidak.
3)      Hati-hati bergaul dengan anak yang tidak tahu bahasa itu.
4)      Dalam kasus itu ternyata lurah dan camat tidak mempunyai bahasa  yang sama.
5)      Katakanalah dengan bahasa bunga!
6)      Pertikaian itu tidak bisa diselesaikan dengan bahasa  militer.
7)      Kalau dia memberi kuliah bahasanya  penuh dengan kata dari pada dan akhiran ken.
8)      Kabarnya, nabi sulaiman mengerti bahasa  semut.[9]
Kata bahasa  pada kalimat  pertama,  jelas menunjukan pada bahasa tertentu. Jadi, menurut peristilahan de Saussure adalah sebuah langue. Pada kalimat ke-2, kata bahasa  menunjuk bahasa pada umumnya; jadi, suatu langage. Pada kalimat ke-3 kata bahasa  berarti  ‘sopan santun’; pada kalimat ke-4 kata bahasa  berarti  ‘kebijakan dalam bertindak ‘;  pada kalimat ke-5 kata bahasa  berarti  ‘maksud-maksud dengan bunga sebagai lambang ‘;  pada kalimat ke-6 kata bahasa  berarti  ‘dengan cara ‘; dan  pada kalimat ke-7 kata bahasa  berarti  ‘ujarannya‘;  pada kalimat ke-8 kata bahasa  bersifat  hipotetis.
Dari keterangan  diatas bisa disimpulkan hanya pada kalimat (1), (2), dan (7) saja kata bahasa itu digunakan secara harfiah, sedangkan pada kalimat lain digunakan pada secara kias. Bahasa sebagai objek linguistic adalah seperti yang digunakan pada kalimat (1) , kalimat (2), dan kalimat (7). Pada kalimat (1) bahasa sebagai langue,  pada kalimat (2) bahasa sebagai  langage,  dan pada kalimat (7) bahasa sebagai parole.
Sebagai objek linguistik, parole merupakan objek konkret karena parole itu berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat bahasa. Langue  merupakan objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem bahasa secara universal. Yang dikaji linguistik secara langsung adalah parole itu, karena parole itu yang berwujud konkret, yang nyata, yang dapat diamati, atau diobservasi. Kajian terhadap parole dilakukan untuk mendapatkan kaidah-kaidah suatu langue ; dan dari kajian terhadap langue  ini akan diperoleh kaidah-kaidah suatu langage; kaidah bahasa secara universal.[10]
Dalam pendidikan formal disekolah menengah, kalau ditanyakan apakah bahasa itu, biasanya akan dijawab, “Bahasa adalah alat komunikasi”. Jawaban ini tidak salah, tetapi juga tidak benar, sebab jawaban itu hanya menyatakan “Bahasa adalah alat”. Jadi, fungsi dari bahasa itu yang dijelaskan, bukan “sosok” bahasa itu sendiri. Memang benar. Fungsi bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, tetapi pertanyaan yang diatas bukan “Apakah fungsi bahasa?”, melainkan “Apakah bahasa itu?”. Maka jawabannya haruslah berkenaan dengan “sosok” bahasa itu. Bukan tentang fungsinya. Jawaban,  bahwa “Bahasa adalah alat komunikasi”, untuk pertanyaan apakah bahasa itu ?” memang wajar terjadi karena bahasa itu adalah fenomena social yang banyak seginya. Sedangkan segi fungsinya tampaknya merupakan segi yang paling menonjol diantara segi-segi yang lainnya. Karena itu tidak mengherankan kalu banyak juga pakar yang membuat definisi tentang bahasa dengan pertama-tama menonjolkan segi fungsinya itu, seperti Sapir (1221:8). Badudu (1989:3), dan Keraf (1984:16). Jawaban terhadap pertanyaan “apakah bahasa itu?” yang tidak menonjolkan fungsi tetapi menonjolkan “sosok” bahasa itu adalah seperti yang dikemukakan Kridalaksan (1983, dan juga dalam Djoko Kentjono 1982): “Bahasa adalah system lambing bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok social untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri”. Definisi ini sejalan dengan definisi dari Berber (1964:21), Wardhaugh (1977:3) Trager (1949:18), de Saussure (1966:16), dan Bolinger (1975:15).

2.             Karakteristik bahasa
Ibnu Jinni (392 H) telah mendefinisikan bahasa dengan pernyataannya: Bahasa adalah bunyi-bunyi yang dipakai oleh setiap kaum untuk menyatakan tuiuannya. Definsi ini mengandung unsur-unsur pokok definisi bahasa dan sesuai dengan banyak definsi modern tentang bahasa. Ia menjelaskan karakteristik bunyi bahasa dan menegaskan bahwa bahasa adalah bunyi.[11] Dengan ini ia menghindari kesalahan umum yang menganggap bahwa bahasa dalam substansinya merupakan fenomena tulis. Juga, definisi Ibnu Jinni menjelaskan bahwa bahasa memiliki fungsi sosial yang ekspresif dan memiliki kerangka sosial. Oleh karena itu, bahasa berbeda karena perbedaan kelompok manusia. Dengan demikian definisi bahasa menurut Ibnu Jinni menjelaskan karakteristik bahasa dari satu aspek dan fungsinya dari aspek lain. Terlebih dahulu definisi-definisi modern tentang bahasa menjelaskan bahwa bahasa adalah sistem lambang. Ini berarti bahwa bahasa terdiri dari seperangkat lambang yang membentuk sistem terpadu.
Bahasa adalah sistem bahasa yang paling kompleks. Isyarat lalu lintas adalah lambing cahaya, tetapi ia spesifik dan sederhana. Isyarat cahaya yang keluar dari kapal-kapal, para panglima pasukan, pandu, dan klub-klub olahraga merupakan lambang juga. Adapun teriakan-teriakan yang dilepaskan oleh hewan dengan berbagai jenisnya, terutama burung-burung, itu juga spesifik dan sederhana. Akan tetapi hanya manusia yang mampu berinteraksi dengan bahasa yang berdasar pada sejumlah lambang yang spesifik, tetapi ia membentuk sistem yang kompleks. Maka bunyi-bunyi yang keluar dari alat-alat ucap pada manusia relatif terbatas. Oleh karena itu banyak bahasa yang berkoleksi dalam banyak bunyi. Kebanyakan bahasa manusia memanfaatkan sejumlah bunyi yang kurang dari 40 bunyi. Akan tetapi bunyi-bunyi yang spsesifik ini menjadikan banyak susunan sehingga membentuk ribuan kata dalam satu bahasa. Kata-kata ini menjadikan beberapa susunan yang dikenal di lingkungan bahasa, lalu membentuk jutaan kalimat. Dengan demikian kata-kata ini dapat mengungkapkan peradaban manusia dan pikiran manusia. Oleh karena itu, sistem komunikasi bahasa manusia berbeda dengan system komunikasi yang ada pada hewan. Bahasa manusia merupakan system lambang yang kompleks.[12]
Lambang bahasa tidak mengandung nilai subjektif yang karakteristiknya menghubungkannya dengan maknanya dalam kenyataan luar. Maka tidak ada hubungan antara kata hishan (kuda) dan komponen-komponen tubuh hishan. Hubungannya tersebunyi saja pada kelompok manusia yang mengistilahkan nama bagi hewan itu atas dasar pemakaian kata ini. Ini berarti bahwa nilai lambang-lambang bahasa ini berdasar pada konvensi, yaitu berdasar pada kesepakatan yang ada di antara pihak-pihak yang menggunakannya dalam interaksi. Oleh karena itu, lambang bahasa merupakan sarana komunikasi dalam kerangka kelompok bahasa yang sama. Proses ujaran berdasar pada adanya penutur dan penerima dan di antara keduanya ada sarana komunikasi. Ini berarti bahwa penutur dan penerima bersepakat dalam pemakaian lambang-lambang bahasa ini yang kompleks dengan nilai-nilainya yang konvensional. Dengan kata lain, ada kesepakatan dalam menerjemahkan lambang-lambang ini dalam akal Sifat dan fungsi bahasa sampai pada makna-maknanya yang dimaksud oleh penutur atau penulis, lalu lambang-lambang itu dipahami oleh pendenqar atau pembaca.
3.             Sifat dan Fungsi Bahasa
Bahasa bersifat arbiter, yang dimaksud dengan arbiter adalah sifat bahasa yang manasuka, artinya bahasa tidak ada hubungannya dengan suatu keharusan atau kewajiban antara satuan-satuan bahasa dengan yang dilambangkannya. Misalnya, kita tidak bisa memaksa mengenai nama suatu benda, bahkan kita tidak bisa menjawab mengapa benda itu dinamai pohon, sedangkan oleh kelompok lain disebut wit, atau syajar, atau arbre. Begitu pula dengan nama benda yang lain, mungkin terdapat kelompok sosial yang memiliki sebutan masing-masing. Akan tetapi ada pula unsur bahasa lain yang tidak terlalu bersifat arbitrer, yaitu yang disebut onomatopea. Misalnya: kokok ayam, desir, gemercik, geram, gemerincing, dan sebagainya yang masih mempunyai kesamaan faktual dengan apa apa yang dilambangkannya. Unsur bahasa yang bersifat ikonis semacam ini jumlahnya terbatas.
Bahasa bersifat produktif, artinya bahasa merupakan sistem dari unsur-unsur yang jumlahnya terbatas. Akan tetapi, pemakainnya tidaklah terbatas. Misalnya, bahasaIndonesia mempunyai fonem kurang dari 30, tetapi mempunyai kata lebih dari 30 000 yang mengandung fonem-fonem itu masih mungkin diciptakan oleh kata-kata baru. Dari sudut pertuturan, bahasa Indonesia hanya mempunyai lima tipe kalimat, yakni kalimat pernyataan, pertanyaan, perintah, keinginan, dan seruan. Akan tetapi dengan kelima tipe kalimat itu kita dapat menyusun kalimat-kalimat bahasa Indonesia sampai ribuan bahkan mungkin jutaan. Ini membuktikan bahwa pemakain bahasa tidakla terbatas.
Bahasa bersifat unik. Artinya setiap bahasa mempunyai sisitem yang has yang tidak harus ada dalam bahasa lain. Contoh: bahasa Inggris memiliki sistem yang berbeda dengan sistem bahasa Indonesia. Misalnya dalam bahasa Inggris, kita mengenal bentuk yang menunjukan perbedaan waktu, sedangkan dalam bahasa Indonesia hal itu tidak ada.
Bahasa itu Universal, artinya semua bahasa memiliki kesamaan secara umum yaitu bahasa itu ujaran manusia, memiliki struktur, konvensional, digunakan sebagai alat komunikasi oleh manusia dan potensinya dibawa sejak lahir (innatruss potential).
Sebaliknya, ada pula sifat-sifat suatu bahasa yang dimiliki oleh bahasa lain, sehingga sifat itu ada yang universal dan ada pula yang hampir universal. Contoh: konfiks kean dalam bahasa Indonesia hanya dapat bergabung dengan sebanyak-banyaknya dua morfem, seperti kata tidak pasti, kurang ajar, menjadi ketidakpastian dan keurangajaran. Ini sifat yang unik yang dimiliki oleh bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia memiliki sifat yang universal, misalnya dalam bahasa Indonesia setiap kata sifat (ajektif) pada umumnya mengikuti nominal, seperti baju bagus, rumah mewah, jalan besar. Sifat-sifat itu ternyata tidak hanya dimiliki oelh bahasa Indonesia tetapi dimilki pula oleh bahasa lain, seperti bahasa Perancis, bahasa wels di Inggris, bahasa Tonkawa di Amerika, bahasa Swahili di Afrika dan sebaginya.
Bahasa dipakai oleh kelompok manusia untuk bekerja sama dan berkomunikasi, dan karena kelompok itu banyak ragamnya sehingga mereka berinteraksi dengan berbagai lapangan kehidupan yang beraneka ragam pula keperluannya. Dengan demikian tidak heran bila bahasa memiliki berbagai variasi. Tiap manusia mempunyai kepribadian tersendiri, setiap orang sadar atau tidak menggunakan ciri khas pribadinya dalam bahasanya, sehingga bahasa setiap orang pun mempunyai ciri khas yang sama sekali tidak sama dengan bahasa orang lain. Kita katakan tiap orang mempunyai idiolek. Ferdinand de Sausure (1857-1913), bapa Linguistik Modern, membedakan system bahasa yang ada dalam akal budi pemakai bahasa dalam kelompok sosial, yang disebut langue, dan manisfetasi serta realisasi fonis dan psikologis yang nyata dalam tiap pemakai bahasa yang disebut parole.
Dengan bahasa, suatu kelompok mengidentifikasikan dirinya. Diantara semua cirri budaya, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol, karena dengan tiap kelompok sosial merasa diri sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok lain. Untuk kelompok-kelompok sosial tertentu bahasa dipergunakan sebagai lambing identitas sosial lebih daripada bahasa sebagai sistem lambang/tanda. Contoh, kita sebut bahasa Cina sebenarnya adalah lambang sosial yang ditandai oleh suatu system tulisan yang mengikat jutaan manusia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan berbagai bahasa yang cukup jauh perbedaannya. Dengan demikian, bahasa adalah lambang sosial hanyalah mengukuhkan yang telah lama. Orang Melayu mengatakan dalam pepatahnya ” Bahasa menunjukan Bangsa”.


BAB III
PENUTUP

A.           Simpulan
a.      Pengertian Linguistik
Kata linguistic berasal dari bahasa latin lingua yang artinya bahasa. Secara  populer orang asing menyatakan bahwa linguistic adalah ilmu tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya.

b.      Sejarah Perkembangan
1)        Perkembangan Linguistik di Dunia Barat
berawal pada abad ke IV SM oleh plato yang yang membagi jenis kata yunani menjadi 2, yaitu onom & rhema.
Pola pikir tersebut kemudian dikembangkan oleh Aristoteles (384 SM-322 SM) yang membagi jenis kata bahasa yunani kuno menjadi tiga golongan, yakni : onoma, rhema, dan syndesmos.
Pada  tahun 130 SM oleh Dyonisius Thrax menjadikan jenis kata bahasa mencapai delapan, yakni: Nomina, Pronominal, Artikel, Verba, Adverbial, Preposisi, Partisipium, dan Konjugasi. sebelumnya Zeno membaginya menjadi empat, yakni:[13] Nomina, Verba, Artikel, dan Konjugasi.
Pada abad ke-IV dan V,  Donatius dan Priscianus membagi jenis kata menjadi tujuh, yaitu: Nomina, Pronominal, Verba, Adverbial, Preposisi, Parrtisipium, dan  konjugasi.
Setelah abad XVI, Modistae membagi jenis kata menjadi delapan, yaitu: nomina, pronominal, partisipium, verba, adverbial,  preposisi, partisipium, konjungasio, dan interjeksi.








DAFTAR FUSTAKA


Alwi, Hasan, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai   Pustaka Asori imam, 2004. Sintaksis Bahasa Arab. Malang : Misykat.
Soeparno, 2002. Dasar-Dasar linguistic umum. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Chaer abdul, 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Hijazi Mahmud Fahmi, 2008. Pengantar Linguistik. Bandung : PSIBA Press.























KATA PENGANTAR


          Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena dengan izin dan ridho-Nya makalah ini dapat kami rampungkan. Sholawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kedamaian dan rahmat bagi semesta alam.
          Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok yang berjudul “Pengertian Linguistik, Perkembangan, Dan Objek Kajiannya”.  Kami berharap makalah ini sedikit banyaknya memberikan manfaat khususnya bagi penyusun sendiri umumnya bagi semuanya.
          Akhirnya kepada Allah jua kami memohon maaf, kalau sampai terjadi kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Besar harapan kami atas masukan guna perbaikan isi materi dari makalah ini.



                                             Raha,  Februari 2016

                                                                        
                                                                     Penyusun





                                                                          
i
 
                          
DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ……………………………………….....….................................... i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….…...... …..   ii
BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang ……………………………………….. ………...................................  1
B.       Rumusan Masalah……………………………………………………………………..  1
C.       Tujuan............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ………………………………..................................................................    8
3.2 Saran............................................................................................................................     8
DAFTAR PUSTAKA




ii
 
 

Tidak ada komentar: