MAKALAH :
DOSEN :
HIV AIDS
OLEH:
NURDIN KOWA
AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH KABUPATEN MUNA
2011/2012
KATA
PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari
mata kuliah ‘’ Fisika Kesehatan
‘’. Adapun makalah ini membahas mengenai HIV AIDS
Kami
mengucapkan terimakasih kepada pihak – pihak yang telah mendukung dan
memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan karena faktor batasan
pengetahuan penyusun, maka kami dengan
senang hati menerima kritikan serta saran
– saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga hasil dari penyusunan makalah ini dapat
dimanfaatkan bagi generasi mendatang, khususnya mahasiswa D-III Akademi
Keperawatan Pemerintah Kabupaten Muna.
Akhir kata, melalui kesempatan ini kami penyusun
makalah mengucapkan banyak terimakasih.
Raha, Januari 2012
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
AIDS pertama kali dilaporkan pada
tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers
for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia Pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP
tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis
Jirovecii)
pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles.
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi
manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk
kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia,
sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari Simpanse Pan
Troglodytes yang
ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2 berasal dari Sooty
Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV
masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya
selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang lebih kontroversial yang
dikenal dengan nama hipotesis OPV
AIDS, menyatakan
bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski terhadap Vaksinpolio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya
berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.
B.
TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah selain dari pada memenuhi tugas dari dosen pembimbing juga untuk
mengetahui lebih luas mengenai penyakit HIV AIDS.
C.
RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan HIV AIDS?
2. Apa penyebab adanya HIV AIDS?
3. Bagaimana metode / teknik penularan dan penyebaran
virus HIV AIDS?
4.
Bagaimana gejala dan komplikasi HIV AIDS?
5. Bagaimana cara pencegahan HIV AIDS?
6. Bagaimana penanganan HIV AIDS?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
HIV AIDS
HIV
adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS
dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan
dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.
Virus
HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak Virus HIV
baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih
sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh.Tanpa kekebalan tubuh maka
ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung.Dampaknya
adalah kita dapat meninggal dunia terkena pilek biasa.
Gambar
1A Struktur Virus HIV
Gambar 1B Daur hidup HIV
AIDS
adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak
atau efek dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV
membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat
berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem
kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang
banyak dirusak oleh Virus HIV.
Ketika
kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS
dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang
mematikan.Seseorang dapat menjadi HIV positif. Saat ini tidak ada obat, serum
maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit
AIDS.
HIV merupakan
suatu virus yang material genetiknya adalah RNA (asam ribonukleat) yang
dibungkus oleh suatu matriks yang sebagian besar terdiri atas protein. Untuk
tumbuh, materi genetik ini perlu diubah menjadi DNA (asam deoksiribonukleat),
diintegrasikan ke dalam DNA inang, dan selanjutnya mengalami proses yang
akhirnya akan menghasilkan protein. Protein-protein yang dihasilkan kemudian
akan membentuk virus-virus baru.
B.
Penyebab
Adanya HIV AIDS
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi
HIV. HIV adalah retrovirus
yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T
CD4+ (sejenis sel T),
makrofaga,
dan sel
dendritik. HIV merusak sel T CD4+
secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan
agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T
CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter
(µL) darah,
maka kekebalan di tingkat selakan
hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut
HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi
HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T
CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi
antiretrovirus, rata-rata
lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh
tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2
bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat
bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang
memengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV
(seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi. Orang tua umumnya
memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga
lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang
terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis,
juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan genetik
orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara
alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan
berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit
klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan
dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu
kemampuan penderita bertahan hidup.
HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan
sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan limfosit
setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop
elektron. AIDS merupakan bentuk terparah
atas akibat infeksi
HIV. HIV adalah retrovirus
yang biasanya menyerang organ-organ vital.
1.
Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi
ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang
dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa
mulut pasangannya.Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko
daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks
anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral.Seks oral
tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif
maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan
HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik
terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual
meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan
epitel normal akibat adanya borok
alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit
dan makrofaga)
pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika
Sub-Sahara, Eropa,
dan Amerika
Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar
empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin
seperti yang disebabkan oleh sifilis
dan/atau chancroid.
Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya
penyakit menular seksual seperti kencing nanah,
infeksi chlamydia,
dan trikomoniasis
yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan
penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum
terinfeksi.Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan
tidak konstan antarorang.Beban virus
plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil
pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA
HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita
lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta
fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit
seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus
lain yang lebih mematikan.
2. Kontaminasi
patogen melalui darah
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan
pengguna obat suntik, penderita hemofilia,
dan resipien transfusi darah
dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik
(syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme
biologis penyebab penyakit (patogen),
tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B
dan hepatitis C.
Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi
baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara,Republik
Rakyat Cina, dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan
orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis
dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas
kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi
pada orang yang memberi dan menerima rajah
dan tindik
tubuh.Kewaspadaan
universal sering kali tidak dipatuhi baik di
Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang
tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub
Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak
aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,
didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di
dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui
fasilitas kesehatan.
Resiko
penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju.Di
negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun
demikian, menurut WHO, mayoritas populasi
dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10%
infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".
3. Penularan
masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui
rahim (in utero)
selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat
persalinan.Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama
kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu
memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan carabedah
caesar, tingkat penularannya hanya
sebesar 1%.[44]
Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu
saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui
meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
C.
Metode
/ Teknik Penularan dan Penyebaran Virus HIV AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired
Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang
menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency
Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh
manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada
dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan
melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran
darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan
vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi
melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum
suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin,
atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Adapun teknik penularannya misalnya
melalui:
1. Darah
Contoh : Tranfusi darah, terkena darah hiv+ pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb
Contoh : Tranfusi darah, terkena darah hiv+ pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb
2. Cairan
Semen, Air Mani, Sperma dan Peju Pria
Contoh : Laki-laki
berhubungan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks, dsb.
3. Cairan
Vagina pada Perempuan
Contoh : Wanita
berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks,
dll.
4. Air
Susu Ibu / ASI
Contoh : Bayi minum asi
dari wanita hiv+, Laki-laki meminum susu asi pasangannya, dan lain sebagainya.
Cairan Tubuh yang tidak mengandung
Virus HIV pada penderita HIV+ :
1. Air
liur / air ludah / saliva
2. Feses
/ kotoran / tokai / bab / tinja
3. Air
mata
4. Air
keringat
5. Air
seni / air kencing / air pipis / urin / urine
D. Gejala
dan Komplikasi
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada
orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi
tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus,
fungi
dan parasit,
yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak
HIV.Infeksi
oportunistik umum didapati pada
penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir
semua organ tubuh.
Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma
Kaposi, kanker
leher rahim, dan kanker sistem
kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi
sistemik; seperti demam,
berkeringat
(terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah,
serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien
AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di
wilayah geografis tempat hidup pasien.
1. Penyakit
paru-paru utama
Pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis Jirovecii. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh
yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah Fungi
Pneumocystis Jirovecii.Sebelum adanya
diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan
rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera
menyebabkan kematian.Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan
indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya
indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4
kurang dari 200 per µL.
Tuberkulosis
(TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait
HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui
rute pernapasan (respirasi).Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah
diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui
terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat
merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara
Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan
metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara
berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan.Pada stadium awal infeksi HIV
(jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada
stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang
menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya
biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu
tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang,
tulang,
saluran kemih dan saluran
pencernaan, hati,
kelenjar getah bening (nodus limfa
regional), dan sistem syaraf pusat.
Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat
munculnya penyakit ekstrapulmoner.
2.
Penyakit saluran
pencernaan utama
Esofagitis
adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus),
yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung.Pada individu yang terinfeksi HIV,
penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis)
atau virus (herpes
simpleks-1 atau virus
sitomegalo).Ia pun dapat
disebabkan oleh mikobakteria,
meskipun kasusnya langka.
Diare
kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena
berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella,
Shigella,
Listeria,
Kampilobakter,
dan Escherichia coli),
serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis,
Mycobacterium
avium complex, dan virus
sitomegalo (CMV) yang merupakan
penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare
terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani
HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri.Selain
itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik
yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile).
Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk
terjadinya perubahan cara saluran
pencernaan menyerap nutrisi,
serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang
berhubungan dengan HIV.
3.
Penyakit syaraf dan
kejiwaan utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan
tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae),
yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi
rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis
adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit
bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya
menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis),
namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata
dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges
(membran yang menutupi otak dan sumsum
tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus
neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit
kepala, lelah, mual, dan muntah.Pasien
juga mungkin mengalami sawan
dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif
adalah penyakit demielinasi,
yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin)
yang menutupi serabut sel syaraf (akson),
sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC,
yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan
menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana
yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan
menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu
sebulan setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan
kemampuan mental (demensia)
yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopatimetabolik)
yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan
imun oleh makrofag
dan mikroglia
pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.
Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif,
perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi.
Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan
tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di
negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%, namun di India
hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi
karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
4.
Kanker dan tumor ganas
(malignan)
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki
risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena
infeksi oleh virus DNA
penyebab mutasi genetik;
yaitu terutama virus
Epstein-Barr (EBV), virus herpes
Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma
manusia (HPV).
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum
menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda
homoseksual tahun 1981
adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh
virus dari subfamili gammaherpesvirinae,
yaitu virus
herpes manusia-8 yang juga disebut
virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV).Penyakit ini sering muncul di kulit dalam
bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut,
saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfomasel B)
adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah
bening, misalnya seperti limfoma Burkitt
(Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse
large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer,
lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali
merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk.
Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian
besar disebabkan oleh virus
Epstein-Barr atau virus herpes
Sarkoma Kaposi.
Kanker
leher rahim pada wanita yang
terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus
papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor
lainnya, seperti limfoma Hodgkin,
kanker
usus besar bawah (rectum), dan
kanker anus.Namun
demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara
dan kanker usus besar
(colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di
tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan
dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab
kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.
5.
Infeksi oportunistik
lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik
dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan
dan kehilangan berat badan.Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium
avium-intracellulare
dan virus sitomegalo.Virus
sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti
yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus),
yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei,
atau disebut Penisiliosis,
kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis
dan kriptokokosis)
pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
E.
Pencegahan
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam
tubuh ialah melalui hubungan seksual,
persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta
dari ibu ke janin
atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal).Walaupun
HIV dapat ditemukan pada air liur,
air mata
dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi
dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara
umum dapat diabaikan.
1.
Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan
seksual tanpa pelindung
antarindividu yang salah satunya terkena HIV.Hubungan heteroseksual
adalah modus utama infeksi HIV di dunia.[60]
Selama hubungan seksual, hanya kondom
pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan
penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini
menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV
sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar
jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki
berbahan lateks,
jika digunakan dengan benar tanpa pelumas
berbahan dasar minyak,
adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi
transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak
produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin,
mentega,
dan lemak babi
tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat
melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang.Jika diperlukan, pihak produsen
menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air.Pelumas berbahan dasar
minyak digunakan dengan kondom poliuretan.
Kondom
wanita adalah alternatif selain kondom
laki-laki dan terbuat dari poliuretan,
yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak.Kondom
wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka
keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina.
Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam
vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan.Kendalanya
ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak
terjangkau untuk sejumlah besar wanita.Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan
tersedianya kondom wanita,
hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap
hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi
pencegahan HIV yang penting.
Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya
terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju
infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per
tahun. Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju.
Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis
di Eropa
dan Amerika
Utara menunjukkan keberadaan kelompok
minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun
telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka
hadapi atas infeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba
telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di
negara-negara maju.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang
menggunakan uji
acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat
laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika
sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara
yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan
sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat.
Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada
laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga
mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.
Pemerintah Amerika Serikat
dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk
menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual. Adapun rumusannya dalam
bahasa
Indonesia:
“
|
Anda
jauhi seks,
Bersikap saling setia dengan pasangan, Cegah dengan kondom. |
”
|
2. Kontaminasi
cairan tubuh terinfeksi
Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan
universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu
mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan
pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan
untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola,
sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain).Orang perlu menggunakan
jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan.Informasi tentang
membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program
penukaran jarum. Di sejumlah negara
maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau
tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum
dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu
resep dokter.
3. Penularan
dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus,
bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV
dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT). Jika pemberian
makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak
mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian
ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya
dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005,
sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui
penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari
semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal
di Afrika Sub Sahara.
F.
Penanganan
Sampai saat ini tidak ada vaksin
atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode
satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran
kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung
setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis
(PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP
juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare,
tidak enak badan, mual, dan lelah.
2.
Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini
telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996,
yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease
inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini,
berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri
dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus.
Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse
transcriptase inhibitor (atau NRTI)
dengan protease
inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI). Karena
penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang
dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak
daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan
perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus,
kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu
memulai perawatan awal.
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan
viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak
menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat
yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah
perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup
seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun
demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan
umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas
tingkat kesakitan (morbiditas)
dan tingkat kematian (mortalitas)
karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi
dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan
selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan.
Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12
tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima
puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini
karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi
antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang
resisten obat.Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi
antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh
manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak
taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial
yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan
sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga
kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis,
pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin . Berbagai
efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan
HAART, antara lain lipodistrofi,
dislipidaemia,
penolakan
insulin, peningkatan risiko sistem
kardiovaskular, dan kelainan
bawaan pada bayi yang dilahirkan.
3.
Penanganan
eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang
sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah
dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu
mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah
lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan
termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi
obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi
pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi
bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi
atas hepatitis
A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam
berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang
besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia
pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis
dan kriptokokusmeningitis
yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.
4.
Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan
untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupunktur
telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi
(peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun
tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek
obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman
obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah
kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.
Beberapa data
memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin
dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa,
meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas)
akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen
vitamin A
pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium
dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui
terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi
pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak
dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki
hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat
meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat
psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat
paling penting dari pemakaiannya.
Namun oleh
penelitian yang mengungkapkan adanya simtomahipotiroksinemia
pada penderita AIDS yang terjangkit virusHIV-1, beberapa pakar
menyarankan terapi dengan asupan hormon
tiroksin. Hormon tiroksin
dikenal dapat meningkatkan laju
metabolisme basalseleukariota
dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.
HIV adalah singkatan
dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara
menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem
kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan
penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.
2. AIDS
adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak
atau efek dari perkembang biakan virus hiv dalam tubuh makhluk hidup.
3. Metode
/ Teknik Penularan dan Penyebaran Virus HIV AIDS:
a. Darah
Contoh : Tranfusi darah, terkena darah hiv+ pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb
Contoh : Tranfusi darah, terkena darah hiv+ pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb
b. Cairan
Semen, Air Mani, Sperma dan Peju Pria
Contoh :
Laki-laki berhubungan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks, dsb.
c.
Cairan Vagina pada
Perempuan
Contoh : Wanita
berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks,
dll.
d.
Air Susu Ibu / ASI
Contoh : Bayi
minum asi dari wanita hiv+, Laki-laki meminum susu asi pasangannya, dan lain
sebagainya.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah
ini masih kurang dari kesempurnaan karena kurangnya referensi yang kami
dapatkan. Jadi, kritik dan saran yang sifatnya membangun khususnya dari dosen
pembimbing maupun dari rekan-rekan pembaca sangat kami harapkan untuk
kesempurnaan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Flexner, C.
1998. HIV-Protease Inhibitor. N. Engl.
J.Med. 338:1281-1293
Patrick, A.K.
& Potts, K.E. 1998. Protease
Inhibitors as Antiviral Agents. Clin. Microbiol.
Rev. 11: 614-627.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar