BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia sudah lebih dari setengah abad merayakan hari
kemerdekaannya terhitung dari tanggal 17 Agustus 1945. Perayaan itu memberikan
gambaran dariproses lahirnya konstitusi tertulis Negara Indonesia yaitu UUD
1945. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 ditetapkan sebagai
Konstitusi Republik Indonesia. Konstitusi tersebut telah dijadikan landasan
berjalannya sistem ketatanegaraan negara ini. Berbagai isi/muatan yang
terkandung dari awal pembentukan hingga perubahan yang keempat kalinya telah
mengalami perubahan pula.
Fenomena perubahan yang terjadi mengingat pula bahwa Indonesia merupakan negara
yang berdaulat terhadap hukum. Hukum yang selalu mengikuti perkembangan zaman
telah memberikan sumbangsih atas perubahan-perubahan yang terjadi pada materi
muatan UUD tersebut.
Undang-Undang Dasar setelah
perubahan memberikan nuansa yang sangat berbeda pada tataran muatan yang
terkandung di dalamnya. Banyak muatan yang secara sosial, hukum, politik dan
ekonomi mengalami perubahan yang mendasar. Setiap perubahan yang terjadi tidak
dapat dipisahkan dari peran Paham Konstitusi (Constitutional Doctrine)
yang berkembang pada saat Republik Indonesia sebagai negara hukum, memproses
perubahan konstitusi tersebut.
Paham konstitusionalisme dipahami sebagai upaya pembatasan dan pengaturan
kekuasaan negara yang memahaminya. Pada tulisan ini penulis ingin menyampaikan
materi muatan konstitusi seperti apa yang terjadi setelah dirubahnya UUD 1945
dan latar belakang pemikiran yang seperti apa pula hingga masyarakat Indonesia
berkeinginan mengubah UUD 1945.
Penulis juga akan menyempatkan untuk mengingatkan setiap perubahan yang terjadi
harus mencerminkan sikap warga negara yang menjunjung tinggi kadaulatan hukum
sebagai pelaksanaan ketatanegaraan dan kehidupan sehari-hari. Sehingga
muatan-muatan yang terkandung di dalam konstitusi kita dapat langsung dirasakan
bagi masyarakat Indonesia agar tercipta keadilan sosial bagi seluruhnya. Dari
beberapa materi muatan seperti pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia, Susunan
Ketatanegaraan, Pembagian dan Batasan Lembaga Negara yang bersifat fundamental
akan dibahas secara mendalam pada tulisan ini.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumusukan suatu permasalahan, yaitu
“bagaimanakah proses perubahan dan alasan pembentukan konstitusi atau UUD 1945
di Indonesia?”
3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah “Perubahan Pembentukan Konstitusi atau
UUD 1945″ ini adalah untuk mengetahui proses perubahan pembentukan konstitusi
atau UUD 1945 di Indonesia mulai dari awal pembentukan hingga perubahan yang
keempat kalinya telah mengalami perubahan pula.
Manfaat dalam makalah
“Perubahan Pembentukan Konstitusi atau UUD 1945″ ini yaitu dapat mengetahui
proses perubahan pembentukan konstitusi atau UUD 1945 di Indonesia mulai dari
awal pembentukan hingga perubahan yang keempat kalinya telah mengalami
perubahan pula.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebagai negara yang berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki konstitusi
yang dikenal dengan undang-undang dasar 1945. Eksistensi Undang-Undang Dasar
1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangat panjang
hingga akhirnya diterima sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan
di Indonesia.
1. Sejarah
Lahir Konstitusi
Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancang
sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang dikenal
dengan dokuritsu zyunbi tyoosakai yang beranggotakan 21 orang, diketuai
Ir. Soekarno dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil ketua dengan 19 orang anggota
yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3 orang dari Sumatra dan
masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. Badan tersebut
(BPUPKI) ditetapkan berdasarkan maklumat gunseikan nomor 23 bersamaan
dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945 (Malian, 2001).
Badan ini kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas
menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka yang kemudian dikenal dengan nama
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Para tokoh perumus itu adalah antara lain
Dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata,
Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prof. Dr.
Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr.
Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi),
Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso,
Abdul WACHID hasyim dan Mr. Mohammad Hasan (Sumatra).
Latar belakang terbentuknya konstitusi (UUD 1945)
bermula dari janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia
dikemudian hari. Janji tersebut antara lain berisi “Sejak dari dahulu, sebelum
pecahnya peperangan Asia Timur Raya, Dai Nippon sudah mulai berusaha
membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Tentara
Dai Nippon serentak menggerakkan angkatan perangnya, baik di darat, laut,
maupun udara, untuk mengakhiri kekuasaan penjajahan Belanda”.
Sejak saat itu Dai Nippon Teikoku memandang bangsa
Indonesia sebagai saudara muda serta membimbing bangsa Indonesia dengan giat
dan tulus ikhlas di semua bidang, sehingga diharapkan kelak bangsa Indonesia
siap untuk berdiri sendiri sebagai bangsa Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah
janji, penjajah tetaplah penjajah yang selalu ingin lebih lama menindas dan
menguras kekayaan bangsa Indonesia. Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu,
Jepang tak lagi ingat akan janjinya. Setelah menyerah tanpa syarat kepada
sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan leluasa untuk berbuat dan tidak
bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan tiba.
Setelah kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah
konstitusi resmi nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan segera harus
dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia menjadi sebuah negara yang berdaulat.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar kemerdekaan, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali
dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut:
- Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan undang-undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.
- Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
- Memilih ketua persiapan kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden. Pekerjaan presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang kemudian menjadi komite Nasional.
- Dengan terpilihnya presiden dan wakilnya atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka secara formal Indonesia sempurna sebagai sebuah Negara, sebab syarat yang lazim diperlukan oleh setiap Negara telah ada yaitu adanya:
- Rakyat, yaitu bangsa Indonesia.
- Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang terbentang dari sabang hingga ke merauke yang terdiri dari 13.500 buah pulau besar dan kecil.
- Kedaulatan yaitu sejak mengucap proklamasi kemerdekaan Indonesia.
- Pemerintah yaitu sejak terpilihnya presiden dan wakilnya sebagai pucuk pimpinan pemerintahan Negara.
Tujuan negara yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan pancasila. Bentuk negara yaitu Negara Kesatuan.
2. Alasan perubahan
UUD 1945
a.UUD 1945 bersifat sementara
Sifat kesementaraan UUD 1945 ini
sebetulnya telah disadari sepenuhnya oleh para perumus UUD 1945. Mereka berpacu
dengan momentum kekalahan bala tentara jepang dalam perang pasifik . oleh
karena itu UUD sementara harus segera diselesaikan dengan harapan bisa
dijadikan landasan sementara bagi Negara yang hendak didirikan. Para pemimpin
kita tidak mau berlama-lama membuat undang-undang dasar karena harus
mengutamakan kemerdekaan bangsa.
Kesadaran itu juga disadari
sepenuhnya oleh Ir.soekaro yang terpilih sebagai presiden pertama Indonesia.
Ketua panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) ini ketika membuka siding
pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, mengatakan bahwa UUD 1945 dibuat
secara kilat .
b.UUD 45 Memiliki kelemahan dan terlalu sederhana
sebagai
sebuah konstitusi yang dibuat secara darurat dan terkesan buru-buru, UUD 1945
memiliki kelemahan yang cukup mendasar. Kita ketahui bahwa UUD 45 yang hanya
berisi 37 pasal itu terlalu sederhana untuk sebuah konstitusi bagi Negara
sebesar dan seberagam Indonesia. Hal ini bukannya tanpa disadari oleh para
pembuatnya. Mereka berpendapat bahwa pelaksanaan UUD 1945 bisa diatur lebih
lanjut dalam Undqang-Undang(UU).
Apabila
para pembuat Undang-Undang tidak memilki visi, semangat dan cita-cita yang sama
dengan para pembuat UUD 1945 akan membahayakan kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara. Oleh karena kondisi inilah yang membuka peluang terjadinya pratik
penyimpangan dan kesewenang-wenangan presiden selaku pembuat undang-undang.
Presiden pun bisa berkelit bahwa undang-undang yang ia buat merupakan amanat
UUD 1945.
Kelemahan
UUD 1945 yang lain adalah belum secar tegas mengatur kehidupan yang demokratis,
supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, dan otonomi daerah. Konstitusi
kita tersebut juga tidak mengatur peamberdayaan rakyat sehingga terjadi
kesenjangan social ekonomi. Praktik monopoli, oligopoly, dan monopsoni tumbuh
dengan susbur tanpa kendali.
c. UUD 1945 memberi kekuasaan yang besar kepada
presiden
UUD 1945 jelas-jelas member
kekuasaan terlau besar kepada presiden. Setidaknya 12 pasal dari 37 pasal UUD
1945 (pasal 4-pasal 15)memberikan hak kepada presiden tanpa adanya perimbangan.
Persiden mempunayi hak prerogative dan legislative sekaligus. Dampak dari
pelimpahan kekuasaan itu adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, munculnya
kekuasaan otoriter, korup dan menindas rakyat, serta menciptakan
penyelenggaraan Negara yang buruk. Hal itu bisa kita selama kepemimpinan presiden
Ir.soekarno dan soeharto.
Prinsip kedaulatan rakyat yang
dilakukan sepenuhnya oleh MPR(pasal 1 UUD 1945), pun membukan praktik
penyimpangan. Hal itu di perparah dengan pengangkatan anggota MPR utusan daerah
dan golongan oleh presiden berdasar Undang-Undang. Presiden mempunyai
keleluasaan memilih anggota MPR yang sesuai dengan kepentingannya .
d. UUD 1945 tidak menganut Checks and Balances
UUD 1945 mendelegasikan kekuasaan
yang sangat besar kepada kepada eksekutif. Menurut penjelasan UUD 1945,
presiden adalah penyelenggara pemerintahan Negara yang tertinggi dibawah
majelis. Presiden merupakan pusat kekuasaan yang diberi kewenangan menjalankan
pemerintahan sekaligus berkuasa membuat Undang-Undang.
Dua cabang kekuasaan yang berada
ditangan presiden ini menyebabkan tidak jalannya prinsip saling mengawasi dan
saling mengimbangi(checks and balances). Selain itu, kekuasaan yang menumpuk
pada satu orang berpotensi melahirkan kekuasaan yang otoriter. Inilah yang
menjadi selama kepemimpinan dua orde di Indonesia.
e.Pasal-Pasal UUD 1945 terlalu “luwes”
sebagai sebuah konstitusi , UUD 1945
selain sederhana juga hanya berisi pokok-pokok. Harapannya segera
ditindaklanjuti dengan Undang-Undang. Namun, hal ini justru menetapkan UUD 1945
sebagai sesuatu yang luwes dan multitafsir. UUD 1945 dapat dengan mudah
diinterpretasikan oleh siapapun termasuk penguasa. Oleh karena itu, kepentingan
pribadi atau golongan bisa dengan mudah menyelinap dalam praktik pemerintahan
dan ketatanegaraan kita . misalnya pada pasal 7 UUD 1945 disebutkan,”presiden
dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali”.
3. Tujuan amandemen
UUD 1945 menurut Husnie Thamrien, wakil ketua MPR dari F-PP, adalah :
- untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kekuatan rakyat,
- memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi,
- menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak agar sesuai dengan perkembangan HAM dan peradaban umat manusia yang menjadi syarat negara hukum,
- menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasan secara tegas sistem check and balances yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan jaman,
- menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara memwujudkan kesejahteraan sosial mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika dan moral serta solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan,
- melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi,
- menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi kebutuhan dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.
4. Dasar Pemikiran Dan
Latar Belakang Perubahan UUD 1945
- Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
- Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
- UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
- UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
- Rumusan
UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung
ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang
demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi
manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya
praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945,
antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
5. Perkembangan
Konstitusi di Indonesia
Konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan
dalam penyelenggaraan suatu negara dapat berupa konstitusi tertulis dan
konstitusi tidak tertulis. Dalam hal konstitusi terstulis, hampir semua negara
di dunia memilikinya yang lazim disebut Undang-Undang Dasar (UUD) yang pada
umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang, dan cara bekerja
berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia. Negara yang
dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah
Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua
lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi manusia terdapat pada adat
kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru
maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari
tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris. Karena
ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya
hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori
negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
Adanya negara yang dikenal sebagai negara
konstitusional tetapi tidak memiliki konstitusi tertulis, nilai-nilai, dan
norma-norma yang hidup dalam praktik penyelenggaraan negara juga diakui
sebagai hukum dasar, dan tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti
yang luas. Karena itu, Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta
nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi
ketatanegaraan dalam praktik penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke
dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (Droit Constitusionnel)
suatu negara.
Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan
bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan
materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan
peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Kajian tentang konstitusi semakin
penting dalam negara-negara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri
sebagai negara konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki
konstitusional. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui
prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta
struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat
dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
Suatu konstitusi tertulis, sebagaimana halnya
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), nilai-nilai dan norma dasar yang hidup
dalam masyarakat serta praktik penyelenggaraan negara turut mempengaruhi
perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana
kebatinan (Geistichenh Enter Grund) yang menjadi latar belakang
filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan yuridis suatu ketentuan
Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan
sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui
teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks
filosofis, sosio-historis, sosio-politis, sosio-yuridis, dan bahkan
sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Disamping itu, setiap kurun
waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk
dan mempengaruhi kerangka pemikiran (Frame of Reference) dan medan
pengalaman (Ield of Experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda,
sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat
terus berkembang dalam praktik di kemudian hari. Karena itu, penafsiran terhadap
Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang,
memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan
sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang
ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai
penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar, diperlukan pula adanya
pokok-pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal
undang-undang dasar serta keterkaitannya secara langsung atau tidak langsung
terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar.
6. Undang-Undang
Dasar 1945
UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai
konstitusi negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan negara
Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada
tanggal 17 Agustus 1945. Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh
satu badan bentukan pemerintahbalatentara Jepang yang diberi nama “Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai” yang dalam bahasa Indonesia disebut “Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan anggota
badan ini dilantik oleh Pemerintah Balatentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945
dalam rangka memenuhi janji Pemerintah Jepang di depan parlemen (Diet)
untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia . Namun, setelah
pembentukannya, badan ini tidak hanya melakukan usaha-usaha persiapan
kemerdekaan sesuai dengan tujuan pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan
naskah Undang-Undang Dasar sebagai dasar untuk mendirikan negara Indonesia
merdeka.
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) ini beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T. Radjiman
Wedyodiningrat, serta Itibangase Yosio dan Raden Panji Suroso, masing-masing
sebagai Wakil Ketua. Persidangan badan ini dibagi dalam dua periode, yaitu masa
sidang pertama dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan masa sidang
kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945.
Dalam kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan dalam
sidang-sidang BPUPKI langsung tertuju pada upaya mempersiapkan pembentukan
sebuah negara merdeka. Hal ini terlihat selama masa persidangan pertama, pembicaraan
tertuju pada soal ‘philosoische grondslag‘, dasar falsafah yang harus
dipersiapkan dalam rangka negara Indonesia merdeka. Pembahasan mengenai hal-hal
teknis tentang bentuk negara dan pemerintahan baru dilakukan dalam masa
persidangan kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Agustus 1945 .
Dalam masa persidangan kedua itulah dibentuk Panitia
Hukum Dasar dengan anggota terdiri atas 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno.
Panitia ini membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan
anggota yang terdiri atas Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji
Singgih, Haji Agus Salim, dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil
berhasil menyelesaikan tugasnya, dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya sebagai
rancangan Undang-Undang Dasar pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah BPUPKI
berhasil menyelesaikan tugasnya, Pemerintah Balatentara Jepang membentuk
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang,
termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan
Wakil Ketua.
Setelah mendengarkan laporan hasil kerja BPUPKI yang
telah menyelesaikan naskah rancangan Undang-Undang Dasar, pada sidang PPKI
tanggal 18 Agustus 1945, beberapa anggota masih ingin mengajukan usul-usul
perbaikan disana-sini terhadap rancangan yang telah dihasilkan, tetapi akhirnya
dengan aklamasi rancangan UUD itu secara resmi disahkan menjadi Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. Namun demikian, setelah resmi disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945.
UUD 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam
setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada
pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk sesegera mungkin membentuk
negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. UUD 1945 memang dimaksudkan
sebagai UUD sementara yang menurut istilah Bung Karno sendiri merupakan ‘revolutie-grondwet‘
atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru
apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Hal ini
dicantumkan pula dengan tegas dalam ketentuan asli Aturan Tambahan Pasal II UUD
1945 yang berbunyi:
“Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan
Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Adanya ketentuan Pasal III Aturan Tambahan ini juga
menegaskan bahwa UUD Negara Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan
ada setelah MPR-RI menetapkannya secara resmi. Akan tetapi, sampai UUD 1945
diubah pertama kali pada tahun 1999, MPR yang ada berdasarkan UUD 1945 belum
pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
7. Konstitusi
RIS 1949
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir dengan kemenangan
di pihak Tentara Sekutu dan kekalahan di pihak Jepang, maka kepergian
Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah air Indonesia dimanfaatkan oleh
Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Namun, usaha Pemerintah
Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya tidak mudah karena mendapat
perlawanan yang sengit dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena itu,
Pemerintah Belanda menerapkan politik adu domba dengan cara mendirikan dan
mensponsori berdirinya beberapa negara kecil di berbagai wilayah nusantara,
seperti Negara Sumatera, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa
Timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan negara-negara yang terpecah-pecah itu
diharapkan pengaruh kekuasaan Republik Indonesia di bawah kendali pemerintah
hasil perjuangan kemerdekaan dapat dieliminir oleh Pemerintah Belanda.
Sejalan dengan hal itu, Tentara Belanda melakukan
Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun1948 untuk maksud kembali
menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak, maka atas pengaruh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 November
1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (Round Table Conference) di Den
Haag. Konperensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan ‘Bijeenkomst
voor Federal Overleg‘ (B.F.O.) serta wakil Nederland dan Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konferensi Meja Bundar (KMB) tersebut berhasil
menyepakati tiga hal, yaitu:
1.
Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
2.
Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal,
yaitu:
a.
Piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda
lepada Pemerintah RIS;
b.
Status uni; dan
c.
Persetujuan perpindahan.
3.
Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat
dengan Kerajaan Belanda.
Naskah konstitusi Republik Indonesia Serikat disusun
bersama oleh delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO ke Konperensi Meja
Bundar itu. Dalam delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad
Roem, terdapat Prof. Dr. Soepomo yang terlibat dalam mempersiapkan naskah
Undang-Undang Dasar tersebut. Rancangan UUD itu disepakati bersama oleh kedua
belah pihak untuk diberlakukan sebagai Undang-Undang Dasar RIS. Naskah Undang-
Undang Dasar yang kemudian dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS itu
disampaikan kepada Komite Nasional Pusat sebagai lembaga perwakilan rakyat di
Republik Indonesia dan kemudian resma mendapat persetujuan Komite Nasional
Pusat tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Selanjutnya, Konstitusi RIS
dinyatakan berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat
berdasarkan Konstitusi RIS Tahun 1949 itu, wilayah Republik Indonesia sendiri
masih tetap ada di samping negara federal Republik Indonesia Serikat. Karena,
sesuai ketentuan Pasal 2 Konstitusi RIS, Republik Indonesia diakui sebagai
salah satu negara bagian dalam wilayah Republik Indonesia Serikat, yaitu
mencakup wilayah yang disebut dalam persetujuan Renville. Dalam wilayah
federal, berlaku Konstitusi RIS 1949, tetapi dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai salah satu negara bagian tetap berlaku UUD 1945. Dengan demikian,
berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal ketatanegaraan Indonesia, baru berakhir
bersamaan dengan berakhirnya masa berlakunya Konstitusi RIS, yaitu tanggal 27
Agustus 1950, ketika UUDS 1950 resmi diberlakukan.
Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konperensi
Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan
sebagai UUD yang bersifat sementara. Disadari bahwa lembaga yang membuat dan
menetapkan UUD itu tidaklah representatif. Karena itu, dalam Pasal 186
Konstitusi RIS ini ditegaskan ketentuan bahwa Konstituante bersama-sama dengan
Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Dari ketentuan Pasal 186 ini, jelas sekali artinya bahwa Konstitusi RIS 1949 yang
ditetapkan di Den Haag itu hanyalah bersifat sementara saja.
8. UUD
Sementara 1950
Bentuk negara federal nampaknya memang mengandung
banyak sekali nuansa politis, berkenaan dengan kepentingan penjajahan Belanda.
Karena itu, meskipun gagasan bentuk negara federal mungkin saja memiliki
relevansi sosiologis yang cukup kuat untuk diterapkan di Indonesia, tetapi
karena terkait dengan kepentingan penjajahan Belanda itu maka ide feodalisme
menjadi tidak populer. Apalagi, sebagai negara yang baru terbentuk, pemerintahan
Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap konsolidasi kekuasaan yang efektif
sedemikian rupa sehingga bentuk negara kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk
diterapkan daripada bentuk negara federal.
Karena itu, bentuk negara federal RIS ini tidak bertahan
lama. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan itu, mula-mula tiga wilayah negara
bagian, yaitu Negara Republilk Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara
Sumatera Timur menggabungkan diri menjadi satu wilayah Republik Indonesia.
Sejak itu wibawa Pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang,
sehingga akhirnya dicapailah kata sepakat antara Pemerintah Republik Indonesia
Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali bersatu mendirikan
negara kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan itu dituangkan dalam satu
naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950, yang pada intinya
menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara kesatuan
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam rangka persiapan ke arah itu, maka untuk
keperluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang Dasar, dibentuklah statu Panitia
bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah selesai, rancangan naskah
Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat
Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya, naskah
UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus, 1950, yaitu
dengan ditetapkannya UU No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini bersifat mengganti
sehingga isinya tidak hanyamencerminkan perubahan terhadap Konstitusi Republik
Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS itu
dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950.
Seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga
bersifat sementara. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan Pasal 134 yang
mengharuskan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah segera menyusun
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara Tahun 1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari Konstitusi RIS yang
tidak sempat membentuk Konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat
UUDS 1950 telah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil
diselenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.
Pemilihan Umum ini diadakan berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953.
Undang-Undang ini berisi dua pasal. Pertama berisi ketentuan perubahan
Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; Kedua berisi ketentuan mengenai tanggal mulai
berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu menggantikan Konstitusi
RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. Atas dasar UU inilah diadakan Pemilu tahun
1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante yang diresmikan di kota
Bandung pada tanggal 10 November 1956.
Majelis Konstituante ini tidak atau belum sampai
berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru ketika
Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa Konstituante telah gagal, dan atas dasar
itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD
1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia selanjutnya. Menurut Adnan Buyung
Nasution dalam disertasi yang dipertahankannya di negeri Belanda, Konstituante
ketika itu sedang reses, dan karena itu tidak dapat dikatakan gagal sehingga
dijadikan alasan oleh Presiden untuk mengeluarkan dekrit. Namun demikian,
nyatanya sejarah ketatanegaraan Indonesia telah berlangsung sedemikian rupa,
sehingga Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 itu telah menjadi kenyataan
sejarah dan kekuatannya telah memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara
Republik Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Memang kemudian timbul kontroversi yang luas berkenaan
dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden yang dituangkan dalam bentuk
Keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum yang sah untuk memberlakukan
kembali Undang-Undang Dasar 1945. Prof. Djoko Soetono memberikan pembenaran
dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit Presiden yang diberi baju hukum dalam
bentuk Keputusan Presiden itu dengan prinsip ‘staatsnoodrecht‘.
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, prinsip ‘staatsnoodrecht‘
itu pada pokoknya sama dengan pendapat yang dijadikan landasan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara masa Orde Baru untuk menetapkan Ketetapan MPR
No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru itu saja menggambarkan pendirian
MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai tahun 1965 adalah masa Orde Lama yang
dinilai tidak mencerminkan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan TAP No.XX/MPRS/1966 tersebut dengan asumsi
bahwa perubahan drastis perlu dilakukan karena adanya prinsip yang sama, yaitu
keadaan darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas dari kontroversi itu, yang jelas, sejak
Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945 terus berlaku dan diberlakukan
sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap sebagai UUD sementara. Akan tetapi,
karena konsolidasi kekuasaan yang makin lama makin terpusat di masa Orde Baru,
dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi yang statis karena pucuk pimpinan
pemerintahan tidak mengalami pergantian selama 32 tahun, akibatnya UUD 1945
mengalami proses sakralisasi yang irrasional selama kurun masa Orde Baru itu.
UUD 1945 tidak diizinkan bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Padahal,
UUD 1945 itu jelas merupakan UUD yang masih bersifat sementara dan belum pernah
dipergunakan atau diterapkan dengan sungguh-sungguh. Satu-satunya kesempatan
untuk menerapkan UUD 1945 itu secara relatif lebih murni dan konsekuen hanyalah
di masa Orde baru selama 32 tahun. Itupun berakibat terjadinya stagnasi atas
dinamika kekuasaan.
Siklus kekuasaan berhenti, menyebabkan Presiden
Soeharto seakan terpenjara dalam kekuasaan yang dimilikinya, makin lama makin
mempribadi secara tidak rasional. Itulah akibat dari diterapkannya UUD 1945
secara murni dan konsekuen.
9. Perubahan
UUD 1945
Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang
paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan
Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi
melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai
pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan
dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal
yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan
oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 .
Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di
era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional
Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi
Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan
amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan
kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan
dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR
membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:
1.
Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
2.
Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia,
3.
Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil
(dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri
umum sistem presidensiil),
4.
Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada
dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945, dan
5.
Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen
terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap
dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga
perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan
kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian
secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No.
I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua
pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada
tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah
mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat
dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas
UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang
baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum
MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober
1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal
19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil
mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan
masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan
sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama sekali.
Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945, yaitu atas
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21. Kesembilan pasal
yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16 ayat
atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus
berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi
menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi
yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi,
yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang
Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang
Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27
pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka
isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah
dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam
Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil menetapkan naskah Perubahan
Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001. Bab-bab UUD 1945 yang mengalami
perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini adalah Bab I tentang Bentuk dan
Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang
Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VIIA
tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA
tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan
68 butir ketentuan atau ayat. Dari segi jumlahnya dapat dikatakan naskah
Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan materinya. Tapi di samping itu,
substansi yang diaturnya juga sebagian besar sangat mendasar. Materi yang
tergolong sukar mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya dalam
sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif materi Perubahan
Ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif
materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan Sangay mendasar pula.
Perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang
reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah perubahan yang
ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan
Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam naskah Perubahan Keempat
ini, ditetapkan bahwa:
1.
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan
perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan
kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara
aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat;
2.
Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat
“Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”;
3.
Pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4)
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A;
4.
Penghapusan judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan
Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III
tentang Kekuasaan Pemerintahan negara;
5.
Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal
6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal
23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4)
dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II,
dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945
mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD.
Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami perubahan,
ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD. Paradigma pemikiran atau
pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah
mengalami empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang
terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal
18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD
1945 ditegaskan,
“Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar
ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas
Pembukaan dan pasal-pasal”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10
Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tak
terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah
UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat
kali berubah, jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok
pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali
berbeda dari apa yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik sutau
kesimpulan bahwa sesungguhnya materi muatan yang terkandung pada Konstitusi
Indonesia (UUD 1945) mencakup hal-hal mengenai politik, ekonomi, hukum dan HAM.
Diaturnya hampir semua elemen kehidupan manusia ini memberikan konsekuensi
terhadap pelaksanaan ketatanegaraan yang harus berdasarkan kepada kepentingan
rakyat banyak atau tujuan negara itu sendiri. Mengenai ketentuan ekonomi pada
konstitusi Indonesia sudah mengalami perbaikan yang sangat berarti, jika
dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum diamandemen. Harus juga dipahami prinsip
perekonomian seperti halnya, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan, kemajuan, kesatuan ekonomi
nasional . Seluruhnya harus dijadikan pedoman pelaksanaan perekonomian di
Indonesia.
Terhadap ketentuan sosial yang terkadung tidak cukup mensejahterakan rakyat,
tetapi perlu juga diperhatikan demi kepentingan bersama untuk mencerdaskan
bangsa. Beberapa alasan diamandemennya UUD 1945 menjadi koreksi bagi pemerintah
atau para pelaksana perubahan UUD 1945 untuk secara langsung melibatkan
kepentingan rakyat dan aspirasi rakyat.
B. Saran
Saran yang
dapat diajukan dalam makalah “Perubahan Pembentukan Konstitusi atau UUD 1945″
ini yaitu diharapkan agar pemerintah dalam membuat ketentuan mengenai susunan
kelambagaan dan pelaksanaan Lembaga Perwakilan, lebih tepatnya mengenai
pengaturan hukumnya yang nampaknya masih dirasakan bingung menamakan sistem
perwakilan yang berlaku agar konstitusi yang dikaitkan dengan negara hukum
selain maksud untuk membatasi dan mengatur kekuasaan negara yang sedang
berlangsung perlu juga mementingkan kesejahteraan rakyat banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Jimly, Asshidiqie. 2005. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press.
Jakarta.
Ø A.G., Pringgodigdo. 1958. “Sejarah Pembentukan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia”.
Majalah Hukum dan Masyarakat. Bandung
Ø Dahlan Thaib, dkk,. 2008. Teori dan Hukum Konstitusi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Ø Soemantri, Sri. 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang-Tubuh UUD 1945
(Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945), Ed. II, Cet. 1, Alumni.
Bandung.
Ø Vanzhart. 2012. Sejarah
Lahir dan Perkembangan Konstitusi (UUD 1945). http://vahzhart.blogspot.com/. Diakses
pada hari Rabu tanggal 28 November 2012 pukul 18.30.
KATA PENGANTAR
Segala puji
bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah
ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan
sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca
dapat mengetahui beberapa perubahan pembentukan konstitusi atau UUD 1945 yang
kami sajikan berdasarkan pengamatan dan referensi dari berbagai sumber. Makalah
ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini
memuat tentang “Perubahan Pembentukan Konstitusi atau UUD 1945″ dan sengaja
dipilih karena menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlu mendapat
dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap dunia hukum.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Terima kasih.
Raha, Maret 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………..
Kata Pengantar ………………………………………………………………
Daftar Isi ……………………………………………………………………..
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………..
1.
Latar Belakang ……………………………………………..
2.
Rumusan Masalah ………………………………………….
3.
Tujuan dan Manfaat ………………………………………..
BAB II. PEMBAHASAN ……………………………………….……………
1.
Sejarah Lahir Konstitusi ……………………………………
2.
Perkembangan Konstitusi di Indonesia ……………………..
3.
Undang-Undang Dasar 1945 ……………………………….
4.
Konstitusi RIS 1949 ……………………………………….
5.
UUD Sementara 1950 ………………………………………
6.
Perubahan UUD 1945 ……………………………..………
BAB III. PENUTUP …………………………………………….………………
- Kesimpulan ………………………………………………………………….
- Saran ………………………………………………………………………..
- Daftar Pustaka ……………………..………………………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar