BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dalam
konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan
asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh
negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan
untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu
mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari masa ke masa.
Para founding fathers sadar sepenuhnya bahwa untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan, jalan satu-satunya adalah dengan pendidikan. Kesadaran tersebut dituangkan dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selanjutnya, pada batang tubuh, pasal 31 UUD 1945 lebih tegas lagi menyatakan”(1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ” (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pada masa reformasi, dengan memperhatikan kondisi global, percepatan akselerasi pembangunan pendidikan menjadi prioritas utama pembangunan.
Para founding fathers sadar sepenuhnya bahwa untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan, jalan satu-satunya adalah dengan pendidikan. Kesadaran tersebut dituangkan dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selanjutnya, pada batang tubuh, pasal 31 UUD 1945 lebih tegas lagi menyatakan”(1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ” (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pada masa reformasi, dengan memperhatikan kondisi global, percepatan akselerasi pembangunan pendidikan menjadi prioritas utama pembangunan.
Suatu pendidikan
dipandang bermutu-diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan kebudayaan nasional adalah pendidikan yang berhasil
membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian.
Untuk itu perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan
suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta
didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan
kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang
secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip
pendidikan demokratis.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei
Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia
berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di
bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000),
Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37
dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga
yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin
teknologi dari 53 negara di dunia
Memasuki abad ke- 21
dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan
disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar. Salah
satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan
terbuka. Kemajuan teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran
baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan negara lain.Yang kita rasakan sekarang adalah adanya
ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal.
Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain.
Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia
Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat
meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan
sumber daya manusia di negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas
bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah
rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan
formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya manusia yang mempunyai
keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Mengenai masalah pendidikan, pemerintah sebenarnya sudah sangat memberikan
perhatian dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan, hal ini terlihat dari
anggaran pendidikan yang dialokasikan 20% dari anggaran pendapatan dan belanja
negara setiap tahunnya (dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS). Dengan
anggaran 20% tersebut, setidaknya permasalahan-permasalahan seperti mahalnya
biaya pendidikan, banyak siswa yang putus sekolah, dan otonomi pendidikan dapat
diminimalisir, namun ternyata yang menjadi pusat permasalahan sekarang adalah
20% dari anggaran pendidikan tersebut belum dapat terserap secara keseluruhan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar
belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa
saja dampak yang ditimbulkan dari kurangnya daya serap anggaran pendidikan di
Indonesia?
2. Bagaimana keadaan dunia pendidikan Indonesia
dimasa yang akan datang, jika kurangnya daya serap anggaran pendidikan ini
belum dapat diselesaikan?
3. Bagaimana solusi untuk mengatasi kurangnya
daya serap anggaran pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan
1. untuk
Mengatahui Besarnya Anggaran Pendidikan yang
Dialokasikan pada APBN
2. untuk
mengetahui bagaimana keadaan pendidikan indonesia di masa yang akan datang
3. memberikan
solusi untuk mengatasi kurangnya daya
serap anggaran pendidikan di indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Anggaran
Pendidikan
Ketentuan anggaran
pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 49
tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (dalam UU RI No.
20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Pasal 49 Ayat 1).
Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 Untuk tahun 2007 saja alokasi APBN untuk anggaran sektor pendidikan hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. Permasalahan lainnya yang timbul, bukan karena pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan sejumlah dana yang telah dianggarkan. Namun, lebih dikarenakan anggaran pendidikan belum terserap secara keseluruhan. Hal ini disebabkan waktu pemakaian yang terbatas, dan karena program dinas pendidikan provinsi tidak jelas, serta kurangnya efektivitas birokrasi
Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 Untuk tahun 2007 saja alokasi APBN untuk anggaran sektor pendidikan hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. Permasalahan lainnya yang timbul, bukan karena pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan sejumlah dana yang telah dianggarkan. Namun, lebih dikarenakan anggaran pendidikan belum terserap secara keseluruhan. Hal ini disebabkan waktu pemakaian yang terbatas, dan karena program dinas pendidikan provinsi tidak jelas, serta kurangnya efektivitas birokrasi
B. Daya Serap Anggaran Pendidikan
Kompleksitas
persoalan pendidikan secara nyata tidaklah selesai dengan penambahan jumlah
anggaran. Faktanya, efektivitas mesin birokrasi bidang pendidikan juga amat
menentukan capaian keberhasilan penyediaan akses pendidikan publik. Di tengah
menganggurnya sejumlah anggaran (yang belum diserap) Kementerian Pendidikan
Nasional, dan mencuatnya fakta keterbatasan infrastruktur pendidikan,
menyebabkan ribuan hinggan jutaan anak didik tak bisa menikmati pendidikan
adalah hal yang patut kita sesali. Semestinya anggaran pendidikan harus bisa
digunakan secara efisien dan efektif. Penggunaan anggaran disebut efektif jika
anggaran yang digunakan sesuai atau lebih kecil daripada yang telah
direncanakan dan menghasilkan layanan serta produksi pendidikan yang sama atau
melebihirencana semula, sedangkan penggunaan anggaran disebut efektif bila
dengan anggaran tersebut tujuan pendidikan yang telah direncanakan semula bisa
dicapai dengan kuantitas dan kualitas yang sama atau melebihi dari yang
direncanakan (dalam Pidarta, 2007:272)
Andai 81.1 persen sisa anggaran pendidikan (dari Rp 55,6 triliun) bisa digunakan secara efektif dan efisien, maka persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat selama ini bisa diminimalisir, bahkan mungkin tidak akan terjadi
Andai 81.1 persen sisa anggaran pendidikan (dari Rp 55,6 triliun) bisa digunakan secara efektif dan efisien, maka persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat selama ini bisa diminimalisir, bahkan mungkin tidak akan terjadi
C. Efektivitas Kerja Birokrasi Pendidikan
Tidak dipungkiri, bahwa karena kurang cerdasnya manajemen anggaran pendidikan, jutaan anak bangsa hari ini harus terbengkalai hak akses pendidikannya. Fakta kecilnya daya serap anggaran pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional, juga membuktikan bahwa persoalan keterbatasan penyediaan akses pendidikan, utamanya bukan pada soal minimnya anggaran, tetapi lebih pada daya serap, serta efektivitas kinerja birokrasi dalam mengelola anggaran pembiayaan pendidikan kita.
Tidak dipungkiri, bahwa karena kurang cerdasnya manajemen anggaran pendidikan, jutaan anak bangsa hari ini harus terbengkalai hak akses pendidikannya. Fakta kecilnya daya serap anggaran pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional, juga membuktikan bahwa persoalan keterbatasan penyediaan akses pendidikan, utamanya bukan pada soal minimnya anggaran, tetapi lebih pada daya serap, serta efektivitas kinerja birokrasi dalam mengelola anggaran pembiayaan pendidikan kita.
D. Dampak Kurangnya Daya Serap Anggaran
Pendidikan
Kurangnya daya serap anggaran pendidikan di Indonesia ini menimbulkan dampak yang sangat terasa bagi dunia pendidikan sendiri ditinjau dari landasan ekonomi. Berikut paparan mengenai dampak kurangnya daya serap anggaran pendidikan ditinjau dari landasan ekonomi :
Kurangnya daya serap anggaran pendidikan di Indonesia ini menimbulkan dampak yang sangat terasa bagi dunia pendidikan sendiri ditinjau dari landasan ekonomi. Berikut paparan mengenai dampak kurangnya daya serap anggaran pendidikan ditinjau dari landasan ekonomi :
1.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu
itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari taman kanak-kanak (TK) hingga
perguruan tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan
SD saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada
yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SMP/SMU bisa mencapai Rp 1 juta sampai
Rp 5 juta. Ada beberapa daerah di Indonesia yang sudah menerapkan sekolah gratis
bagi sekolah negeri, namun pada kenyataannya banyak pungutan liar di sekolah
dengan alasan dan dalih uang komite sekolah, dsb. Di sisi lain sekolah gratis
juga membawa dampak yang kurang baik bagi kualitas siswa, dengan istilah gratis
bagi sekolah negeri kualitas pendidikan terasa kurang seimbang dengan sekolah
swasta bermutu yang biaya pendidikannya lebih besar namun kualitas
pendidikannya lebih diutamakan.
Makin mahalnya biaya
pendidikan sekarang ini juga tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan
MBS (manajemen berbasis sekolah). MBS di indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite
sekolah/dewan pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya
unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha
memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah
terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan komite
sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang
dipilih menjadi pengurus dan anggota komite sekolah adalah orang-orang dekat
dengan kepala sekolah. Akibatnya, komite sekolah hanya menjadi legitimator
kebijakan kepala sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan
tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
2.
Banyaknya Siswa
yang Putus Sekolah
Kenyataan
keterbatasan akses pendidikan publik bukanlah hal baru di negeri ini.
Keterbatasan infrastruktur menyebabkan pendidikan (sekolah) menjadi barang
mahal. Keterbatasan itu kian mencolok di tengah minat masyarakat untuk
mengenyam pendidikan semakin meningkat. Sayangnya, alasan keterbatasan
anggaran, alasan klasik, membuat negara tidak segera menyediakan akses
pendidikan publik berkualitas secara merata. Jutaan anak didik harus rela
membuang mimpi mengenyam pendidikan bermutu.
Tahun ini (2011) 1,1 juta lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) sederajat tidak tertampung di jenjang pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas/SMK/MA). Data Kementerian Pendidikan Nasional menunjukan, jumlah lulusan SMP sederajat tahun 2011 sebanyak 4,2 juta siswa. Padahal, daya tampung SMA/SMK/MA hanya sekitar 3,1 juta, jadi ada 1,1 juta siswa yang tidak mendapat kursi. Agar semua siswa lulusan SMP tertampung di SMA/SMK sederajat, menurut Mustaghfirin Amin, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional, membutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun Demikian juga dengan Pendidikan Tinggi (PT). Dari total 540.953 peserta Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2011, sebanyak 118.233 dinyatakan lolos ujian. Adapun sisanya, yakni 422.720 siswa harus menempuh studi di PT Swasta, dengan konsekuensi pembiayaan yang tentu tidaklah sedikit Bagi yang tidak berduit, terpaksa melupakan mimpi untuk studi. Jumlah Siswa SMA yang lulus tahun 2011 mencapai 1.450.498. Itu artinya, ada ratusan ribu siswa (rakyat) yang tidak dapat mengenyam Pendidikan Tinggi. Setiap tahun ada 51,7 persen lulusan SMA yang tidak melanjutkan studi. Ada yang jadi penganggur ada ada pula yang memutuskan cari kerja. Tahun 2010, Kementerian Pendidikan Nasional mendata, penduduk Indonesia yang berusia kuliah (19-23 tahun) yang terdaftar di perguruan tinggi ada sekitar 5,2 juta orang. Jumlah itu baru 24,67 persen dari total 21,18 juta pemuda yang mesti kuliah. Lalu ke mana mereka-mereka ini? Padahal, pendidikan adalah eskalator perubahan sosial.
Tahun ini (2011) 1,1 juta lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) sederajat tidak tertampung di jenjang pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas/SMK/MA). Data Kementerian Pendidikan Nasional menunjukan, jumlah lulusan SMP sederajat tahun 2011 sebanyak 4,2 juta siswa. Padahal, daya tampung SMA/SMK/MA hanya sekitar 3,1 juta, jadi ada 1,1 juta siswa yang tidak mendapat kursi. Agar semua siswa lulusan SMP tertampung di SMA/SMK sederajat, menurut Mustaghfirin Amin, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional, membutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun Demikian juga dengan Pendidikan Tinggi (PT). Dari total 540.953 peserta Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2011, sebanyak 118.233 dinyatakan lolos ujian. Adapun sisanya, yakni 422.720 siswa harus menempuh studi di PT Swasta, dengan konsekuensi pembiayaan yang tentu tidaklah sedikit Bagi yang tidak berduit, terpaksa melupakan mimpi untuk studi. Jumlah Siswa SMA yang lulus tahun 2011 mencapai 1.450.498. Itu artinya, ada ratusan ribu siswa (rakyat) yang tidak dapat mengenyam Pendidikan Tinggi. Setiap tahun ada 51,7 persen lulusan SMA yang tidak melanjutkan studi. Ada yang jadi penganggur ada ada pula yang memutuskan cari kerja. Tahun 2010, Kementerian Pendidikan Nasional mendata, penduduk Indonesia yang berusia kuliah (19-23 tahun) yang terdaftar di perguruan tinggi ada sekitar 5,2 juta orang. Jumlah itu baru 24,67 persen dari total 21,18 juta pemuda yang mesti kuliah. Lalu ke mana mereka-mereka ini? Padahal, pendidikan adalah eskalator perubahan sosial.
3.
Penyelenggaraan
Otonomi Pendidikan
Pemerintah telah
menetapkan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU No.20/2003
tentang Sisdiknas dalam pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan yang
menyebutkan: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan
oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan
hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan
hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di
atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara
melainkan diserahkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri. Dalam penjelasan
pasal 3 ayat 2 RUU Badan Hukum Pendidikan disebutkan bahwa Kemandirian dalam
penyelengaraan pendidikan merupakan kondisi yang ingin dicapai melalui
pendirian BHP, dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada
pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada pendidikan tinggi. Hanya dengan
kemandirian, pendidikan dapat menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu,
fleksibilitas, dan mobilitasnya.
Artinya pemerintah
menilai bahwa selama ini terhambatnya kemajuan pendidikan indonesia diantaranya
karena pengelolaan pendidikan yang sentralistis, sehingga perlunya kebijakan
desentralisasi kewenangan (MBS dan otonomi pendidikan) untuk memajukan
pendidikan indonesia. Kenyataannya, kebijakan tersebut menuai berbagai sikap
kontra dari masyarakat karena dinilai sarat dengan tekanan pihak asing (negara
donor) yang menghendaki privatisasi lembaga –lembaga yang dikelola negara
termasuk lembaga pendidikan, sehingga negara pun akan lepas tangan dari
tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
secara penuh. Sebagaimana diungkapkan oleh komisi hukum nasional (KHN) bahwa
dalam RUU BHP versi yang baru, semua bentuk pendidikan baik yang
diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah harus
berbentuk badan hukum yang sama yaitu badan hukum pendidikan. Oleh karenanya,
jika RUU BHP disahkan – maka peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi. Perubahan yang
terjadi antara konsep RUU lama dan yang baru, dapat diamati dari bunyi pasal 1
ayat 7 (versi lama), yang mengatur bahwa ”Penyelenggara adalah satuan
pendidikan berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP)” dan “Semua satuan pendidikan
tinggi harus berstatus Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT) (Pasal 2 ayat (1)”.
Selain itu, disebutkan juga bahwa “Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat
berstatus Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah (BHPDM)”.
Yang menjadi
persoalan, apakah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan jawaban yang tepat
bagi pengembangan pendidikan tinggi kedepan? Bagaimana RUU ini meletakkan peran
pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi serta
bagaimana mengkonstruksi hubungan antara penyelenggara pendidikan (yayasan,
perkumpulan, badan wakaf, pemerintah, dll) dengan satuan pendidikan? Apakah RUU
BHP memberikan
jaminan bagi
terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi
dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global ? Selain itu kebijakan otonomi pendidikan
sendiri merupakan hal belum tentu dapat meningkatkan kualitas pendidikan,
terutama bila makna otonomi itu sendiri ternyata bentuk lepas tangan pemerintah
dengan menyerahkan penyelenggaraan pendidikan secara lebih besar porsinya
kepada masyarakat. Padahal hakikatnya penyelenggaraan pendidikan merupakan
tanggung jawab negara/ pemerintah sebagai pihak yang diamanahi rakyat untuk
mengatur urusan mereka dengan sebaik mungkin.
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan tinggi negeri pun berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi favorit.
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan tinggi negeri pun berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi favorit.
Bagi masyarakat
tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi badan hukum milik
negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu
harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di indonesia. Di jerman, prancis,
belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya dengan anggaran 20% yang dianggarkan oleh pemerintah daya serap nya masih kurang. Di tengah persoalan ketidakmampuan menyerap anggaran ini, tahun 2012 Kementerian pimpinan Moh. Nuh malah akan mendapat tambahan anggaran. Jika dana anggaran pendidikan tahun 2011 Rp 248,98 triliun, maka tahun 2012 akan naik menjadi Rp 265, 56 triliun. Kementerian Pendidikan akan ketambahan anggaran sebesar Rp 16.6 triliun.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya dengan anggaran 20% yang dianggarkan oleh pemerintah daya serap nya masih kurang. Di tengah persoalan ketidakmampuan menyerap anggaran ini, tahun 2012 Kementerian pimpinan Moh. Nuh malah akan mendapat tambahan anggaran. Jika dana anggaran pendidikan tahun 2011 Rp 248,98 triliun, maka tahun 2012 akan naik menjadi Rp 265, 56 triliun. Kementerian Pendidikan akan ketambahan anggaran sebesar Rp 16.6 triliun.
Jumlah ini
sebenarnya lebih dari cukup untuk menutup kebutuhan penyedian infrastruktur
pendidikan bagi 1.1 juta siswa yang tidak tertampung hari ini, maupun sejumlah
siswa lulusan 2012 yang bisa diperkirakan tak lebih sama. Namun, apakah
penambahan anggaran ini kelak akan menjadi solusi bagi persoalan keterbatasan
akses pendidikan kita seperti hari ini? Juga tidaklah tentu.
Jika keadaan kurangnya daya serap anggaran pendidikan di Indonesia ini tidak benar-benar diperhatikan oleh pemerintah, wakil rakyat dan segenap birokrasi pendidikan, akan dipastikan bahwa keadaan dunia pendidikan Indonesia akan semakin terpuruk dan tertinggal dengan negara lain.
Jika keadaan kurangnya daya serap anggaran pendidikan di Indonesia ini tidak benar-benar diperhatikan oleh pemerintah, wakil rakyat dan segenap birokrasi pendidikan, akan dipastikan bahwa keadaan dunia pendidikan Indonesia akan semakin terpuruk dan tertinggal dengan negara lain.
E. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Biaya Pendidikan
Faktor-faktor
yang mempengaruhi biaya dan pembiayaan pendidikan sekolah hal ini dipengaruhi
oleh:
- Kenaikan harga (rising prices)
2.
Perubahan relatif dalam gaji guru (teacher’s
sallaries)
- Perubahann dalam populasi dan kenaikannya prosentasi anak disekolah negeri
- Meningkatnya standard pendidikan (educational standards)
- Meningkatnya usia anak yang meninggalkan sekolah
- Meningkatnya tuntutan terhadap pendidikan lebih tinggi (higher education)
F. Solusi Masalah
Untuk mengatasi
kurangnya daya serap anggaran pendidikan Indonesia agar problematika pendidikan
di Indonesia dapat diselesaikan satu per satu, solusinya yaitu: Secara tegas,
pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan
nasional dalam jumlah yang memadai, sembari pemerintah membenahi sejumlah
birokrasi pendidikan dalam upaya mengefektifkan kinerja birokrasi pendidikan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Perkembangan
dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan ke sistem
pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam
segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar
tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan
kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, sebenarnya sudah ikut memikirkan dan memberikan solusi dari setiap problematika pendidikan, hal ini terlihat dari anggaran pendidikan dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara sudah terjadi kenaikan anggaran dari tahun ke tahun, namun diharapkan pemerintah dan birokrasi pendidikan benar-benar optimal dalam menyalurkan dana yang sudah dianggarkan dan dana yang sudah diberikan pemerintah bisa benar-benar sampai pada masyarakat yang membutuhkan secara sepenuhnya. sembari kita tentu berharap 20 persen anggaran pendidikan terus mengalami kenaikan, masyarakat juga menanti agar birokrasi pendidikan segera membenahi diri. Kementerian Pendidikan Nasional harus secepatnya mengevaluasi kinerja
Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, sebenarnya sudah ikut memikirkan dan memberikan solusi dari setiap problematika pendidikan, hal ini terlihat dari anggaran pendidikan dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara sudah terjadi kenaikan anggaran dari tahun ke tahun, namun diharapkan pemerintah dan birokrasi pendidikan benar-benar optimal dalam menyalurkan dana yang sudah dianggarkan dan dana yang sudah diberikan pemerintah bisa benar-benar sampai pada masyarakat yang membutuhkan secara sepenuhnya. sembari kita tentu berharap 20 persen anggaran pendidikan terus mengalami kenaikan, masyarakat juga menanti agar birokrasi pendidikan segera membenahi diri. Kementerian Pendidikan Nasional harus secepatnya mengevaluasi kinerja
dan manajemen anggarannya.
Hal
ini kita butuhkan segera demi peningkatkan efektivitas kinerja birokrasi
pendidikan untuk menyerap anggaran, demi tersedianya akses pendidikan publik
yang merata dan bermutu. Cukuplah kelalaian pengelolaan seperti ini, sebab
sudah terlalu lama hak masyarakat atas pendidikan itu dikorbankan. Dengan
meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan
semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat
dalam segala bidang di dunia internasional.
B.
SARAN
Makalah ini masih memiliki berbagai
jenis kekurangan olehnya itu saran yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dedi Supriadi.2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar
dan Menengah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2.
Tim Pengelola BOS. 2009. Buku Panduan Bantuan
Operasional Sekolah. Depdiknas: Dirjen Dikdasmen.
3.
Anwar, M.I. 1991. Biaya Pendidikan dan Metode
Penetapan Biaya Pendidikan. Mimbar Pendidikan, No.1 Tahun x, 1991: 28-33.
4.
Fattah, N. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.
Remaja Rosdakarya: Bandung.
5.
Horngren, P. 1993. Pengantar Akutansi Manajemen
Edisi 6. Jakarta: Erlangga.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil ‘Alamin segala Puji dan Syukur
Penulis Panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik dan
hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini,
Namun penulis menyadari makalah ini belum dapat dikatakan sempurna karena
mungkin masih banyak kesalahan-kesalahan. Shalawat serta salam semoga selalu
dilimpahkan kepada junjunan kita semua habibana wanabiana Muhammad SAW, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya, dan mudah-mudahan sampai kepada kita
selaku umatnya.
Makalah ini penulis membahas mengenai “DANA
PENDIDIKAN DIALOKASIKAN SEBESAR 20 % DARI ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA”,
dengan makalah ini penulis mengharapkan agar dapat membantu sistem
pembelajaran. Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih atas segala
perhatiannya.
Raha, Agustus 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.........................................................................................................
i
Daftar Isi.................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 3
C. Tujuan............................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN....
................................................................................... 1
A. Anggaran Pendidikan............................................................................. 4
B. Daya Serap Anggaran Pendidikan .............................................................. 5
C. Efektifitas Kerja Birokrasi Pendidikan......................................................... 5
D. dampak kurang serapnya
anggaran pendidikan .................................. 5
E. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Biaya Pendidikan...................... 10
F. Solusi Masala........................................................................................ 10
BAB II
PENUTUP................................................................................................... 11
A. Kesimpulan.................................................................................................. 11
B. Saran............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 12
MAKALAH
DANA PENDIDIKAN DIALOKASIKAN SEBESAR 20 % DARI ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK I
1.
JAIS
2.
LISDAR
3.
ASTATI
4.
VERIDAYANTI
5.
LM. THEO WANDI
SMA NEGERI 1 RAHA
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar