do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Senin, 10 November 2014

KUDA MUNA DAN PERTAHANAN HARGA DIRI



La Ode Abdul Karim (73) berdiri tenang di antara dua kuda jantan yang saling dihadapkan di sebuah lapangan rumput. Destar dan sarung melilit di kepala dan pinggangnya. Melalui aba-abanya, tradisi langka berusia ratusan tahun itu siap dimulai.
Karim adalah pawang yang memimpin atraksi tradisional perkelahian kuda, tradisi dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Bagi orang Muna, adu kuda bermakna filosofis, yakni simbol harga diri yang harus dipertahankan. Juga mengajarkan ketelatenan,eling,danwaspada menjalani proses kehidupan.
Perkelahian kuda yang dalam bahasa Muna disebut pogiraha adhara itu jarang digelar. Maka, kesempatan untuk menyaksikannya pada siang di pengujung Desember 2012 menjadi terasa sangat istimewa. Pertunjukan diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Muna untuk menyambut tamu yang sebelumnya mengikuti Festival Napabale, acara pariwisata tahunan di daerah itu.
Kedua kuda jantan berwarna coklat muda dan tua yang siap diadu itu milik Karim. Dalam pertunjukan kali ini ia dibantu beberapa pawang lainnya, termasuk putranya, La Ode Abjina (42).
Perkelahian pun dimulai saat si coklat muda meringkik sambil mengangkat tinggi-tinggi kedua kaki depannya. Sang penantang, kuda berkelir coklat tua, sigap meladeni dengan jurus serupa. Keduanya lalu bergelut bak jawara tinju kelas berat di atas ring.
Gigitan dan tendangan silih berganti melayang. Sesekali mereka juga saling menyeruduk dan menjulang, berupaya memojokkan lawan. Saat pertarungan mulai membahayakan salah satu kuda, Abjina langsung melerai. Setelah susah payah dilerai, pertarungan kembali berlanjut.
Tidak ada istilah menang atau kalah dalam perkelahian itu. Tidak juga kuda diadu sampai menyebabkan luka parah, apalagi mati. Pawang menghentikan pertarungan jika dirasakan sudah cukup atau salah satu kuda menghindar. ”Ini murni untuk hiburan masyarakat saja,” kata Karim.
Tak setiap saat perkelahian kuda bisa disaksikan. Dalam setahun, penyelenggaraannya bisa dihitung dengan jari. Itu pun biasanya dilakukan oleh pemerintah setempat saat momen khusus, biasanya untuk menyambut tamu daerah.
”Padahal, dulu di setiap kecamatan bisa sering ditemukan pertunjukan perkelahian kuda,” kata Karim. Di seluruh Muna, tradisi itu kini hanya bisa ditemukan di Kecamatan Lawa, khususnya Desa Latugho.
Hal itu karena populasi kuda di Muna kini hanya tersisa puluhan ekor yang sebagian besar berada di Lawa. Karim mengingat, perkelahian kuda mulai menghilang tahun 1970-an bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang memindahkan penduduk desa berlahan gersang di Muna ke tempat baru.
Tidak ada catatan pasti soal kapan tradisi ini bermula. Namun, dari cerita turun-temurun para orang tua, Karim mengatakan, perkelahian kuda sudah ada sejak masa Kerajaan Muna. Sejarah kerajaan itu membentang selama ratusan tahun di pulau yang terletak di tenggara Sulawesi Tenggara tersebut.
Perkelahian kuda pada masa lalu biasa digelar sebagai hiburan rakyat dalam rangka syukuran atau momen sukacita lainnya, seperti cukuran bayi, pingitan remaja putri, memulai musim tanam dan panen padi, atau menyambut tamu penting.
Adapun cara untuk membuat dua kuda jantan berkelahi adalah dengan memisahkan mereka dari betina masing-masing. Kuda-kuda itu lalu didekatkan ke kuda yang bukan pasangannya. Hal itulah yang akan menyulut kemarahan kuda.
Makna filosofis
Bupati Muna LM Baharuddin menyebutkan, adu kuda mengajarkan makna filosofis yang tinggi. Ia menjadi simbol soal harga diri yang harus dipertahankan.
”Dalam situasi normal, kuda jantan tidak akan bersikap agresif jika keluarga dalam kelompok yang dipimpinnya tak diganggu. Namun, sebaliknya, ia akan berjuang mati-matian membela keluarganya jika diganggu kuda lain,” kata Baharuddin.

Kuda memiliki sejarah panjang dan kuat di Muna. Masyarakat di daerah ini telah mengenal hewan tangguh tersebut setidaknya sejak ratusan tahun silam. Hal itu dibuktikan dengan lukisan yang ditemukan di dinding goa-goa prasejarah di Desa Liang Kabori, Kecamatan Lohia, Muna. Di antara berbagai lukisan di situs itu, ada yang menggambarkan kuda ataupun orang sedang menunggang kuda.
Pada masa kerajaan, kuda menjadi simbol prestise karena hanya dimiliki oleh kalangan tertentu, terutama bangsawan. Selain menjadi sarana transportasi, kuda juga digunakan untuk berburu atau berperang.

Dalam perkelahian kuda, pawang memegang peranan penting untuk mengawasi jalannya pertarungan.Ada pula yang bertugas memegang tali untuk mengontrol kuda agar tak berlarian liar.Jika salah satu kuda terpojok oleh serangan lawan,pawang harus segera melerai untuk mencegah dampak fatal bagi kuda tersebut.

Tidak ada komentar: