do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Senin, 10 November 2014

CERITA RAKYAT DAERAH MUNA WA ODE KAENGUFAARI



CERITA RAKYAT DAERAH MUNA
WA ODE KAENGUFAARI
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang Kepala Kampung (Kinoliwu) yang mempunyai seorang gadis bernama Wa Ode Kaengufaari. Berita tentang kehidupan mereka sampai pula pada Penguasa Langit (Kinolani) yang mempunyai seorang poutra bernama La Ode Marabhoa Lemba.
    Suatu ketika, orang-orang kampung yakni laki-laki perempuan secara bersama-sama pergi di kebun untuk mengambil ubi talas. Ikut pula di dalamnya Kaengufaari. Walaupun ia dilarang oleh orang tuanya, “Tidak usah kamu ikut Ambe!” Untuk apa juga kamu ke sana, “kata ayahnya.” Namun, Wa Ode Kaengufaari tetap berkeras, pokoknya ia harus ikut juga. Bahkan ia berteriak-berteriak sambil menghentak-hentakkan kakinya. Akhirnya ia diajak ke kebun bersama kedua orang tuanya.
    Setibanya mereka di kebun, ayah dan ibunya langsung mengambil ubi talas. Sementara Wa Ode Kaengufaari didudukkan di belakang kedua orang tuanya, persis di tengah-tengah kebun. Tidak lama kemudian Wa Ode Kaengufaari melihat seekor burung yang turun dari ketinggian. Wa Ode Kaengufaari berteriak, “Burung apa itu? Tinggi sekali”. Secara spontan ayah dan ibu Wa Ode Kaengufaari langsung mengusir burung itu sambil berkata,”Banyaknya juga yang diherankan anak ini”.
    Burung itu makin lama makin rendah terbangnya. Setelah diamati secara dekat ternyata “Elang Lemba”. Ia terus rendah mengitari kebun Kepala Kampung itu. Tiba-tiba burung itu menyambar Wa Ode Kaengufaari lali diterbangkannya ke langit. Kedua orang tuanya berteriak sekeras-kerasnya. Namun apa hendak di kata, sudah kodratnya Wa Ode Kaengufaari diterbangkan ke langit. Padahal elang yang dimaksud adalah La Ode Marabhoa Lemba, anak dari seorang Penguasa Langit.
    Orang tua Wa Ode Kaengufaari akhirnya tidak lagi melanjutkan pekerjaan mereka menggali ubi talas, keduanya pulang sambil menangis. Sementara La Ode Marabhoa Lemba, setibanya di langit langsung disambut oleh kedua orang tuanya. Mereka merasa kaget setelah melihat seorang gadis yang dibawa oleh anak itu, ternyata seorang gadis yang sangat cantik.
    Walaupun La Ode Marabhoa Lemba telah ditunangkan dengan seorang gadis sebangsanya yang ada di langit yakni Wa Ode Anamutaari, namun ia tetap mau mengawini Wa Ode Kaengufaari. Kemudian kawinlah mereka (La Ode Marabhoa Lemba dan Wa Ode Kaengufaari). Perkawinan mereka semakin lama semakin intim, mengikuti pergantian siang dan malam hingga mengandung seorang bayi.
    Dalam keadaan seperti itu, diam-diam La Ode Marabhoa Lemba menjalin hubungan dengan mantan pacarnya yakni Wa Ode Anamutaari. Mereka selalu jalan bersama, bahkan pergi mandi pun selalu bersama-sama. Mereka hanya lewat saja di rumah orang tua La Ode Marabhoa Lemba.
    Setiap kali La Ode Marabhoa Lemba dan Wa Ode Anamutaari, selalu dilihat oleh seseorang yang bernama Wa Oda. Setiap kali mereka lewat, Wa Oda selalu berteriak memanggil Wa Ode kaengufaari,”O…Wa Ode Kaengufaari, lihatlah Wa Ode Marabhoa Lemba sedang bersama Wa Ode Anamutaari!” Wa Ode Kaengufaari hanya menjawab,”Sewotmu Wa Oda. Sakitnya kepalaku.”
    Tidak lama kemudian, lewat lagi La Ode Marabhoa bersama Wa Ode Anamutaari. Kali ini mereka pergi mandi. Lagi-lagi Wa Oda berteriak memanggil Wa Ode Kaengufaari,”O…Wa Ode Kaengufaari, lihat La ode Marabhoa Lemba lewat. Ia pergi mandi dengan Wa Ode Anamutaari.” Wa Ode Kaengufaari hanya menjawab,”Buat apamu Wa Oda biarkan saja dia.”
    Lama-kelamaan melahirkanlah Wa Ode Kaengufaari. Laki-laki anaknya. Sementara La Ode Marabhoa Lemba, tidak pernah lagi pulang ke rumahnya. Setelah anaknya tumbuh menjadi bayi yang sehat, Wa Ode kaengufaari membuat bekal 40 buah ketupat dan 40 butir telur. Dia ditanya oleh mertuanya.
“Untuk apa itu Ambe?”
“Untuk bekalku”, jawab Wa Ode Kaengufaari.
“Memangnya kamu mau ke mana?”, tanya mertuanya lagi.
“Saya mau pulang di kampung ayahku di dunia”, jawab Wa Ode Kaengufaari kembali.
“Kamu lewat di mana”, bertanya mertuanya.
“Pokokya saya mau pergi saja, entah ke mana”, jawabnya.
    Wa Ode Kaengufaari kemudian berpamitan kepada mertuanya untuk berangkat. Ia pergi tidak tahu ke mana arah perjalanannya. Siang hari ia berjalan dan malam hari ia tidur. Begitu seterusnya. Tanpa diduga, ia seolah-olah melihat gunung yang menurut pikirannya gunung itu berhubungan dengan alam dunia.
    Ia langsung menginjak gunung itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara,”Siapa yang menginjak-injak punggungku itu?”mendengar suara itu Wa Ode kaengufaari menjawab,”Saya Wa Ana”. “Memangnya kamu hendak ke mana?”, suara itu kembali terdengar.”Saya mau menemui ayah dan ibuku di dunia”, jawab Wa Ode Kaengufaari.”O…begitukah”, jawab gunung itu. Gunung itu berkata lagi,”Apakah kamu membawa bekal”. “Ya, saya membawa bekal”, jawab Wa Ode Kaengufaari”. “Kalau begitu, saya mau makan dulu”, kata gunung itu. Wa Ode Kaengufaari langsung memberikannya.
    Setelah makan, berkata lagi gunung itu. Ternyata gunung itu seekor ular besar. Ia berkata kepada Wa Ode Kaengufaari, “Tututplah matamu, lalu berpeganglah kuat-kuat di punggungku, nanti saya suruh buka mata, baru buka matamu”.”Ya”, jawab Wa Ode Kaengufaari.
    Wa Ode kaengufaari membuka matanya, ternyaya ia telah sampai di dunia, persis muka pintu ayahnya. “Turunlah, saya mau pulang”, kata ular itu.
    Melihat Wa Ode Kaengufaari di depan pintu, ayah dan ibunya merasa kaget dan terharu. Betapa senngnya hati mereka saat itu. Lantaran senangnya, di rumah Kepala kampung ini diadakan pesta syukuran karena wa Ode Kaengufaari telah kembali di tengah-tengah mereka.
    Orang tua Wa Ode Kaengufaari bertanya,”Apakah kamu sudah kawin, anakku?”. Wa Ode Kaengufaari tidak menjawab, ia dudukk diam saja. Lebih lanjut ayahnya \berkata,”Kalau kamu sudah kawin, tidak usah cerai”. “Saya belum kawin”, jawab Wa Ode Kaengufaari.
    Mulai saat itu, rumah Kepala Kampung banyak dikunjungi orang. Setiap hari orang berdatangan. Ada datang yang menumbuk padi, memotong dan membelah kayu buat pesta kesyukuran atas kembalinya Wa Ode Kaengufaari.
    Sementara itu, La Ode Marabhoa lemba di langit, telah kembali ke rumah ayahnya. Setibanya di rumah, ia menanyakan Wa Ode Kaengufaari. Padahal, dijawab oleh ibunya, Wa Ode Kaengufaari telah pergi meninggalkanmu karena kelakuan burukmu. Mendengar tiu, La Ode Marabhoa Lemba lalu meminta ibunya agar dibuatkan pula bekal, yakni 40 buah ketupat dan 40 butir telur guna menyusul Wa Ode Kaengufaari.
    Ibunya berkata, “Kamu menyusulnya dimana, anakkua? Siapa tahu ia telah musnah diterbangkan oleh angin”.”Pokoknya saya harus menyusulnya”, kata La Ode Marabhoa Lemba. begitu bekalnya lengkap, ia menggendong anaknya dengan sarung lalu pergi juga.
    Sama halnya dengan perjalanan Wa Ode Kaengufaari yakni malam ia tidur dan siang ia meneruskan perjalanannya.akhirnya, pada suatu saat ia juga menemukan gunung lalu ia menginjaknya. Padahal, tiba-tiba terdengar suara,”Siapa yang menginjak-injak punggungku itu?”
“Kami Wa Owa. Saya mau mencarikan ibunya anak ini, sudah lama dia pergi”, kata La Ode marabhoa Lemba.
Tidak lama kemudian, gunung itu berkata lagi,”Adakah bekalmu?”
“Ya”, jawab La Ode Marabhoa Lemba.
“Berikan saya makan kasihan”, kata gunung itu.
     Diberikanlah ia makan oleh La Ode Marabhoa Lemba. setelah makan, berkata lagi gunung itu kepada La Ode Marabhoa Lemba,”Tutup matamu, lalu berpeganglah kuat-kuat. Nanti saya suruh buka mata, baru buka matamu”. “Ya”, jawab La Ode Marabhoa Lemba. kemudian merambat pulalah gunung tadi, terasa bergetar lagi isi dunia.
    La Ode Marabhoa disuruh buka mata. Padahal, ia telah tiba persis di muka pintu Kepala Kampung. Sementara gunung itu menjelma menjadi ular dan berkata,”Saya pulang dulu”.
    Pada saat itu, di rumah Kepala Kampung dipadati oleh manusia dalam rangka pesta syukuran atas kembalinya Wa Ode Kaengufaari. Tidak perduli dengan orang-orang yang ada, La Ode Marabhoa Lemba membuka sarung gendongannya dan anak itu langsung berlari mencari  Wa Ode Kaengufaari, ibunya. Ia mencarinya untuk menyusu. “Kasihan anak ini, mengapa ia harus minta dibukakan kutang”, kata Wa Ode Kaengufaari.
    Sementara itu, La Ode Marabhoa lemba tetap berdiri di muka tangga. “Jangan izinkan La Ode yang itu ke atas rumah, tidak baik sifatnya”, kata Wa Ode kaengufaari. Tetapi, orang tuanya tetap mempersilahkannya ke atas rumah. Melihat keadaan yang demikian, orang-orang yang datang saat itu secara spontan pulang, apalagi setelah mereka mengetahui bahwa wa Ode kaengufaari telah bersuami.      

Terjemahan
WA ODE KAENGUFAARI
    Anaghaini naando semie Kinoliwu bhe kalambeno neano Wadhe Kaengufaari. Sampe-sampe nokobhirita ampa tendo Kinolani. Kama o Kinolani ini bhe anamoghaneno dhua, neano Adhe Marabhoa Lemba.
    Naseha-sehae ndokinoliwu, anamoghane bhe anarobhine dakumala daeseli ghofa we galu. Garaa kalambe koneaghoono Wadhe Kaengufaari neangkafi dua. Mahingga nogheleane kamokulano, “Koemo maia hintu Ambe. Omeafa dua.” Taaka Wadhe Kaengufaari nekaghosa, pokono anoa noangkafida kansuru. Bhe nekahulei norambi-rambitao ghagheno. Panda-pandanoa dobhasiemo dokala we galu.
    Dorato we galu ndo idhano bhe paapano deselimo ghofa. Anoa dofongkora-korae we kundodo we wuntano galu. Naseha-sehae Wadhe Kaengufaari nowuramo manu-manu nosaipo kalangke. Notolamo ndo idhano bhe paapano, ambano, manu-manu hae atatu kalangkeno. Garaa ndo idhano tado borai bhe nopogau,“Kabharino nimentegoono aini”.
    Nompo-mpona manu-manu anagha nehendemo kapanda, garaa o bhoa lemba. pasina tanepanda-pandamo nowewaki galundo Kinoliwu. Panda-pandanoa nosai Wadhe kaengufaari maka nohoroane. Aitu maka ndo idhano bhe papano kaasi dekahulaimo. Maka damafaane Wadhe Kaengufaari dofoniame telani. Gaara bhoa amaitu Adhe Marabhoa Lemba, anano Kinolani.
    Miinamo nadhumadia kaasi ndo idhano bhe paapano deseli ghofa, dosulimo ngkaghae-ghae. Dorato telani ndo Adhe Marabhoa Lemba kansuru nopoghawane kamokulano. Ndo idhano dowora kalambe karatoghoo Adhe Marabhoa Lemba maitu dokoghendu, garaa natitonto kapasole.
    Palihano adhe Marabhoa Lemba dofoporaeanemo te lani, neano Wadhe Anamutaari, taaka Adhe Marabhoa nagumaa kaawu bhe Wadhe Kaengufaari. Pasina dogaamo ndo Adhe Marabghoa Lemba bhw Wadhe Kaengufaari. Noalae alo, noalae gholeo nokoniowa-owamo Wadhe Kaengufaari.
    Naando nokoniowa-owa robhineno, Adhe Marabhoa Lemba dopobeghoomo tora bhe Wadhe Anamutaari. Dopoliligho, dokalhi dekadiu dosikalaha. Tado liu lagi wendo idhano.
    Sadoliu kaawu Adhe marabhoa Lemba bhw Wadhe Anamutaari, sadhia noworae Wa Oda. Notolamo lagi Wa Oda ambano,”Wa Ode Kaengufaari, ghondo Adhe marabhoa Lemba dopoangka bhe Wadhe Anamutaari!” Nobhalomo kaasi Wadhe Kaengufaari, ambano “Kariamu Wa Oda, kaleano fotuku.”
    Nasehae-sehae doliumu tora andoa. Dakumala tora daekadiu. Notolamo tora kaasi Wa Oda, ambano,”O…Wadhe Kaengufaari, ghondo Adhe Marabhoa Lemba dokaamo dekadiu bhe wadhe Anamutaari.” Tano balo Wadhe Kaengufaari,”Sohaenomu Wa Oda, tarunsaghoomo anoa.”
    Nompo-mpona nokeanahimo Wadhe Kaengufaari, limoghane anano. Adhe Marabhoa Lemba ini miina bhe suli kansurua we lambuno. Notialangkawasa kaawu anano, nerabumo bhakuno Wadhe Kaengufaari, fatofulu katupa bhe fatofulu ghunteli. Nofenaemo Kinolani.
“Sohaenomu itu Ambe?”
“Sobhe bhakuku”, amba Wadhe Kaengufaari.
“Okumala nehamai rampano”, ambano tora Kinolani.
Nobhalo tora Wadhe Kaengufaari,”Akumala wendo idhaku.”
“Omangka hae”, ambano Kinolani.
“Pokono taakumalamo, ampa sokasampahaku”, ambano Wadhe Kaengufaari.
    Pasina nofealaimo Wadhe Kaengufaari, nakumalamo. Nokala miina namandehaane nehamai sokasampahano. Nomentae nokala, norondoa nolodo. Pedamaitu kansuru. Nompo-mpona, noworamo tapasae naando kabhawo. Kau-kaumu noghondo-ghondoe kabhawo amaitu nekansuru we dhunia.
    Kansuru nofindahie kabhawo amaitu. Garaa nasehae-sehae tanofetingkemo nobisara kabhawo anagha, ambano,”Ahae minda-mindahino towuku itu”. Nobhalomo Wadhe Kaengufaari,”Inodi Wa Ana”. Nofeenmo tora kabhawo,”Okumala nehamai rampano”. Nobhalo tora Wadhe Kaengufaari,”Akumala wendo idhaku we dhunia”. “O…gaara”, nobhalo kabhawo amaitu. Nobisara tora kabhawo, ambano”Bhe bhakumu itu”. “Umbe, bhe bhakuku”, ambano Wadhe Kaengufaari. “Aomaghoo kadeki barangka”, ambano tora kabhawo. Nowanemo nofumaa Wadhe Kaengufaari.
    Nopada nofumaa nobisaramo tora kabhawo amaitu. Garaa o ghule kabhawo amaitua. Nobisaramo kabhawo.”Mopilo maka fintara fekatangka-tangka netowuku, atumuduko o wula maka o wula”. “Umbe”, nobhalo Wadhe Kaengufaari. Pada aitu nosilelemo kabhawo amaitua, naompona nopeemo, nokohudhu kau-kaumu dhunia. Pasina nobisaramo, “Wulamo itua”.
    Wadhe Kaengufaari nowulamo, garaa anoa nratomo we dhunia, pasi-pasi kapehano we wobhano fonintondo idhano. “Sampumo itua, asumulio idhia”, ambano ghule.
    Nowora Wadhe Kaengufaari ne ere-ere te wobhano foninto, idhano bhe paapano dokoghendu. Aitumaka kabhidano andoa. Sampe-sampe wendo Kinoliwu dorame-rameane rampano Wadhe Kaengufaari nosulimo we andoa.
    Dofenaemo ndoidhano Wadhe Kaengufaari,”Ogaamo  itu keda?”Miina nobhalo Wadhe Kaengufaari. Nobhisara tora idhano. “Ane ogaamo koemo pukatie”. “Miinaho agumaa idia”, amba Wadhe Kaengufaari.
    Aitumaka karamendo simapano tendo Kinoliwu. Segho-segholeo mie rumatono, naando maino metumbuno pae, mebhoghano sau dua sokarame-rameha Wadhe Kaengufaari ini.
    Pada aitu Adhe Marabhoa Lemba te lani, nosulimo wendo idhano. Saratono nofenaghoomo Wadhe Kaengufaari. Garaa nobhaloe paapano,”Nokalamo Wadhe Kaengufaari, damafaane ambano ihintu kadaino laesamu”. Nofetingke pedanagha, Adhe Marabhoa Lemba neferabughomo dua bhakuno ne paapano, fatofulu katupa, fatofulu ghunteli, samanangkafigho Wadhe Kaengufaari.
    Nobisaramo paapano, ambano,”Omangkafie nehamai ghane”.  Surihae anoa nopadaemo nokawu-kawue kawea. Pokono amba Adhe Marabhoa Lemba tamangkafimo. Notoka kaawu bhakuno, notembamo anano maka dua dokala.
    Pedamo dua Wadhe Kaengufaari, norondo dolodo, nomentae dokala. Panda-pandano doworamo dua kabhawo, dofindahiemo. Garaa tifetingkemo tora nobisara kabhawo, ambano,
“Ahaeno minda-mindahino towuku itu”.
“Insaidi”, ambano Adhe Marabhoa Lemba.
“Akumala aghumondohigho inano anahi aini, nomponamo nokala”, amba Adhe Marabhoa Lemba tora.
Miina nompona nofeenamo tora kabhawo amaitu,”Bhe bhakumu itu?” “Umbe”, nobalo Adhe Marabhoa Lemba. “Owakanau deki aomaa bhaemo”, nobisara kabhawo.
    Nowaanemo nofumaa Adhe Marabhoa Lemba. Pada nofumaa nobisaramo ne Adhe Marabhoa Lemba tora, ambano”Mopilo, maka fintara fekatangka-tangka. Atumuduko owula maka wula”. “Umbe”, nobhalo Adhe Marabhoa Lemba. Pada aitu nosilelemo tora kabhawo aninia, nopee nokohundu tora dhunia.
    Adhe Marabhoa Lemba notuduemo nowula. Garaa noratomo, pasi-pasi te wiseno foninto lambuno Kinoliwu. Kabhawo anagha garaa o ghule, nobisaramo ambano,”Asumulimo itu idia”.
    Wakutu anagha, we lambuno Kinoliwu dopono mie dorame-ramegho Wadhe Kaengufaari rampano nosulimo we dhunia. Miina nephaduli bhe mie rumatono, Adhe Marabhoa Lemba nobhosamo katembano, garaa anahi amaitu notende nokapihi inano, Wadhe Kaengufaari. Saratono anahi amaitu neghondohi natumiti. Nobisaramo Wadhe Kaengufaari,”Kaasino anahi aini, noafa nefoligho kabhongkeke”. Nobisaramo ndo idhano bhe paapano,”Kaasino dua anahi naealihi kokabongkekeno, ane poho ogumaa”.
    Wakutu anagha, Adhe Marabhoa Lemba neere-ere te wobhawo pulangku.”Kafofoniemu La Ode aitu, nodai laesano”, amba Wadhe Kaengufaari. Tamaka ndo idhano bhe paapano tado fofoni. Dowora kaawu pedanagha mie maino dokosuli-sulimo, sodopandehao Wadhe Kaengufaari bhemo poraeno.

Tidak ada komentar: