do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Senin, 10 November 2014

KOTA BERSEJARAH DI KABUPATEN MUNA



KOTA BERSEJARAH DI KABUPATEN MUNA

1.        DANAU NAPABALE

http://toekangbatoe.files.wordpress.com/2012/02/33-pesisir-yang-bermuara-ke-napabale-dilihat-dari-selat-buton.jpg?w=300&h=225
Danau Napabale adalah danau yang terbentuk akibat masuknya air laut dari Selat Buton ke bebatuan yang berbentuk cawan yang ada di pantai Desa Wabintinggi dan Lohia. Pada saat air laut sedang surut, jalur tempat air laut masuk dari Selat Buton yang berbentuk terowongan sepanjang tiga puluh meter dengan lebar sembilan meter itu dapat ditelusuri dengan menggunakan perahu pincara. Namun, apabila air laut sedang pasang terowongan tersebut akan tertutup air sehingga tidak dapat dilewati. Selain terowongan, Danau Napabale juga menyajikan panorama alam yang sangat indah berupa hamparan pepohonan yang menyejukkan, gelombang air danau yang lebih tenang dibandingkan dengan gelombang air laut yang ada di Selat Buton, serta bebatuan karang yang banyak teronggok di sekitar danau.







2.        MASJID TERTUA DI KABUPATEN MUNA

http://toekangbatoe.files.wordpress.com/2012/02/1-masjid-kota-tua-muna-yang-telah-direnovasi.jpg?w=300&h=225http://toekangbatoe.files.wordpress.com/2012/02/4-tiang-utama-penyangga-masjid2.jpg?w=225&h=300
Kota Muna tua, terletak dibagian selatan Kota Raha ibu Kota Ibu Kota Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi tenggara, di Waktu dulu tidak sembarang orang dapaat menunggang kuda. Ini tak lain untuk menjaga etika dan sopan santun. Yang boleh menunggang kuda hanyalah para pejabattinggi itupun bila sudah mendekati kediaman perdana menteri, penunggang kuda juga harus turun, lalu berjalan kaki ke tempat tujuan. Budaya dan tatakrama di kota Muna adalah potret sepenggal sejarah kerajaan Muna di masa lampau. Sebagai mana di ungkapkan Jules Cauvreur dalam buku sejarah dan kebudayaan Kerajaan Muna yang diterbitkan Artha Wahana Press, Kupang Nusa Tenggara Timur, tahun 2001. Couvreur cukup memahami sejarah dan kebudayaan muna salah satu etnis yang mendiami Pulau Muna dan Pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Sebab dia adalah pegawai pemerintah kolonial belanda yang pernah menjabat sebagai kontroler ( setingkat Bupati) di kerajaan Muna selama kuarang lebih dua tahun ( 1933-1935). Selama kurun waktu itu dia tekun menggali sejarah dan kebudayaan Muna. Ketika couvreur meninggal dalam usia 70 tahun ( 1971), naskah yang ditulisnya tahun 1935 dan masih dalam bentuk stensilan dan berbahasa belanda kemudian diterjemahkan oleg DR. Rene Vanden Berg dosen linguistik dan peneliti bahasa Muna di darwin Australia. Kota Muna berjarak sekitar 25 Km dari Raha, Sebetulnya orang Muna menyebutnya ‘Wuna’ sebagaimana nama aslinya. Kota ‘ Wuna’ namun lama kelamaan kemudian diucapkan dan ditulis Muna dalam laporan dan bahasa resmi. Wuna dalam bahasa Muna berarti bunga. Disebut begitu karena tidak jauh dari situ terdapat sebuah gunung batu karang yang sewaktu- waktu tumbuh dan menyerupai bunga karang. Bukit batu yang sering berbunga itu oleh orang Muna di sebut ‘bahutara’ yang kemungkinan berasal dari kata bahtera. Hal ini dikaitkan dengan dengan tradisi lisan yang hidup dikalangan masyarakat bahwa ditempat itu perahu tumpangan ‘Sawerigading’ tokoh masyarakat asal Sulawesi Selatan yang melegenda terdampar dan membrak baru karang. Para pengikut Sawerigading sebanyak 40 orang yang berasal dari kerajaan luwu Sulawesi Selatan itu kemudian berpencar keberbagai tempat dan membuat koloni di Pulau Muna dan sebagian lagi ke Konawe di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara . Sejalan dengan semakin baiknya sistem pemerintahan, pada masa kekuasaan Lakilaponto sebagai Raja Muna VII ( 1538-1541) mulailah dibangun pusat pemerintahan kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Bersamaan dengan itu turut dibangun benteng raksasa yang mengelilingi Kota Wuna. Setelah Lakilaponto ditunjuk menjadi Raja Buton, Pembangunan Benteng Kota Wuna dilanjutkan penggantinya, laposasu adik dari Lakilaponto. Pengangkatan Lakilaponto sebagai Raja Buton merupakan hadiah dari Raja yang sedang berkuasa atas keberhasilannya mengalahkan dan membunuh bajak laut Labolontio pengacau ke amanan Kerajaan Buton. Selain melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan benteng ibu kota kerajaan, laposasu sebagai pengganti Lakilaponto juga mendirikan bangunan tempat perguruan islam, sesuai anjuran syekh Abdul Wahid, seperti disebutkan Lakimi Batoa. Abdul Wahid merupakan Ipenyebar Islam per tama di Muna. Ihwal pembangunan Kota Wuna, courvreur mengutip kepercayaan mistis bahwa Lakilaponto dalam membangun benteng kota itu dibantu oleh para jin ( roh halus).Pembuatan benteng itu memang merupakan pekerjaan raksasa,sebab seperti ditulis courvreur, panjang keliling pagar batu itu mencapai 8.073 M dan tebal tiga Meter. Seteah mejadi raja dan kemudian bergelar sultan menyusul diterimahnya Islam sebagai agama resmi kerajaan, lakilaponto mengadakan kesepakatan dengan adiknya Laposasu untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi yang pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar. Hubungan persaudaraan diantara kedua kerajaan terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun dalam kerangka politik pecah belah pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton secara sepihak membuat perjanjian yang disebut dengan Korte verklaring pada tanggal 2 Agustus 1918. Isi perjanjian itu menyebutkan, belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi tenggara, yakni Swapraja Buton dan Swapraja laiwoi di Kendari. Sejak saat itu Kerajaan Muna yang berdaulat dinyatakan berada dibawah kontrol kesultanan Buton. Sebagai subordinasi kesultanan buton, muna praktis menjadi salah satu dari empat wilayah penyangga (bhatara) kerajaan islam tersebut, yakni ; Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa. Sedangkan dua kerajaan kecil(Rumbia dan kabaena) yang juga ikut dicaplok menjadi wilayah non struktural karena tidak menyandang predikat bhatara. Fasilitas publik lainya di kota wuna adalah Masjid pertama di bangun pada masa pemerintahan La Titakono sebagai Raja muna X (1600-1625). Menurut La Ode Muhammad Sirad Imbo,Tokoh adat Muna masjid yang dibangun tersebut masih sangat sederhana dan bersifat darurat. Masjid agak besar baru dibangun pada era La Ode Husaini dengan gelar omputo sangia ( 1716-1757). Masjid tersebut di bangun ditenpat berbeda dengan lokasi masjid pertama dan umur Masjid tersebut hampir seumur dengan Masjid Agunng Buton di Bau-Bau. Yang di bangun oleh Saikuddin darul Alam tahun 1712 dengan konstruksi permanen.dan baru di pugar pada tahun 1930-an di masa pemerntahan sultan buton ke -37 Muhammad hamidi. Masjid Kota Wuna baru di bangun secara permanen sekitar tahun 1933 oleh Raja muna La Ode Dika (1930-1938 yang mendapat bantuan dari kontrolir belanda yang berkedudukan di Raha, Jules Couvreur. Karena selama memangku Raja lebih banyak memperhatikan masjid tersebut, maka la Ode Dika di beri gelar ‘ Komasigino’ ( yang memiliki masjid ). Kerajaan Muna di masa lalu kini nyaris tidak meninggalkan bekas. Satu-satunya peninggalan yang masih tampak dan terawat baik adalah masjid yang pernah dibangun La Ode Dika, raja muna yang terakhir dipilih oleh ‘sarano Wuna’ ( sejenis MPR era orde baru ) yang dibentuk sejak masa pemerintahan La Titakono pada abad ke-17. Bangunan masjid yang dilihat saat ini sudah tidak asli. Ketika Bupati Muna di jabat Drs. Maola daud (1990-1997), bangunan masjid dirombak total dan dibangun yang baru dengan model dan ukuran yang berbeda dengan aslinya. Pada era Bupati Muna di jabat Ridwan (2000-2010) bangunan itu dikembalikan lagi pada bentuk aslinya.Bangunan masjid terdiri dari tiga tingkatan termasuk tempat dudukan kuba. Peninggalan lain sudah tidak ada lagi kecuali makam tua raja-raja masa lalu seperti makam la Ode Husaini yang dikenal sangat taat beribah, sisa-sisa benteng yang tersisa 1800 meter dan telah ditutup rerumputan karena tidak mendapat perawatan yang memadai dan batu-batunya telah di curi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Tidak ada komentar: