BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbagai ragam permasalahan yang muncul ditengah-tengah
masyarakat, baik yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial,
sandang, pangan, kesehatan dan sebagainya, seringkali meminta jawaban
kepastiannya dari sudut hukum. Dalam kondisi yang demikian, maka
berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang dinamakan Masail Fiqhiyyah.Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu
ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik.Hal ini terjadi
karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah bermunculan beragam
jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem pemecahan
yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan hukum.
Studi yang menyangkut berbagai
masalah fiqhiyyah tersebut terus berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.Banyak hal yang dahulu tidak ada kini bermunculan yang selanjutnya
menuntut jawaban dari segi hukum.
Begitu dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat
Islam, menyebabkan bidang kajian masalah ini sudah demikian akrab dengan
masyarakat dibandingkan dengan studi lainnya seperti tafsir, hadits, ilmu kalam
dan sebagainya. Fiqhlah yang paling banyak dikenal dan amat populer di
masyarakat Indonesia.
Kajian terhadap masalah ini sudah
demikian lama dan telah melembaga di masyarakat Islam.Kajian terhadap
pertumbuhan ilmu fiqh, ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah sudah amat
berkembang.Hal yang demikian terjadi karena adanya perubahan sosial yang
berpengaruh terhadap perubahan hukum.Seiring dengan itu, kajian pemikiran hukum
Islam dari sudut theologi juga banyak dilakukan para ahli dengan berbagai
pendekatan yang digunakan.
B. Rumusan
Masalah
Ø Pengertian transplantasi organ tubuh,tranfusi darah, dan bank ASI?
Ø Bagaimana
pandangan Islam dalam masalah transplatasi organ tubuh, transfusi darah dan
bank ASI?
Ø Bagaimana pandangan hukum negara
dalam masalah tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
transplantasi (pencangkokan) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya
hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak
berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa,
harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
Dalam
pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya:
Pertama, Donor, yaitu orang yang
menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk dipasangkan pada orang lain
yang organ tubuhnya menderita sakit atau terjadi kelainan.
Kedua, Resipien, yaitu orang yang
menerima organ tubuh dari donor yang karena satu dan lain hal, organ tubuhnya
harus diganti.
Ketiga, Tim ahli, yaitu para dokter yang
menangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada resipien.
Berkenaan dengan donor, transplantasi
dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe, yaitu :
1.
Donor dalam keadaan hidup sehat. Dalam tipe ini perlu adanya seleksi yang
cermat dan harus dilakukan general
check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap menyeluruh), baik terhadap donor
maupun terhadap resipien (penerima), demi menghindari kegagalan transplantasi
yang disebabkan penolakan tubuh resipien dan sekaligus menghindari dan mencegah
resiko bagi donor. Sebab menurut data statistik, 1 dari 1000 donor meninggal,
dan si donor juga merasa was-was dan merasa tidak aman, karena dia menyadari,
misalnya bila dia donor ginjal, dia tak akan memperoleh kembali ginjalnya
seperti sedia kala.
2.
Donor dalam keadaan koma. Apabila donor dalam keadaan koma atau diduga kuat
akan meninggal segera, maka dalam pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat
kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan
khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai
proses pengambilan organ tubuhnya.[1][1] Hanya, kriteria meninggal secara
medis/klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas, apakah
kriteria itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernafasan[2][2], atau ditandai dengan
berhentinya fungsi otak.[3][3]
3.
Donor dalam keadaan meninggal. Dalam tipe ini, organ tubuh yang akan
dicangkokkan diambil ketika donor telah meninggal berdasarkan ketentuan medis
dan yuridis, juga harusdiperhatikan daya tahan organ yang akan diambil untuk
transplantasi[4][4], apakah masih ada kemungkinan
untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah sel-sel jaringannya telah mati,
sehingga tidak berguna lagi bagi resipien.
Berdasarkan uraian diatas, maka
muncul suatu pertanyaan: “Bagaimanakah pandangan hukum Islam tentang
transplantasi organ tubuh, baik donor dalam keadaan sehat, dalam keadaan koma,
maupun dalam keadaan meninggal?”.Inilah yang menjadi pokok masalah dalam
tulisan ini, yang mana dalam pembahasannya berpedoman pada hukum Islam (Quran
dan Hadits) secara eksplisit, serta mengaitkan hal tersebut pada qaidah
fiqhiyyah yang benar.
B.Hukum Transplantasi Organ Tubuh
1. Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila
transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup
sehat, maka hukumnya ‘Haram’, dengan alasan :
Firman Allah
dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 195 :
وَلاَ
تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri dalam kebinasaan”.
Ayat tersebut mengingatkan manusia,
agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang
akibatnya yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, walaupun
perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya
seseorang menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang
memerlukannya karena hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya
imbalan dari orang yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah
yang terakhir ini, yaitu donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau
menjualnya, haram hukumnya, disebabkan karena organ tubuh manusia itu adalah
milik Allah (milk ikhtishash),
maka tidak boleh memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya, walaupun organ tubuh itu dari
orang lain.
Orang
yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih hidup sehat kepada orang lain,
ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan
mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi
seorang manusia. Maka bila
ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali.
Maka sama halnya, menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat
penyakit baru bagi si donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam qaidah
fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ
جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan menjaga
dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain dengan cara mengorbankan
diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu melaksanakan tugas
dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.
2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor
Dalam Keadaan Koma
Melakukan
transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram,
walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal
itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut
dapat dikatakan ‘euthanasia’
atau mempercepat kematian. Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan
transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat.Orang yang sehat
seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut,
meskipun menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada
harapan lagi untuk sembuh.Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau
itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak
ada harapan untuk hidup. Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam
keadaan koma, tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut:
a. Hadits Nabi, riwayat Malik dari
‘Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id
al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat madharat pada diri
sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain”[7][7]
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan
koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada donor
tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut euthanasia.
b. Manusia wajib berusaha untuk
menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati
berada di tangan Allah.Oleh karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya
sendiri atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh
dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
3.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor
(jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis,
hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa :
a.
Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam
jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat
secara optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini
berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ
اْلمَحْظُوْرَاتِ
Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرَرُ يُزَالُ
b.
Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya,
untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli
warisnya.
Demikian ini
sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam
kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung
orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat
dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan
(lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli waris.[10][10]
Adapun fatwa
MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi
Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis
pengambilan katup jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang
sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan diskusi
dan pembahasan tentang masalah tersebut beberapa kali dan terakhir pada tanggal
27 Juni 1987.[11][11]
Adapun
dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi organ tubuh,
antara lain:
a)
Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195 yang telah kami sebut dalam pembahasan
didepan, yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam
bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk
upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi
sehat kembali.
b)
Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:
وَمَنْ أَحْياَهَا فَكَأَنمَّاَ
أَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعاً
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti
transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai dengan
syarat-syarat yang telah disebutkan diatas.
c)
Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa”. Selain itu juga ayat 195, menganjurkan agar kita berbuat baik.
Artinya: “Dan berbuat baiklah karena
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Menyumbangkan organ tubuh si mayit
merupakan suatu perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan, karena memberi
manfaat bagi orang lain yang sangat memerlukannya.
Pada
dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena agama Islam
memuliakan manusia berdasarkan surah al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad
manusia walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya memecahkan tulang mayat
muslim, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup”. (HR.
Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari ‘Aisyah).
Tetapi
menurut Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun pekerjaan transplantasi itu
diharamkan walau pada orang yang sudah meninggal, demi kemaslahatan karena
membantu orang lain yang sangat membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan
selama dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat
sebagai penghinaan kepadanya[12][13]Hal ini didasarkan pada qaidah
fiqhiyyah :
ِإذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتاَنِ
رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan
mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang
paling besar, dengan melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari
dua madharat”. Hadits
Nabi saw.
تَدَاوُوْا عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ الله َلَمْ يَضَعْ دَاءً
إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ اْلهَرَمُ
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah,
karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia juga
telah meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit
tua”.
(HR. Ahmad,
Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)
Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya menghilangkan penyakit,
hukumnya mubah, asalkan tidak melanggar norma ajaran Islam.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula :“Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka penyakit itu
akan sembuh atas izin Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir)
Selanjutnya berkenaan dengan hukum antara donor dan resipien yang
seagama atau tidak seagama, serta hukum organ tubuh yang diharamkan seperti
babi, juga dapat menimbulkan masalah, tetapi hal tersebut dapat dikaji berdasar
ayat-ayat Al-Quran surah al-Najm 38-41 :
1)
“Bahwa seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain. Dan bahwa manusia itu tidak memperoleh selain apa yang
ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan
diberi balasannya dengan balasan yang paling sempurna”.
2)
Al-Quran surah al-Baqarah ayat 286 :“Ia
mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya itu dan ia mendapat siksa
dari kejahatan yang dikerjakannya”.
Berdasar ayat-ayat diatas, berkenaan
dengan hubungan antara donor dengan resipien yang menyangkut pahala atau dosa
maka dalam hal ini mereka masing-masing akan mempertanggungjawabkan segala amal
perbuatan mereka sendiri-sendiri. Mereka tidak akan dibebani dengan pahala atau
dosa, kecuali yang dilakukan oleh masing-masing mereka. Yang perlu diingat,
bahwa yang salah bukan organ tubuh, tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat
syaraf.Oleh sebab itu, tidak perlu khawatir dengan organ tubuh yang
disumbangkan, karena tujuannya adalah untuk kemanusiaan dan dilakukan dalam
keadaan darurat. Hal ini sama dengan hukum tranfusi darah. Namun alangkah
baiknya dan sangat diharapkan demi kemaslahatan, jika organ tubuh itu kita
dapatkan dari seorang muslim juga, demi ketenangan kita dalam menjalankan kehidupan
untuk ibadah, dengan dasar :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ
اْلإِباَحَةُ حَتىَّ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلىَ التَّحْرِيْمِ
Selanjutnya, bertalian dengan transplantasi dengan organ tubuh hewan
diharamkan yang dicangkokkan kepada manusia, seperti katup jantung babi atau
ginjalnya, dalam hal ini haram hukumnya, dengan dasar qaidah fiqh :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ
التَّحْرِيْمُ
“Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah
haram”.
C.
Pengertian Transfusi Darah
Transfuse
darah adalah penginjeksian darah dari seseorang (yang disebut donor) ke dalam
system peredaran darah seseorang yang lain (yang disebut resepien). Transfuse
darah tidak pernah terjadi kecuali setelah ditemukannya sirkulasi darah yang
tidak pernah berhenti dalam tubuh.
Ada empat
golongan darah yang utama, yaitu A, B, AB dan O. perbedaan di antara
golongan-golongan ini ditenrukan oleh ada tidaknya dua zat utama (yaitu A dan
B) dalam sel darah merah, serta oleh ada tidaknya dua unsur (yaitu unsur anti-A
dan unsur anti-B) dalam serum darah tersebut. Perlu dicatat bahwa ;walaupun
serum dan plasma itu mirip, tetapi perbedaan antara keduanya adalah bahwa dalam
serum, fibrinogen dan kebanyakan factor-faktor penggumpalan lainnya tidak ada.
Jadi, serum ini sendiri tidak dapat menggumpal karena ia tidak memiliki
factor-faktor penggumpal tersebut, yang ada adalah di dalam plasma darah.
Seseorang
yang bergolongan darah O di kenal sebagai donor universal, Karena sel darah
merah orang ini tidak mengandung zat kimia A maupun B. tetapi, orang ini tidak
dapat menerima darah orang lain kecuali yang bergolongan O, karena serum
darahnya berisi unsure anti-A dan anti-B sekaligus. Disisi lain, seseorang yang
bergolangan darah AB dapat menerima transfuse darah dari donor kelompok
manapun, sehingga ia disebut sebagai resepien universal, tetapi ia hanya dapat
menyumbangkan darahnya pada orang lain yang segolongan darah AB.
D.
Indikasi-indikasi Transfusi Darah
Pada dasarnya, ada dua alas an umum
mengapa perlu dilakukan transfusi darah pada seseorang, yaitu :
1.
Kehilangan darah : kehilangan darah dapat mengakibatkan kurangnya volume darah
yang mengalir dalam tubuh. Beberapa faktor yang menyebabkan, antara lain:
1)
Pendarahan
akibat luka-luka, atau dalam kasus korengan, radang usus, atau persalinan.
2)
Luka-luka,
luka bakar, dan pembengkakan akibat kecelakaan.
3)
Operasi,
seperti operasi jantung, dan operasi-operasi bedah lainnya.
4)
Ketidak
cocokan darah antara ibu dan anak. Dalam kasus ini, transfusi pertukaran harus
dilakukan untuk menyelamatkan nyawa si anak.
5)
Anemia akut
dan kronis, serta kekacauan system pembekuan darah, seperti hemophilia.
2.
Kekurangan unsur penting dalam darah, seperti pada kasus-kasus :
1)
Pasien anemia yang menderita kekurangan sel darah merah, hanya membutuhkan
transfusi sel darah merah saja.
2)
Pasien hemophilia, sebagai akibat dari kekacauan system pembekuan darah,
beresiko pada timbulnya anaemia dan kehilangan darah yang berbahaya ketika
mengalami luka sekecil apapun, dikarenakan oleh proses pembekuan darah yang
terlalu lambat. Sehingga, dalam upaya menahan pendarahan, si pasien harus
mendapatkan transfuse plasma darah. Atau, si pasien dapat diinjeksi dengan AHF
(anti haemophilic factor).
E.Syarat-syarat
Menjadi Pendonor
1. Umur 17-60
tahun( usia 17 tahun diperbolehkan menjadi donor bila mendapat izin tertulis
dari orang tua).
2. Berat badan
minimal 45 kg.
3. Temperatur
tubuh: 36,6 – 37,5 derajat Celcius.
4. Tekanan
darah baik yaitu sistole = 110 – 160 mmHg, diastole = 70 – 100 mmHg.
5. Denyut nadi
teratur yaitu sekitar 50 – 100 kali/ menit.
6. Hemoglobin
Perempuan minimal 12 gram, sedangkan untuk pria minimal 12,5 gram.
7. Jumlah
penyumbangan per tahun paling banyak lima kali dengan jarak penyumbangan
sekurang-kurangnya tiga bulan. Keadaan ini harus sesuai dengan keadaan umum
donor.
F. Orang-orang yang Tidak Boleh Menjadi Pendonor
1. Pernah
menderita hepatitis B.
2. Dalam jangka
waktu enam bulan sesudah kontak erat dengan penderita hepatitis.
3. Dalam jangka
waktu enam bulan sesudah transfuse.
4. Dalam jangka
waktu enam bulan sesudah tato/tindik telinga.
5. Dalam jangka
waktu 72 jam sesudah operasi gigi.
6. Dalam jangka
waktu enam bulan sesudah operasi kecil.
7. Dalam jangka
waktu 12 bulan sesudah operasi besar.
8. Dalam jangka
waktu 24 jam sesudah vaksinasi polio, influenza, kolera, tetanus dipteria, atau
profilaksis.
9. Dalam jangka
waktu dua minggu sesudah vaksinasi virus hidup parotitis epidemica, measles,
dan tetanus toxin.
10. Dalam jangka
waktu satu tahun sesudah injeksi terakhir imunisasi rabies therapeutic
11. Dalam jangka
waktu satu minggu sesudah gejala alergi menghilang.
12. Dalam jangka
waktu satu tahun sesudah transplantasi kulit.
13. Sedang hamil
dan dalam jangka waktu enam bulan sesudah persalinan.
14. Sedang
menyusui.
15. Ketergantungan
obat.
16. Alkoholisme
akut dan kronis.
17. Mengidap
Sifilis.
18. Menderita
tuberkulosis secara klinis.
19. Menderita
epilepsi dan sering kejang
20. Menderita
penyakit kulit pada vena (pembuluh darah balik) yang akan ditusuk.
21. Mempunyai
kecenderungan perdarahan atau penyakit darah, misalnya kekurangan G6PD,
thalasemia, dan polibetemiavera.
22. Seseorang
yang termasuk kelompok masyarakat yang berisiko tinggi mendapatkan HIV/AIDS
(homoseks, morfinis, berganti-ganti pasangan seks, dan pemakai jarum suntik
tidak steril).
23. Pengidap
HIV/ AIDS menurut hasil pemeriksaan saat donor darah.
G.
Hukum Islam Mengenai Transfusi Darah
a)
Penerima Donor (Recipient)
Para ulama menggolongkan donor darah
sebagaimana “makan” bukan “berobat”.Dengan demikian, pada hakikatnya, orang
yang melakukan donor darah dianggap telah memasukkan makanan berupa
darah ke dalam tubuhnya.Untuk itu, ulama memberikan batasan, bahwa donor
darah diperbolehkan jika dalam kondisi darurat. Dalil dalam masalah ini
adalah firman Allah,:
ôMtBÌhãmãNä3ø9n=tæèptGøyJø9$#ãP¤$!$#urãNøtm:urÍÌYÏø:$#!$tBur¨@Ïdé&ÎötóÏ9«!$#¾ÏmÎ/ÇÌÈ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah ….” (Q.s. Al-Maidah:3).
Kemudian, di akhir ayat, Allah menyatakan,
ô “Barang siapa berada dalam kondisi terpaksa karena kelaparan, (lalu)
tanpa sengaja (dia) berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang ….” (Q.s. Al-Maidah:3)
Allah memperbolehkan hamba-Nya untuk
memakan makanan yang diharamkan jika dalam kondisi terpaksa, karena kelaparan.
Dalam kondisi yang sama, orang sakit yang hendak menyelamatkan nyawanya,
diperbolehkan untuk memasukkan darah ke dalam tubuhnya, karena kondisi
terpaksa.
b)
Pendonor
Seseorang
diperbolehkan melakukan donor darah, selama proses donor tersebut tidak
membahayakan dirinya. Dalil dalam masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak boleh menimbulkan bahaya
atau membahayakan yang lain.” (H.r. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni; dengan
derajat hasan) (Disimpulkan dari fatwa Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh).
Al Quran dan sunnah tidak membahas
masalah transfuse darah. Tetapi, menurut berbagai prinsip dan ajaran umum yang
terdapat dalam sumber-sumber orisinil islam, darah yang mengalir (dam masfuh)
selalu dianggap sebagai benda najis. Selain itu, islam melarang para pemeluknya
untuk mengkonsumsi darah. Diantara makanan yang di kategorikan haram di
konsumsi yang disebut dalam Al quran adalah dam masfuh yang artinya arah yang
mengalir, dan dalam Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am 6:145 yang artinya :
Katakan (Hai Muhammad) : Aku tidak menemukan dalam apa yang telah diwahyukan
kepadaku sesuatu yang terlarang untuk dimakan oleh seseorang yang ingin
memakannya, kecuali daging bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi.
c)
Peraturan Hukum Menurut Beberapa Tokoh
1. Menurut Mufti Syafi
Mufti Syafi menetapkan bahwa dengan mempertimbangkan kelonggaran dan
kemudahan yang diberikan syariat bagi kondisi-kondisi luar biasa yaitu yang
mengancam jiwa, dan bagi upaya pengobatan, maka transfuse darah hukumnya boleh
(ja’iz). Pada penjelasan yang lain Muft Syafi menerangkan bahwa darah diambil
dengan jarum, tanpa mengiris bagian tubih manapun lalu di transfusikan kedalam
tubuh orang lain untuk memperpanjang hidupnya.
Muft Syafi juga berpendapat bahwa
meskipun darah termasuk benda najis, namun mendonorkan darah untuk di
transfusikan pada orang lain hukumnya adalah boleh atas dasar keterdesakan, dan
hal ini termasuk dalam kategori memanfaatkan benda terlarang sebagai obat.
Pembolehan ini, kata dia, harus dibatasi menurut ketentuan-ketentuan berikut :
a.
Transfuse darah hanya boleh
dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak untuk itu.
b.
Transfuse darah juga boleh dilakukan
ketika tidak membahayakan nyawa si pasien tetapi, dalam pandangan dokter yang
berkompeten, pasien tidak mungkin disembuhkan tanpa transfuse darah
c.
Jika memungkinkan, lebih baik untuk
memilih cara yang tidak melibatkan transfuse darah.
d.
Transfuse darah tidak di perbolehkan
jika tujuannya hanya untuk peningkatan kesehatan.
2. Menurut Syekh Ahmad Fahmi Abu Sinnah
Pengambilan darah dari tubuh donor dan pentransfusiannya ke dalam tubuh
resepien sama sekali tidak merusak martabat manusia. Justru tindakan semacam
ini dapat meningkatkan martabat manusia, Karena menolong sesame manusia adalah
sesuatu yang mulia, apalagi menolong orang yang terancam jiwanya.
Hak seseorang atas darahnya menjadi hilang tatkala ia menyetujui untuk
mendonorkannya. Namun, hokum islam melarang seseorang untuk mendonorkan
darahnya bila tindakannya itu bisa berakibat buruk pada keselamatan dan kesehatannya.
Jadi syarat-syarat berikut ini harus terpenuhi, yaitu :
a.
Donor secara ikhlas berniat
mendonorkan darahnya.
b.
Tidak ada bahaya serius yang
mengancam jiwa atau kesehatan donor akibat transfuse itu.
c.
Harus sudah dipastikan bahwa tidak
ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa resipien kecuali dengan transfuse.
d.
Derajat keberhasilan melalui cara
pengobatan ini diperkirakan tinggi.
3.
Menurut Dr. Abd al-Salam al-Syukri
Transfuse darah merupakan praktik yang diperbolehkan dan bergantung pada
hal-hal berikut :
a.
Donor tidak boleh menuntut imbalan
financial dalam bentuk apapun.
b.
Hidup donor sama sekali tidak
terganggu setelah darah tidak diambil dari tubuhnya.
c.
Donor harus bebas dari segala macam
penyakit menular, dan ia tidak menderita kecanduan sesuatu.
4.
Menurut Syekh Jad al-Haqq
Syariat memperbolehkan mengambil manfaat dari tubuh seseorang seperti
darah dan mentransfusikannya pada tubuh orang lain sebagai sebuah cara
pengobatan, dengan syarat bahwa tidak ada lagi cara pengobatan lain yang bisa
di tempuh.
H. Manfaat
Transfusi Darah Menurut Medis
1. Mengetahui
golongan darahnya.
2. Mengetahui
tekanan darah secara berkala (tiga bulan sekali) pada setiap akan menyumbangkan
darahnya.
3. Dapat
memperbarui darah di tubuhnya, karena telah menyumbangkan darahnya sebanyak 350
cc. Kemudian memperoleh darah yang baru pada bulan berikutnya.
4. Mengganti
sel-sel darah merah yang telah bermetabolisme secara teratur, Sel darah merah
dibentuk dalam tubuh oleh hati, ginjal.
5. Sarana amal
kemanusiaan bagi yang sakit, kecelakaan, operasi dll(setetes darah merupakan
nyawa bagi mereka).
6. Orang yang
aktif donor jarang terkena penyakit ringan maupun berat.
7. Pemeriksaan
ringan secara triwulanan meliputi Tensi darah, kebugaran (Hb), gangguan
kesehatan (hepatitis, gangguan dalam darah dll).
8. Mencegah
stroke (Pria lebih rentan terkena stroke dibanding wanita karena wanita keluar
darah rutin lewat menstruasi kalau pria sarana terbaik lewat donor darah
aktif).
9. Dapat tidur
nyenyak.
10. Nafsu makan
bertambah.
I. Pengertian Bank
ASI
Bank ASI merupakan tempat penyimpanan dan penyalur ASI
dari donor ASI yang kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa
memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan
produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI.ASI biasanya disimpan di dalam plastik
atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh
bakteri.Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu
pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti
pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa
memberikan ASI pada anaknya.Semua ibu donor diskrining dengan hati-hati.Ibu
donor harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok, tidak minum obat dan alkohol,
dalam kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor
harus memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta
HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga
tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif,
herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau riwayat kanker. Berapa
lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu ruangannya:
a.
Suhu 19-25 derajat celsius ASI dapat
tahan 4-8 jam.
b.
Suhu 0-4 derajat celsius ASI tahan
1-2 hari
c.
Suhu dalam freezer khusus bisa tahan
3-4 bulan
J. Kaitan Bank ASI
denganradla'ah
a. Pengertian ar-Radha'ah
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar -radha' atau susuan.Menurut
Hanafiyah bahwa ar-Radha'
adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu
tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar-Radha' adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang
berfungsi sebagai gizi. As-Syafi'iyah mengatakan ar-Radha' adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut
seorang bayi. Al-Hanabilah mengatakan ar-Radha'
adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan
yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya.[13][15]
b. Batasan Umur
Para ulama
berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang
bisa menyebabkan kemahraman.[14][16] Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah
jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Allah swt:
ßNºt$Î!ºuqø9$#urz`÷èÅÊöã£`èdy0»s9÷rr&Èû÷,s!öqymÈû÷ün=ÏB%x.(ô`yJÏ9y#ur&br&¨LÉêãsptã$|ʧ9$#4n?tãurÏqä9öqpRùQ$#¼ã&s!£`ßgè%øÍ£`åkèEuqó¡Ï.urÅ$rã÷èpRùQ$$Î/4wß#¯=s3è?ë§øÿtRwÎ)$ygyèóãr4w§!$Òè?8ot$Î!ºur$ydÏ$s!uqÎ/wur×qä9öqtB¼çm©9¾ÍnÏ$s!uqÎ/4n?tãurÏ^Í#uqø9$#ã@÷VÏBy7Ï9ºs3÷bÎ*sù#y#ur&»w$|ÁÏù`tã<Ú#ts?$uKåk÷]ÏiB9ãr$t±s?urxsùyy$oYã_$yJÍkön=tã3÷bÎ)uröN:?ur&br&(#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ö/ä.y0»s9÷rr&xsùyy$uZã_ö/ä3ø9n=tæ#sÎ)NçFôJ¯=y!$¨BLäêø9s?#uäÅ$rá÷èpRùQ$$Î/3(#qà)¨?$#ur©!$#(#þqßJn=ôã$#ur¨br&©!$#$oÿÏ3tbqè=uK÷ès?×ÅÁt/ÇËÌÌÈ
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak
ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan. (QS. 2 [al - Baqarah] : 233)
Hadist
Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
فَإِنَّمَاالرَّضَاعَةُمِنْ الْمَجَاعَةِ
"Sesungguhnya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi
karena lapar" (HR Bukhari dan Muslim)
c. Jumlah Susuan
Madzhab Syafi'i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan
adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan
hadits Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata:
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ
مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ
الْقُرْآنِ
"Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat
menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh
(dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan
ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu." (HR Muslim)
Kapan
seorang bayi menyusui dan dianggap sebagai satu susuan?Yaitu jika dia menyusui,
setelah kenyang dia melepas susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia
menyusu lagi setelah satu atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan
seterusnya sampai lima kali menyusu. Kalau si bayi berhenti untuk bernafas,
atau menoleh kemudian menyusu lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan
saja. (Sidiq Hassan Khan, Raudhatu an
Nadiyah, 2/174)
d. Cara Menyusu
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa
mengharamkan. Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya
air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang,
baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun
dengan cara as-su'uth
(memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara al-wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan
cara yang lain.[15][17] Sebagaimana Riwayat Abu Daud dan
Daar Kuthny dari Ibnu Mas'ud bahwasannya Rasulullah Saw. Bersabda,
لاَرَضَاعَ اِلاَّمَاانْشَزَالْعُظْمَ وَانْبَتَ ا للَّحْمَ
Tidak ada penyusuan kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan
daging.(HR. Abu Dawud).
K. Hukum Jual
Beli Asi
Air Susu Ibu (ASI) adalah bagian yang mengalir dari anggota tubuh
manusia, dan tidak diragukan lagi itu merupakan karunia Allah bagi manusia
dimana dengan adanya ASI tersebut seorang bayi dapat memperoleh gizi. ASI
tersebut merupakan sesuatu hal yang urgen di dalam kehidupan bayi[16][18]. Karena pentingnya ASI tersebut
untuk pertumbuhan maka sebagian orang memenuhi kebutuhan tersebut dengan
membeli ASI pada orang lain. Jual beli ASI manusia itu sendiri di dalam fiqih
Islam merupakan cabang hukum yang para ulama berbeda pendapat di dalamnya.Ada
dua pendapat ulama tentang hal tersebut.
Pertama, tidak boleh menjualnya.Ini merupakan pendapat ulama
madzhab Hanafi kecuali Abu Yusuf, salah satu pendapat yang lemah pada madzhab
Syafi'i dan merupakan pendapat sebagian ulama Hanbali.Kedua, pendapat
yang mengatakan dibolehkan jual beli ASI manusia. Ini merupakan pendapat Abu
Yusuf (pada susu seorang budak), Maliki dan Syafi'i, Khirqi dari madzhab
Hanbali, Ibnu Hamid, dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan juga madzhab Ibnu
Hazm.[17][19]
L.Sebab Timbulnya Ikhtilaf (Perbedaan)
Menurut Ibn Rusyd, sebab timbulnya perselisihan pendapat ulama di dalam
hal tersebut adalah pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah.
Karena proses pengambilan ASI tersebut melalui perahan. Imam Malik dan Imam
Syafi'i membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya. Alasan
mereka yang membolehkannya adalah karena ASI itu halal untuk diminum maka boleh
menjualnya seperti susu sapi dan sejenisnya. Sedangkan Abu Hanifah memandang
bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri adalah haram karena dia disamakan seperti
daging manusia.[18][20] Maka karena daging manusia tidak
boleh memakannya maka tidak boleh menjualnya, adapun ASI itu dihalalkan karena
dharurah bagi bayi, sebagaimana qawaid
fiqih :
اَلضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Darurat itu bisa membolehkan yang dilarang.
M. Hukum
Mendirikan Bank ASI.
Bahwa di dalam pembolehan menjual
ASI itu ada kemungkaran karena bisa menimbulkan rusaknya pernikahan yang
disebabkan kawinnya orang sesusuan dan hal tersebut tidak dapat diketahui jika
antara lelaki dan wanita meminum ASI yang dijual bank ASI tersebut.[19][21] Namun, ada juga yang berpendapat
bahwa menjual ASI tersebut membawa manfaat bagi manusia yaitu tercukupinya gizi
bagi bayi karena kita melihat bahwa banyak bayi yang tidak memperoleh ASI yang
cukup baik karena kesibukan sang ibu ataupun karena penyakit yang diderita ibu
tersebut. Tetapi pendapat tersebut dapat ditolak karena
kemudaratan yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya yaitu terjadinya
percampuran nasab.Padahal Islam menganjurkan kepada manusia untuk selalu
menjaga nasabnya. Kaidah ushul juga menyebutkan bahwa :[20][22]
دَفْعُ الضَّرَارِ اَوْلَى مِنْ
جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak kemadharatan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan.
Ibnu Sayuti
di dalam kitab Asybah Wa Nadhaair
menyebutkan bahwa di dalam kaidah disebutkan bahwa diantara prinsip dasar Islam
adalah :
اَلضَّرَارُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَارِ
Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan lagi.
Hal ini
jelas, karena akan menambah masalah. Kaitannya dengan pembahasan kita yaitu,
ketiadaan ASI bagi seorang bayi adalah suatu kemudaratan, maka memberi bayi
dengan ASI yang dijual di bank ASI adalah kemudaratan pula. Maka apa yang
tersisa dari bertemunya kemudaratan kecuali kemudaratan. Karena Fiqih bukanlah
pelajaran fisika dimana bila bertemu dua kutub yang sama akan menghasilkan
hasil yang berbeda. Maka penulis sependapat bahwa hendaknya kita melihat mana
yang lebih besar manfaatnya daripada kerusakannya.
N. Sebagian
Ulama Kontemporer Membolehkan Bank ASI.
Sebagian ulama kontemporer membolehkan pendirian bank ASI ini, diantara
mereka adalah Dr. Yusuf al-Qardhawi.Mereka beralasan :[21][23]
a. Bahwa kata kata
radha'(menyusui) di dalam
bahasa Arab bermakna menghisap puting payudara dan meminum ASI-nya. Maka oleh
karena itu meminum ASI bukan melalui menghisap payudara tidak disebut menyusui,
maka efek dari penyusuan model ini tidak membawa pengaruh apa-apa di dalam
hukum nasab nantinya.
b. Yang menimbulkan
adanya saudara sesusu adalah sifat "keibuan", yang ditegaskan
Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya, tetapi karena
menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si
ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan
sepersusuan.Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain
mengikutinya.[22][24]
c. Alasan yang
dikemukakan oleh beberapa madzhab dimana mereka memberi ketentuan berapa kali
penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dan ibu susu memilki ikatan
yang diharamkan nikah, mereka mengatakan bahwa jika si bayi hanya menyusu
kurang dari lima kali susuan maka tidaklah membawa pengaruh di dalam hubungan
darah.
Setelah memperhatikan berbagai pendapat yang disampaikan oleh para
ulama, penulis tampaknya cenderung kepada yang membolehkan keberadaan Bank ASI
dengan alasan sebagaimana yang disebutkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uaraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Transplantasi organ
taubuh yang dilakukan ketika pendonor hidup sehat maka hukumnya haram.
Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor sakit (koma), hukumnya
haram.Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor telah meninggal,
ada yang berpendapatboleh dan ada yang berpendapat haram.
2.
Tranfusi darah diperbolehkan karena dengan perhitungan ilmiah yang tepat dapat
menolong /memberikan manfaat yang besar bagi resipien dan tidak memberkan
kerugian / kerusakan pada diri donor baik dalam jangka pendek maupun panjang. Hasil
perbandingan antara kemaslakhatan dan kemudlorotan jelas, yaitukemaslahatan
lebih besar dari kemudlorotan, sehingga tidak bertentangan dengankaidah usul
fiqh.Hendaknya
tujuan dari donor-tranfusi darah adalah untuk menyelamatkan hidup resipien,
bukan keuntungan materi dari pendonor (jual beli darah).Mendonorkan
darah hukumnya fardlu kifayah mengingat semakin besarnya kebutuhan darah untuk
menyelamtkan hidup manusia akibat bencana alam, kecelakaan, operasi, perang dan
berbagai penyakit yang lain.
Jangan sampai donor darah menyebabkan pelecehan terhadap kehormatan
manusia, karena jual beli anggota badan seperti donor anggota badan lain
(ginjal, mata dll)
3.
Donor ASI melalui bank ASI, berpotensi merancukan hubungan mahram atau
persaudaraan karena sepersusuan. Pendonor hanya sekedar memberikan identitas
dirinya secara umum, seperti seseorang yang akan mendonorkan darahnya.
Selanjutnya tidak dapat dilacak siapa saja bayi-bayi yang pernah mengkonsumsi
ASI-nya, sehingga tidak jelas bagi seseorang siapa bermahram dengan siapa.
Akibatnya, akan terjadi kelak di kemudian hari, seorang laki-laki menikah
dengan seorang wanita yang ternyata pernah mengkonsumsi ASI dari seorang wanita
pendonor ASI yang sama. Bila hal ini terjadi, berarti pasangan tersebut telah
melakukan keharaman karena menikahi mahram yang terjadi akibat ikatan saudara
sepersusuan.Inilah bahaya yang nyata dari keberadaan donor ASI yang disimpan di
bank ASI tanpa dilengkapi dengan pencatatan secara syar’i.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Al Quranul
Karim dn terjemahannya, Mujamma’ Khadim Haramain asy-Syarifain al-Mail Fahd li
thiba’at al-Mushhaf asy-Syarif, Madina Munawwara, PO Box 3561
Ø Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair,
(Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M)
Ø Zuhdi
Masjfuk, Masail Fiqhiyyah,
(Jakarta: Haji Masagung, 1991)
Ø MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1415 H/1994 M)
Ø Panji
Masyarakat, No. 514 Tahun XXVIII, 1 September 1986
Ø Ridho,
Rasyid, Tafsir al-Manar, Vol.
II, (Mesir: Dar-al-Manar, 1373)
Ø Sabiq, Vide
Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Vol
III, (Lebanon: Dar-al-Fikr, 1981)
Ø Musbikin,
Imam, Qawa’id Fiqhiyyah, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, Mei 2001
Ø Nata,
Abuddin (ed), Masail Fiqhiyyah,
Kencana kerjasama dengan UIN Jakarta Press, Edisi I, Juli 2003
Ø Azam, ‘Abd
al-‘Aziz Muhammad, Qawa’id Fiqhiyyah;
Dirasah Manhajiyyah Tathbiqiyyah Syamilah, Maktab al-Risalah al-Dauliyah
li al-Thiba’ah wa al-Kombyuter, Cairo Egypt, 1998-1999
[7][7]Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut:
Dar-al-Kutub al-Ilmiah, tt), Cet. IV, Jilid II, hal. 203
[10][10]MUI,
Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta:
Sekretariat MUI, 1415 H/1995 M), hal. 176
[13][15]Cholil, Uman, Agama Menjawab Tentang Berbagai
Masalah Abad Modern, Cet. 2, Surabaya: Ampel Suci, 1994,
h. 267.
[15][17]]Masjfuk,
Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Cet. XI, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000,
h. 157.
[16][18]Ibid.,
h. 165
[17][19]Abdul Qadim, Zallum, Beberapa Problem
Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi
Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003, h. 234.
[18][20]Ibid.,
h. 245.
[20][22]Ibid.,
h. 320.
[22][24]Ibid.,
h. 314.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar