A. Zaman
Penjajahan
Masa Penjajahan Belanda
Pada tahun 1615 atas perintah Jan
Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC,
diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan
demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah
suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di
Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat
kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan
perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama
kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik
percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih
berbentuk koran iklan.
Tujuan pendirian pers masa itu :
· Untuk menegakkan penjajahan
· Menentang pergerakan rakyat
· Melancarkan perdagangan
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha
dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya
disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk
memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur
Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang.
Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
B. Awal
Kemerdekaan (1942-1945)
Pers di
awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa
beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja
(Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo
(melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai
kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang
wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta,
tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar
Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti
Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Penyebarluasan
tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh
wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat
usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi
pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat
mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI
(Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas
prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan
wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan
Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang
pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan
Surabaya.
Surat
kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit
pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal
Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat
pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris,
dan juga adanya hambatan distribusi.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha
penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan,
sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil.
Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan
dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di
Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat
kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat surat kabar yang
sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama atau berganti
nama.
C. Setelah
Indonesia Merdeka (1945-1959)
1. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan
pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang
mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan
sekitarnya (Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami
oleh kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah
yang pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers
tetap mempunyai semangat tinggi.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan
pers paling subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI
ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat
pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya.
Sementara
itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional,
karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembangunan bangsa.
Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi
masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan
wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud
pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
2. Setelah Agresi Militer
Setelah
agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik
bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu
mengalami pengekangan dan penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda
bisa secara tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat
kabat yang bersangkutan, sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan
surat kabar tersebut. Pihak penguasa Belanda mengusahakan penerditan non
republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda. Usaha tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus politik adu dombanya, yang
dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan di kalangan masyarakat luas.
Sewaktu
pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut
pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi
cabang yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa
Bafagih. Ini berakibat juga pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke
Pusat Pemerintahan RI yang baru tersebut.
Keadaan
Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948
penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum
separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan
penahanan terhadap para pejuang dan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada
masa itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan
dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada
yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan
di desa-desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan
berupa stensilan.
Usaha
penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti;
kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari
pihak TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI
sendiri mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan usaha penerbitan pers
oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
D. Masa
Orde Lama/ Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Di masa
awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak
bersedia ikut serta dalam gelombang Demokrasi
Terpimpin harus menyingkir atau disingkirkan. Semakin lama peraturan ini
semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam segala bentuk
termasuk dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan
yang salah satunya adalah pers dan alat-alat penyiaran lainnya dilarang
melakukan penyiaran kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi haluan
Negara, dan tidak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang untuk itu.
SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang
pada masaDemokrasi Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan
mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran.
Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung
janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan
mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang
telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah
dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat kabar.
PWI
sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah di masa
Demokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang
bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga
karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan
demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.
BPS
singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar
Soekarnoisme. Badan
ini dibentuk untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang
terkenal adalah Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan
Nasasos (Nasionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia
memuat tulisan Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan
PKI. BPS ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan.
Sehingga perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu
menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad
Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu akan sangat membahayakan
masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan hanya mendapat satu sumber
berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu perlu diambil alih dengan
segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya Berita Yudha dengan motto: Untuk Mempertinggi
Ketahanan Revolusi Indonesia.
Sedangkan Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan
Bersenjata dengan inti tujuan yang sama.
Beberapa
factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan media massa yaitu:
a. Disiplin
kerja. Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat
pribadi dengan patuh pada indtruksi atasan.
b. Jaminan
Sosial. Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya.
c. Hubungan
dengan fungsionaris/tokoh partai. Hubungan ini akan mempermudah control atas
tiap anggota.
E. Masa
Orde Baru/ Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Selama
masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi
berbagai masalah stabilitas dan rehabilitasi keamanan, politik pemerintah dan
ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi
pembangunan pers Pancasila.
Sebagai
langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar
Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya
ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang
dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal
13-15 Oktober 1966.
Setelah
DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal 12
Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran
dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak pers
itu sendiri.
Dalam
usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak
dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk
bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
Tahap
selanjutnya adalah tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers
nasional. Pada tahap ini upaya yang dilakukan adalah penerapan mekanisme
interaksi positif antara pers, masyarakat dan pemerintah.
Pada
masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan
pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh
bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soeharto, kebebasan pers
ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna
membangun keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan
pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah,
dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak
dan arah isi pers.
Terjadinya
pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan
ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan
bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di
kembangkan pada rezim orde baru.
F. Era
Reformasi
Suatu
pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada
tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala
bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu.
Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi
masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan
ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini,
pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi
yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini
publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan
penyelenggara negara.
Peran
inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya,
antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik
yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan
keberhasilan tersebut.
Setelah
reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar
biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya
media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen.
Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers
Indonesia.
Pers
yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat
yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang
baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi
sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan
sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik
harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut
media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal
ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya
mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sayangnya,
berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi
ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur
pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi
ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media
massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak
tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari
komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap
semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun
menjadi sajian sehari-hari.
Keterkaitan fungsi
Pers dengan praktek demokrasi di Indonesia (demokrasi Parlementer, Terpimpin,
Pancasila dan Reformasi)
Demokrasi Parlementer
Masa
ini merupakan masa pemerintahan demokrasi liberal. Pada masa ini banyak didirikan
partai politik dalam rangka memperkuat system pemerintahan parlementer, pers
dijadikan propaganda parpol. Beberapa partai politik memiliki media/ Koran.
Demokrasi Terpimpin
Pers
tunduk sepenuhya pada peraturan pemerintah, pers dimanfaatkan sebagai alat
revolusi dan penggerak masa. Pers yang tidak mendukung pemerintah akan
disingkirkan, dan aturan-aturan mengenai pers diperketat. Sehingga fungsi check
and balance terhadap penyelenggaraan negara oleh pemerintah tidak terjadi.
Demokrasi Pancasila
Awalnya
bagus, mengikis dan memberitakan kebobrokan orde lama namun hal itu tidak
bertahan begitu lama karena segera dikendalikan oleh penguasa dengan
dikeluarkannya UU no 11 tahun 1966 tentang pokok-pokok pers. Pers di era pemerintahan Soeharto,
kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo,
ketimbang guna membangun keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Dibentuk dewan pers yang
merupakan perpanjangan dari tangan pemerintah orde baru. Pers diperketat
pengawasannya, dan dibatasi oleh kepentingan pemerintah.
Reformasi
Era
reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengeksplorasi
kebebasan. Akibatnya ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menindak
pers yang telah melampaui batas. Namun hal positive nya adalah dalam era
Reformasi, pers Nasional benar - benar bebas mengkritik pemerintah dengan
keras. Wartawan sebagai pemberi informasi kepada rakyat tidak takut lagi pada
pemerintah. Mereka ini benar - benar menjalankan fungsi pers sebagai kontrol
sosial. Dahulu wartawan Indonesia dipaksa untuk memberitakan suatu sumber
berasal dari pemerintah. Fungsi control terhadap penyelenggaraan negara
berjalan dengan baik, menjauhkan dari praktek system politik yang otoriter.
Fungsi Pers secara
umum (UU No. 40 Tahun 1999)
Jawab :
Pers
adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 1
UU No. 40 Tahun 1999). Fungsi umum pers menurut UU No 40 Tahun 1999 pasal
3 ayat 1 dan 2 adalah Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol social serta dapat berfungsi sebagai lembaga
ekonomi. Pers Nasional
melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
b.
menegakkan nilai-nilai
dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi
Manusia, serta menghormat
kebhinekaan
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan
informasi yang tepat, akurat dan benar;
d.
melakukan pengawasan,
kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan
umum
e. memperjuangkan
keadilan dan kebenaran
Secara
umum fungsi Pers meliputi hal - hal sebagai berikut :
a. Fungsi
menyiarkan informasi (to inform) : menyiarkan informasi merupakan fungsi
pers yang paling utama. Khalayak ramai mau berlangganan atau membeli surat
kabar karena memerlukan informasi tentang sebuah persitiwa yang terjadi dan
sebagainya.
b. Fungsi
mendidik (to
educate) : sebagai saranan
pendidikan massa, surat kabar dan sebagainya memuat tulisan-tulisan yang
mengandung ilmu pengetahuan sehingga para pembaca bertambah pengetahuannya.
c. Fungsi
menghibur (to
entertain) : hal-hal yang
bersifat hiburan sering ditampilkan di media massa untuk mengimbangi
berita-berita tentang hal-hal berat.
d. Fungsi
mempengaruhi (to influence) :
dengan fungsi ini pers menjadi begitu penting dalam sebuah kehidupan masyarakat
bahkan bangsa sekalipun. Biasanya artikel-artikel yang terkait dengan fungsi
ini ada pada kolom tajuk rencana, opini dan berita-berita.
e. Fungsi
menghubungkan dan menjembatan (to mediate) : pers mempunyai fungsi sebagai
penghubung atau jembatan antara masyarakat dan pemerintah atau sebaliknya.
Komunikasi yang tidak dapat tersalurkan melalui jalur resmi atau kelembagaan
dapat dialihkan via pers.
Fungsi
dan peranan Pers berdasarkan ketentuan Pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang
pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol
sosial. Berdasarkan fungsi dan peranan pers diatas, lembaga pers sering disebut
sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif,
dan yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif.
Fungsi peranan pers itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat
jaminan kebebasan pers dari pemerintah. Sulit dibayangkan bagaimana peranan
pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap kebebasan
pers.
Sekarang tidak lagi karena keberadaan Undang Undang Nomor 40 tahun 1999
tentang Pers telah mengamatkan kebebasan mutlak. Lahirnya UU tersebut sebagai
pengejawantahan kemerdekaan pers yang bebas dan bertanggungjawab.
Peraturan itu sebagai landasan legal bagi media dalam memberitakan segala hal,
termasuk mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan dan hiburan bagi
masyarakat. Melaksanakan kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,suara
dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, elektronik dan media lainnya yang tertuang dalam pasal
1 butir 1 UndangUndang Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar